Monday, January 22, 2007

Daripada Sakit Gigi, Lebih Baik Sakit... Hati ini... (episode 1)

Kapan terakhir Anda pergi ke dokter gigi?

Minggu lalu? Bulan lalu? Tahun lalu??

Sejauh ingatan saya bisa berkelana, terakhir kali saya ke dokter gigi adalah ketika saya akan mencabut salah satu gigi susu saya di klinik gigi Rumah Sakit Ciawi. Dalam kenangan saya, saya keluar dengan mulut agak mati rasa dan gigi ditekan kapas, tapi masih tersenyum ceria karena diberi permen oleh sang dokter yang berpesan baru boleh dimakan setelah gigi saya berkurang nyerinya. Ucapan dokter gigi yang paling saya ingat adalah... ”anak pinteeeer....”

Terkesan lama sekali?

Ya memang sudah lama sekali.

Sejak itu, seingat saya, saya memang tak pernah lagi ke dokter gigi.

Takut? Yaa, mungkin sedikit takut. Tapi alasan utama saya rasa lebih karena malas (inilah alasan utama yang melatarbelakangi semua pengalaman buruk saya sepertinya), dan karena memang saya hampir tidak pernah bermasalah dengan gigi saya. Kalaupun sedikit bermasalah, biasanya didiamkan saja dan tiba-tiba hilang dengan sendirinya. Dan sejak kecil gigi saya ini memang cukup terpercaya, dan dapat digunakan mulai dari untuk menyantap bubur sampai membuka botol minuman ringan (terkesan barbarik?).

Meski begitu, saya memiliki beberapa pengalaman seputar dunia gigi geligi ini.

Pertama, saya mengetahui bahwa gigi saya ini termasuk renggang. Tidak rapat sebagaimana normalnya. Selain karena memang letak gigi-giginya yang memang agak renggang, ukuran juga berpengaruh (size DOES matters). Memang terhitung kecil. Terutama gigi-gigi seri dan geraham depan.

Ini saya ketahui ketika SMP, sewaktu guru biologi saya menerangkan tentang isi dalam mulut. Beliau memerintahkan setiap anak menyelipkan selembar kertas diantara giginya (masing-masing). Apabila kertas itu dapat terselip dengan mudah, berarti gigi si anak terhitung renggang, tapi masih dalam batas normal. Nah, dalam kasus saya, saya menyelipkan sebilah mistar (penggaris) plastik. Dan masuk!

Kedua, adalah pengalaman ketika SD kelas 4. Pengalaman ini sampai sekarang membekas pada gigi saya.

Ketika itu, di kampung (halah, kampung... wong ndeso!) saya sedang dilanda demam sepeda. Maka sebagai salah seorang bocah ceria yang suka berkelana, juga mulai mengembara kemana-mana dengan sepeda, atau sekedar balapan dengan anak tetangga.

Kejadiannya berlangsung pada sebuah minggu pagi (atau lebih tepatnya, pagi-pagi buta / subuh) di lahan parkir sebuah bioskop yang beralaskan paving-block. Pukul 5 pagi, Saya bersama beberapa teman masa kecil sudah bersiap di lahan parkir itu untuk balapan. Maklum anak muda, track-track-an. Ketika tiba giliran saya dengan seorang teman, maka meluncurlah kami dengan menentang angin dan mengadu nyali (pada pagi buta, sebenarnya kami hampir tidak bisa melihat apa yang ada di depan kami), untuk bertaruh siapa yang lebih cepat.

Saya menang (horeee!!!), dan dengan skill bersepeda yang baru saja dipelajari, saya mengangkat kedua tangan sebagai tanda perayaan. Malang bagi saya, ada sebuah paving-block yang tidak terpasang dengan sempurna sehingga posisinya agak menyembul dibanding yang lain. Ban depan sepeda saya terantuk paving-block itu, dan dengan posisi tangan sedang meninju angkasa, saya kehilangan keseimbangan.

Maka jatuhlah saya dengan posisi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Karena masih berada dalam kecepatan yang cukup tinggi, terantuknya roda depan menyebabkan roda belakang sepeda saya terangkat. Dan yang saya perkirakan selanjutnya, sepeda saya terjatuh dengan sebelumnya melakukan jungkir balik hampir sempurna. Saya sendiri? Saya sepertinya terjatuh dengan kepala terlebih dahulu menyentuh tanah.

Nahasnya, ketika itu saya sedang berteriak karena gembira menang lomba. Tentu saja, teriakan itu berubah menjadi teriakan kepanikan. Mulut saya terbuka lebar, dan alhasil saya jatuh dengan posisi gigi terantuk paving-block. Waktu terasa berhenti.

Sebagai seorang anak jagoan (dan baru menang lomba), saya berdiri tanpa menangis dengan rasa ngilu di mulut. Beberapa saat kemudian, matahari mulai muncul ketika kawan-kawan saya memandang dengan aneh ke mulut saya. Apa pasal?

