Showing posts with label Cerita Kereta. Show all posts
Showing posts with label Cerita Kereta. Show all posts

Sunday, April 29, 2007

Jangan Persoalkan Cuaca! (Cerita-cerita Dari Kereta, Episode 15)


Bagi teman-teman yang kebetulan pernah kontak dengan saya via sebuah fasilitas untuk bercakap-cakap melalui internet (kita sebut saja inisialnya, YM!), mungkin beberapa kali pernah menemukan saya online dengan status line “hari tanpa kemeja”. Apakah maksud dari status ini?

Yaaah, saya tidak sedang bermaksud untuk mengembangkan segi narsistik dengan beranggapan bahwa teman-teman semua selalu ingin tahu kondisi saya. Tidak juga saya merasa iri dengan Dirly dan Ikhsan, dua jebolan Indonesian Idol tahun 2006 yang sekarang membuka line SMS bagi para penggemarnya untuk sekedar tahu mereka sedang apa di saat-saat tertentu (yang konon katanya dikirim langsung dari ponsel mereka). Selain karena saya memang bukan jebolan Indo Idol, ponsel saya kalau dipergunakan seperti itu juga nampaknya tidak bakal mampu. Maklum, satu-satunya yang bisa dibanggakan dari ponsel saya itu adalah ringtone-nya yang sudah pholiphonic. Lain dari itu, biasa saja. Tapi yang penting, alhamdulillah dibeli pakai uang sendiri =P.

Aaaah… pembukaan yang bertele-tele… ciri khas Awan sekaleeeeeee…

Sampai mana tadi?

O iya, soal “hari tanpa kemeja” itu ya...

Nah, buat yang MUNGKIN sekedar bertanya-tanya, “apakah saya benar-benar tidak pakai kemeja?” padahal kalau online biasanya saya sedang di kantor, maka akan saya katakan YA!, saya memang tidak pakai kemeja kalau sedang pasang status line itu. Mengapa? Mungkin Anda akan bertanya-tanya lagi. Dimana kemeja saya?

Kemeja saya, tak lain dan tak bukan, sedang dijemur. Dijemur di teras luar ruangan kantor saya (saya sangat beruntung mendapat tempat yang dibelakangnya terdapat semacam “teras”).

Lha, ada apa pakai jemur-jemuran segala?

Tentu karena kemeja saya basah, sehingga harus saya jemur. Basahnya ini juga bisa karena beragam hal. Bisa karena air hujan, dan bisa juga karena keringat setelah turun dari kereta ekonomi. Kalau karena keringat, keringat ini juga bisa bermacam-macam. Bisa keringat saya sendiri, bisa juga campuran berbagai keringat dari badan orang-orang yang menempel di tubuh saya waktu berdesakan di kereta. Yang jelas, apapun alasannya, membuat badan gerah!

Maka biasanya yang saya lakukan adalah membuka kemeja, tetap memakai kaus dalam (karena kalau itu dibuka juga, ada pergulatan batin dalam diri mengenai norma-norma kesopanan didepan rekan kerja yang banyak wanitanya), memakai jaket (yang tidak ikut basah karena biasanya dalam perjalanan saya simpan di tas), supaya dingin lalu menyalakan AC agak besar, lalu menjemur kemeja saya di luar. Setelah kemeja kering, barulah semuanya kembali normal.

Pada hari-hari semacam itu juga, memang ada beberapa teman yang suka bertanya... “Gimana caranya lu bisa keringetan kaya begitu??”

Kadang kala saya menjawab : “Iya nih, udara panas banget! Dari Bogor matahari udah terik, Jakarta apalagi! Keringetan deh satu kereta.”

Tapi kadang-kadang saya juga menjawab : “Iya nih, parah banget, dari Bogor ujan gede! Sampe jakarta udah agak reda sih, tapi udah pada keringetan deh satu kereta.”

Saya tidak sadar bahwa jawaban saya yang bervariasi itu justru menimbulkan kebingungan baru. Setelah agak sering saya ber-“hari tanpa kemeja”-ria, dengan jawaban yang variatif pula, salah seorang teman saya lantas menggugat: “Lu pegimane sih? Panas ngeluh! Ujan juga ngeluh! Mau lu apa sih?”

