Kapan terakhir Anda pergi ke dokter gigi?
Minggu lalu? Bulan lalu? Tahun lalu??
Sejauh ingatan saya bisa berkelana, terakhir kali saya ke dokter gigi adalah ketika saya akan mencabut salah satu gigi susu saya di klinik gigi Rumah Sakit Ciawi. Dalam kenangan saya, saya keluar dengan mulut agak mati rasa dan gigi ditekan kapas, tapi masih tersenyum ceria karena diberi permen oleh sang dokter yang berpesan baru boleh dimakan setelah gigi saya berkurang nyerinya. Ucapan dokter gigi yang paling saya ingat adalah... ”anak pinteeeer....”
Terkesan lama sekali?
Ya memang sudah lama sekali.
Sejak itu, seingat saya, saya memang tak pernah lagi ke dokter gigi.
Takut? Yaa, mungkin sedikit takut. Tapi alasan utama saya rasa lebih karena malas (inilah alasan utama yang melatarbelakangi semua pengalaman buruk saya sepertinya), dan karena memang saya hampir tidak pernah bermasalah dengan gigi saya. Kalaupun sedikit bermasalah, biasanya didiamkan saja dan tiba-tiba hilang dengan sendirinya. Dan sejak kecil gigi saya ini memang cukup terpercaya, dan dapat digunakan mulai dari untuk menyantap bubur sampai membuka botol minuman ringan (terkesan barbarik?).
Meski begitu, saya memiliki beberapa pengalaman seputar dunia gigi geligi ini.
Pertama, saya mengetahui bahwa gigi saya ini termasuk renggang. Tidak rapat sebagaimana normalnya. Selain karena memang letak gigi-giginya yang memang agak renggang, ukuran juga berpengaruh (size DOES matters). Memang terhitung kecil. Terutama gigi-gigi seri dan geraham depan.
Ini saya ketahui ketika SMP, sewaktu guru biologi saya menerangkan tentang isi dalam mulut. Beliau memerintahkan setiap anak menyelipkan selembar kertas diantara giginya (masing-masing). Apabila kertas itu dapat terselip dengan mudah, berarti gigi si anak terhitung renggang, tapi masih dalam batas normal. Nah, dalam kasus saya, saya menyelipkan sebilah mistar (penggaris) plastik. Dan masuk!
Kedua, adalah pengalaman ketika SD kelas 4. Pengalaman ini sampai sekarang membekas pada gigi saya.
Ketika itu, di kampung (halah, kampung... wong ndeso!) saya sedang dilanda demam sepeda. Maka sebagai salah seorang bocah ceria yang suka berkelana, juga mulai mengembara kemana-mana dengan sepeda, atau sekedar balapan dengan anak tetangga.
Kejadiannya berlangsung pada sebuah minggu pagi (atau lebih tepatnya, pagi-pagi buta / subuh) di lahan parkir sebuah bioskop yang beralaskan paving-block. Pukul 5 pagi, Saya bersama beberapa teman masa kecil sudah bersiap di lahan parkir itu untuk balapan. Maklum anak muda, track-track-an. Ketika tiba giliran saya dengan seorang teman, maka meluncurlah kami dengan menentang angin dan mengadu nyali (pada pagi buta, sebenarnya kami hampir tidak bisa melihat apa yang ada di depan kami), untuk bertaruh siapa yang lebih cepat.
Saya menang (horeee!!!), dan dengan skill bersepeda yang baru saja dipelajari, saya mengangkat kedua tangan sebagai tanda perayaan. Malang bagi saya, ada sebuah paving-block yang tidak terpasang dengan sempurna sehingga posisinya agak menyembul dibanding yang lain. Ban depan sepeda saya terantuk paving-block itu, dan dengan posisi tangan sedang meninju angkasa, saya kehilangan keseimbangan.
Maka jatuhlah saya dengan posisi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Karena masih berada dalam kecepatan yang cukup tinggi, terantuknya roda depan menyebabkan roda belakang sepeda saya terangkat. Dan yang saya perkirakan selanjutnya, sepeda saya terjatuh dengan sebelumnya melakukan jungkir balik hampir sempurna. Saya sendiri? Saya sepertinya terjatuh dengan kepala terlebih dahulu menyentuh tanah.
