Tuesday, May 30, 2006

Kereta Meleduk!! (Cerita-cerita dari kereta, episode 9)


Manggarai, larut sore di pertengahan bulan Februari 2006 (atau Maret ya?? Januari?? Ya pokoknya bulan-bulan itu deh).

Kegelapan mulai menyelimuti Jakarta. Temaram Manggarai menjadi satu keseharian yang menjemukan bagi kami, kasta pekerja upahan. Kepenatan menjadi bekal sehari-hari yang menghiasi perjuangan hidup atas dasar cinta. Bukan cinta yang murah. Tapi cinta yang mulia.

Terkadang angin memilinkan jemarinya, menggelitik tubuh-tubuh yang basah oleh keringat, membuatnya ternsenyum.

---- stop press ----

Sebelum diteruskan, mari kita bertanya...

Aduh wan, bahasamu... bahasamu... sudahkah virus-virus merah jambu mengeluarkan mantranya di jari-jarimu? Dan mengapa pertanyaan ini juga menggunakan kosa kata yang hanya layak bagi para pujangga?

(Dalam bahasa sunda, ada satu kata yang dapat menjelaskan fenomena kata-kata semacam ini, yaitu : GEULEUH. Kalau ditambah dengan dua kata lagi, maka mereka adalah : HAYANG UTAH. Tentu diakhiri dengan sebuah tanda seru)

Tapi tak apa. Dalam cerita kereta kali ini, mari kita ber-romatis-puitik-ria, tanpa meninggalkan ciri khasnya untuk mengundang perenungan dan tawa, dua hal yang menjadikan kita... manusia. (Tah! Tingali pin! Kirang romantis kumaha deui sok?!?)

Eniwey... mari kita teruskan... dengan bahasa yang sekenanya aja...

Sampai dimana tadi??

O iya, temaram bla bla bla, angin kitik-kitik bla bla bla tadi ya??

----- end of “stop press” ----

Beberapa kereta ekspres ke Bogor dan Depok melintas. Kereta ekonomi terlambat (lagi). Sedikit keluhan terdengar di sana-sini. Walau akhirnya semua luluh atas nama kewajaran. Wajar memang kalau kereta ekonomi terlambat. Dalam dunia perkereta-apian, KRL ekonomi memang menduduki kasta terendah dalam giliran melintasi rel. Harus selalu mendahulukan kereta ekspres AC maupun kereta-kereta jarak jauh.

Meski begitu, alasan keterlambatan KRL ekonomi tidak hanya didominasi oleh sistem pergiliran lintas rel tadi. Alasan lain yang cukup signifikan dalam mengacak-acak jadwal kereta adalah kerusakan mesin. Sederhananya, mogok.

Selang habis sebatang dji sam soe bapak-bapak di sebelah saya, tanda-tanda kemunculan kereta ekonomi baru terlihat. Sebuah kereta gelap gulita terlihat merayap lambat dari arah utara. Lampu depannya tampak buram, tertatih berusaha melawan kegelapan malam yang masih remaja.

Beberapa calon penumpang di sekitar saya ragu untuk naik...

“Wah, odong-odong nih... mati semua lampunya... ntar tengah jalan mogok nih kayanya”

“udeeeh, kagak ada lagi, masih lama masuk kereta lagi. Udah naek ini ajalah. Bismillah.”

Karena kereta terlambat, calon penumpang sudah menumpuk cukup banyak di Manggarai. Saya sempat mengalami kecurigaan yang sama dengan dua calon penumpang di sebelah saya tadi. ”Odong-odong” adalah sebutan akrab untuk kereta yang nampaknya sudah butut seperti kaleng kerupuk, dan dikhawatirkan sering mogok. Asalnya, istilah ini sebenarnya merujuk pada gerobak zaman lawas yang ditarik seekor sapi.

Kecurigaan itu timbul karena tidak ada satupun gerbong yang nampak terang. Semuanya gelap, atau dengan kata lain, tidak ada satupun lampu didalam kereta yang menyala. Ini kondisi yang paling didam-idamkan oleh copet. Dan lebih jauh dari itu, menunjukkan kalau kereta itu memang sudah bobrok. Meski begitu akhirnya saya tetap memaksakan masuk. Maklum, sudah lewat isya.

Kereta melaju lambat...

Terlalu lambat...

Dan panasnya...

Lain dari biasanya.

Kali ini, jumlah penumpang terlalu padat, bahkan bagi kami yang sudah terbiasa. Kalau pada hari lain kami bisa berlindung pada angin yang masuk melalui sela-sela jendela, kali ini lambatnya laju kereta membuat angin tak bersuara. Keringat tak tertahankan untuk mengucur, sementara tubuh ditekan (dan menekan) dari (dan ke) segala sisi.