Kontan saya tersentak dan meluruskan pandangan itu, karena teringat slogan “Diklat Mahasiswa Muslim” tahun 2002 yang pernah saya ikuti ketika kuliah dulu (dan hampir dikeluarkan secara tidak hormat karena melanggar peraturan diklat – memalukan!) bahwa “Muslim Tangguh Pantang Mengeluh”. Saya jelaskan bahwa saya tidak mengeluh mengenai cuaca. Jawaban-jawaban itu adalah sekedar keterangan atas pertanyaan dia sendiri.

Iya kan?

Saya tidak terdengar seperti mengeluh kan?



IYA KAN??!?!?!!



AWAS kalau ada yang bilang saya mengeluh!



Yah, walau bagaimanapun, gugatan teman saya itu memang cukup membuka pertanyaan baru bagi saya, yaitu : “Jadi sebenarnya, kalau naik kereta ekonomi, lebih enak cuaca seperti apa? Panas? Atau Hujan?”

Mungkin Anda bisa membantu menjawab. Ya! Anda!

Bagaimana caranya? Silakan perhatikan perbandingan berikut, dan pikirkan baik-baik, kalau Anda naik kereta, Anda akan lebih memilih yang mana....

Pertama, cuaca panas.

Jelas, didalam kereta kalau sudah penuh sesak dan tak ada udara, kegerahan itu akan timbul dengan sendirinya. Berdiri jauh dari jendela adalah sebuah bencana. Oksigen adalah sesuatu yang langka. Apalagi semilir angin untuk mengusir keringat yang keluar dari pori-pori kulit anda... Tidak Ada! (Mengapa paragraf ini begitu berima?)

Otak kita tentu lantas akan memberi perintah untuk mendekati jendela. Nah, kalau begini Anda harus berhati-hati. Jangan dekati jendela yang salah! Salah bagaimana maksudnya?

Begini, kalau anda naik kereta pagi dari Bogor ke Jakarta, itu artinya Anda menuju ke Utara, dan ketika itu matahari sedang terbit dari Timur. Nah, kalau Anda mendekati jendela yang menghadap ke Timur (sebelah kiri kalau dilihat dari arah asal kereta), maka selain mendapat angin, Anda juga akan mendapat siraman cahaya mentari. Dan itu artinya, tambah panas! Saran saya, dekatilah jendela di sebelah barat. Tapi tentu, yang berpikiran seperti itu bukan hanya Anda saja. Jadi, sudah pasti area jendela barat akan lebih padat dari jendela Timur. Hal yang analog tapi berkebalikan juga berlaku kalau Anda naik kereta dari Jakarta ke Bogor sebelum jam 5 sore. Jangan dekati jendela yang menghadap ke arah Barat!

Jadi Anda punya 3 pilihan. Pertama, berdiri di tengah gerbong, tergencet dari kanan dan kiri (depan dan belakang juga), sehingga keringat keluar tanpa ada angin yang membantu. Kedua, mendekat ke jendela yang ada sinar mataharinya. Agak lebih lowong, dapat angin, tapi panas karena cahaya matahari. Ketiga, mendekat ke jendela yang tidak ada sinar mataharinya. Tidak ada panas matahari, tapi lebih padat, dan angin juga dibagi ke banyak orang. Apakah seperti tidak ada pilihan yang enak? Yah, itulah kalau cuaca sedang panas! Matahari seolah menjadi musuh karena MENAMBAH gerah dan pengap yang tanpa matahari pun sudah terasa karena padatnya manusia. Kesimpulannya hanya satu, jangan harap baju Anda akan tetap kering.

Sekarang, kalau cuaca hujan.

Yang jelas, anginnya akan lebih dingin, dan matahari yang biasanya memusuhi juga bersembunyi malu-malu dibalik awan kelabu (halah... sok puitis lagi...). Masalah mulai muncul ketika orang-orang yang biasanya Anda lihat naik di ATAS ATAP gerbong kereta, mulai terlihat masuk ke DALAM gerbong kereta. Bisa ditebak alasannya. Kalau tetap di atas, mereka kehujanan. Segila-gilanya mereka yang naik di atas, mereka menghindari kehujanan juga. Pada saat itu, kita yang biasanya geleng-geleng kepala kalau melihat ada orang naik di atas gerbong, akan kembali geleng-geleng karena melihat mereka masuk kedalam gerbong. Mengapa? Karena berarti gerbongnya tambah penuh dong!.

