Sekitar setengah tahun yang lalu, pada sebuah pagi yang cerah di Stasiun
“Beli koran temponya nih, kereta ekonomi mau diilangin!! Ekonomi diapus!!”
mendadak sontak, tentu saja para tukang koran ketiban durian runtuh karena berita mengejutkan itu. Semua mendadak ingin membeli koran tempo untuk membuktikan kebenaran isi teriakan-teriakan tadi. Beberapa tukang koran yang kehabisan stok koran tempo kemudian menawarkan koran lain ke calon pembelinya, akan tetapi kemudian dikembalikan lagi oleh si pembeli karena berita yang dicari tidak ada di koran-koran lain. Hanya ada di koran tempo. Dan memang benar, berita akan dihapuskannya kereta ekonomi itu memang disajikan di koran tempo, dalam dua halaman.
Saya pun berusaha mencuri baca dari orang-orang di sekitar saya, dengan melirik-lirik koran yang sedang dibaca orang lain. Perlahan tapi pasti, orang-orang yang saya lirik korannya itu mulai misuh-misuh menunjukkan keterusikannya atas tindak-tanduk saya. Tentu dengan muka masam dan mata yang seolah berkata, ”beli ndiri napa bang ?!!? serebu doang getoo!!”
Seketika, cuaca cerah Bogor pagi itu langsung ditandingi oleh wajah-wajah mendung para penumpang ekonomi. Tidak hanya di Bogor, berita itu ternyata juga menjadi topik obrolan yang hangat di kalangan penumpang-penumpang dari stasiun lain. Dari berita yang tertulis di koran tersebut dikabarkan bahwa semua gerbong kereta ekonomi akan dihilangkan dan diganti gerbong yang setipe dengan kereta express. Adapun kereta ekonomi akan tetap diopersikan, tetapi hanya sedikit, dan akan melalui jalur rel lingkar luar, seperti halnya kereta ”nambo” (sebutan untuk kereta diesel yang masih dioperasikan untuk jalur Bogor-Sukabumi dan Bogor-Jakarta melalui Cibinong dan stasiun2 lain diluar jalur utama Bogor-Depok-Jakarta).
Di satu sisi, semua orang akan sepakat bahwa kondisi kereta ekonomi Jakarta-Bogor dan sekitarnya memang sangat perlu lebih ”dimanusiawikan”. Saya rasa, hanya kereta ekonomi di India yang mampu menyaingi kepadatan kereta ekonomi Jabotabek. Hmmmm... koreksi, kereta ekonomi India JAUH lebih padat dan tidak manusiawi dibanding Jabotabek (saya ragu, apakah ini kondisi yang patut disyukuri atau bukan... tapi minimal ini membuktikan bahwa pepatah ”diatas langit masih ada langit” memang ada benarnya). Akan tetapi, dari segi finansial para penumpang ekonomi, berita mengenai rencana tersebut menghadirkan mimpi buruk yang menggantung di siang bolong. Pasalnya, harga tiket kereta express yang 11 ribu itu jelas berbeda jauh dengan tiket ekonomi yang maksimal 2500 (dan itupun banyak yang tidak bayar, baik karena tidak mampu maupun karena.... yah, pengen ga bayar aja...). Kalau dihitung selama 1 bulan (22 hari kerja), artinya akan ada pembengkakan pengeluaran sebesar... mmm... silahkan hitung sendiri...
Bulan demi bulan berlalu.... kabar itu mulai dianggap sebagai angin lalu... (aduuh, bahasakuu...)
Kemudian...
2 bulan yang lalu, mulai muncul kereta jenis hibrida baru di jalur Jakarta-Bogor... kereta semi-express yang kadang disingkat ”Semex”. Yap, ini adalah species hibrida (persilangan) dari kereta ekonomi dengan kereta express. Kereta ini menggunakan gerbong-gerbong kereta express, lengkap dengan AC-nya, tetapi berhenti setiap dua atau tiga stasiun sekali. Dengan harga tiket 6000 rupiah, kereta ini mulai deperkenalkan dengan jadwal keberangkatan 08.27 WIB (tapi perasaan tadi pagi saya lihat harga tiketnya sudah dinaikkan jadi 11 ribu, entah untuk masa libur lebaran ini saja atau sampai selamanya saya tidak tahu).
Kereta semex ini, mulai mencuatkan kembali isu penghapusan kereta ekonomi. Dan dalam pikiran saya, kedepannya memang mungkin kereta hibrida inilah yang akan menggantikan peran kereta ekonomi secara total. Tentu secara perlahan, yaitu dengan menambah jadwal keberangkatannya (yang dengan sendirinya, akan menggeser atau menghapus jadwal kereta ekonomi).
Dari segi manajemen transportasi, langkah ini bisa dibilang merupakan langkah konkrit yang perlu dipuji dari PT KAI untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kereta commuting (ulang-alik) Jakarta-Bogor dan sekitarnya. Akan tetapi, dari segi ke-manusiawi-an, hal ini membuat saya cukup bertanya-tanya.
Kita memanusiawikan kereta, tapi tidak memanusiawikan taraf hidup manusianya...
Ha? Maksud lo?
Maksud saya begini....
Tiket semex memang ternyata tidak semengerikan yang dibayangkan orang. Tapi, ukuran ”tidak mengerikan” itu mungkin adalah ukuran saya. Bagaimana dengan ukuran penumpang ekonomi yang lain? Sementara, tentu diharapkan penumpang-penumpang ekonomi itu akan beralih ke semex dalam melakukan commuting.
Sekarang, apabila sekarang dengan harga 2500 saja banyak orang yang tidak (mampu) membeli tiket ekonomi, lantas bagaimana kita bisa mengharapkan mereka (mampu) membeli tiket semex?
Sementara kisah satu setengah tahun lalu mengenai seorang Supriono yang menggendong mayat anaknya, Khaerunissa, untuk dibawa ke Bogor dengan kereta ekonomi, tanpa bayar (karena hanya itu yang dia mampu untuk berusaha menguburkan anaknya seperti layaknya manusia), masih menyisakan air mata yang tertahan. Dan memang, belum semua masyarakat pengguna kereta mampu untuk membayar tiket kereta ekonomi sekalipun.
Maka, dalam bayangan saya, alih-alih memanusiawikan kereta, semex justru berpotensi untuk menciptakan kondisi yang makin tidak manusiawi. Sekarang kita pakai hitung-hitungan sederhana saja. Sebutlah misalnya ada 100 penumpang kereta ekonomi jadwal 7.44 WIB, dan ada 100 penumpang kereta ekonomi jadwal 8.05 WIB. Nah, misalnya kemudian jadwal Semex ditambah, dan ada semex jam 8.05, yang dengan sendirinya kemudian menghilangkan kereta ekonomi 8.05. Nah, dari 100 orang penumpang kereta ekonomi 8.05 tadi, sebutlah misalnya hanya 50 orang yang mampu untuk beralih menggunakan semex, sementara 50 lainnya tidak mampu karena gajinya belum naik, inflasi, harga barang-barang naik, uang sekolah mahal, dan sebagainya. Lantas apa yang akan terjadi? Bisa jadi, yang 50 itu akan berpindah ke kereta ekonomi 7.44 sehingga penumpang ekonomi 7.44 bertambah menjadi 150 orang dengan jumlah gerbong yang tetap sama. Bukankah ini berarti menciptakan kondisi yang makin tidak manusiawi untuk kereta ekonomi jadwal keberangkatan 7.44??
Berpindah ke bus antar kota?
Pasca kenaikan BBM terakhir, tarif bus antar kota Jakarta-Bogor ditambah dengan tarif bus dalam kota, angkot, dsb kalau dihitung-hitung malah jatuhnya bisa sama (atau lebih mahal) dibanding menggunakan kereta express (ini untuk kasus saya, entah untuk yang beraktifitas di daerah lain).
Tentu, ini sekedar hitungan sederhana saja...
Dan saya juga tentu tidak akan menuntut apa-apa dari PT KAI, karena meningkatkan taraf hidup masyarakat memang bukan tugas PT KAI.
Lantas, tugas siapa?
Memindahkan semua kereta ekonomi ke jalur lingkar luar (pinggiran) mungkin memang tepat untuk situasi yang ironik ini... pada akhirnya, kaum miskin memang selalu termarjinalkan... terpinggirkan (kali ini, secara denotatif).
Manusiawi.... hmmm... ternyata tidak semudah itu untuk menjadi ”manusia” di negara ini...
NB :
- Lantas, apa sih yang lu usulkan wan?
- Gak banyak sebenernya gw cuma pengen ngomong, kalo bisa, harga tiket semex nantinya sama dengan harga tiket ekonomi... atau kalau bisa, kereta ekonomi tetap ada, sampai masyarakat kita mampu untuk membayar lebih dari itu.
- haiyah, mau enak kok ga mau bayar lebih?
- Itu dia... apakah ”manusiawi” dan ”enak itu hanya untuk yang bisa bayar? Tentu... inilah masa dimana ketidakmampuan untuk membayar menjadi alasan untuk tidak diperlakukan selayaknya manusia!
- kok serem gini sih tulisan tentang keretanya?
- yaaa.... terkadang ada hal-hal yang tidak pantas untuk dijadikan bahan tertawaan... meskipun akan selalu ada alasan bagi kita untuk masih bisa tersenyum.
No comments:
Post a Comment