Tak tahan dengan kondisi, sebagian penumpang memilih untuk menyerah dan berguguran di Pasar Minggu. Kondisi yang kami syukuri, tentu saja, walau tak cukup signifikan untuk mengurangi kepadatan.

Kereta kembali melaju lambat... terlalu lambat... dan mulai menimbulkan berbagai spekulasi diantara penumpang. Tanjung Barat...

”mogok nih kayanya...”
”Bisa jadi, udah ngok-ngokan gini jalannya...”

”paling ampe Depok nih umurnya kereta”

”ah, semoga aja bisa nyampe bogor”

Seiring jalannya kereta yang makin melambat, disertai bunyi-bunyi yang menunjukkan bahwa lokomotif tengah bekerja terlalu berat, perbincangan dalam kereta semakin sepi. Semua menunggu, semua berharap, semua termenung sendiri (atau tidur karena bosan). Pada saat-saat begini, berharap kereta tidak mogok adalah sesuatu yang naif. Do’a yang sebaiknya dipanjatkan mungkin adalah ”semoga kalo mogok setidaknya di stasiun, bukan di middle of nowhere begini...”

Dan suasana semakin mencekam. Gelap gulita dan sunyi senyap dari candaan-candaan khas kereta. Hanya bunyi roda-roda kereta yang seolah dipaksa berputar terlalu keras, dan bunyi karet-karet diantara gerbong yang mulai terdengar seperti engsel pintu rusak. Keringat mulai mengucur lagi, karena gugup memikirkan apa yang akan terjadi.

(plis deh, paling juga mogok, takut amat sih??)

Dan celetukan-celetukan yang ada mulai berubah menjadi...

”SEMOGA umurnya ni kereta bisa nyampe Depok ...”

Lenteng Agung... Universitas Pancasila... terasa begitu lama terlewati...

Universitas Indonesia... akhirnya tiba juga. Tapi tetap terlalu lama dibanding biasanya. Tentu banyak kereta lain di belakang yang juga terpaksa melambat karena kereta yang saya naiki ini.

Sepintas saya mencium bau karet terbakar dan saya merasakan udara menjadi lebih pekat... asap. Ada yang merokok di tengah kepadatan seperti ini? Gila!

Tapi ini bukan bau asap rokok. Ini bau seperti karet terbakar. Cuma saya saja, atau semua juga mencium bau ini?

Pondok Cina... bau itu semakin tercium. Bunyi kereta semakin keras, dan laju kereta semakin melambat. Setelah ini Depok Baru, dan kami yakin kereta akan diistirahatkan disana (kalau sampai). Kereta berhenti terlalu lama di Pondok Cina, seolah tidak yakin untuk melanjutkan perjalanan satu stasiun lagi. Tapi akhirnya berangkat juga. Sempat mati sebentar selepas Pondok Cina, yang membuat orang-orang panik, tapi kemudian berjalan lagi.

Hening... semua berharap... ketika tiba-tiba, kesunyian itu dipecahkan oleh...

”HEH!! Kentut lu ya??”

”Set dah! Kagak! Sumpe deh gw kagak kentut. Lu kali!”

”Ni bau apaan ya?? Ngerokok lu??”

”Kalo ngerokok ya pasti keliatan apinya dong!”

”Iya ya... Ni bau banget nih...”

Dan udara semakin pekat. Asap. Tidak terlihat karena gelap, tapi terasa sesak di hidung. Asap yang kental, tanpa diketahui sumbernya dari mana. Kereta semakin lambat (lagi, dan hampir-hampir berhenti). Saya bertanya-tanya dalam hati, ”hanya perasaan saya saja, atau memang malam semakin gelap ya?”

Para penumpang, entah atas dorongan apa, semua melihat ke jendela dan pintu sebelah barat gerbong. Rumah-rumah penduduk terlihat sangat dekat. Aneh, orang-orang berdiri di depan rumah mereka, menonton kereta kami. Kami ditonton. Mengapa??

Akhirnya semua terjawab ketika seorang ibu-ibu di depan rumahnya yang berada di pinggir rel, hanya memakai sarung untuk menutupi bagian tubuhnya mulai dari dada sampai lutut, tiba-tiba berteriak pada kami.

”KEBAKARAAAAAN!!! KEBAKARAAAAN!!!! KERETANYA KEBAKAR!!! KELUAR SEMUA WOY!!”

Hening, satu detik...

Senyap, satu detik lagi berlalu...

..... dan satu detik lagi berlalu....

sebelum kemudian...

“WAAAAAAAA!!!!! WAAAA!!!! Keluar!! Ayo keluar!! Loncat semua!! Tolooong!!! Tolllooooonnnggg!!!! Turun cepetan pak!!!”