Secuil bagian dari dua gigi seri atas bagian depan nampaknya telah hilang. Dua gigi seri bagian atas depan itu nampaknya telah patah. Mungkin sekitar seperempat bagiannya. Ketika kami menyelidiki lokasi mendaratnya saya tadi, kami menemukan dua potongan berwarna putih (yang tadinya merupakan bagian dari gigi saya) menancap di paving block. Pandangan saya mulai berkunang-kunang, dan air mata mulai meleleh.

Apakah anda merasa ngilu ketika membaca cerita ini? Percayalah, aslinya jauh lebih ngilu.

Nahasnya (lagi), gigi seri bagian depan itu bukan lagi gigi susu. Mereka sudah gigi tetap. Alhamdulillah, sepertinya potongan itu tidak mencapai saraf gigi, sehingga gigi saya (yang tinggal ¾ itu) masih bisa berfungsi sampai sekarang, meskipun penampakannya tidak seindah dulu lagi.

Saat itupun, saya tidak ke dokter gigi.

Ketiga, kakak saya adalah seorang sarjana kedokteran gigi dari.... sebuah universitas swasta terkemuka di Jakarta yang melahirkan pahlawan-pahlawan reformasi (tidak termasuk kakak saya). Beliau tetap dengan status kesarjanaannya itu, tanpa pernah memperoleh gelar dokter gigi, karena berhenti pada tahun pertama koass. Mengapa berhenti? Karena dia tidak tega ketika harus mencabut gigi pasien.

WHAT?!?!!?

Ya. Itulah kenyataannya. Meskipun saya sudah berusaha mendorong semangatnya dengan mengatakan bahwa ”kalo lu nyabut gigi orang, yang sakit kan si orang itu, bukan elu! Santai laaaah!!!”, tapi tetap saja, rasa ketidaktegaan membuatnya selalu bergetar tak karuan saat memegang alat. Dan itu berbahaya. Maka, ditambah beberapa alasan pribadi lain yang tidak layak dipaparkan di sini, berhentilah dia, meninggalkan IPK 3,7 di S-1 kedokteran giginya nyaris sia-sia.

Tentu anda bertanya-tanya, kalau tidak tegaan, lantas mengapa awalnya kakak saya memilih jurusan kedokteran gigi yang mahal biayanya sehingga membuat saya tidak boleh memiliki cadangan di universitas swasta ketika hendak kuliah dan terancam harus ikut KURSUS JAHIT satu tahun kalau tidak lulus UMPTN (SPMB) itu???? (curhat colongan yang dipaksakan)

Dendam!

Ya... dendam saya rasa adalah motif utama kakak saya. Dendam pada dokter gigi (yang akhirnya tidak terlampiaskan karena dia ternyata tidak tega).

Ceritanya begini...

Waktu itu, ada gigi kakak saya yang harus diservis. Dan kebetulan, ada seorang dokter gigi yang praktiknya tidak jauh dari kampung saya. Maka pergilah saya mengantarkan kakak saya dengan sepeda motor (waktu itu, saya masih punya motor).

Di ruang tunggu dokter gigi, yang terjadi adalah fenomenda yang biasa dipamerkan di film-film komedi Warkop DKI (Dono-Kasino-Indro). Ketika kami di ruang tunggu itu, terdengar jerit ketakutan (atau kesakitan?) dari ruang praktik, dan beberapa saat kemudian terlihat seorang pasien berjalan keluar dengan menahan tangis. Kakak saya mulai ciut nyalinya. Saya tenangkan dia dengan berkata... ”tenang... itu sih orangnya aja, takut sebelom bertanding. Pasti jarang ke dokter gigi!”. Kakak saya mulai tenang. Karena agak bosan menunggu, saya putuskan untuk pulang dengan sebelumnya berjanji untuk menjemput kakak saya sekitar satu jam lagi.

Seperti bisa ditebak, saya akhirnya TIDAK menjemput kakak saya, karena asyik menonton televisi dan saya anggap tempat praktik dokter itu cukup dekat. Naik angkot juga paling lama 10 menit.

Kakak saya pulang sekitar satu setengah jam kemudian. Matanya merah. Tangan memegang pipi yang bengkak. Dan kata-katanya tidak jelas. Setelah sebelumnya melempar saya dengan sendal dan marah-marah karena tidak saya jemput, akhirnya dia mulai bercerita apa yang sesungguhnya terjadi.

Karena kakak saya ternyata masih takut setelah mendengar teriakan di ruang tunggu itu, dia meminta sang dokter gigi membiusnya cukup banyak. Akan tetapi, itu tidak membantu banyak. Servis yang dilakukan dokter gigi itu ternyata tetap menyakitkan. Maka kakak saya tetap keluar dengan menahan sakit dan tidak bisa melepaskan tangan dari pipinya.

Karena saya tidak kunjung menjemput, dan kakak saya mulai tak sabar menahan nyeri, dia memutuskan untuk naik angkot. Nahas, angkotnya penuh dan tidak ada penumpang yang rela bergeser. Karena tidak bisa berdebat (dengan mulut habis dibius), kakak saya duduk di pojok belakang.