Demikian juga orang-orang (dan copet-copet) yang biasanya senaaaaaang sekali bergelantungan di pintu atau berdiri berdesakan di pintu (karena cari angin dari pintu). Kalau hujan, secara otomatis mereka akan mendesak ke tengah gerbong, menjauhi pintu, karena bukan angin yang mereka dapat, melainkan air hujan. Tutup pintunya? Sejak kapan kereta ekonomi pintunya ditutup? =)) Kalaupun bisa, tidak akan bisa ditutup semua. Minimal, jendela pintunya tetap terbuka karena tidak ada kacanya.

Lalu, kalau biasanya jendela menjadi sahabat karena menjadi tempat masuknya angin, sekarang malah menjadi musuh karena menjadi tempat masuknya air. Kontan saja, orang-orang yang tadinya berebut duduk jadi lebih memilih berdiri karena duduk berarti menjadi bulan-bulanan air. Menutup jendela (kalau memang masih ada kacanya) menjadi alternatif yang biasanya memang dipilih oleh para penumpang kereta. Dan Anda sadar kan? Menutup jendela berarti juga menutup jalan angin (walaupun angin itu disertai air hujan).

Kesimpulannya... gerbong kereta menjadi seperti akuarium yang penuh sesak ditengahnya, dan pengap karena tidak ada udara mengalir. Keringat kembali mengucur deras... Banyak orang memilih memakai jaket karena mendapat angin pada saat tubuh anda basah itu sama artinya dengan mengundang penyakit. Masuk angin dalam jangka pendek, dan paru-paru basah dalam jangka panjang.

Masalah lain yang harus dihadapi penumpang kereta ketika hujan adalah... BOCOR! Bocornya atap kereta yang mengakibatkan TETESAN-TETESAN air adalah sebuah gangguan (apalagi kalau tetesannya jatuh tepat di kepala Anda). Akan tetapi, kalau bocornya atap kereta itu mengakibatkan CUCURAN air, maka itu adalah sesuatu yang harus anda sikapi dengan... ikhlas... (pada bagian tubuh manapun cucuran itu menimpa Anda).

Nah, seperti itulah kira-kira perbandingannya. Yang mana jadi pilihan? Itu tergantung selera.

Kalau saya pribadi, saya lebih merindukan “mendung tak berarti hujan”. Pilihan lain tentu cerah yang disertai angin sepoi-sepoi dan matahari yang tak terlalu terik. Cuaca yang agak ideal mungkin... “berawan”.

Friday, January 05, 2007

Selingan... Kereta Numpang Lewat Doang...


Beberapa hari yang lalu tiga orang teman melalui fasilitas YM meminta untuk saya melist postingan-postingan cerita-cerita dari kereta, mulai episode 1 sampai terakhir. Ini karena tiga orang ini merupakan "pelanggan baru" (haiyah... kesannya dagangan... laku pula... terlalu memuji diri sendiri nampaknya), yang tertarik dengan cerita kereta, tapi AGAK MALAS untuk mengaduk-aduk postingan lama saya untuk mencari postingan-postingan tersebut.

Mengingat blog "cerita kereta" di blogdrive yang khusus memuat cerita-cerita dari kereta ini sudah saya hapus, saya rasa ada gunanya juga mereview postingan-postingan tersebut...
kalau tidak ada gunanya bagi anda, maka selingan ini silahkan tidak dibaca saja (walaupun kalau sudah sampai sini, berarti anda sudah terlanjur membacanya bukan?).

jadi...
inilah dia...
rangkaian cerita-cerita dari kereta...

1. Naik Kereta Api... Tut tut tuuuut (episode 1)

2. Kalau ada yang bilang bangsa kita bangsa pemalas, saya jitak! (episode 2)

3. Ketika Sholat Maghrib pun Menjadi Sebuah Kemewahan (episode 3)

4. Cakap Punya Cakap (episode 4)

5. Kuingin Slalu Dekat Di Sampingmu (episode 5)

6. Absolutely the Best Place to Shop (episode 6)

7. Komunitas Gerbong (episode 7)

8. It is an art... (episode 8)

9. Kereta Meleduk (episode 9)

10. Doktrinasi !!! (episode 10)

11. Berdarahkah Tuan yang Duduk di Belakang Meja? (episode 11)

12. SEMEX (episode 12)

13. Lha?! Ada toh yang Beginian?? (episode 13)


demikian rangkaian postingannya...