Teriakan penuh kepanikan menggema, sahut menyahut dari para wanita di gerbong. Histeria!! Terlalu berlebihan menurut saya. Para pria tetap cool dan tidak terlalu menunjukkan gejala panik. Tapi tetap saja panik..

Beberapa orang berusaha menenangkan yang lain...

“tenang bu, jangan loncat sekarang, tunggu keretanya berenti dulu, ntar jatoh...”

“tenang-tenang, ga kenapa-kenapa kok...”

“NGAAAAK PAAKK!! SAYA GA MAU MATIIII !!!!” Oke, buat saya, si ibu ini jelas-jelas terlalu berlebihan. Panik histeris seperti ini tidak menyelesaikan masalah. Tapi cukup lucu untuk disimak.

Sebenarnya kepanikan seperti itu cukup wajar, mengingat mulai banyak orang-orang yang berdiri di depan rumah-rumah mereka yang memang terletak di pinggir rel, berteriak-teriak soal kebakaran itu, yang entah di bagian sebelah mana kereta. Selain itu, kami semua mulai sadar kalau asap hitam ternyata sudah sejak tadi mengungkung kereta. Ternyata apa yang saya kira sebagai ”malam bertambah gelap” itu tak lain karena asap hitam tadi sudah memenuhi pandangan saya sejak tadi. Kontan saja penumpang bertambah panik, apalagi nafas semakin sesak. Ditambah lagi, waktu itu belum terlalu lama berlalu dari bayang-bayang insiden rubuhnya atap kereta yang menghebohkan itu.

Kereta akhirnya berhenti. Beberapa ibu-ibu melompat paksa keluar kereta, dan terjatuh. Melihat itu, proses turun kereta berusaha diatur oleh beberapa penumpang. Aturannya, beberapa pria turun duluan, lalu membantu yang wanita untuk turun. Sekelompok penumpang lain, tanpa mempedulikan asap yang semakin pekat, bercanda ria dan menyatakan untuk menunggu perbaikan kereta, tidak akan turun dari kereta itu. Akan tetapi, ketika salah seorang diantara mereka melihat ke gerbong sebelah, semua panik. Pasalnya, gerbong sebelah sudah kosong melompong. Seberkas cahaya entah dari mana menembus kepekatan asap di gerbong kosong itu, menghiasi suasana yang semakin mencekam. Hanya gerbong kami yang masih berisi penumpang!!!

Saya termasuk penumpang yang melompat turun terakhir.

Ternyata asap berasal dari lokomotif bagian depan. Asap mengebul dan beberapa percikan api masih terlihat. Masinis dan para pegawai kereta api yang lain sambil tertawa-tawa mencoba memperbaiki kereta, diiringi tatapan penasaran dari para penumpang yang sudah turun, sesekali diselingi umpatan kekesalan. Mereka tetap tersenyum-senyum saja. Dan sebagian besar penumpang memang lebih memilih untuk tersenyum.

Pada kondisi seperti ini, senyum memang tidak berfungsi sebagai penghibur. Ia lebih berfungsi sebagai alternatif. Alternatif ini biasanya akan diikuti dengan ungkapan kepasrahan semacam...”yaaah, namanya juga ekonomi... ya begini...”

Stasiun Pondok Cina sudah terlalu jauh. Depok Baru lebih menjanjikan.

Maka berjalanlah kami, para penumpang yang sudah kelelahan, tapi kehabisan pilihan, menyusuri rel sampai ke Depok Baru.

Beberapa menyebar ke perumahan penduduk, beberapa memilih berjalan menyusuri rel.

Mungkin rombongan kami berkisar beberapa ratus jiwa. Berjalan bersama.

Dalam keremangan malam, saya teringat film Tour of Duty yang dulu suka saya tonton di tivi. Di soundtrack awal dan akhirnya, disajikan video klip yang menggambarkan para tentara amerika berjalan berbaris, bersikap waspada, dengan latar belakang matahari yang tenggelam.

Kira-kira, penampakan kami seperti video klip Tour of Duty itu, dalam jumlah besar tentunya.

30 menit berlalu, gedung stasiun Depok Baru terlihat.

Kembali menunggu, dan kereta ekonomi berikutnya tiba. Kembali memaksakan diri untuk berdesakan didalam gerbong, karena penumpang sekarang adalah pasukan dari dua kereta, kami menuju pulang. Diselingi obrolan seru dari penumpang kereta yang mogok, dan pertanyaan-pertanyaan dari penumpang kereta yang kami kudeta ini, suasana mencair. Muka-muka tegang berubah mengendur. Setidaknya, malam ini, kami punya cerita.



NB : Gambar diambil dari http://www.tempointeraktif.com/hg/photostock/2005/04/05/s_K1a09407.jpg tapi mohon maaf, tanpa izin.

No comments: