Showing posts with label Mencari Makna. Show all posts
Showing posts with label Mencari Makna. Show all posts

Wednesday, March 17, 2010

Tips Untuk Bahagia (episode 1)


Apa itu manusia?
Apakah kepintaran saya atau anda cukup untuk menjawab pertanyaan itu?

Kini saya sadari... bahwa kepintaran saya itu hanya ada di masa lalu. Sekarang ternyata saya hanya orang bodoh. Orang bodoh yang menikmati kebodohannya... dan itu membuatnya jadi lebih buruk bukan? :))

Adalah hebat bahwa kita kadang merasa mengenal diri sendiri, dan dengan berbekal itu kita juga merasa bisa mengenal orang lain (lebih parah lagi, merasa mengenal Tuhan). Hebat karena kerumitan manusia itu kita anggap bisa dirangkum dalam beberapa patah kata yang muncul dari benak kita sendiri. Maka ilmu psikologi semestinya adalah ilmu yang hebat. Ilmunya orang-orang pintar. Dan mungkin memang begitu kenyataannya.

Ah, sudahlah, rasanya tak perlu saya memanjang-manjangkan pembukaan yang tak juga penting ini. Yang ingin saya tulis, niatnya, dan yang saya harap bisa membawa manfaat bagi Anda pembaca sekalian, adalah TIPS untuk bahagia, ketika berhubungan dengan orang lain.

Janganlah kiranya “tips” di tulisan hina ini sebagai beberapa lembar uang pecahan mungil yang anda taruh di meja untuk para pelayan setelah anda bersantap di sebuah restoran ternama. Mungkin tidak juga ternama, tapi sekedar untuk menambah gengsi anda saja, bahwa anda berlebih dalam hal keuangan.

Tentunya baik kalau anda memandang “tips” di sini sebagai “kiat-kiat”, “petunjuk”, atau... yah... “saran” saja. Bagaimana anda mengaplikasikannya, tentu tak ada seorang pun, terlebih saya, yang punya kuasa untuk memaksa. Jadi baiklah juga kiranya kalau Anda tidak memandang tips-tips ini sedemikian SERIUS, sampai-sampai anda memandang bahwa saya ini tak ada salahnya (karena kemungkinannya justru adalah bahwa tulisan ini tak ada benarnya, dan sedikit pula faedahnya). Bisa jadi, membaca tulisan ini akan hanya membunuh waktu anda yang berharga itu. Apalagi kalau anda sedang di kantor, motor ojeg, becak, angkot, atau lapak dagang anda, pada saat jam kerja.

Tips yang akan saya berikan adalah mengenai “bagaimana anda harus memandang dan memperlakukan orang lain, supaya anda bahagia”.

Mengapa hanya anda yang perlu dibuat bahagia? Apakah saya memandang bahwa anda sama tidak bahagianya dengan saya? Apalah pula dasar anda mengira bahwa saya tidak bahagia? Siapa yang bergosip tentang saya di telinga anda? Hehe..

Tidak, saudara... Sebenarnya semua tak lebih karena memang anda itu cuma bisa bikin diri anda sendiri bahagia. Tak usahlah jauh-jauh ingin membuat orang lain bahagia. Mereka bisa cari itu bahagia sendiri. Kalau anda memang ingin bermurah hati membuat orang lain bahagia, maka tirulah strategi saya ini, buatlah TIPS untuk orang lain. Biar mereka ikuti, kalau mereka mau percaya.


Tips 1: Jangan cepat adili orang atas satu perbuatan.

Ada pepatah kuno yang bilang bahwa “kemarau satu tahun dapat dihapus hujan sehari”. Apa ini artinya? Bisa jadi (dan bisa jadi tidak), ada 2 pengertian besar. Pertama, seorang manusia yang dikenal selalu berlaku “tidak baik” tiba-tiba mendapat penilaian yang berubah 180 derajat dari orang lain karena melakukan satu perbuatan yang dinilai masyarakat sebagai “baik. Pengertian yang kedua tentu saja sebaliknya, seorang manusia yang selalu berusaha berbuat “baik” tiba-tiba dinilai buruk oleh orang lain karena kedapatan melakukan satu perbuatan yang “tidak baik”. Anda bisa pilih Anda tipe penilai yang seperti apa, walau saya tentu akan lebih menyarankan Anda untuk menjadi tipe yang “tidak terlalu cepat menilai”. Tapi itu terserah Anda.

Percaya atau tidak (karena tentunya belum pernah ada pengangguran yang usil betul meneliti ini), banyak orang yang (menurut saya) memilih pengertian kedua. Sebuah pepatah kuno lain dari negeri 1001 malam (dan siang tentunya, karena siang dan malam itu bergantian) mengatakan bahwa “manusia itu adalah 10 kebaikan dan 1 kesalahan”. Jadilah manusia itu berusaha melakukan 10 kebaikan, supaya 1 kesalahan itu tidak terlalu dipedulikan orang lain. Konsep yang ternyata sangat sulit dipraktikkan, karena pada kenyataannya, yang 1 itu biasanya lebih menarik dan lebih diingat orang lain dibanding yang 10.

Kalau Anda berbuat 1 kebaikan yang kebetulan diketahui oleh orang lain, orang akan berkata “memang sudah begitu seharusnya”. Kalau 2, 3, 4 atau 5 perbuatan, maka orang akan mengira Anda akan punya maksud lain dibalik kebaikan-kebaikan itu. Kalau sudah 6 – 10, orang akan mulai menganalisis mengapa Anda bisa sebaik itu. Tapi kalau yang 1 keburukan itu muncul, Anda bisa ucapkan selamat tinggal pada 10 kebaikan Anda. Orang akan lupakan itu semua, dan yang 1 itu akan jadi hal pertama yang orang ingat dari Anda.

Itulah mungkin yang jadi asal muasal mengapa orang lain akan dapat menyebutkan daftar kekurangan Anda secara rinci, bahkan sedikit dilebih-lebihkan kalau ada dengki. Tapi ketika diminta menyebutkan soal kebaikan, tiba-tiba kata-kata yang tersembur dari itu orang punya mulut biasanya jadi umum-umum saja sifatnya. Maksud saya, kata-kata seperti “baik, perhatian, rajin, setia kawan”, dan sebagainya. Tapi kalau soal kekurangan, itu orang bisa sebut anda “pelit” sambil kasih contoh apa yang Anda “pernah” lakukan sehingga Anda dianggap layak mendapat predikat itu.

Ya tak perlu juga kemudian anda sebut daftar peminta-minta yang pernah mendapat sedekah dari Anda barang 50 atau 100 ribu. Nanti jadi bertambahlah alasan buat orang sebut anda “sudah pelit, riya pula. Manusia gila pujian, pamrih saja yang diincarnya”.

Nah, maka tips pertama dari saya adalah: “JANGAN seperti itu!
Mudah bukan? Maksud saya bukannya jangan pelit dan jangan riya. Cukuplah kitab-kitab suci saja yang melarang anda untuk itu. Maksud saya adalah, janganlah kiranya anda adili seseorang karena satu perbuatan yang anda tahu saja. Karena bisa terkejut anda kalau tahu apa saja yang orang itu perbuat tapi anda tidak tahu. Janganlah nilai orang itu baik atau buruk, karena biasanya orang itu punya dua-duanya. Kalau hanya baik, berarti malaikatlah dia. Kalau hanya buruk, berarti setanlah dia. Kita bicara manusia, dan tak layaklah kita ini mengadili sesama kita (kecuali berdasarkan hukum pidana/perdata yang sudah jelas kata orang-orang pintar harus diikuti supaya tertib dan teratur kehidupan ini).

Sekarang, bagaimana kalau ada orang yang menilai kita buruk? Langkah terbaik menghadapi penilaian orang lain terhadap kita yang seperti ini adalah diam, dan menanyakan pada diri Anda sendiri, “apakah memang betul kata itu orang?” Kalau kita rasa-rasa betul, ya kita bikin lebih baik lagi diri kita, tapi diam-diam saja. Biar saja itu orang nilai kita buruk. Nanti kalau kita sudah jadi baik, baru tahu rasa dia. Tapi kalau rasa-rasanya penilaian tadi salah, yasudah, toh dia yang salah, bukan kita. Biar nanti Tuhan yang urus.

Lantas bagaimana kalau ada orang menilai kita baik? Langkah terbaik adalah tertawa dalam hati, karena berarti orang itu bisa jadi telah TERTIPU oleh beberapa kebaikan yang Anda lakukan (dan dia tahu), padahal niatan Anda saat melakukannya mungkin tidak semulia itu. Toh kalau ternyata itu membawa kebaikan, kita bisa berucap alhamdulillah. Segala puji untuk Allah. Bukan untuk anda. Karena kalau tidak ada Allah, tidaklah bisa juga anda berbuat itu kebaikan. Bahkan mungkin anda juga tidak bisa ada di kehidupan ini.  Tak perlulah anda bilang bahwa dia salah menilai anda. Sudah dinilai baik kok malah mau dinilai buruk...
Tapi ya tentunya, hati-hati juga dengan penyakit yang namanya sombong. Bisa celaka nanti anda, dan tak bisa masuk surga.


Tips 2: JANGAN membuat-buat alasan, dan jangan paksa orang mengerti anda

Sama seperti kita yang terlalu malas untuk mau mengerti orang lain, orang lain pun sebenarnya sama. Pandangan tentang anda yang sudah terbentuk di benak seseorang sangat sulit untuk bisa diubah hanya dengan usaha Anda memberikan alasan mengenai apa yang Anda pernah lakukan.

Bagaimana sebenarnya orang lain itu menilai kita?
Tidak lain, berdasarkan pemahaman mereka sendiri, berdasarkan sudut pandang MEREKA terhadap apa yang KITA lakukan. Orang lain tidak peduli pada niat Anda, atau pada alasan Anda, atau pada latar belakang yang menyebabkan Anda berlaku seperti itu. Orang lain hanya peduli pada apa yang mereka lihat, karena memang hanya itu yang bisa mereka mengerti.

Maka sebenarnya kegiatan penyampaian alasan pada orang lain itu hanya akan sia-sia belaka saja. Mereka bisa seolah mendengarkan Anda, tapi sebenarnya penghakiman sudah diberikan dan kemungkinan untuk merubahnya bisa jadi lebih kecil dari ujung rotring. Karena apapun alasan Anda, untuk mereka itu tidak menarik, dan justru akan menimbulkan anggapan bahwa Anda hanya membual saja, supaya Anda tidak terlihat terlalu buruk di mata mereka. Tambah buruklah kita jadinya. Sudah buruk, suka membual pula.

Jadi kalau Anda ada salah, yasudah, akui saja. Kalau memang Anda punya alasan, ungkapkan saja, tapi jangan dipaksa-paksa orang lain percaya. Kita jujur saja pada diri sendiri. Perkara orang akan percaya pada alasan itu, ya itu terserah dia. Yang penting kita sudah ungkapkan, tanpa ada paksaan.

Bisa saja kita melakukan... atau tidak melakukan... sesuatu itu tanpa alasan sama sekali. Murni karena Anda usil saja, atau karena malas. Tidak belajar atau tidak mengerjakan tugas dari guru misalnya. Yakin betul saya, bahwa kalau guru anda tanya kenapa itu PR tidak dibuat dan anda jawab karena malas, 100% dia akan langsung percaya. Hebat kan?

Tapi kalau anda bilang karena mati lampu, karena anda cari uang buat makan, karena pulpen anda raib, dan lain-lain sebagainya, yakin betul saya, guru anda akan bantah dan bilang kalau itu semua alasan klasik sejak zaman kuda masih jadi alat angkut satu-satunya, yang semestinya sudah bisa diantisipasi oleh seorang yang terpelajar. Disebutnya pula kita tukang bual. Atau bahkan... disebutnya kita itu memang PEMALAS.

Lihat kan? Sama saja kan hasilnya?