Tentu saja, bius itu, selain mengakibatkan mati rasa, juga menyebabkan kakak saya sulit sekali bicara. Ditambah dengan gigi yang nyeri. Maka, ketika sudah mendekati rumah, kakak saya kesulitan untuk berkata ”KIRI BANG!” yang menjadi sinyal untuk turun bagi pak supir. Dengan menahan sakit (dan tangis), kakak saya hanya berkata lirih...”kiwi bang... kiwwwiiii... kiww....”

Seorang bapak baik hati yang duduk di depan kakak saya itu bingung. ”Mau turun ya dek?” katanya. Kakak saya mengangguk lemah. Bapak itu kemudian berteriak pada supir angkot ”woy! Kiri bang! Ni orang sakit gigi nih! Mau turun!! Kiri-kiri!!!”. Kakak saya turun dengan pandangan simpatik dari seluruh penumpang angkot, ditambah perasaan bersalah karena sebelumnya enggan bergeser ketika kakak saya akan naik.

Tentu saja, ketika masuk rumah, alih-alih mengucap salam, kakak saya melempar sendal pada saya seraya berkata... ”HOY! Ahek maham afa luh?? Hahanya mo hemput hua?!?? Hrengsek!! Hahit hau hua!!!” (terjemahan : ”Woy! Adek macam apa luh?? Katanya mo jemput gua?!?! Brengsek!! Sakit tau gua!!!”) sambil menahan air mata..

Dan setelah itu, dia menyimpan dendam dalam hatinya, sehingga memutuskan untuk sekolah kedokteran gigi. Melampiaskan dendam pada pasiennya kelak adalah impiannya. Tentu, kita tahu bagaimana akhirnya kemudian... Ketidak-tegaan melihat derita orang lain memang menjadi ciri khas keluarga kami.

Yah... kira-kira itulah pengalaman saya seputar gigi geligi, dimana saya memang jarang sekali ke dokter gigi (gak nyambung).

Akan tetapi....

Beberapa BULAN terakhir ini, nampaknya gigi saya mulai tidak bisa didiamkan begitu saja. Ada sedikit rasa sakit dan ngilu di gigi bagian kiri bawah dan kanan atas (lengkap sudah). Maka, setelah dipertimbangkan dengan cukup mendalam, ditambah perkiraan akan kesanggupan finansial, saya memutuskan bahwa saya harus ke dokter gigi.

Bagaimana ceritanya?
Apakah kesalahan saya ketika saya tidak menjemput kakak saya itu menjadi karma tersendiri?

Nantikan di episode selanjutnya =))

Friday, January 05, 2007

Selingan... Kereta Numpang Lewat Doang...


Beberapa hari yang lalu tiga orang teman melalui fasilitas YM meminta untuk saya melist postingan-postingan cerita-cerita dari kereta, mulai episode 1 sampai terakhir. Ini karena tiga orang ini merupakan "pelanggan baru" (haiyah... kesannya dagangan... laku pula... terlalu memuji diri sendiri nampaknya), yang tertarik dengan cerita kereta, tapi AGAK MALAS untuk mengaduk-aduk postingan lama saya untuk mencari postingan-postingan tersebut.

Mengingat blog "cerita kereta" di blogdrive yang khusus memuat cerita-cerita dari kereta ini sudah saya hapus, saya rasa ada gunanya juga mereview postingan-postingan tersebut...
kalau tidak ada gunanya bagi anda, maka selingan ini silahkan tidak dibaca saja (walaupun kalau sudah sampai sini, berarti anda sudah terlanjur membacanya bukan?).

jadi...
inilah dia...
rangkaian cerita-cerita dari kereta...

1. Naik Kereta Api... Tut tut tuuuut (episode 1)

2. Kalau ada yang bilang bangsa kita bangsa pemalas, saya jitak! (episode 2)

3. Ketika Sholat Maghrib pun Menjadi Sebuah Kemewahan (episode 3)

4. Cakap Punya Cakap (episode 4)

5. Kuingin Slalu Dekat Di Sampingmu (episode 5)

6. Absolutely the Best Place to Shop (episode 6)

7. Komunitas Gerbong (episode 7)

8. It is an art... (episode 8)

9. Kereta Meleduk (episode 9)

10. Doktrinasi !!! (episode 10)

11. Berdarahkah Tuan yang Duduk di Belakang Meja? (episode 11)

12. SEMEX (episode 12)

13. Lha?! Ada toh yang Beginian?? (episode 13)


demikian rangkaian postingannya...

Setelah saya amat-amati (sendiri), ternyata ada perubahan pola, gaya dan topik penulisan mulai dari episode 11... kenapa ya?? kok kesannya tiba-tiba jadi serius gitu ya?? (nulis sendiri nanya sendiri, sepertinya juga punya jawaban sendiri). yah, mungkin memang tiba-tiba kereta mulai serius... atau saya sekedar kehabisan topik (ini yang bahaya!)

eniwey, cerita kereta episode 14 (kalau jadi), akan mengetengahkan "cakap punya cakap, updated!", yang mengambil pola dan bentuk mirip "cakap punya cakap (episode 4)".
tunggu tanggal mainnya!! =D

Lha?! Ada toh yang Beginian?? (cerita-cerita dari kereta, episode 13)

Lho?! Ada Ya Yang Beginian?

Bertemu kawan lama… tentu menyenangkan.

Begitupun dengan saya.

Ketika saya AKHIRNYA bisa kembali naik kereta Bogor-Tanah Abang jadwal keberangkatan 7.20 WIB, saya pun merasakan kebahagiaan bertemu kawan-kawan lama itu. Yaaah, setidaknya, saya menganggap mereka kawan, meskipun saya sebenarnya tidak tahu apakah mereka menganggap saya ADA atau tidak. (duuuh, kesannya cinta yang bertepuk sebelah tangan banget ya... jadi inget cerita-cerita cinta picisan =P, remaja banget lah...)

Sebagai latar belakang, mungkin sepenggal kisah perlu diulang.

Sampai sekarang, mungkin sudah lebih dari satu setengah tahun saya berpetualang di kereta (lebih tepatnya mungkin “baru” satu setengah tahun). Pada masa itu, beberapa bulan pertama banyak saya habiskan di kereta pagi, jadwal keberangkatan jam 06.30-07.00 WIB. Setelah itu, karena sering terlambat, saya mulai sering naik kereta jurusan tanah abang jadwal keberangkatan 7.20.

Setelah itu, saya mulai rutin naik kereta tanah abang itu karena ternyata jarak dari stasiun Sudirman (yang dilalui oleh kereta tanah abang) lebih dekat ke kantor saya dibanding dari Cikini atau Manggarai. Selain itu, jarak antara Stasiun Sudirman dengan kantor juga bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 15 menit (jalan cepat, bisa jadi karena kebelet ingin ke WC) sampai 25 menit (jalan luar biasa santai, sambil tengok kiri kanan atau sekedar menghirup udara segar bercampur timbal dari asap knalpot). Mengingat tubuh saya yang mulai menggembung karena kurang olah raga, maka jalan kaki di pagi hari tentu bisa menjadi alternatif yang murah meriah (saking murahnya, bahkan malah bisa menghemat ongkos).

Maka jadilah saya mulai rutin naik kereta tanah abang. Lebih spesifik, gerbong 3 (dihitung dari belakang). Kenapa pilih gerbong 3? Bisa dibaca di Cerita Kereta episode 7 (Komunitas Gerbong).

Tanpa terasa, rutinitas di kereta tanah abang itu berjalan sampai hampir satu tahun. Seperti kata pepatah “tumbuh cinta karena biasa”, maka saya pun merasa “bersahabat” dengan para penumpang gerbong 3 tanah abang itu. Tentu saja, wujud persahabatan itu tidak lebih dari sekedar senyum atau sapaan-sapaan khas kereta (semacam: “panas ya mas?” atau “penuh gini ya...” atau “yaaah, gini deh, namanya ekonomi, disalipin melulu sama expres”, dsb). Saya memang sangat jarang berinteraksi langsung dengan penumpang lain, seperlunya saja. Saya lebih suka memperhatikan atau mendengarkan obrolan mereka, dan diam-diam ikut berpikir (kalau perbincangannya serius) atau menahan tawa (kalau perbincangannya LEBIH serius lagi).

Setelah itu, ternyata kebiasaan lama saya yang buruk itu kembali hadir. TERLAMBAT. Ya, ini satu kebiasaan buruk saya yang kerap melekat. Karena sering terlambat mengejar kereta tanah abang, maka saya mulai terbiasa naik kereta jurusan Kota (Jakarta) jadwal keberangkatan 7.44 WIB. Apalagi kemudian saya mendapat teman seperjalanan (Bogor-Cikini), maka saya menjadi pelanggan rutin kereta 7.44 ini.

Setelah hampir setengah tahun ini berpetualang di kereta 7.44, entah kenapa, menjadi sangat sulit bagi saya untuk sekali-sekali berkunjung ke kereta 7.20

-alaaaaaaaaaaah, udalah wan, ga usah ja’im!! Bilang aja TELAT MOLOOOOOOO!!!!!-

Yah... mari kita lewat saja topik tadi...

Beberapa minggu yang lalu, akhirnya saya bersama teman yang biasanya bersama-sama naik kereta 7.44 bisa naik kereta tanah abang 7.20. Selain karena memang ada keperluan untuk berangkat lebih pagi, saya juga memang sudah cukup rindu untuk kembali kesana.