Setelah saya amat-amati (sendiri), ternyata ada perubahan pola, gaya dan topik penulisan mulai dari episode 11... kenapa ya?? kok kesannya tiba-tiba jadi serius gitu ya?? (nulis sendiri nanya sendiri, sepertinya juga punya jawaban sendiri). yah, mungkin memang tiba-tiba kereta mulai serius... atau saya sekedar kehabisan topik (ini yang bahaya!)

eniwey, cerita kereta episode 14 (kalau jadi), akan mengetengahkan "cakap punya cakap, updated!", yang mengambil pola dan bentuk mirip "cakap punya cakap (episode 4)".
tunggu tanggal mainnya!! =D

Lha?! Ada toh yang Beginian?? (cerita-cerita dari kereta, episode 13)

Lho?! Ada Ya Yang Beginian?

Bertemu kawan lama… tentu menyenangkan.

Begitupun dengan saya.

Ketika saya AKHIRNYA bisa kembali naik kereta Bogor-Tanah Abang jadwal keberangkatan 7.20 WIB, saya pun merasakan kebahagiaan bertemu kawan-kawan lama itu. Yaaah, setidaknya, saya menganggap mereka kawan, meskipun saya sebenarnya tidak tahu apakah mereka menganggap saya ADA atau tidak. (duuuh, kesannya cinta yang bertepuk sebelah tangan banget ya... jadi inget cerita-cerita cinta picisan =P, remaja banget lah...)

Sebagai latar belakang, mungkin sepenggal kisah perlu diulang.

Sampai sekarang, mungkin sudah lebih dari satu setengah tahun saya berpetualang di kereta (lebih tepatnya mungkin “baru” satu setengah tahun). Pada masa itu, beberapa bulan pertama banyak saya habiskan di kereta pagi, jadwal keberangkatan jam 06.30-07.00 WIB. Setelah itu, karena sering terlambat, saya mulai sering naik kereta jurusan tanah abang jadwal keberangkatan 7.20.

Setelah itu, saya mulai rutin naik kereta tanah abang itu karena ternyata jarak dari stasiun Sudirman (yang dilalui oleh kereta tanah abang) lebih dekat ke kantor saya dibanding dari Cikini atau Manggarai. Selain itu, jarak antara Stasiun Sudirman dengan kantor juga bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 15 menit (jalan cepat, bisa jadi karena kebelet ingin ke WC) sampai 25 menit (jalan luar biasa santai, sambil tengok kiri kanan atau sekedar menghirup udara segar bercampur timbal dari asap knalpot). Mengingat tubuh saya yang mulai menggembung karena kurang olah raga, maka jalan kaki di pagi hari tentu bisa menjadi alternatif yang murah meriah (saking murahnya, bahkan malah bisa menghemat ongkos).

Maka jadilah saya mulai rutin naik kereta tanah abang. Lebih spesifik, gerbong 3 (dihitung dari belakang). Kenapa pilih gerbong 3? Bisa dibaca di Cerita Kereta episode 7 (Komunitas Gerbong).

Tanpa terasa, rutinitas di kereta tanah abang itu berjalan sampai hampir satu tahun. Seperti kata pepatah “tumbuh cinta karena biasa”, maka saya pun merasa “bersahabat” dengan para penumpang gerbong 3 tanah abang itu. Tentu saja, wujud persahabatan itu tidak lebih dari sekedar senyum atau sapaan-sapaan khas kereta (semacam: “panas ya mas?” atau “penuh gini ya...” atau “yaaah, gini deh, namanya ekonomi, disalipin melulu sama expres”, dsb). Saya memang sangat jarang berinteraksi langsung dengan penumpang lain, seperlunya saja. Saya lebih suka memperhatikan atau mendengarkan obrolan mereka, dan diam-diam ikut berpikir (kalau perbincangannya serius) atau menahan tawa (kalau perbincangannya LEBIH serius lagi).

Setelah itu, ternyata kebiasaan lama saya yang buruk itu kembali hadir. TERLAMBAT. Ya, ini satu kebiasaan buruk saya yang kerap melekat. Karena sering terlambat mengejar kereta tanah abang, maka saya mulai terbiasa naik kereta jurusan Kota (Jakarta) jadwal keberangkatan 7.44 WIB. Apalagi kemudian saya mendapat teman seperjalanan (Bogor-Cikini), maka saya menjadi pelanggan rutin kereta 7.44 ini.