Karena apapun alasannya, kejadiannya ya memang hanya satu itu, bahwa PR-nya tidak anda rampungkan. Jadi ya tidak perlulah alasan-alasan itu. Bilang saja anda tidak buat. Titik tanpa koma. Kalau guru anda tanya “kenapa?”, barulah anda jawab yang sejujurnya. Jangan dibuat-buat.
Tapi kalau hasilnya anda disuruh berdiri di muka kelas, jangan coba-coba salahkan saya atau tulisan ini. Saya tak akan peduli.

Begitu juga kalau Anda sudah punya pasangan, lalu jalan dengan orang lain (yang berjenis kelamin berbeda dengan anda tentunya). Besar kemungkinan pasangan Anda sudah menilai anda tukang serong, sebelum dia bertanya apa alasan Anda (kalau memang dia masih mau ajak anda bicara). Maka jawaban-jawaban semacam “Ah, itu teman kerja saja”, “eh, kebetulan saja searah”, “itu teman dekat saya, bahkan sebelum kenal kamu. Tak ada kenapa-kenapa kok” itu tidak akan ada gunanya.

Prinsipnya adalah... “lebih mudah Anda berusaha mengerti orang lain, daripada Anda berusaha membuat orang lain mengerti Anda”. Jadi, kegiatan berusaha membuat orang lain mengerti itu tidak akan membuat anda bahagia. Orang tetap akan kasih anda cap seperti yang dia pikirkan saja, dan bertindak berdasarkan pemahaman dasarnya itu.

Misalnya anda ada salah, terus coba-coba jelaskan bahwa maksud anda tidak begitu, dia tetap akan bilang sakit dia punya hati, bahwa alasan anda itu kadang-kadang saja dia percaya, tapi sakit hatinya itu lebih besar, jadi dia tetap akan meninggalkan anda. Peduli amat perasaan anda bagaimana.

Jadi anda akan lebih bahagia kalau sejak awal anda sudah berusaha mengerti bahwa karena kesalahan anda itu dia meninggalkan anda, lalu berteman dengan orang lain. Terimalah saja bahwa anda itu orang buangan. Toh menjadi buangan juga tak buruk-buruk amat, selama anda tahu dan yakin bahwa kebenarannya tidak seperti itu. Itu akan selamatkan anda (setidaknya) dari kekecewaan merasa dibuang karena tidak dipercaya.


TIPS 3: JANGAN berharap pada manusia, dan JANGAN pegang teguh janji atau omongan orang

Itu juga akan bikin anda selamat dari kecewa. Berbahagialah pada yang anda dengar pada saat itu diucapkan oleh itu orang, tapi berbahagialah di hari depan dengan bersiap-siap kalau saja itu orang ingkar.

Kata seorang bijak di jaman dulu (perkaranya, konon ini orang bijak kemudian menjadi Nabi, sehingga tambah besarlah alasan untuk saya percaya, tidak bisa tidak): “jangan berharap pada manusia, engkau pasti akan kecewa. Tapi berharaplah pada Allah saja, dan engkau pasti tidak kecewa”.

Itu kata-kata bijak ternyata memang bijak betul, 100%. Soalnya, kalau manusia itu mudah sekali tidak punya itu yang kata orang pintar namanya konsistensi. Sudah begitu, selalu punya pula dia alasan untuk kita harus mengerti.

Kasih contoh saja supaya anda lebih mengerti kata-kata orang bodoh ini. Tapi ingat! Ini contoh saja. Bisa jadi tidak ada yang nyata-nyata seperti ini. Kalau ada, itu kebetulan saja yang akan saya bilang tidak disengaja. Hanya dibuat-buat saja.

Kita ambil contoh perkara cinta, karena itu juga tema yang katanya universal dan jadi tema sekira 83% dari film-film yang ada di jagat dunia ini.

Sebut saja anda dulu punya cinta dengan lawan jenis. Anda bilanglah cinta dia selamanya (walaupun anda tidak tahu berapa lama selamanya itu sebenarnya), dan disebutlah oleh dia kalau dia juga cinta anda selamanya, karena tidak lebih waktu itu dia ingin jadi cermin saja.

Beberapa tahun kemudian, pada satu kesempatan, anda bilanglah lagi perkara cinta-cintaan itu. Anda tidak ajak dia untuk kawin, tapi sekedar ingin tahu saja bagaimana nasib itu cinta. Tapi dia bilang mungkin sekarang dia sudah tidak seperti dulu. Heranlah anda. Jatuh sakit hati anda. Patah bungkuk tulang punggung anda.

Disebutnyalah beberapa pertimbangan. Katanya mungkin dulu itu dia begitu karena emosi saja, dan dia pikir kita juga waktu itu sedang emosional saja (meskipun anda selalu merasa bahwa waktu itu anda serius, dan tidak pernah lebih serius dari itu), karena situasinya sedang emosional seperti di sinetron-sinetron di TV swasta. Atau disebutnya bahwa cinta anak muda itu kata orang namanya cinta monyet saja. Makin besar dia merasa jadi manusia seutuhnya.

Nah! Lihat itu contoh!
Tidak saja anda diingkari, tapi disebutnya juga kalau anda emosional dan tidak serius. Lebih parah lagi, disebutnya juga anda itu monyet. Disalahkannya anda karena belum juga anda menjadi manusia, karena manusia itu harusnya bisa mengerti keadaan dunia.

Atau kita ambil contoh tukang jahit, yang janji pada anda untuk ambil anda punya celana dalam 5 hari setelah anda taruh kain di dia. Maka datanglah anda 5 hari kemudian, tapi ternyata itu kain belum juga berbentuk celana, masih bentuk sarung.

Si tukang jahit tak kalah sengit. Disebutnya anda mestinya telpon dulu pada hari ke-4, kabari anda akan datang. Disebutnya tiba-tiba dia jadi banyak pesanan, rezekinya sedang lancar, tapi waktu pengerjaan jadi lebih lama. Anda tetap heran karena pada intinya anda pesan celana itu untuk 5 hari, karena pada hari ke-6 anda harus ke rumah teman yang sedang pesta khitanan. Tidak mungkin teman anda yang dikhitan tapi anda yang tidak pakai celana.

Nah! Ini contoh baik juga! Celaka anda!
Tidak hanya celana anda belum jadi, tapi disebutnya juga anda itu salah karena tidak telpon. Dia ungkit-ungkit pula kenapa orang berpenghasilan lebih seperti anda bisa tidak punya pulsa (karena telpon itu harus pakai pulsa, tidak hanya pakai telpon). Lebih parah, disebutnya anda dengki karena tidak bisa terima kalau dia sedang berbahagia atas dasar rezekinya dalam 5 hari terakhir jadi lebih lancar. Ini parah betul, karena setelah keterlambatan itu, anda tetap harus bayar harga sama setelah jadi itu celana.

Itu contoh untuk orang-orang yang anda sudah kenal ya. Kalau yang belum bagaimana? ya bisa jadi lebih parah lagi. Saya hampir tidak bisa berhenti berpikir (kecuali kalau saya sedang memikirkan hal lain, karena manusia seperti saya ini memang selalu banyak pikiran sampai botak, supaya terlihat pintar, padahal tidak penting juga pikiran-pikiran itu) mengenai Obama yang katanya presiden amerika itu. Kok banyak betul orang yang berharap sama dia ya? Banyak yang sudah kenal baik rupanya? Memang dia siapa sih? Saya lebih percaya pada tukang pangkas rambut saya bahwa dia akan bikin betul rambut saya yang rancung ini, dibanding percaya pada obama. Tapi lucunya, jauh lebih banyak orang yang jilat-jilat itu Obama daripada jilat tukang cukur saya. Aneh.
Mungkin dia pakai susuk ya? Dukunnya tentu tokcer betul. Nah... ini dia contoh omongan orang tidak terpelajar. Saya cuma dengar-dengar saja. Itu bukan omongan saya ya.

Nah, kalau soal percaya pada Allah... nampaknya itu urusan ahli-ahli agama saja yang bisa jelaskan pada Anda. Atau bisa jadi kemungkinan besarnya adalah Anda lebih ahli dari saya.

Jadi prinsip dari tips kali ini supaya anda bahagia adalah: "jangan anda ingkar dari omongan anda (supaya anda tidak bikin orang jadi tidak bahagia, karena bikin orang bahagia itu mestinya jadi sumber bahagia anda juga), dan jangan terlalu pegang teguh omongan orang lain." Ya pegang saja, tapi jangan teguh-teguh. Percaya boleh, tapi jangan lebih dari percaya anda pada Tuhan, karena yang janji itu hanya manusia. Perkaranya, kecil juga kemungkinan itu orang peduli kebahagiaan anda kalau dia ingkar janji. Dikiranya anda manusia yang selalu mengerti. Kalau tidak mengerti, ya itu urusan anda, dan jadi kesalahan anda.


Tips berikutnya adalah....

Eh... aduh... kok sudah panjang betul ini tulisan ya?

YA! Anda benar! Ini artinya tidak lebih daripada bahwa kemampuan saya membual sudah sedemikian hebatnya. Tapi tidak mengapa. Anda harus coba sekali-sekali. Membual itu menyenangkan. Percayalah!

Sebetulnya (dan memang sebetul-betulnya), tips-tips dari saya masih banyak. Tapi untuk menghemat waktu anda, baiklah kiranya saya batasi sampai di sini dulu. Ya, saya tau, tulisan-tulisan saya banyak yang bersambung, tapi sedikit juga yang akhirnya dibuat sambungannya itu. Kalau anda merasa begitu, silakan dilihat tips nomor 3 itu tadi. Meski begitu, untuk yang ini, sepertinya akan saya sambungkan, karena saya begitu berhasrat untuk memberi tips-tips ini... seolah akan ada yang percaya.




Baiklah kalau begitu, sampai jumpa lagi.


NB: Gambar diambil dari (tanpa izin, maaf):
1. http://www.abc.net.au/news/stories/2008/05/29/2258813.htm?site=news
2. http://kingstonyouthgroup.blogspot.com/2009/03/judge-judy-aint-got-nothing-on-me.html
3. http://portalbugis.wordpress.com/2009/06/17/alasan-berbohon/
4. http://forums.walesonline.co.uk/viewtopic.php?f=8&t=7474&start=150

Friday, November 20, 2009

Manusia itu Kontekstual, Gender itu Berpengaruh, Tampang Bagus itu Sebuah Keuntungan

Teringat waktu Agus Ringgo dulu pernah diwawancara di salah satu acara gosip.... (bukan berarti saya suka nonton acara gosip. Sebutlah waktu itu cuma saluran itu yang bisa ditangkap dengan baik. Saluran lain banyak semutnya)

Waktu itu dia ditanya soal Christian Sugiono yang merupakan teman baiknya. Kata Agus Ringgo kira-kira seperti ini:

"Susah tau jadi orang jelek yang temenan sama orang ganteng. Gua kan pernah tuh, pengen jatohin namanya si Ian (C. Sugiono). Gw bilang aja ke cewek-cewek kalo si Ian tu takut kecoak. Eeeeh, kata mereka malah "ooooo, co cweeeet (so sweeet), lucu yah, ternyata takut kecoak. Hihi. Nanti gw lindungin deh", sambil pada senyum-senyum. Nah, tau gitu, gw bilang aja, gw jg takut kecoak loh. Eeeh.. kata mereka malah "ih, pengecut! cowok apaan luh? udah jelek, sama kecoak aja takut! dasar cowok lemah!". Nah, itulah bedanya orang ganteng sama orang jelek sama gw."

Kalau dipikir-pikir... memang benar juga ya.

Kita ini manusia kontekstual. Kita menilai berdasarkan konteksnya. Apakah itu konteksnya kondisi kita, kondisi yang dibicarakan, atau apapun. Yang jelas, tanpa sadar, kadang kita memang selalu punya standar ganda atas segala sesuatu.