Setelah melewati stasiun Bojonggede, saya perhatikan bahwa ternyata komunitas gerbong 3 seperti yang dulu pernah diceritakan di Cerita Kereta episode 7 (Komunitas Gerbong) memang sudah tidak lengkap lagi. Cukup banyak penumpang lama yang sudah tidak terlihat lagi. Entah berpindah jadwal (seperti saya), pindah gerbong, atau mungkin sudah meningkat status ekonominya sehingga berpindah ke moda kereta expres atau bus.... dan mungkin juga ada alasan-alasan lain semisal seorang roker (rombongan kereta) wanita yang setelah wanita kemudian disarankan untuk tidak perlu bekerja lagi oleh suaminya atau tidak boleh naik kereta lagi oleh suaminya. Intinya, banyak lah yang bisa jadi alasan.

Meski begitu, banyak juga yang masih tetap. Rombongan Bojong misalnya, sebagian besar masih tetap sama. Termasuk “Pak J” dan kawan-kawannya yang masih tetap menjadi motor keceriaan (dan kekesalan) di gerbong ini.

Beberapa pasang mata yang seperti sudah begitu lama saya kenal melihat saya dengan tatapan bertanya-tanya. Mungkin dalam hati mereka memang bertanya-tanya... “kayak pernah kenal...” (atau kira-kira begitulah). Saya tersenyum sedikit ke mereka yang dulu memang terbiasa berdiri dekat saya, dan mereka pun balas tersenyum sebentar, lalu kembali berbincang riuh rendah dengan kawan-kawannya.

Topik perbincangan (dan keramaian) di gerbong 3 kereta tanah abang ini memang relatif lebih “berkualitas” dibanding gerbong 3 kereta 7.44. Memang sering juga yang muncul adalah candaan-candaan khas kereta atau celetukan-celetukan yang sekedar mengundang tawa. Akan tetapi, kalau sudah serius, ya serius. Topiknya bermacam-macam, mulai dari permasalahan rumah tangga, intrik politik di kelurahan (nampaknya rombongan ini rumahnya satu kompleks atau satu kelurahan), persoalan manajemen kereta, pemilu, pemerintahan, sampai filsafat. Kemarin itu, kebetulan sedang hangat-hangatnya kasus Yahya Zaini – Maria Eva, dan poligami. Maka, tidak heran kalau perbincangan serius yang terjadi adalah seputar poligami.

Perbincangan serius semacam ini sangat jarang terjadi (bahkan seingat saya tidak pernah) di gerbong 3 kereta 7.44. Rombongan yang dominan di gerbong 3 kereta 7.44 ini biasanya sibuk saling cela-mencela (sampai kadang ada yang pundung/ngambek dan turun di stasiun terdekat untuk naik kereta selanjutnya), atau main kartu domino untuk menggilir tempat duduk (yang menang boleh duduk).


Sekedar melepas kerinduan, sekali-sekali bolehlah...

Yah, mungkin saja (kalau saya sudah bisa tidak terlambat lagi), saya akan kembali rutin menumpang di gerbong 3 kereta tanah abang ini.

----------

-Udah? Segitu aja cerita keretanya? Kok pendek amat wan? Biasanya sampai 5 lembar A4 spasi 1 times new roman 12?-

---------

Ya belom dong!!! =D

Belom beres =D

Beberapa waktu lalu, wanita yang satu ini (frase ini terbukti pernah menjadi pengalih perhatian yang baik pada salah satu postingan terdahulu, entah mengapa) pernah memberi saya sebuah tulisan yang cukup lucu. Lucu karena saya baru tahu kalau yang seperti ini ternyata ada.

Tulisannya adalah tentang Standard Tingkat Kepadatan Penumpang Kereta Api, yang bersumber dari buku berjudul “Indikator Penilaian Kawasan untuk Menentukan Pola Penyediaan permukiman Perkotaan” karya Kuswara, ST,MA dan diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puslitbangkim – Dept. PU). Dalam buku itu memang dituliskan juga berbagai macam aspek lain dalam manajemen kereta api seperti Karakteristik Pelayanan KA, Kategori Jaringan Pelayanan Angkutan, Kategori Jenis dan Kondisi Simpul KA (Stasiun), dan sebagainya. Tapi standard tingkat kepadatan penumpang adalah topik yang paling menarik bagi saya.

Dalam buku itu disebutkan beberapa tingkatan kepadatan sebagai berikut :

- 100% = kapasitas tempat duduk penuh, para penumpang merasa nyaman, mendapatkan tempat duduk, dapat bergantung pada tali atau memegang tiang di dekat pintu.

- 150% = walaupun bahu saling bersentuhan, para penumpang masih cukup ruangan untuk membaca koran

- 180% = walaupun badan beradu satu sama lain, penumpang masih dapat membaca majalah (perhatikan bedanya saudara-saudara, majalah dan koran memang jelas jauh berbeda ukurannya)

- 250% = para penumpang bergoyang setiap waktu pada saat kereta api berjalan dan mereka tidak dapat bergerak.

Wakakakakakak......

Ternyata ada juga ya yang berinisiatif menyusun standard semacam ini. Yah, walaupun saya tidak tahu dasar pemikirannya sehingga bisa menyebutkan angka-angka prosentase kepadatan itu (dan kondisi yang digambarkannya), tapi standard ini cukup bagus.