Setelah hampir setengah tahun ini berpetualang di kereta 7.44, entah kenapa, menjadi sangat sulit bagi saya untuk sekali-sekali berkunjung ke kereta 7.20

-alaaaaaaaaaaah, udalah wan, ga usah ja’im!! Bilang aja TELAT MOLOOOOOOO!!!!!-

Yah... mari kita lewat saja topik tadi...

Beberapa minggu yang lalu, akhirnya saya bersama teman yang biasanya bersama-sama naik kereta 7.44 bisa naik kereta tanah abang 7.20. Selain karena memang ada keperluan untuk berangkat lebih pagi, saya juga memang sudah cukup rindu untuk kembali kesana.

Setelah melewati stasiun Bojonggede, saya perhatikan bahwa ternyata komunitas gerbong 3 seperti yang dulu pernah diceritakan di Cerita Kereta episode 7 (Komunitas Gerbong) memang sudah tidak lengkap lagi. Cukup banyak penumpang lama yang sudah tidak terlihat lagi. Entah berpindah jadwal (seperti saya), pindah gerbong, atau mungkin sudah meningkat status ekonominya sehingga berpindah ke moda kereta expres atau bus.... dan mungkin juga ada alasan-alasan lain semisal seorang roker (rombongan kereta) wanita yang setelah wanita kemudian disarankan untuk tidak perlu bekerja lagi oleh suaminya atau tidak boleh naik kereta lagi oleh suaminya. Intinya, banyak lah yang bisa jadi alasan.

Meski begitu, banyak juga yang masih tetap. Rombongan Bojong misalnya, sebagian besar masih tetap sama. Termasuk “Pak J” dan kawan-kawannya yang masih tetap menjadi motor keceriaan (dan kekesalan) di gerbong ini.

Beberapa pasang mata yang seperti sudah begitu lama saya kenal melihat saya dengan tatapan bertanya-tanya. Mungkin dalam hati mereka memang bertanya-tanya... “kayak pernah kenal...” (atau kira-kira begitulah). Saya tersenyum sedikit ke mereka yang dulu memang terbiasa berdiri dekat saya, dan mereka pun balas tersenyum sebentar, lalu kembali berbincang riuh rendah dengan kawan-kawannya.

Topik perbincangan (dan keramaian) di gerbong 3 kereta tanah abang ini memang relatif lebih “berkualitas” dibanding gerbong 3 kereta 7.44. Memang sering juga yang muncul adalah candaan-candaan khas kereta atau celetukan-celetukan yang sekedar mengundang tawa. Akan tetapi, kalau sudah serius, ya serius. Topiknya bermacam-macam, mulai dari permasalahan rumah tangga, intrik politik di kelurahan (nampaknya rombongan ini rumahnya satu kompleks atau satu kelurahan), persoalan manajemen kereta, pemilu, pemerintahan, sampai filsafat. Kemarin itu, kebetulan sedang hangat-hangatnya kasus Yahya Zaini – Maria Eva, dan poligami. Maka, tidak heran kalau perbincangan serius yang terjadi adalah seputar poligami.

Perbincangan serius semacam ini sangat jarang terjadi (bahkan seingat saya tidak pernah) di gerbong 3 kereta 7.44. Rombongan yang dominan di gerbong 3 kereta 7.44 ini biasanya sibuk saling cela-mencela (sampai kadang ada yang pundung/ngambek dan turun di stasiun terdekat untuk naik kereta selanjutnya), atau main kartu domino untuk menggilir tempat duduk (yang menang boleh duduk).


Sekedar melepas kerinduan, sekali-sekali bolehlah...

Yah, mungkin saja (kalau saya sudah bisa tidak terlambat lagi), saya akan kembali rutin menumpang di gerbong 3 kereta tanah abang ini.

----------

-Udah? Segitu aja cerita keretanya? Kok pendek amat wan? Biasanya sampai 5 lembar A4 spasi 1 times new roman 12?-

---------

Ya belom dong!!! =D

Belom beres =D

Beberapa waktu lalu, wanita yang satu ini (frase ini terbukti pernah menjadi pengalih perhatian yang baik pada salah satu postingan terdahulu, entah mengapa) pernah memberi saya sebuah tulisan yang cukup lucu. Lucu karena saya baru tahu kalau yang seperti ini ternyata ada.

Tulisannya adalah tentang Standard Tingkat Kepadatan Penumpang Kereta Api, yang bersumber dari buku berjudul “Indikator Penilaian Kawasan untuk Menentukan Pola Penyediaan permukiman Perkotaan” karya Kuswara, ST,MA dan diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puslitbangkim – Dept. PU). Dalam buku itu memang dituliskan juga berbagai macam aspek lain dalam manajemen kereta api seperti Karakteristik Pelayanan KA, Kategori Jaringan Pelayanan Angkutan, Kategori Jenis dan Kondisi Simpul KA (Stasiun), dan sebagainya. Tapi standard tingkat kepadatan penumpang adalah topik yang paling menarik bagi saya.

Dalam buku itu disebutkan beberapa tingkatan kepadatan sebagai berikut :

- 100% = kapasitas tempat duduk penuh, para penumpang merasa nyaman, mendapatkan tempat duduk, dapat bergantung pada tali atau memegang tiang di dekat pintu.

- 150% = walaupun bahu saling bersentuhan, para penumpang masih cukup ruangan untuk membaca koran

- 180% = walaupun badan beradu satu sama lain, penumpang masih dapat membaca majalah (perhatikan bedanya saudara-saudara, majalah dan koran memang jelas jauh berbeda ukurannya)

- 250% = para penumpang bergoyang setiap waktu pada saat kereta api berjalan dan mereka tidak dapat bergerak.

Wakakakakakak......

Ternyata ada juga ya yang berinisiatif menyusun standard semacam ini. Yah, walaupun saya tidak tahu dasar pemikirannya sehingga bisa menyebutkan angka-angka prosentase kepadatan itu (dan kondisi yang digambarkannya), tapi standard ini cukup bagus.

Lalu, kepadatan di KRL Jabodetabek itu termasuk tingkatan yang mana?

Nah, itu jawabannya bisa sangat bervariasi, tergantung jadwal keberangkatan, gerbong, ukuran tubuh anda, apakah ada kereta mogok atau tidak, dan sebagainya.

Untuk siang hari, tentu kepadatannya akan kurang dari 100%. Tapi untuk pagi dan sore hari (jam-jam terpadat), sepertinya standard itu perlu ditambah satu tingkat lagi. Yaah, kalau pada tingkat 250% penumpang masih bisa bergoyang (meski tidak dapat bergerak), perlu ada satu tingkat lagi yang menggambarkan kondisi penumpang tidak bisa bergoyang dan tidak juga bisa bergerak (apalagi baca koran). 300% mungkin? Atau 350%?

Yah.... meski begitu, sebagai orang Indonesia, kita tetap harus punya sesuatu untuk tetap bisa berkata.... “yaaaah, masih mending lah... daripada...”

Kalau kita membandingkan kondisi kereta ekonomi jabodetabek ini dengan kereta ekonomi di India misalnya... saya rasa kita bisa banyak bersyukur dan mengucapkan kata-kata tadi (“yaaah, masih mending lah...daripada...”). Mengapa? Karena ketika melihat foto-foto kereta ekonomi di India (saya dapatkan dari seorang teman yang mengirim e-mail pada saya, jadi saya tidak tahu darimana sumbernya), saya rasa kereta ekonomi di kita masih “ecek-ecek”.

Kalau yang di India itu dibandingkan dengan standard tadi?

Yaaah, mungkin masih perlu dua tingkatan lagi. Sampai 500% mungkin?

Monday, October 30, 2006

Semex (cerita-cerita dari kereta, episode 12)

Sekitar setengah tahun yang lalu, pada sebuah pagi yang cerah di Stasiun Kota Bogor, para calon penumpang dihebohkan oleh teriakan-teriakan para tukang koran yang cukup provokatif !!

“Beli koran temponya nih, kereta ekonomi mau diilangin!! Ekonomi diapus!!”

mendadak sontak, tentu saja para tukang koran ketiban durian runtuh karena berita mengejutkan itu. Semua mendadak ingin membeli koran tempo untuk membuktikan kebenaran isi teriakan-teriakan tadi. Beberapa tukang koran yang kehabisan stok koran tempo kemudian menawarkan koran lain ke calon pembelinya, akan tetapi kemudian dikembalikan lagi oleh si pembeli karena berita yang dicari tidak ada di koran-koran lain. Hanya ada di koran tempo. Dan memang benar, berita akan dihapuskannya kereta ekonomi itu memang disajikan di koran tempo, dalam dua halaman.