Mari kita lihat contohnya:

1. Tentang mata keranjang:
- Seorang pria yang sudah punya pasangan melihat seorang wanita lewat, lalu dia berkata ke seorang teman wanitanya: "wanita itu... cantik juga ya...". Si temannya itu akan bilang "dasar lu mata keranjang... inget udah punya pasangan!"
- Seorang wanita yang sudah punya pasangan melihat seorang pria lewat, lalu dia berkata ke seorang teman wanitanya: "Cowok itu... lucu yah... hihihi". Si temannya itu akan bilang "Iya yah... keren abish", lalu berjalan lagi sambil sekali-sekali membicarakan apa saja yang bisa dilihat dari si pria ganteng itu.

2. Tentang obsesi cinta:
- Seorang pria bertampang "biasa" punya obsesi dan perasaan yang begitu besar pada seorang wanita, meskipun keadaannya tidak memungkinkan untuk dia bisa bersama si wanita itu (cinta ga kesampaian ceritanya). Teman-temannya akan bilang: "Posesif, obsesif, psycho... ati-ati luh, ntar malah jadi orang stress. Ntar malah bikin macem-macem lagi luh. Udalaaah..."
- Film Twilight, Shakespeare in Love, Titanic, Romeo and Juliet, City of Angels, Butterfly Effect: "Ooo.... co cweeeet.... meskipun berat tapi mereka tetap pertahankan cinta mereka... cinta itu memang harus begitu... oh... seandainya...". Mungkin karena kalau di film tampang para pemeran prianya ganteng-ganteng ya? Orang ganteng kan ga mungkin psycho...

3. Tentang rahasia:
- Seorang pria memendam sebuah rahasia yang fatal, sepanjang hidupnya. Komentar: "Gila ya tu orang... Bisa-bisanya ga bilang soal itu. Padahal fatal banget. Tega banget dia."
- Seorang wanita memendam sebuah rahasia yang fatal, sepanjang hidupnya. Komentar: "Wanita itu memang berjiwa besar. Hatinya mampu memendam rahasia itu meskipun sudah sekian lama...", "A woman's heart is a deep ocean of secrets..." (Rose, dalam Titanic)

4. Tentang kekaguman terhadap fisik:
- Seorang pria mengatakan penilaiannya mengenai seorang wanita, kepada teman wanitanya. Dia bilang: "Eh, si X... badannya bagus yah. Cantik bgt pula mukanya. Rambutnya... pff... suka deh gw". Si teman wanita akan bilang: "Ih, fisik banget sih lu? Dasar dangkal!"
- Seorang wanita mengatakan penilaiannya mengenai seorang pria, kepada teman wanitanya. Dia bilang: "Wow, si Y.... keren bgt. bodinya bagus, bajunya modis. cool bgt penampilannya." Si teman wanita bilang: "Iya ya... hihihi... keren banget. Gw jg suka ngeliatnya. Yaaah, walau bagaimanapun kan yang pertama keliatan tu kan tampang fisik. hehe."

5. Tentang merokok:
- Seorang wanita merokok. Pria yang melihat akan bilang ke temannya: "Ga suka gw ngeliat cewek ngerokok. Kaya bukan wanita baik-baik..."
- Seorang pria merokok. Pria yang melihat akan bilang: "Bagi dong jek!"

6. Tentang cowok pendiam:
- Seorang pria bertampang biasa, bersifat pendiam, penyendiri: "Dasar kuper... pasti malu sama tampangnya sendiri, ato stress karena ditolakin mulu sama cewek. Jangan-jangan psikopat."
- Pria ganteng pendiam, penyendiri: "Wow... cool... kaya Rangga AADC. Pasti aslinya romantis kalo sama cewek. Waaah... pasti dah banyak cewek yang ditolak tuh"

7. Tentang cowok berwajah angkuh:
- Seorang pria bertampang biasa, kadang terlihat angkuh dan pendiam: "Udah jelek, judes lagi. Cih!"
- Seorang pria ganteng, kadang terlihat angkuh dan pendiam: "hmm... Misterius... Menantang..."

8. Tentang name-tag (ini curhat colongan):
- Seorang pria yang tampangnya tidak pernah mendapatkan pujian yang tulus masuk kantor tempat dia bekerja selama HAMPIR 5 TAHUN TERAKHIR. Seorang satpam berwajah garang dan sangar dengan judes membentak: "Mau kemana mas?" "Pegawai sini?" "Mana nametag-nya?" "Besok pakai ya!"
- Seorang wanita yang tampangnya banyak mendapat pujian (tapi kadang agak stress kalau dekat-dekat saya, karena saya termasuk orang-orang yang berpendapat sebaliknya) masuk kantor yang sama, dimana dia sendiri belum genap setahun bertempat di situ, dan sebenarnya tidak punya nametag. Satpam yang sama menghadang, lalu berkata: "Selamat pagi mbak..." (dengan senyum manis di wajahnya)

9. Tentang pilihan:
Alkisah, ada pasangan pria-wanita, berselisih paham. Si pria punya pilihan sendiri, si wanita punya pilihan lain. Pilihan mana yang kemudian disepakati keduanya?
- Pilihan si pria yang diambil: "Dasar cowok egois! Cih!"
- Pilihan si wanita yang diambil: "Karena wanita ingin dimengerti..."

10. Tentang, tantangan, hambatan, atau penundaan:
- Dalam kehidupan nyata: "Sudahlaaah, terima kenyataan. Memang tidak akan bisa kok. Tentu ada jalan yang lebih baik"
- Ketika nonton film, di bagian akhir, dan ceritanya mengambil hikmah dari film: "Oh... kisah yang indah... Meskipun jalannya berliku tapi dia tetap yakin, dan dalam cara yang tidak disangka-sangka akhirnya berakhir bahagia. Itulah kenapa kata orang: 'jangan takut untuk bermimpi'"
Mungkin karena di film, orang bisa lihat ending-nya ya? Sementara di kehidupan nyata, masa depan itu misteri, tapi kita sendiri yang suka meyakinkan diri sendiri akan ending yang buruk...



Ya begitulah...
Ini hanya sekedar 10 buah contoh. Saya yakin Anda pasti punya sekian juta contoh lain... karena kalau dipikir-pikir, manusia memang melihat sesuatu itu tidak saklek. Semua sesuai konteks yang dihadapi saat itu. Itulah mengapa, contoh-contoh yang tersaji di atas pun sebenarnya tidak lebih dari sebuah pemikiran pragmatis, karena tentu ada banyak sekali alasan (atau pembenaran) yang bisa mempengaruhi sikap, tanggapan, dan jawaban seseorang dalam kasus yang dihadapinya. Dengan begitu, sebenarnya tidak ada itu yang namanya "prinsip". Saya pun ternyata tidak punya itu prinsip, karena saya pun melihat dan menyikapi sesuatu sesuai konteks yang saya hadapi saat itu. Prinsip itu kan cuma panduan. Yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari biasanya memang cuma pembenaran. Ya tapi... saya terima itu. Saya baru sadar kalau dari dulu saya memang suka sekali membuat pembenaran. And it feels good =p


Sekali-sekali... tidak ada salahnya berpikir sederhana. Untuk senang-senang saja =))


Sudahlah wan... STOP BABBLING!!!


Mari kita melihat bintang-bintang...

Monday, October 26, 2009

Tiga Batang Rokok dan Segelas Besar Kopi-Moka


And here I am... having a date with myself...

Makasih Nov, dari dulu saya emang ingin coba saran kamu ini.
Ya tidak sepenuhnya sendiri juga sih. Ada teman-teman, tapi saya memilih duduk sendiri supaya bisa merokok... dan menulis ini dengan tenang.

Ada baiknya juga berkesempatan sendiri dalam keramaian seperti ini. Mengizinkan kita untuk berpikir dengan lebih tenang, lebih jernih. Kalau sendiri yang memang sendiri, kadang lintasan-lintasan pikiran yang mengganggu itu justru lebih kuat. Kalau ada sesuatu yang kurang, itu adalah alunan musik hidup yang tadinya saya harapkan di tempat ini. Baru mulai minggu depan katanya.

Lantas apa kiranya yang membuat saya ingin melakukan hal ini? Tentunya, ketika alasan itu tidak bersifat begitu pribadi, saya tidak membutuhkan kesunyian untuk berkontemplasi, dan bisa dengan seenaknya berbagi bersama teman-teman. Maka mungkin sekedar apa yang saya pikirkan saja. Ini tentang hidup -tentu saja, seperti biasa- dan apa yang bisa dilakukan hidup kepada kita, atau apa yang bisa kita lakukan terhadap hidup.


Semua kisah tentang hidup tak pernah mengenai hasil atau resultan akhir yang didapat. Karena hasil baru akan didapat ketika hidup itu berakhir. Dan itu berarti cerita tentang kematian.

Hidup selalu mengenai proses. Mengenai bagaimana dia dijalani. Mengenai kenyataan, mengenai harapan, mengenai bagaimana menghadapi kenyataan untuk membangun harapan.

Kita hidup di sebuah bumi yang berputar. Di sebuah massa cair dengan inti yang cair, yang begitu rapuh tapi kita tidak ada pilihan selain hidup diatasnya karena suatu gaya tak kasat mata yang kita sebut gravitasi. Bumi itu berputar bersama planet-planet lain mengitari matahari dengan kecepatan dalam sebuah galaksi yang kita sebut Bima Sakti. Bima Sakti bersama galaksi-galaksi lain juga berputar mengelilingi sesuatu dalam suatu sistem yang sudah terlalu besar untuk kita bayangkan. Dan mungkin, sistem itu juga berputar dalam suatu sistem lain yang jauh lebih besar.

Bila kita bayangkan itu semua... bila kita bayangkan seluruh sistem itu... dan menyadari bahwa kita adalah sebuah partikel yang begitu kecilnya sehingga mungkin tidak berarti lagi... maka eksistensi kita menjadi sesuatu yang absurd.

Kita hidup dalam pemahaman kita bahwa segala sesuatu terjadi untuk kita, karena kita, dan oleh karenanya kita merasa berhak untuk berpikir hanya dalam skala itu. Yang kita kadang tidak menyadari adalah bahwa dalam hidup itu kita sebenarnya hanya selalu berusaha meraih... menjangkau... dan mengharapkan sebuah ketidakpastian suatu saat akan memihak pada kita. Terlihat sia-sia. Tapi kadang memang hanya itu yang bisa kita lakukan, setidaknya untuk bangun setiap hari dan merasa bahwa hidup kita ini memang ada artinya.

"Sometimes we just reach out, and expect... NOTHING... in return." (Dari film “The Martian Child”)

Dalam konteks besar ini jugalah kemudian segala sesuatu yang kita pikirkan, yang kita rasakan, kita jalani, menjadi sesuatu yang sebenarnya tidak berarti. Tidak signifikan dalam keseluruhan sistem itu. Apapun yang kita jalankan itu, segala emosi, semua kebahagiaan, kesedihan, harapan, amarah, kasih sayang... apa artinya itu?


Saya... semestinya... telah belajar bahwa amarah hanya akan membawa kepahitan bagi hidup kita sendiri. Tapi toh saya tetap tidak bisa menghindari kenyataan bahwa dalam jalan ini, kadang kemarahan dan kesedihan adalah bagian daripadanya. Adalah naif apabila saya bilang bahwa pengalaman hidup pada masa lalu bisa membuat kita tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa kini, atau masa depan. Itu tetap terjadi. Marah masih menjadi bagian dari karakter saya. Ya perkara apakah kemudian saya bisa menjalaninya dengan lebih baik atau tidak, itu mungkin hal yang berbeda.

Tapi kadang kita memang harus menerima bahwa sebuah sansak adalah salah satu penemuan paling bermanfaat dalam kehidupan umat manusia. Kesadaran bahwa naluri untuk menghancurkan itu kadang harus disalurkan, dan bahwa dendam itu kadang memang harus terbalas suatu saat nanti. Toh kehancuran yang bisa dihasilkan tangan ini tidak akan cukup kuat untuk merusak keseluruhan sistem tatanan dari apa yang kita sebut alam semesta.