Lalu, kepadatan di KRL Jabodetabek itu termasuk tingkatan yang mana?

Nah, itu jawabannya bisa sangat bervariasi, tergantung jadwal keberangkatan, gerbong, ukuran tubuh anda, apakah ada kereta mogok atau tidak, dan sebagainya.

Untuk siang hari, tentu kepadatannya akan kurang dari 100%. Tapi untuk pagi dan sore hari (jam-jam terpadat), sepertinya standard itu perlu ditambah satu tingkat lagi. Yaah, kalau pada tingkat 250% penumpang masih bisa bergoyang (meski tidak dapat bergerak), perlu ada satu tingkat lagi yang menggambarkan kondisi penumpang tidak bisa bergoyang dan tidak juga bisa bergerak (apalagi baca koran). 300% mungkin? Atau 350%?

Yah.... meski begitu, sebagai orang Indonesia, kita tetap harus punya sesuatu untuk tetap bisa berkata.... “yaaaah, masih mending lah... daripada...”

Kalau kita membandingkan kondisi kereta ekonomi jabodetabek ini dengan kereta ekonomi di India misalnya... saya rasa kita bisa banyak bersyukur dan mengucapkan kata-kata tadi (“yaaah, masih mending lah...daripada...”). Mengapa? Karena ketika melihat foto-foto kereta ekonomi di India (saya dapatkan dari seorang teman yang mengirim e-mail pada saya, jadi saya tidak tahu darimana sumbernya), saya rasa kereta ekonomi di kita masih “ecek-ecek”.

Kalau yang di India itu dibandingkan dengan standard tadi?

Yaaah, mungkin masih perlu dua tingkatan lagi. Sampai 500% mungkin?

Wednesday, January 03, 2007

Inlander

Sebelumnya, perlu diinformasikan, tulisan dengan topik serupa pernah ditulis oleh mbak Elok pada sekitar bulan Februari atau Maret. dan kalo ga salah mbak Yati juga pernah nulis soal ini ya?? Tapi saya lupa kapan... atau emang belom pernah ya??
O iya, tulisan ini juga merupakan elaborasi dari salah satu tema yang sebelumnya sudah pernah saya angkat dalam postingan berjudul "kabar-kabari".

Eniwey...

Mari kita buka dengan...

Mengapa bangsa Indonesia selalu (dianggap) tertinggal dari bangsa-bangsa lain, khususnya dari bangsa eropa atau Amerika Utara??

Terlepas dari apakah ketertinggalan itu memang benar adanya, satu hal yang saya amati, ketertinggalan, keterbelakangan, dan perasaan inferior itu justru ada dalam benak dan otak bawah sadar bangsa Indonesia sendiri.

Maksud saya begini. Sebuah bangsa yang merasa tertinggal, normalnya, akan selalu memacu diri untuk tidak lagi tertinggal. Suatu bangsa yang menyadari identitasnya, semestinya, akan menolak untuk menjadi inferior dibanding bangsa lain. Dan sebagai konsekuensi, akan terus memperbaiki diri untuk sekedar memiliki perasaan sejajar dengan bangsa lain.

Saya tidak mau mengatakan bahwa bangsa saya yang saya cintai ini, bangsa Indonesia, bukanlah satu bangsa yang ”normal” dalam ukuran saya itu. Yang hanya ingin saya pertanyakan adalah, mengapa bangsa ini sudah menyerah sebelum bertanding. Mengapa inferioritas dianut secara sukarela?

Kondisi terjajah oleh Belanda selama 3,5 abad lamanya bisa jadi berperan besar dalam hal ini. Pada masa penjajahan ini, bangsa pribumi memang diposisikan sebagai kasta terendah dalam struktur sosial. Tertinggi, tentu bangsa kumpeni dari ras kaukasus. Setelah itu, bangsa kulit putih lain yang non-kumpeni. Strata berikutnya diisi oleh kaum pedagang tionghoa, india, dsb. Setelah itu baru kalangan pribumi yang memilih untuk tunduk pada penjajah dan menjadi perpanjangan tangan mereka. Ini termasuk kalangan pejabat, pangreh praja, dan sebagainya. Setelah itu, barulah kalangan rakyat jelata.

Pasca-penjajahan, toh ternyata struktur sosial itu masih bertahan dalam benak bawah sadar bangsa Indonesia.

Entah kenapa, ada satu pemahaman umum bahwa bangsa eropa, atau bangsa apapun yang memenuhi kriteria untuk disebut ”bule”, adalah bangsa yang beberapa tingkat diatas bangsa Indonesia. Atas dasar itu, kemudian kita (bangsa Indonesia kebanyakan) menganggap bahwa kita tidak sebanding dengan mereka, dan bahwa mereka perlu diperlakukan berbeda dengan cara kita memperlakukan bangsa sendiri. Bahkan, secara tak sadar, muncul fenomena rendah diri sebagai bangsa.

Pada poin ini tentu akan ada pertanyaan : ”mmmmm.... wan... LU NGOMONGIN APA SIH??”

Satu ilustrasi, pengalaman pribadi...

Bulan Februari lalu, saya ditugaskan oleh kantor saya untuk mengikuti sebuah workshop di Yogya. Karena pelaksanaannya juga didanai oleh sebuah lembaga donor asing, tentu juga ada beberapa peserta workshop yang berkewarganegaraan asing. Eropa lebih tepatnya. Saya kurang tahu, mungkin Jerman atau Kanada.

Pada hari ke-2 dan ke-3 workshop, praktis perwakilan kantor saya ini hanya saya sendiri, berhubung bos-bos langsung menuju Jakarta lagi pada hari pertama. Dan karena kadang perlu opini yang mewakili (ato minimal ada suaranya lah) dari kantor, saya memberanikan diri untuk terlibat aktif dalam diskusi-diskusi yang terjadi.

Dalam diskusi-diskusi tersebut, ada satu fenomena yang cukup lucu (kalau tidak mau dibilang menyedihkan). Saya perhatikan, peserta workshop senang sekali mendebat atau menyanggah opini atau pendapat dari rekan peserta lain, yang berasal dari daerah, atau pokoknya orang Indonesia. Tapi kalau yang beropini atau mengarahkan rapat itu adalah kedua bule tadi, tiba-tiba semuanya diam, mengangguk-angguk tanda setuju, dan tidak mendebatnya. SELALU mendukung.

Maka saya pun mengadakan sebuah eksperimen sederhana.

Ada sebuah opini dari saya yang ditolak, dibantah, atau tidak ditanggapi oleh peserta workshop. Entah ini karena memang opini saya yang buruk, atau karena sejak awal saya dipandang sebagai ”anak bawang” (berhubung paling muda). Bukan berprasangka buruk, tapi saya agak kesal saja kalau setiap ada yang menyanggah selalu dikaitkan dengan ”pak Awan ini kan masih belum banyak pengalaman, blablabla”.

Maka pada waktu sesi istirahat makan siang, saya mencoba berbincang dengan kedua bule tadi (saya perhatikan cukup jarang yang ngobrol bersama mereka. Kalaupun ada, biasanya sekedar mengangguk-angguk saja). Saya coba komunikasikan opini saya yang ditolak forum tersebut pada mereka. Dan ternyata mereka sedikit banyak sependapat dengan saya. Mereka juga ternyata memperhatikan fenomena yang saya perhatikan tadi. Mereka sadar kalau setiap perkataan mereka seringkali dianggap sebagai ”kebenaran mutlak” tanpa kritisi. Mereka bahkan telah bereksperimen juga. Salah seorang diantara mereka telah mengajukan opini yang, secara sengaja, salah. Diterima. Yang lain, menyanggahnya dan mengkoreksi. Diterima juga.

Maka saya coba meminta mereka untuk mengajukan ulang opini saya di forum.

Forum kembali dimulai, dan kedua bule itu mengajukan opini saya.

Hasilnya? Yap, benar sekali saudara-saudara. Diterima tanpa keraguan. Kami (saya dan kedua bule) senyum-senyum saja. Tentunya, senyum saya itu tak lebih dari senyum kekecewaan.

Fenomena serupa bisa kita perhatikan di media massa, yang notabene membentuk atau terbentuk dari pemahaman masyarakat secara luas atas suatu hal.

Acara-acara semisal ”Bule Gila” atau ”Turis Dadakan” misalnya.

Bisa kita perhatikan, betapa orang akan terbengong-bengong saat melihat seorang bule menjadi sopir bajaj, bule menjadi tukang sapu, tukang daging, tukang jahit, tukang sate, tukang rokok, pengamen. Lha sekarang pertanyaannya adalah, “emang apa yang aneh sih??” Bukankah di negara asal mereka pun ada tukang jahit, tukang daging, tukang sapu jalan, dsb??? Lalu kenapa aneh saat mereka jadi tukang sate disini??

Atau kita merasa bahwa pekerjaan semacam itu “hanya cocok untuk pribumi” atau “orang bule gak pantas (atau gak mungkin) melakoni pekerjaan semacam itu”??

Lalu mengapa kita merasa hanya pribumi yang layak untuk pekerjaan-pekerjaan tadi??

Atau dalam Turis Dadakan misalnya, saya benar-benar sedih melihat bagaimana kaum miskin kota seolah “rela diperlakukan bagaimana saja” oleh seorang bule. Oke, saya senang melihat mereka bisa berbahagia, merasakan liburan mewah, dsb. Tapi saya kurang suka melihat salah satu episode dimana si bule membeli kerupuk banyak sekali dan temannya (yang diajak liburan itu) disuruh membawa semua belanjaannya, lalu salah satu kerupuk itu disuruh dibawa dengan cara digigit. Ini apa maksudnya?? Lha kok mau-maunya seperti itu??

Contoh lain, iklan. Iklan wafer Tango mungkin bisa kita jadikan contoh. Di salah satu iklannya, dikisahkan seorang pahlawan bertopeng menolong dua anak kecil. Si pahlawan bertopeng tergiur melihat wafer tango sehingga melepas topengnya untuk memakan wafer tersebut, dan si anak kecil bisa mengambil fotonya. Seperti bisa ditebak, entah kenapa, pemeran pahlawan bertopeng itu adalah, seorang bule.


Pada episode lain (masih wafer Tango), dikisahkan seorang ilmuwan yang sepertinya dianggap memiliki resep rahasia kenikmatan wafer Tango ditawari sejumlah uang oleh sebuah perusahaan orang bule untuk bekerja pada mereka. Si bule yang memimpin perusahaan itu terlihat sangat menyukai wafer Tango. Adapun si pemimpin perusahaan itu bisa saya simpulkan sebagai bule adalah karena tiga perkataan (yang mana sepanjang iklan itu memang hanya itu dialog yang keluar), yaitu : ”Please”, ”Join us!!”, dan ”Switch to plan B !!!”.

Iklan lain, produk air mineral yang saya lupa namanya, tapi memakai Dave Koz sebagai bintang iklannya. Dan iklan-iklan lain yang bisa anda sebutkan sendiri.

Terhadap iklan-iklan semacam ini, saya hanya bisa bingung, kenapa sih harus pakai model bule atau kalaupun tidak, kebarat-baratan???

Semoga bukan karena ingin menimbulkan pemikiran semacam : ”tuh, liat, bule aja suka, berarti kita juga harus suka dan beli produknya...bule aja suka gitu loh...”

Karena kalau memang pemikiran seperti itu yang ingin ditimbulkan, bukankah itu agak-agak merendahkan selera/cita rasa bangsa sendiri? Atau minimal, terlalu mengagungkan selera bangsa lain.

Selain itu, pemahaman umum mengenai ”kecantikan” pun sepertinya telah terglobalkan oleh paham itu. Silakan lihat di sinetron-sinetron atau film Indonesia. Berapa banyak artis-artisnya yang secara global memang dianggap ”cantik” menghiasi layar kaca kita? Kalo nggak bule, ya indo. Tentu, ini tidak termasuk sinetron-sinetron semacam Rahasia Ilahi ya. Dikerubuti belatung atau muntah-muntah darah ketika mati nampaknya masih menjadi milik muka-muka asli Indonesia, bukan muka indo.

Sebagai penggemar sepak bola nasional, tentu saya pun harus menyinggung perkara terlalu diagungkannya pemain asing di tanah air kita ini. Kalau dalam konteks ini, tidak hanya eropa, tapi semua pemain asing dari negara manapun, seolah selalu dianggap paling jago di suatu tim. Kalau begini terus, kapan pemain muda kita akan terbina??? Akibatnya sudah jelas kan? Kita selalu kalang kabut dalam memilih pemain timnas sepak bola. Ya bagaimana tidak kalang kabut kalau di liga sendiri, pemain-pemain terbaik di semua posisi didominasi oleh pemain asing. Pemain nasional perlu diberi kepercayaan dan kesempatan bersaing yang adil !!

Saya bukan bermaksud rasis. Saya membenci rasisme. Rasis seringkali dipahami sebagai pemahaman yang merendahkan atau menganggap ras lain lebih inferior. Saya hanya mengungkapkan kekhawatiran saya bahwa yang terjadi pada bangsa Indonesia terhadap bangsa lain (khususnya eropa, Amerika, dan lain-lain) adalah kebalikan dari Rasis, yaitu fenomena rendah diri secara bangsa (ke-rendah diri-an sosial), dimana suatu bangsa secara bawah sadar memandang dirinya lebih inferior dibanding bangsa lain. Kalau fenomena ini yang terjadi, kapan bangsa ini akan maju???

Pada dasarnya, saya ingin mengajak kita semua untuk kembali pada fitrah kita semua sebagai manusia. Tidak ada segolongan manusia yang lebih rendah maupun lebih tinggi dibanding golongan lain, kecuali diukur dari tingkat keimanan dan amalan-amalannya. Itu saja. Kalau kembali ke pemahaman ini, tentu tidak perlu ada rasisme, dan tidak perlu ada sifat minder dalam satu bangsa. Tidak perlu ada yang merendahkan suku bangsa lain, dan tidak perlu ada yang merasa rendah dibanding suku bangsa lain. Semua sama dihadapan Allah, dan karenanya, semua bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk maju, kalau bangsa itu mau bermimpi dan berusaha.

Merasa tertinggal dari bangsa lain sah-sah saja. Bahkan itu adalah sesuatu yang baik, karena kalau kita tidak sadar bahwa kita tertinggal, kita tidak akan terpacu untuk maju. Yang penting, jangan sampai memandang bahwa bangsa kita lebih rendah dari bangsa lain. Itu saja. Beda lho merasa tertinggal dengan merasa diri lebih rendah. Satu yang pasti adalah kebalikannya: jangan sombong! (lha, gak nyambung...)