Nahasnya, ketika itu saya sedang berteriak karena gembira menang lomba. Tentu saja, teriakan itu berubah menjadi teriakan kepanikan. Mulut saya terbuka lebar, dan alhasil saya jatuh dengan posisi gigi terantuk paving-block. Waktu terasa berhenti.
Sebagai seorang anak jagoan (dan baru menang lomba), saya berdiri tanpa menangis dengan rasa ngilu di mulut. Beberapa saat kemudian, matahari mulai muncul ketika kawan-kawan saya memandang dengan aneh ke mulut saya. Apa pasal?
Secuil bagian dari dua gigi seri atas bagian depan nampaknya telah hilang. Dua gigi seri bagian atas depan itu nampaknya telah patah. Mungkin sekitar seperempat bagiannya. Ketika kami menyelidiki lokasi mendaratnya saya tadi, kami menemukan dua potongan berwarna putih (yang tadinya merupakan bagian dari gigi saya) menancap di paving block. Pandangan saya mulai berkunang-kunang, dan air mata mulai meleleh.
Apakah anda merasa ngilu ketika membaca cerita ini? Percayalah, aslinya jauh lebih ngilu.
Nahasnya (lagi), gigi seri bagian depan itu bukan lagi gigi susu. Mereka sudah gigi tetap. Alhamdulillah, sepertinya potongan itu tidak mencapai saraf gigi, sehingga gigi saya (yang tinggal ¾ itu) masih bisa berfungsi sampai sekarang, meskipun penampakannya tidak seindah dulu lagi.
Saat itupun, saya tidak ke dokter gigi.
Ketiga, kakak saya adalah seorang sarjana kedokteran gigi dari.... sebuah universitas swasta terkemuka di Jakarta yang melahirkan pahlawan-pahlawan reformasi (tidak termasuk kakak saya). Beliau tetap dengan status kesarjanaannya itu, tanpa pernah memperoleh gelar dokter gigi, karena berhenti pada tahun pertama koass. Mengapa berhenti? Karena dia tidak tega ketika harus mencabut gigi pasien.
WHAT?!?!!?
Ya. Itulah kenyataannya. Meskipun saya sudah berusaha mendorong semangatnya dengan mengatakan bahwa ”kalo lu nyabut gigi orang, yang sakit kan si orang itu, bukan elu! Santai laaaah!!!”, tapi tetap saja, rasa ketidaktegaan membuatnya selalu bergetar tak karuan saat memegang alat. Dan itu berbahaya. Maka, ditambah beberapa alasan pribadi lain yang tidak layak dipaparkan di sini, berhentilah dia, meninggalkan IPK 3,7 di S-1 kedokteran giginya nyaris sia-sia.
Tentu anda bertanya-tanya, kalau tidak tegaan, lantas mengapa awalnya kakak saya memilih jurusan kedokteran gigi yang mahal biayanya sehingga membuat saya tidak boleh memiliki cadangan di universitas swasta ketika hendak kuliah dan terancam harus ikut KURSUS JAHIT satu tahun kalau tidak lulus UMPTN (SPMB) itu???? (curhat colongan yang dipaksakan)
Dendam!
Ya... dendam saya rasa adalah motif utama kakak saya. Dendam pada dokter gigi (yang akhirnya tidak terlampiaskan karena dia ternyata tidak tega).
Ceritanya begini...
Waktu itu, ada gigi kakak saya yang harus diservis. Dan kebetulan, ada seorang dokter gigi yang praktiknya tidak jauh dari kampung saya. Maka pergilah saya mengantarkan kakak saya dengan sepeda motor (waktu itu, saya masih punya motor).
Di ruang tunggu dokter gigi, yang terjadi adalah fenomenda yang biasa dipamerkan di film-film komedi Warkop DKI (Dono-Kasino-Indro). Ketika kami di ruang tunggu itu, terdengar jerit ketakutan (atau kesakitan?) dari ruang praktik, dan beberapa saat kemudian terlihat seorang pasien berjalan keluar dengan menahan tangis. Kakak saya mulai ciut nyalinya. Saya tenangkan dia dengan berkata... ”tenang... itu sih orangnya aja, takut sebelom bertanding. Pasti jarang ke dokter gigi!”. Kakak saya mulai tenang. Karena agak bosan menunggu, saya putuskan untuk pulang dengan sebelumnya berjanji untuk menjemput kakak saya sekitar satu jam lagi.
Seperti bisa ditebak, saya akhirnya TIDAK menjemput kakak saya, karena asyik menonton televisi dan saya anggap tempat praktik dokter itu cukup dekat. Naik angkot juga paling lama 10 menit.
Kakak saya pulang sekitar satu setengah jam kemudian. Matanya merah. Tangan memegang pipi yang bengkak. Dan kata-katanya tidak jelas. Setelah sebelumnya melempar saya dengan sendal dan marah-marah karena tidak saya jemput, akhirnya dia mulai bercerita apa yang sesungguhnya terjadi.
Karena kakak saya ternyata masih takut setelah mendengar teriakan di ruang tunggu itu, dia meminta sang dokter gigi membiusnya cukup banyak. Akan tetapi, itu tidak membantu banyak. Servis yang dilakukan dokter gigi itu ternyata tetap menyakitkan. Maka kakak saya tetap keluar dengan menahan sakit dan tidak bisa melepaskan tangan dari pipinya.
Karena saya tidak kunjung menjemput, dan kakak saya mulai tak sabar menahan nyeri, dia memutuskan untuk naik angkot. Nahas, angkotnya penuh dan tidak ada penumpang yang rela bergeser. Karena tidak bisa berdebat (dengan mulut habis dibius), kakak saya duduk di pojok belakang.
Tentu saja, bius itu, selain mengakibatkan mati rasa, juga menyebabkan kakak saya sulit sekali bicara. Ditambah dengan gigi yang nyeri. Maka, ketika sudah mendekati rumah, kakak saya kesulitan untuk berkata ”KIRI BANG!” yang menjadi sinyal untuk turun bagi pak supir. Dengan menahan sakit (dan tangis), kakak saya hanya berkata lirih...”kiwi bang... kiwwwiiii... kiww....”
Seorang bapak baik hati yang duduk di depan kakak saya itu bingung. ”Mau turun ya dek?” katanya. Kakak saya mengangguk lemah. Bapak itu kemudian berteriak pada supir angkot ”woy! Kiri bang! Ni orang sakit gigi nih! Mau turun!! Kiri-kiri!!!”. Kakak saya turun dengan pandangan simpatik dari seluruh penumpang angkot, ditambah perasaan bersalah karena sebelumnya enggan bergeser ketika kakak saya akan naik.
Tentu saja, ketika masuk rumah, alih-alih mengucap salam, kakak saya melempar sendal pada saya seraya berkata... ”HOY! Ahek maham afa luh?? Hahanya mo hemput hua?!?? Hrengsek!! Hahit hau hua!!!” (terjemahan : ”Woy! Adek macam apa luh?? Katanya mo jemput gua?!?! Brengsek!! Sakit tau gua!!!”) sambil menahan air mata..
Dan setelah itu, dia menyimpan dendam dalam hatinya, sehingga memutuskan untuk sekolah kedokteran gigi. Melampiaskan dendam pada pasiennya kelak adalah impiannya. Tentu, kita tahu bagaimana akhirnya kemudian... Ketidak-tegaan melihat derita orang lain memang menjadi ciri khas keluarga kami.
Yah... kira-kira itulah pengalaman saya seputar gigi geligi, dimana saya memang jarang sekali ke dokter gigi (gak nyambung).
Akan tetapi....
Beberapa BULAN terakhir ini, nampaknya gigi saya mulai tidak bisa didiamkan begitu saja. Ada sedikit rasa sakit dan ngilu di gigi bagian kiri bawah dan kanan atas (lengkap sudah). Maka, setelah dipertimbangkan dengan cukup mendalam, ditambah perkiraan akan kesanggupan finansial, saya memutuskan bahwa saya harus ke dokter gigi.
Bagaimana ceritanya?
Apakah kesalahan saya ketika saya tidak menjemput kakak saya itu menjadi karma tersendiri?
Nantikan di episode selanjutnya =))
No comments:
Post a Comment