Dalam kadar tertentu, itu lebih menyehatkan dibanding memendam amarah dan membiarkannya suatu saat lepas tanpa kendali. Walaupun kadar itu sendiri tentu besarnya relatif untuk setiap orang.

Pada akhirnya kita hanya akan bisa membiarkan diri kita sendiri, dan orang lain, berpikir masing-masing, dan merasa masing-masing. Ya tentunya suatu saat kita bisa menghibur orang lain dengan kebenaran, agar semua pikiran buruk dan spekulasi di kepala orang itu bisa tereduksi. Karena, spekulasi mengenai berbagai macam kemungkinan adalah hal terburuk yang bisa ada di kepala seseorang. Spekulasi mengenai sesuatu yang diluar pengetahuan membuat kita tidak bisa tidur, bertanya-tanya mengenai mana yang benar itu sebenarnya. Tapi kadang kita membiarkan orang itu berspekulasi, karena kita memang takut mengatakan kebenaran, atau murni karena kita memang ingin menambah sedikit penderitaan di kepala orang lain.


You are what you think”, kata orang-orang sebagai penyederhanaan dari apa yang kita sebut sebagai hukum ketertarikan. Dan pikiran buruk yang melintas dalam suasana penuh amarah adalah sesuatu yang lebih cepat mewujud dibanding kebaikan, kata orang-orang sebagai pembenaran bahwa kadang tidak segala sesuatu berjalan sesuai keinginan kita. Tentunya, ketika itu terjadi, kita akan menyesal begitu rupa mengapa keburukan itu sampai pernah terlintas dalam pikiran kita, dan menyalahkan diri kita sendiri ketika keburukan itu mewujud jadi nyata.

Padahal adalah wajar kalau kita tidak mendapatkan segala sesuatu sesuai keinginan kita. Hidup memang dibangun dari ketidakadilan-ketidakadilan. Begitu tidak adilnya sehingga dalam skala yang lebih luas, semua orang mendapat ketidakadilan yang sama, dan kadang keadilan yang sama, sehingga semuanya menjadi adil. Ya memang dalam kasus-kasus tertentu, pada suatu saat dua orang berbagi ketidakadilan dan saling menguatkan satu sama lain, tapi yang satu kemudian meninggalkan yang lain ketika keadilan datang padanya. Well, that’s just life. Dan kadang, orang yang ditinggalkan memang dituntut untuk bisa mengerti bahwa dalam skala yang lebih luas, tentu semuanya ada alasannya, dan masih dalam taraf adil.

Kita tidak bisa menuntut dia yang mendapat keadilan untuk membangun pengertian yang sama untuk orang yang dia tinggalkan, karena memang tidak ada alasan untuk dia memikirkan hal itu. Dia akan bisa mengucapkan hal yang sama: “Well, that’s just life”. Tapi tentunya dengan standar kelegaan yang berbeda.

“Sansak” kemudian memang menjadi penemuan yang hebat untuk menghadapi kasus semacam ini. Blog ini pun akhirnya menjadi sansak saya.


Maka, kencan dengan diri sendiri ini bisa kita tutup dengan sebuah perintah... “Enough babbling!”

Mari kita memandangi bintang-bintang...



Ket.: Gambar diambil dari http://www.stfc.ac.uk/PMC/PRel/STFC/Universe.aspx?pf=1

Wednesday, October 07, 2009

I Walk The Line

(Mohon maaf untuk para pembaca yang sebelumnya mengakses tulisan ini tapi banyak yang tidak terbaca. Sudah saya perbaiki. Semoga sekarang terbaca semua. Terima kasih.)



I Walk The Line

- Johnny Cash (1955) -

I keep a close watch on this heart of mine
I keep my eyes wide open all the time
I keep the ends out for the tie that binds
Because you're mine, I walk the line

I find it very, very easy to be true
I find myself alone when each day is through
Yes, I'll admit that I'm a fool for you
Because you're mine, I walk the line

As sure as night is dark and day is light
I keep you on my mind both day and night
And happiness I've known proves that it's right
Because you're mine, I walk the line

You've got a way to keep me on your side
You give me cause for love that I can't hide
For you I know I'd even try to turn the tide
Because you're mine, I walk the line

I keep a close watch on this heart of mine
I keep my eyes wide open all the time
I keep the ends out for the tie that binds
Because you're mine, I walk the line



Dari Wikipedia:
"I Walk the Line" is a song written by Johnny Cash and recorded in 1956. A 1970 movie drama of the same name, starring Gregory Peck, featured a soundtrack of Johnny Cash songs including the title song. In 2005, a biographical film entitled Walk the Line was produced starring Joaquin Phoenix as Johnny Cash and Reese Witherspoon as June Carter, directed by James Mangold.

Lebih lengkapnya, bisa dibaca saja di: http://en.wikipedia.org/wiki/I_Walk_the_Line

Siapa (mendiang) Johnny Cash, bisa dibaca juga di: http://en.wikipedia.org/wiki/Johnny_Cash

Saya suka Johnny Cash, terutama lagu ini. Lagu-lagun
ya sederhana, dengan lirik lugas dan tajam, selalu diilhami dari apa yang dia alami dan rasakan. Lirik yang emosional di setiap baitnya, terutama bila kita mendengarnya dan berbagi perasaan yang sama (seperti saya waktu membuat postingan ini misalnya). Lirik memang kekuatan utama lagu-lagunya, disamping aksi panggung yang, pada waktu itu, memukau. Dari lagu-lagunya kita mendapat kesan bahwa dia sudah merasakan macam-macam. Ring of Fire adalah salah satu lagu lainnya dari Cash yang saya suka. Johnny Cash menjadi salah satu artis yang musiknya kelak membawa perubahan revolusioner pada musik dunia. Gayanya membawa gitar di punggung dengan terbalik bahkan menjadi ikon tersendiri sampai sekarang.

Ada banyak versi dari lagu ini. Saya sertakan beberapa v
ersi yang saya suka:
  1. Versi Johnny Cash muda (23 tahun) waktu menyanyikan lagu ini pada tahun 1956, bisa dilihat di: http://www.dailymotion.com/video/x1o9sk_young-johnny-cash-i-walk-the-line_music
  2. Versi dinyanyikan ulang oleh grup band Live sekitar tahun 2005an. Versi yang cukup kuat. Saya lebih suka versi ini dibanding versi aslinya. Bisa dilihat di: http://www.youtube.com/watch?v=9_daJjRrv0A
  3. Versi dinyanyikan oleh Chris Daughtry pada American Idol tahun 2006. Versi yang paling saya suka. Sangat kuat. Ketika dia membawakan lagu ini, saya berpendapat dia seharusnya bisa jadi juara tahun itu. Bisa dilihat di: http://www.youtube.com/watch?v=vkbK175J5oA


Judul lagu ini juga menjadi judul film tentang biografi Johnny Cash muda. "Walk The Line" (2005) dibintangi oleh Joaquin Phoenix sebagai Johnny Cash dan Reese Witherspoon sebagai June Carter yang kelak menjadi istri Cash. Film ini mendapat 5 nominasi oscar, tapi hanya 1 piala yang akhirnya didapat, yaitu pada kategori Best Actress. Trailer filmnya bisa dilihat di:http://www.youtube.com/watch?v=GsvZGwd8vrI

Mengenai arti dari frase "walk the line" sendiri, ada banyak perdebatan disini. Banyak pendapat mengatakan bahwa frase ini berarti "melakukan hal yang benar", berjalan di jalan yang "lurus", mempertahankan sebuah keseimbangan yang rapuh antara satu sisi ekstrim dengan sisi ekstrim lainnya. Dalam konteks lain, frase ini kadang juga berarti "menjalani hukuman", dalam pengertian menjalani proses pengadilan atau menjalani status sebagai terdakwa atau "rela" masuk penjara. Pendapat lain yang lebih romantik menghubungkan frase ini dengan komitmen. Komitmen dalam hal percintaan misalnya, dimana seseorang memantapkan komitmennya untuk mencintai seseorang dan rela menjalani "apapun" untuk mempertahankan kesetiaannya pada cinta itu. (aiiiiih... romantik sekali kan pemaknaannya?)

Untuk Johnny Cash sendiri... nampaknya bagi dia lagu ini bisa berarti semuanya. Ini adalah salah satu lagu hit pertama dia, dan masuk dalam album pertamany
a.

Melihat sejarahnya (dihubungkan dengan "kapan" lagu ini diciptakan), lagu ini diciptakan untuk istri pertama Cash, dimana dia berjanji untuk tetap setia.
Versi sejarah ini jelas berbeda dengan versi filmnya. Entah mana yang benar. Yang jelas, dalam perkembangannya, Cash ternyata tidak sepenuhnya "walk the line" pada istri pertamanya itu. Dia bertemu dengan June Carter setelah dia tenar, dan dalam satu kesempatan mengatakan pada Carter bahwa "suatu saat aku ingin menikahimu". Johnny Cash dan June Carter kemudian memang terlibat jalinan asmara, tapi tidak menindaklanjutinya sampai akhirnya Johnny Cash bercerai dengan istri pertamanya tersebut (hal yang kemudian menjadi pembenaran bagi para penggemar Cash untuk setidaknya mengatakan: "tuh... kan... berarti dalam hal ini bisa dibilang bahwa Cash tetap orang yang setia dong?"). Perceraian itu sendiri terjadi karena Cash terlibat dengan alkohol dan obat bius.

Karena kecanduan obat bius itu jugalah, June Carter pun kemudian menolak Cash yang ingin menikahinya. June mengatakan (kira-kira) "You can never walk any line with me in that (condition)". Maka Cash pun berhenti mencandu.
Pada satu kesempatan Johnny Cash juga pernah terlibat masalah hukum. Dia masuk penjara setelah June Carter menasihatinya untuk tidak melawan hukum dan harus mau bertanggung jawab menjalani hukuman atas apa yang telah dia lakukan. Johnny dan June akhirnya menikah, sampai ajal memisahkan mereka di tahun 2003. June Carter Cash meninggal dunia pada 15 Mei 2003. Johnny Cash meninggal tak sampai 4 bulan setelahnya, 12 September 2003.
Well... I guess Johnny sure walked the line with June.

Jadi...
Lagu ini memang bisa berarti banyak untuk seorang Johnny Cash.

Untuk para pendengarnya (termasuk saya), arti yang mana yang mau dipilih, sebenarnya terserah saja, sesuai kondisi yang dihadapi masing-masing. Apapun... ini tetap sebuah lagu yang bagus.




NB: Here's for you, Johnny. Thanks for the song tonight.

Thursday, September 24, 2009

Seputar Lebaran


Assalamu'alaikum wr. wb.

"Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyaamanaa wa shiyaamakum.
Selamat hari raya iedul fitri 1430 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Semoga kita menjadi ummat yang semakin bisa mencintai Allah."

.....

Tadinya, saya mau mengakhiri postingan selamat lebaran ini sampai disini saja.
Tapi mengingat sudah cukup lama juga saya tidak posting di blog ini, mungkin ada baiknya diperpanjang sedikit ya... =D

Sama seperti tahun lalu, ucapan selamat lebaran di atas menjadi template sms lebaran saya untuk semua teman, keluarga, maupun kolega. Ada beberapa alasan mengapa saya tidak mengganti sms lebaran saya tahun, dan masih menggunakannya tahun ini.

  1. Pertama, karena memang setiap tahun yang diucapkan ketika lebaran ya itu.
  2. Kedua, untuk saya isinya sudah cukup mencakup semua yang mau saya katakan.
  3. Ketiga, karena saya tidak terlalu suka sms-sms lebaran yang isinya penuh puisi, syair, maupun pantun-pantun yang untuk saya lebih bernada basa-basi dan lebih mementingkan rima tapi kadang malah tidak sampai pokok pentingnya.
  4. Keempat, karena jumlah karakter dalam template saya itu (ditambah 4 huruf nama saya, supaya yang dikirim tau kalau itu dari saya), persis tepat untuk 1 lembar sms, jadi lumayan berhemat daripada panjang sampai berlembar-lembar. Maklum, untuk dikirim ke banyak orang.
  5. Kelima, ya karena saya malas bikin template baru.

Tapi sama juga seperti tahun lalu, beberapa orang yang saya kirim sms tersebut nampaknya cukup tergelitik untuk mempertanyakan baris terakhir sms saya itu, yang berbunyi "Semoga kita menjadi ummat yang semakin bisa mencintai Allah".

Dasar pertanyaannya sebenarnya cukup sederhana, yaitu karena lebih banyak do'a yang bunyinya itu sebaliknya. Misalnya, minta dirahmati dan diberkati oleh Allah, dan do'a untuk minta Allah mencintai kita, dan dilanjutkan dengan permohonan-permohonan lain.
Tapi jawaban saya juga sederhana. Kita mungkin memang sudah tidak perlu lagi meragukan cinta Allah ke kita. Ya oke, mungkin kadang kita lupa atau kita ragu. Tapi dengan begitu banyak yang telah diberikanNya, kadang agak canggung untuk meminta Allah mencintai kita. Sepertinya yang lebih sering kita lupakan adalah... apakah kita sudah cukup membalas cinta itu? Apakah kita sudah mencintai Allah?

Ya tentunya memang tidak mungkin bagi kita untuk bisa memberi balasan cinta yang setimpal pada Allah. Makanya saya cuma doakan semoga kita bisa semakin (dalam pengertian lebih dari sebelumnya) mencintai Allah. Ini tak lebih dari sekedar mengingatkan diri sendiri juga sebenarnya. Toh walaupun saya bicara begini juga pada kenyataannya saya masih begitu jauh dari kata "baik" =p

....


Selain itu, ada beberapa hal lain yang mungkin perlu diketahui (bagi yang belum) dalam konteks lebaran. Sekedar memberi informasi. Penyikapannya mau bagaimana, terserah para pembaca yang budiman saja.


....

Ucapan "Minal 'Aidin wal Faizin"
Ucapan ini sering diucapkan ketika lebaran di Indonesia, dan sangat sering sekali (perhatikan: sangat sering sekali) dirangkaikan dengan ucapan "mohon maaf lahir dan batin". Bahkan banyak lagu lebaran yang merangkaikan kedua kalimat ini. Akibatnya, banyak yang menyangka bahwa kedua kalimat itu artinya sama, atau bahwa "mohon maaf lahir dan batin" itu merupakan terjemahan dari "minal 'aidin wal faizin".

Sekedar informasi, ungkapan "minal 'aidin wal faizin" hanya dikenal di Indonesia (hebat kaaan?) dan konon tidak dikenal di budaya negara-negara Islam lain. Bahkan tidak ada juga dalam kamus bahasa arab, kecuali kata per kata. Ucapan ini bukan hadits dan tidak bersumber pada Rasulullah SAW. Bahkan... tidak diketahui darimana sumbernya. Meski begitu, sebenarnya sah-sah saja untuk setiap kelompok masyarakat (atau bangsa atau negara) untuk menciptakan ungkapan-ungkapan selamatnya sendiri. Jadi ya silakan saja kalau mau dipakai. Tapi mungkin lebih baik juga kalau tau sedikit artinya.

Saya memang bukan ahli bahasa arab. Bahkan, saya tidak bisa berbahasa arab dan mengaji pun masih terbata-bata. Jadi silakan yang lebih tau, bisa mengkoreksi. Tapi berdasarkan beberapa referensi (buku-buku, tanya teman, tanya ustadz, majalah, blog orang, tivi, dll.), ungkapan minal 'aidin wal faizin artinya sama sekali bukan mohon maaf lahir dan batin. Secara ringkas, "al 'Aid" artinya kira-kira "orang-orang yang kembali", dan "al faiz" artinya kira-kira "orang-orang yang meraih kemenangan/berhasil". Jadi "min al 'aidin wa al faizin" atau "minal 'aidin wal faizin" kira-kira artinya "dari golongan orang-orang yang kembali dan orang-orang yang meraih kemenangan". Kalau dalam konteks do'a atau ucapan selamat, mungkin kira-kira artinya "semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali (pada agama) dan orang-orang yang meraih kemenangan (dalam melawan hawa nafsu ??)".

Nah, semenjak beberapa tahun lalu setelah saya tau arti ucapan ini, maka setiap lebaran kalau mau minta maaf ke orang lain saya biasanya langsung saja mengucapkan pakai bahasa Indonesia "mohon maaf lahir dan batin", daripada pakai bahasa arab tapi artinya beda. Atau gabungkan keduanya sekaligus. Yang kemudian menggelitik adalah kalau ada yang ketika salaman sekedar berucap "minal 'aidin yaaaa" (sambil senyum). Mungkin maksudnya supaya singkat dan berkesan akrab, dan karena mengira artinya adalah "mohon maaf yaaaa". Padahal beda.

Tapi tentu akan ada juga yang bilang "yang penting maksudnya di hati itulah". Ya terserah kalau begitu. Ini sekedar memberi informasi saja.


.....

Ucapan "Taqabbalallahu Minna wa Minkum"
Ucapan ini saya belum jelas statusnya apa. Ada yang bilang hadits, tapi nampaknya sanadnya sendiri masih ada perdebatan. Ada beberapa yang menyebutkan bahwa ini adalah hadits, diucapkan Rasulullah SAW dan dijawab oleh para sahabat dengan "shiyaamanaa wa shiyaamakum".

Meski begitu, Al-Baihaqi adalah salah satu ulama yang menyebutkan bahwa hadits ini dhaif. Sebagai gantinya beliau menuliskan sebuah riwayat yang bukan hadits dari Rasulullah SAW, melainkan hanya riwayat yang menjelaskan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendiamkan ungkapan tersebut. Bahwa Adham maula Umar bin Abdil Aziz berkata,”Dahulu kami mengucapkan kepada Umar bin Abdil Aziz pada hari ‘Ied, “taqabbalallahu minaa wa minka, ya amiral mukminin”, maka beliau pun menjawabnya dan tidak mengingkarinya. (Lihat As-Sunan Al-Kubra, oleh Al-Baihaqi jilid 3 halaman 319). Ini saya ambil dari salah satu rubrik konsultasi di eramuslim.com yang diasuh oleh Ahmad Sarwat, Lc pada tanggal 11-11-2005.

Meski begitu, ustadz Ahmad Sarwat Lc ini juga lebih lanjut menjelaskan bahwa meski sebuah hadits itu dianggap dha’if, tapi selama tidak sampai tingkat kedhaifan yang parah, masih bisa dijadikan landasan amal dalam hal-hal yang bersifat keutamaan. Maksudnya, meski dha’if tetapi tidak palsu, jadi hanya lemah periwayatannya tetapi tetap hadits juga. Dan jumhur ulama pada umumnya bisa menerima hadits dha’if asal tidak terlalu parah, paling tidak untuk sekedar menjadi penyemangat dalam keutamaan amal-amal (fadhailul a’mal).

Oh iya lupa. Artinya apa? "Taqabbalallahu minaa wa minkum" kira-kira artinya “Semoga Allah SWT menerima amal kami dan amal Anda semua”. Adapun tambahan ucapan "shiyaamanaa wa shiyaamakum" kira-kira artinya "shaum (puasa) ku dan Anda". Jadi kalau dua kalimat itu digabungkan, kira-kira artinya "Semoga Allah SWT menerima amalan ibadah kita semua, dan demikian juga menerima puasa kita (di bulan Ramadhan)"

Untuk saya pribadi, karena setidaknya ungkapan ini lebih jelas riwayatnya pada Rasulullah SAW dibanding "minal 'aidin wal faidzin", maka saya biasanya lebih memilih untuk mengucapkan ungkapan ini ketika lebaran. Biasanya kemudian saya tambahkan juga ucapan "mohon maaf lahir dan batin", karena memang saya mau minta maaf juga selain mendoakan si orang yang sedang bersalaman dengan saya itu.

Bisa saja kita gabung ketiga-tiganya: taqabbalallahu minna wa minkum, minal 'aidin wal faizin, dan mohon maaf lahir dan batin. Tapi tentunya ini kepanjangan dan melelahkan =D


.....

Halal bi Halal
Nah! Ini satu lagi budaya yang hanya dikenal oleh komunitas muslim Indonesia. Budaya ini cukup baik sebenarnya, karena bisa mempererat silaturahim.

Ketika lebaran kemarin saya ga sengaja nonton (di Metro TV gitu?) Pak Quraish Shihab membahas ini. Beliau juga mengaku heran dengan budaya halal bi halal ini, karena tidak menemukannya di negara-negara lain. Apalagi dilihat dari namanya, beliau lebih keheranan lagi. "Halal bi halal" kira-kira berarti "halal dan halal". Ini maksudnya apa?

Pak Quraish Shihab kemudian memberi penjelasan yang cukup cantik. "halal" dalam bahasa Indonesia bisa berarti "boleh, lapang, lega". Jadi halal bi halal mungkin bisa diartikan sebagai sesuatu yang menjadikan hati kita lapang atau lega, sehingga bisa mempererat kembali tali silaturahim. Ya "pembenaran" ini bisa cukup mendekati untuk event halal bi halal yang biasa kita kenal sepertinya (bisa aja bapak yang satu ini... =p).
Tapi karena tidak jelas juga siapa pencipta istilah halal bi halal ini, dan darimana asalnya, tentu penjelasan tadi tidak bisa dikonfirmasi juga kebenarannya apakah memang seperti itu. Yah, kita anggap saja memang begitu.


......

Menyikapi Idul Fitri
Saya sejak dulu sering merasa heran akan kontradiksi ini. Di satu sisi, banyak hadits yang menyebutkan bahwa kita harus bergembira ketika menjelang Ramadhan dan betapa sedihnya Rasulullah SAW ketika Ramadhan akan meninggalkan kita, karena kita tidak tau apakah tahun depan akan berjumpa dengan Ramadhan lagi atau tidak, dan karena banyaknya keutamaan saat bulan Ramadhan.

Akan tetapi, kenapa ketika lebaran seolah diisi dengan kegembiraan semata? Bukankah lebaran itu berarti berakhirnya Ramadhan dan awal bulan syawal? Sedihnya itu ditaruh dimana? Apalagi kalau lihat acara-acara di televisi waktu lebaran dan budaya borong memborong belanjaan menjelang lebaran. Sepertinya semua jadi agak terlalu berlebihan gembiranya. Karena berlebihan jadi lupa dengan yang harusnya disedihkan.

Ya baiklah kalau kita bisa berbahagia karena bisa kembali bersilaturahim dengan keluarga, saling maaf memaafkan dan kembali berhubungan baik dengan semua orang. Juga berbahagia karena telah melalui satu periode pelatihan di bulan Ramadhan.

Tapi tentu kita juga perlu berpikir bahwa "perang" belum usai. Bahkan baru dimulai, karena Ramadhan adalah masa latihannya. Juga belum tentu kita sudah meraih "kemenangan", karena Allah SWT yang menentukan apakah puasa kita itu baik atau tidak, diterima atau tidak.

Agak kontradiktif buat saya. Ya mungkin juga karena saya sekedar merasa ada sesuatu yang berlebihan dirayakannya saja sepertinya.

Entahlah.


....

Demikian beberapa hal yang ingin saya bagi. Kalau ada salah-salah, tentu itu dari saya. Yang benar dari Allah SWT. Wallahu a'lam bish-showab.


Selamat lebaran semua :)



NB: Sumber gambar dari (maaf ga ijin) http://bits.comlabs.itb.ac.id

Tuesday, January 13, 2009

We Will Not Go Down

Saya rasa saya tentu bukan orang pertama yang ingin mengungkapkan kebencian terhadap Israel pada hari-hari terakhir ini. Apakah saya akan membuat tulisan mengenai Israel? Sepertinya tidak. Pada tahun 2006 lalu, ketika terjadi krisis kemanusiaan di Lebanon dan Palestina, ternyata saya sudah pernah menulis panjang lebar mengenai Israel dan Amerika Serikat. Percayalah, tulisan itu memang panjang lebar. Kalau mau baca, bisa lihat disini: http://awandiga.blogspot.com/2006/08/menapaki-kejayaan-ditulis-dalam.html

Jadi aneh sendiri. Saya tau pengaruh Israel di Amerika dan dunia. tapi saya gatau kalo pengaruh itu juga kuat untuk negara-negara Arab dan negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim (ya, maksud saya negara kita tercinta ini).

Apa kita butuh Hitler (lagi) untuk mengendalikan orang-orang Yahudi? Tidak, saya tidak benci semua orang Yahudi. Saya cuma benci orang-orang Israel yang memerangi orang-orang Palestina dan membuat propaganda mengenai itu.

Mana yang menurut Anda lebih layak diharapkan? Apakah mengharapkan kesatuan sikap dan tindakan negara-negara Arab dan ummat muslim sedunia terhadap Israel (dan menghentikan semua perundingan kosong yang tidak menghasilkan apa-apa), atau mengharapkan Hitler hidup lagi?


NB: Ini ada lagu dari Michael Heart soal Gaza. Judul postingan ini diambil dari judul lagu ini. Video clipnya bisa dilihat di : http://jp.youtube.com/watch?v=dlfhoU66s4Y


We will not go down (Song for Gaza)
Michael Heart (www.michaelheart. com)

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they're dead or alive
They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die

We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night

While the so-called leaders of countries afar
Debated on who's wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain

But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight

You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die

We will not go down
In Gaza tonight
We will not go down
In the night, without a fight

You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In the night, without a fight
We will not go down
In Gaza tonight
***

Thursday, March 06, 2008

Beberapa Hal Memang Tidak Bisa Dipaksakan


Beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan. Maksud saya, ada beberapa hal yang mungkin kita inginkan, atau tidak kita inginkan, tapi kadang ada sebagian dari diri kita yang berkata bahwa... kita tidak bisa... saat ini.

Demikian juga dengan menulis. Memang lucu kalau dipikir-pikir. Dulu, ketika saya tidak punya banyak waktu untuk menulis, ide-ide dan inspirasi seperti datang berlompatan dalam pikiran, dan semua mengatakan bahwa saya harus menuliskannya sekarang juga. Terkadang saya mencuri-curi waktu untuk menuangkan ide-ide itu menjadi sebuah tulisan, dan tak jarang juga kesedihan muncul ketika akhirnya ada beberapa ide yang tidak sempat terolah.

Tapi sekarang, ketika saya punya banyak waktu (khususnya di malam hari), dan ada fasilitas komputer serta internet untuk menulis... justru ide dan inspirasi tak kunjung datang. Apalagi mood, entah kemana perginya. Pada masa-masa seperti ini, sebagaimanapun saya paksakan untuk menulis, tulisan itu tak kunjung datang. Kalaupun akhirnya saya paksakan, ternyata hasilnya mengecewakan. Saking mengecewakannya, saya sendiri yang menulisnya sampai malas membacanya.

Beberapa buku yang mencoba mengajarkan tentang dunia tulis menulis biasanya berkata bahwa pada masa-masa latihan, kita harus membiasakan diri untuk menulis setiap hari. Apapun itu, pokoknya tiap hari harus membuat satu tulisan. Tapi untuk saya, ternyata mood itu sangat berpengaruh. Semenarik apapun topiknya, kalau mood itu tidak datang, sama saja. Beberapa topik malah saya hindari untuk dijadikan sebuah tulisan, dengan berbagai alasan yang sebenarnya hanya dibuat-buat.

Apakah itu juga berlaku pada berbagai hal lain?

Yah... mungkin juga. Walaupun mungkin alasannya tidak selalu perkara mood.


Beberapa kawan yang mungkin pernah mengunjungi blog ini sejak 2 tahun lalu mungkin ingat beberapa tulisan serial saya mengenai “cerita-cerita dari kereta”. Serial ini sudah mencapai 14 episode, dengan berbagai topik yang semuanya berkaitan dengan kehidupan di seputar kereta ekonomi Jakarta-Bogor. Tapi sekitar satu tahun terakhir ini, serial itu tidak lagi berlanjut, dan sekuat apapun saya memaksakan diri untuk melanjutkan serial itu, ternyata tidak bisa. Alasannya sederhana saja, karena saya memang tidak lagi sering naik kereta ekonomi itu.

Sejak setahun lalu, saya memang lebih sering naik kereta ekspres. Awalnya, sering ada rapat atau acara lain di kantor yang menuntut saya datang pagi plus berpakaian rapi. Tentu saja, kerapihan pakaian dan kondisi kereta ekonomi seringkali tidak berteman baik, sehingga saya memilih kereta ekspres. Apalagi saat itu saya memang diberi ongkos harian yang cukup besar sehingga menjatuhkan pilihan pada kereta ekspres adalah pilihan yang logis.

Selanjutnya, seperti yang pernah dikatakan seseorang pada saya, kemewahan itu seperti candu. Apalagi dengan adanya peningkatan kesejahteraan (penghasilan) plus tambahan beban kerja yang membuat stamina saya memang habis untuk pekerjaan di kantor dan saya seringkali merasa malas untuk menghabiskan sisa energi yang ada untuk berdesakan di kereta ekonomi. Tanpa disadari, kemanjaan itu datang. Pertama-tama tubuh saya jadi manja, dan kemudian semangat itu juga menjadi manja. Memalukan. Tapi memang itulah yang terjadi.

Bukan berarti bahwa saya tidak lagi mengikuti perkembangan kereta ekonomi. Saya tetap mengikuti melalui media massa atau cerita-cerita teman mengenai bagaimana kondisi kereta sekarang atau kebijakan-kebijakan yang diambil Daop I PT Kereta Api (yang mengurus wilayah Jabodetabek) mengenai kereta ekonomi. Tapi toh saya tetap tidak mau menuliskannya, karena saya tidak mengalaminya sendiri.


Selain itu, saya tidak lagi sering naik kereta Jakarta-Bogor karena sejak sekitar 2 bulan yang lalu, saya juga berpindah domisili. Saya tidak lagi tinggal di Bogor, dan memilih untuk “menumpang” di Jakarta. Tempat tumpangan saya adalah sebuah rumah di kawasan Menteng yang telah disulap menjadi sekretariat sebuah proyek hasil kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan salah satu lembaga donor yang kalau ada kesempatan ingin saya hancurkan dan usir dari republik ini. Di sekre ini, saya bisa menumpang dengan gratis, plus fasilitas-fasilitas seperti internet 24 jam (kalau sedang tidak error, yang mana sebenarnya ini lebih sering terjadi), mandi air panas, AC, meja pingpon, Play Station II, dan kadang-kadang dapat makan malam kalau ada bos yang sedang berbaik hati untuk mensedekahi kami kaum penunggu sekre.

Luar biasa nyaman bukan? Bersama para satpam, Office Boy, Supir, dan rekan seprofesi yang sama-sama kekurangan modal untuk cari kos-kosan, saya menghabiskan malam-malam saya di tempat ini. Kekurangannya cuma satu, dan itu sebenarnya cukup vital : tidak ada kasur. Jangan tanya dimana saya tidur. Meski begitu, sekitar sebulan terakhir akhirnya saya bisa tidur di sebuah kasur lipat bekas peninggalan seorang rekan penunggu sekre yang sekarang sudah tidak lagi tinggal di sini.

Lantas mengapa saya pindah dari Bogor?

Alasannya sederhana saja. Untuk mengejar mimpi.


Ketika saya pertama lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di sebuah institusi pemerintahan di Jakarta, saya tetap memaksakan untuk tinggal di Bogor karena permintaan ibu saya tercinta. Maklum, mungkin rindu karena terlalu lama saya tinggal ke Bandung dan sangat jarang pulang ke Bogor, ibu meminta saya untuk tinggal di rumah lagi. Saya penuhi.

Tapi beberapa hal ternyata memang tidak bisa dipaksakan. Sebuah pilihan dilontarkan oleh orang tua saya mengenai jalan hidup saya. Satu hal yang sampai sekarang gagal saya mengerti adalah mengapa keberhasilan dan stabilitas ekonomi dianggap hanya dapat terjadi apabila saya menjadi PNS atau mendapat “kerja tetap”. Ketika itu pilihannya adalah menjadi PNS kalau masih mau tinggal di rumah atau sebaliknya. Dan akhirnya saya memilih sebaliknya. Sejak dulu impian saya bukan menjadi seorang PNS atau mendapat “kerja tetap” di suatu perusahaan. Saya mengerti kalau banyak orang yang begitu berhasrat untuk mengabdi pada negara melalui jalur PNS atau mengejar stabilitas ekonomi dengan bekerja tetap di satu perusahaan (kalau bisa yang besar), dan saya juga tahu bahwa banyak orang yang ingin di jalur yang lain. PNS, Karyawan, Wiraswasta, seniman, artis, dokter, tentara, politisi, penulis, atau apapun jalur itu, saya rasa tidak ada yang benar atau salah. Itu sebuah pilihan. Dan saya ingin memilih.


Pernah ada suatu masa ketika saya membiarkan waktu yang memilihkan suatu jalan hidup untuk saya. Pernah ada suatu masa ketika saya beranggapan bahwa berpasrah pada Allah berarti bahwa pada suatu saat nanti Allah akan memutuskan yang terbaik untuk saya secara mutlak. Tapi akhirnya saya belajar (dalam kegetiran) bahwa sikap seperti itu mungkin tidak sepenuhnya benar. Kali ini, saya tidak lagi mau berpikir seperti itu. Saya tetap harus memilih. Saya tetap harus mengambil resiko. Kalau ternyata ada pihak-pihak yang kecewa atau tersakiti dengan pilihan saya, semestinya saya tetap berusaha. Toh, saya sebenarnya tidak pernah berniat untuk menyakiti orang lain itu. Saya harus membuat takdir saya sendiri, semampu saya. Kalau ternyata Allah memutuskan yang lain, saya tahu setidaknya saya telah berusaha semampu saya dan bisa berkata bahwa setidaknya saya tidak mengecewakan diri saya sendiri.

Terdengar egois? Mungkin saja. Mungkin saja saya telah mengecewakan orang tua saya dengan pilihan ini. Tapi kali ini, harus saya coba. Toh kalaupun memang takdir berkata lain, pada akhirnya Allah akan menunjukkannya, dan kita hanya bisa menerima. Saya hanya ingin bahwa sebelum ketetapan akhir itu tiba, saya bisa berkata pada diri saya sendiri bahwa saya telah berusaha yang terbaik untuk mengejar impian itu. Selama saya yakin bahwa impian itu adalah sesuatu yang baik, saya harus tetap maju.

Meski begitu, karena standar nilai itu merupakan sesuatu yang sangat subyektif, maka membuat justifikasi benar-salah atau baik-buruk untuk impian orang lain adalah sesuatu yang absurd. Kita hanya bisa menjalani pilihan masing-masing, dan mengejar mimpi kita masing-masing. Kalaupun kita tidak sependapat dengan orang lain, yang bisa kita lakukan hanyalah memberi pandangan. Mungkin nasihat kalau memang diminta. Tapi kita tidak berhak untuk menentukan pilihan hidup seseorang itu salah atau benar. Dan dengan itu, maka di sini saya juga tidak akan menuliskan MENGAPA saya tidak mau menjadi PNS, karena bisa ada tendensi bahwa saya memandang pilihan seperti itu tidak sebaik pilihan saya. Tidak saudara sekalian. Saya TIDAK memandang seperti itu. Setiap orang berhak memilih, dan berhak memiliki alasannya masing-masing. Kecuali kalau memang kita sudah kehabisan pilihan, salah langkah, dan satu-satunya jalan yang tersisa adalah menunggu, maka menunggu itu pun adalah sebuah usaha.

Beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan. Bahkan sebuah “kenyataan” atau “realitas” kadang juga menjadi sesuatu yang tidak bisa dipaksakan untuk diterima. Itu menjelaskan kenapa penyakit “kegilaan” kemudian muncul, meskipun kita harus berdebat panjang mengenai apakah “kegilaan” itu sebenarnya adalah suatu penyakit atau justru sebuah pencerahan yang tidak bisa diterima oleh sebagian besar orang yang merasa dirinya “waras”. Sebagian orang tidak bisa dipaksa menerima kebohongan atau sesuatu yang bersifat samar, dan lebih bisa menelan bulat-bulat kenyataan, sepahit atau semanis apapun itu. Sebagian lagi kadang justru tidak mampu menerima kenyataan yang tidak dia mengerti, dan lebih menyambut baik sebuah kebohongan atau kepura-puraan, selama hal itu merupakan sesuatu yang bisa dia terima, atau minimal bisa dia mengerti. Mungkin “realitas” itu juga merupakan sebuah pilihan. Pilihan mengenai “apa yang mau kita percayai terjadi”.

Benarkah demikian? Atau mungkin kita hanya tidak memaksakan diri dengan lebih keras?

Bagaimana menurut Anda?



NB : Sayang... Apa lagi pilihan yang tersisa untukku?



Keterangan : Foto dari (lagi-lagi ga ijin dulu)
www.nyc-photo-gallery.com,

Wednesday, January 23, 2008

Hukum Ketertarikan?


Sekitar 3 bulan yang lalu... tepatnya setelah akhir bulan Ramadhan tahun lalu, dalam keadaan setengah depresi dan setengah berharap ada mobil yang menabrak saya saat itu, saya main ke toko buku. Waktu itu hari Jum’at, dan setelah sholat Jum’at saya sedang malas pulang. Berlama-lama di Mesjid kemudian juga tidak terlalu nyaman karena ramainya orang berjualan di pelataran Mesjid membuat saya pusing. Alhasil, toko buku di seberang Mesjid menjadi pelarian.

Dalam keadaan kalut seperti itu, apalagi setelah sholat dan menumpahkan apa-apa yang ada dalam pikiran kita, pergi ke toko buku memang menyenangkan. Sedikit banyak, Anda bisa berharap langsung menemukan jawaban yang anda cari dalam doa-doa Anda itu di toko buku. Naif memang. Berharap terlalu banyak? Yaaaaah, bisa saja. Tapi toh tidak ada ruginya kan?

Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Di toko buku itu ternyata sedang promosi besar-besaran buku “The Secret” karya Rhonda Byrne. Buku ini sebenarnya sejak lama sudah direkomendasikan oleh seorang teman untuk saya baca. Tapi, sejujurnya, saya tidak terlalu menyenangi buku-buku semacam ini. Maksud saya, buku yang mengatakan kita harus begini begitu, tidak boleh begitu begini, kalau bisa harus begene begono.
Yah, tapi dasar orang lagi linglung. Akhirnya saya ambil juga satu buku kecil yang mahal itu. Baca-baca sinopsisnya sebentar, ternyata tentang hukum ketertarikan (law of attraction). “Bukan barang baru”, pikir saya, mengingat hukum alam yang satu ini sudah sering saya dengar dari (what so called) pepatah-pepatah bijak di berbagai buku. Tapi harus diakui, menjadikan sesuatu yang tidak baru menjadi sesuatu yang diburu banyak orang saat ini tentu bukan perkara mudah. Tentu ada sesuatu yang istimewa di buku ini. Entah penyajiannya, entah cara penulisnya meyakinkan pembaca, entah strategi pemasarannya, entah apa. Toh, akhirnya dibeli juga. Apalagi, meskipun hukum ketertarikan bukan sebuah barang baru, sebenarnya pertanyaannya adalah apakah hukum itu sudah pernah dipergunakan sebelumnya. Begitu bukan?
Satu hal lagi yang menarik di toko buku itu adalah.... mendadak buku yang bercerita tentang hukum ketertarikan seperti itu jadi sangat banyak. Dengan berbagai judul. Lucu juga. Ada judul “Mestakung (Semesta Mendukung)” dari Yohanes Surya, ada judul “Hukum Ketertarikan” yang entah karangan siapa, dan macam-macam judul lain. Wajar sepertinya kalau ada buku yang laris manis lantas banyak yang niru temanya ya? Masih ingat fenomena novel “Ayat-Ayat Cinta” dulu? Karena laku keras bak kacang goreng, tiba-tiba novel-novel dengan tema yang dimirip-miripkan mendadak muncul. Bukan cuma temanya. Bahkan nama pengarangnya dibuat mirip. Covernya juga. Setting bukunya juga. Pokonya semua harus serba mirip. Maka jadilah, fenomena “cerita cinta utopis yang tokoh-tokohnya soleh tetapi ceritanya sebenarnya sama saja dengan AADC” langsung mewabah.

Kembali pada buku The Secret yang saya beli tadi. Jadi ada 2 faktor yang menyebabkan buku itu hampir tak bisa lepas dari buku saya selama beberapa hari. Pertama, ternyata cara penyajian dan cara penulisannya memang menarik. Si penulis mampu menyerap berbagai sumber dan menyajikannya sebagai satu kesatuan yang mendukung tema utama. Menarik. Yang kedua, sejujurnya, waktu itu saya memang tidak punya pilihan lain (masih inget soal keputus-asaan yang melatarbelakangi pembelian buku ini kan?).
Inti yang dibicarakan sebenarnya sederhana saja. Untuk meraih sesuatu, Anda harus meyakini sesuatu itu akan terjadi. Disinilah pentingnya kemudian mengatur apa yang ada dalam pikiran Anda, karena pikiran Anda adalah magnet bagi semesta. Dengan kata lain, apa yang Anda pikirkan, akan Anda yakini. Dan apa yang Anda yakini, itulah yang akan terjadi. Alam semesta akan mewujudkannya untuk Anda. Tapi hati-hati, ini berlaku untuk hal-hal yang (menurut Anda) baik, maupun buruk. Jadi, baik atau buruknya hal yang menimpa Anda, konon katanya, itu karena Anda sendirilah yang menariknya. Buku ini kemudian mengajak Anda untuk selalu berpikir positif. Bukan apa-apa, sekedar supaya yang mengikutinya dalam kehidupan Anda juga hal-hal yang positif.
Sekarang, apakah itu terjadi untuk segala hal?
Bagaimana lantas kita memasukkan “Kehendak Tuhan” misalnya, kalau hukum ketertarikan itu memang benar?
Yang menarik, setelah bertanya seperti itu, yang terngiang dalam telinga saya justru adalah perkataan “Aku adalah seperti persangkaan hamba-hambaKu”. Makanya kita harus selalu berprasangka baik pada Tuhan. Eh, begitu bukan? Hmmmm.... sepertinya saya tidak akan terlalu memperpanjang yang satu ini. Silakan para pembaca berkelana sendiri-sendiri untuk mencari pemahaman yang sesuai untuk Anda =)
Yah, meski begitu, bukan Awan namanya kalau tidak skeptik (skeptis kok bangga?=p). Muncul niatan saya untuk menguji hukum ini. Sekali lagi, sepertinya tidak ada ruginya.

Kebetulan pada waktu itu, saya sedang kehilangan sebuah buku. Sudah dicari-cari di rumah tidak ada. Di tas juga. Di kantor apalagi. Buku itu kecil, berwarna ungu, seharga 5000 rupiah yang saya beli pada pertengahan bulan Ramadhan. Sebenarnya kalau saya beli lagi juga tidak masalah. Tapi, namanya juga nyoba...
Saya niatkan, saya gambarkan buku itu dalam pikiran saya, saya yakini bahwa buku itu akan saya temukan kembali suatu saat nanti. Saya tuliskan bahwa buku itu akan saya temukan. Dan dalam kepala saya, saya anggap buku itu tidak pernah hilang. Anda tahu apa yang terjadi beberapa hari setelahnya?
Yap! Benar! Buku itu tidak saya temukan. Beberapa minggu setelahnya? Masih juga belum ketemu. Oke, pikir saya, mari kita lupakan dan biarkan saja akan ketemu kapan. Tapi tetap saya yakin, buku itu akan saya temukan, suatu saat nanti.

Beberapa minggu setelah membeli buku itu, sebuah peristiwa kembali mengingatkan saya akan hukum ketertarikan. Waktu itu hari Sabtu, saya sedang mengendarai motor di Bandung. Di daerah Pasteur, saya menyaksikan sebuah kecelakaan tepat di depan mata saya. Seorang wanita yang sedang mengendarai motor tertabrak oleh truk yang sedang melintas kencang, tepat di depan saya. Saya bersama seorang pengendara motor lainnya langsung berhenti dan menggotong wanita itu ke pinggir jalan, dibantu oleh seorang polisi. Kelanjutannya saya tidak tahu karena wanita itu langsung dibawa ke rumah sakit terdekat dalam keadaan pingsan.
Bukan apa-apa, tapi ekspresi shock wanita tadi terus membayang di pikiran saya ketika itu. Hingga beberapa waktu, sy kerap merasa khawatir kalau kejadian seperti itu menimpa orang-orang yang saya sayangi. Apalagi pada sore harinya, saya ketahui kalau ternyata seorang tetangga kosan saya yang sering membantu-bantu kami di kosan juga baru saja kecelakaan motor bersama suaminya ketika akan pulang ke Bandung dari Garut.
Hari Seninnya, ketika saya sudah di Jakarta lagi, saya baru mengetahui kalau pada hari Minggu seorang teman kantor saya juga kecelakaan motor. Dia jatuh karena ngebut di waktu hujan dan jalannya licin. Tak ayal, kejadian tabrakan dan kecelakaan motor menjadi bahan pikiran saya terus menerus, dan menjadi bahan obrolan bersama teman-teman.

Pada hari Selasa sore, saya berjalan bersama seorang teman menuju kantor. Bahan obrolannya, masih seputar kecelakaan motor juga. Kemudian, tepat ketika menyeberang jalan pada pertigaan terakhir sebelum sampai di kantor, dan kami baru selesai ngobrol, tiba-tiba sebuah motor berbelok dengan kecepatan agak tinggi. Waktu itu gerimis dan jalan agak licin. Kebetulan teman saya berada di sebelah kiri saya, sementara motor datang dari arah kanan. Selama sepersekian detik saya melihat motor itu oleng berusaha menghindari kami. Dalam sepersekian detik itu juga saya tahu motor itu tidak akan berhasil. Teman saya sempat menghindar, tetapi motor itu terlalu dekat dengan saya. Motor itu jatuh, lalu menabrak saya.
Yap, benar sekali saudara pembaca sekalian. Akhirnya saya tertabrak motor. Alhamdulillah saya baik-baik saja. Tapi kasihan juga si pengendara motor itu, langsung dimarahi oleh seorang petugas yang kebetulan berada di dekat situ. Pasalnya, kami menyeberang di zebra-cross, dan ketika itu si motor memang berbelok dengan cepat. Kurang hati-hati.
Beberapa saat kemudian saya baru menyadari... menarik juga hukum ketertarikan ini.

Tapi yah, bisa jadi hal ini tidak berlaku untuk semua hal. Atau sebenarnya berlaku tapi kitanya yang kurang sabar.
Pada pertengahan bulan Desember, saya ingat ketika itu saya kembali sedang dilanda kebingungan dan kekalutan. Masalah pekerjaan, masalah impian, cita-cita, dan sebagainya.
Pada saat itu, seorang kerabat jauh datang berkunjung. Sebenarnya masih terhitung paman saya, tapi silsilah keluarganya agak jauh. Karena sedang tidak bersemangat, saya lebih memilih untuk berada di kamar dan membiarkan paman saya itu mengobrol dengan kakak dan ibu saya.
Tidak saya sangka, setelah sholat Maghrib, paman saya itu datang ke kamar saya, dan melihat-lihat tumpukan buku-buku saya. Setelah meminta izin meminjam sebuah buku, paman saya itu mengambil sebuah buku lain yang tidak pernah saya baca lagi. Sebenarnya buku itu sangat menarik, akan tetapi tulisannya yang kecil-kecil dan ukuran bukunya yang besar serta sangat tebal membuat saya jiper untuk menamatkannya.
Paman saya mendekati saya, mengobrol, sambil membuka-buka buku itu. Kemudian, tanpa saya sangka, paman saya itu tiba-tiba berkata bahwa ada sesuatu yang terselip pada buku itu. Ketika kami buka, ternyata yang terselip adalah... sebuah buku kecil berwarna ungu yang saya beli dengan harga 5000 rupiah pada bulan Ramadhan. Ya! Buku itu akhirnya kembali pada saya. Dan selama ini ternyata ada di kamar saya sendiri. Seperti tidak pernah hilang.

Ya, bukan berarti bahwa buku tersebut kembali karena hukum ketertarikan. Tapi memang menarik bahwa kedua kasus itu berbeda dalam hal waktu dan intensitas. Kasus kecelakaan motor terjadi dalam jangka waktu yang cepat setelah terus menerus berada dalam pikiran saya. Kasus penemuan kembali buku ungu tadi malah sebaliknya, terjadi setelah lebih dari dua bulan dan sejujurnya sudah tidak pernah saya pikirkan lagi. Bahkan sudah saya ikhlaskan kalau memang hilang.
Bagaimana menurut Anda?

Untuk saya sendiri, sebenarnya cukup banyak kasus keinginan yang berujung kekecewaan dalam hampir 26 tahun hidup saya ini, dan lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa hukum ketertarikan itu mungkin tidak selamanya berlaku. Akan tetapi, kalau dipikir lagi, cukup banyak juga kasus keinginan yang berujung kegembiraan untuk membuktikan bahwa kita bisa meraih sesuatu kalau kita yakini itu. Tentu saja, akan menjadi konyol apabila kita hanya mengharapkan suatu mimpi bisa terwujud tanpa kita sendiri mengusahakannya. Meski terkadang, ada kondisi-kondisi yang sedemikian kompleksnya hingga membuat pilihan kita satu-satunya memang hanya pasrah padaNya.
Yang jelas, dua kasus yang saya alami tadi tetap akan terlalu absurd untuk dijadikan patokan apakah suatu hukum itu relevan atau tidak. Akan tetapi, keduanya terjadi pada saat saya sedang jatuh. Cukup untuk seolah mendengar Tuhan sedang berkata pada saya bahwa... dalam kondisi apapun, selalu masih ada ruang untuk memiliki harapan.


Gambar diambil dari (maap ga ijin dulu): http://ebookee.com, www.spuggy.co.uk/images/monk-escape.jpg.

Thursday, November 15, 2007

Keajaiban (Episode 2)



TADAAAAAAAA !!!!!!!!!


Saya kembaliii !!!! =D

PENTING banget kan? =p

Yah, tadinya memang saya berniat untuk meneruskan tulisan mengenai "keajaiban" (yang saya tulis sebelum ini). Sudah ada beberapa pikiran yang melayang-layang minta dituliskan mengenai lanjutannya.

Akan tetapi...

Yah, walau bagaimanapun, kadang-kadang kita perlu mencoba bersikap responsif.
Jadi, ada sedikit perubahan rencana. Sepertinya tulisan Keajaiban episode ke-2 tidak akan dikeluarkan sesuai rencana. Sebagai gantinya, dalam judul tulisan yang sama, tulisan ini akan berisi tanggapan balik dari semua komentar yang masuk dari para pembaca episode ke-1.
Untuk menyingkat tulisan, saya tidak akan menulis ulang komentar-komentar tersebut. Saya akan langsung tulis tanggapan baliknya. Jadi mohon maaf, kalau pembaca mau baca komentar-komentar tersebut, silahkan klik kolom komentar di tulisan sebelumnya, atau klik di SINI.

Bagaimana? cukup responsif bukan? =D

Mari kita mulai...

  1. Untuk "RoSa" : Iya bu... soal yang kemarin :D
  2. Untuk "Ipin Jangkrik!" : Iraha atuh? sibuk wae maneh mun urang ka bandung. Gw ragu kalo kita "beda arah". Cuma kita taulah bagaimana tulisan sering menimbulkan penafsiran yang salah. Kemungkinan lu salah menafsirkan tulisan gw pin.
  3. Untuk "teeka" : Dan ternyata ga jauh-jauh, kita mengalami hal yang sama :))
  4. Untuk "catuy" : Ya karena ternyata lu udah menuliskan komentar itu, berarti kita bisa yakin kalo perihal lu nulis komen itu adalah takdir lu dong tuy, dan tulisan gw cuma jalan lu buat memenuhi takdir itu :)) Ya. tentunya Allah menyebut dengan dua nama yang berbeda ("qadha" dan "qadr") itu ada alasannya kan? Tapi yang gw tangkep dari komentar lu ini sih tuy... lu juga bingung mau nulis apaan :)) Yang lu tulis di komentar lu itu udah pernah ditulis di puluhan buku kan? Dan kita tau itu ga nyambung sama pertanyaan gw. Tentu lu punya pikiran sendiri...
  5. Untuk "fathy" : Ga ada yang bilang kalo kita "tak butuh lagi berdoa" kan dra? :p saya pun ga bilang begitu kan? justru sekarang-sekarang ini saya sangat menikmati doa... :)
  6. Untuk "noel" : Sebenernya ini bukan sebuah "interpretasi lain terhadap apa2 yang udah umum". Saya ga terlalu tertarik untuk menimbang-nimbang apakah interpretasi ini sesuai dengan "interpretasi umum" atau tidak. Ya ini sekedar interpretasi yang saya rasakan. Tapi bukan berarti saya sendirian juga. Saya insyaAllah yakin ada banyak juga orang berinterpretasi seperti ini. Ya, insyaAllah dengan interpretasi ini saya malah lebih ngerasain kehadiran Allah mas... soalnya saya ga lagi mikirin apakah doa itu dikabulkan atau engga. Itu terserah Allah. Saya cuma mau ngobrol sama Allah saja. Apa itu malah bisa menjauhkan ya?
  7. Untuk "aku" : Iya... masih inget kok mbak :) apa kabar? sama-sama, selamat idul fitri... mohon maaf lahir batin ya mbak. Iya, mungkin memang hanya itu yang Allah minta dari kita... Yang jelas, konon katanya, salah satu syarat supaya do'a kita dikabulkan itu justru saat kita bener-bener pasrah, dalam pengertian udah terserah Allah aja gimana dan kapan itu dikabulkannya. Iya kan? :) Jadi ironinya disini adalah, kita boleh berharap sesuatu pada Allah, tapi kita harus benar-benar pasrah mengenai bagaimana harapan itu akan dikabulkan olehNya. Lucu juga kalo dipikir-pikir... Allah selalu memaksa kita berada dalam prinsip "jalan tengah" untuk perilaku sehari-hari. Bener nggak mbak?
  8. Untul "teqo" : Ya, dan yang tentu ada salahnya juga :))
  9. Untuk "masadi" : Salam kenal juga. Kenapa atuh ga pernah komen? :p Pertanyaannya sekarang adalah... apakah lauhil mahfudz itu bertuliskan apa-apa yang AKAN menjadi jalan hidup kita (masa depan yang akan kita jalani nanti), atau apa-apa yang SUDAH kita jalani (masa kini dan masa lalu yang akan kita pertanggungjawabkan nanti di akhirat) ?? Atau keduanya?? Sepertinya Anda terlalu saklek dalam memandang mas... termasuk dalam men-judge tulisan saya ini =) Saya bukan penganut faham bahwa manusia tidak bisa mengubah takdir (atau setidaknya, mungkin "qadr" kita ga bisa ubah, tapi "qadha" itu buat sy masih misteri). Saya juga (sudah) tidak berpikir bahwa surga dan neraka ditentukan sejak awal, karena itu tadi, qadha belum ditentukan.
  10. Untuk "ika" : iya, sepakat, perantara antara makhluk dengan Sang Khaliq. Iya, sepakat semua sama yang ika tulis, kan tulisan saya ga ada yang bertentangan sama komentar yg kamu tulis ka? =p yah, kalo kita sudah mengakui kerendahan hati dan ketidakberdayaan kita, kita memang akan jadi tenang kan? karena yakin Allah akan menjaga kita, dan memberi yang terbaik buat kita (yang belum tentu sesuai dengan keinginan kita itu). Betul? Lantas apa yang ika ga sepakati mengenai korelasi doa dengan rasa PD dan ketenangan? Apa ada tujuan lain selain itu ketika kita berdoa? Kalau ada... kenapa?
  11. Untuk "saia" : betul sekali... sepakat dengan Anda.
  12. Untuk "Rhen" : Wsw. Ah...Anda ini... komentarnya seperti menjudge saya ya? =p sayangnya... saya rasa Anda tidak membaca tulisan saya sampai tuntas. Atau setidaknya, Anda bacanya sekedar "scanning" saja kan? =p Coba Anda baca lagi pelan-pelan... ada nggak pernyataan dalam tulisan saya itu bahwa saya "sok tak perlu do'a" ? =) Kalaupun ada, bukankah itu dalam bentuk pertanyaan yang kemudian saya jawab sendiri? =p lebih jauh lagi...beberapa paragraf terakhir saya itu... apakah mengisyaratkan kalau saya tidak lagi butuh doa?
  13. Untuk "nien" : hehehe... nggak terguncang berarti sering mikir gini juga ya? =p btw, blog situ tulisannya juga keren-keren.... iya, semoga bisa lebih produktif...
Nah, demikianlah pembaca yang budiman... tanggapan saya akan komentar kawan-kawan sekalian...

Beberapa hal yang saya tangkap dari komentar-komentar yang masuk tersebut adalah...

pertama, sangat jarang yang membaca (apalagi menyimak) tulisan saya sampai tuntas :)) Tentu saja, ini adalah kesalahan saya yang sampai sekarang masih belum mampu menulis dengan efektif dan efisien :p

kedua, bahasa manusia kadang tidak mempu menuliskan apa yang benar-benar kita rasakan. Seperti orang bijak dulu yang meminta seorang muridnya untuk menuliskan bagaimana harumnya bunga. Tentu tulisan ini tidak bisa menggambarkan semua yang dirasa. Dan itu ternyata terbukti bisa menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda-beda. Sebagian bahkan berbeda jauh dari yang saya maksudkan. Ini bisa terjadi pada mereka yang membaca sampai tuntas. Maka, apalagi yang tidak tuntas? =p

ketiga, tulisan semacam ini, apabila tidak didiskusikan dengan benar dan hanya setengah-setengah seperti ini bisa menimbulkan salah penafsiran, bahkan "menyesatkan" buat yang langsung membaca tanpa ditelaah ulang. Semoga pembaca yang budiman tidak demikian...

Dan ketiga hal itu sepertinya cukup untuk mengurungkan niat saya menuliskan episode 2 dari tulisan "keajaiban" =) --> daripada lebih menimbulkan persepsi yang makin jauh sama yang dimaksud =p


Sampai jumpa pada tulisan berikutnya =D

semoga masih mau berkunjung...



NB : Tulisan ini untuk Kita... untuk cerita Kita... untuk malam-malam yang Kita lalui dalam mencari sebentuk ridho dan keikhlasan... =)
Meski kadang lelah dan kantuk mengalahkan kerinduan... dan kadang cinta memaksa derasnya air mata...
Semoga Kita selalu bersama.