Saya pun berusaha mencuri baca dari orang-orang di sekitar saya, dengan melirik-lirik koran yang sedang dibaca orang lain. Perlahan tapi pasti, orang-orang yang saya lirik korannya itu mulai misuh-misuh menunjukkan keterusikannya atas tindak-tanduk saya. Tentu dengan muka masam dan mata yang seolah berkata, ”beli ndiri napa bang ?!!? serebu doang getoo!!”

Seketika, cuaca cerah Bogor pagi itu langsung ditandingi oleh wajah-wajah mendung para penumpang ekonomi. Tidak hanya di Bogor, berita itu ternyata juga menjadi topik obrolan yang hangat di kalangan penumpang-penumpang dari stasiun lain. Dari berita yang tertulis di koran tersebut dikabarkan bahwa semua gerbong kereta ekonomi akan dihilangkan dan diganti gerbong yang setipe dengan kereta express. Adapun kereta ekonomi akan tetap diopersikan, tetapi hanya sedikit, dan akan melalui jalur rel lingkar luar, seperti halnya kereta ”nambo” (sebutan untuk kereta diesel yang masih dioperasikan untuk jalur Bogor-Sukabumi dan Bogor-Jakarta melalui Cibinong dan stasiun2 lain diluar jalur utama Bogor-Depok-Jakarta).

Di satu sisi, semua orang akan sepakat bahwa kondisi kereta ekonomi Jakarta-Bogor dan sekitarnya memang sangat perlu lebih ”dimanusiawikan”. Saya rasa, hanya kereta ekonomi di India yang mampu menyaingi kepadatan kereta ekonomi Jabotabek. Hmmmm... koreksi, kereta ekonomi India JAUH lebih padat dan tidak manusiawi dibanding Jabotabek (saya ragu, apakah ini kondisi yang patut disyukuri atau bukan... tapi minimal ini membuktikan bahwa pepatah ”diatas langit masih ada langit” memang ada benarnya). Akan tetapi, dari segi finansial para penumpang ekonomi, berita mengenai rencana tersebut menghadirkan mimpi buruk yang menggantung di siang bolong. Pasalnya, harga tiket kereta express yang 11 ribu itu jelas berbeda jauh dengan tiket ekonomi yang maksimal 2500 (dan itupun banyak yang tidak bayar, baik karena tidak mampu maupun karena.... yah, pengen ga bayar aja...). Kalau dihitung selama 1 bulan (22 hari kerja), artinya akan ada pembengkakan pengeluaran sebesar... mmm... silahkan hitung sendiri...

Bulan demi bulan berlalu.... kabar itu mulai dianggap sebagai angin lalu... (aduuh, bahasakuu...)

Kemudian...

2 bulan yang lalu, mulai muncul kereta jenis hibrida baru di jalur Jakarta-Bogor... kereta semi-express yang kadang disingkat ”Semex”. Yap, ini adalah species hibrida (persilangan) dari kereta ekonomi dengan kereta express. Kereta ini menggunakan gerbong-gerbong kereta express, lengkap dengan AC-nya, tetapi berhenti setiap dua atau tiga stasiun sekali. Dengan harga tiket 6000 rupiah, kereta ini mulai deperkenalkan dengan jadwal keberangkatan 08.27 WIB (tapi perasaan tadi pagi saya lihat harga tiketnya sudah dinaikkan jadi 11 ribu, entah untuk masa libur lebaran ini saja atau sampai selamanya saya tidak tahu).

Kereta semex ini, mulai mencuatkan kembali isu penghapusan kereta ekonomi. Dan dalam pikiran saya, kedepannya memang mungkin kereta hibrida inilah yang akan menggantikan peran kereta ekonomi secara total. Tentu secara perlahan, yaitu dengan menambah jadwal keberangkatannya (yang dengan sendirinya, akan menggeser atau menghapus jadwal kereta ekonomi).

Dari segi manajemen transportasi, langkah ini bisa dibilang merupakan langkah konkrit yang perlu dipuji dari PT KAI untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kereta commuting (ulang-alik) Jakarta-Bogor dan sekitarnya. Akan tetapi, dari segi ke-manusiawi-an, hal ini membuat saya cukup bertanya-tanya.

Kita memanusiawikan kereta, tapi tidak memanusiawikan taraf hidup manusianya...

Ha? Maksud lo?

Maksud saya begini....

Tiket semex memang ternyata tidak semengerikan yang dibayangkan orang. Tapi, ukuran ”tidak mengerikan” itu mungkin adalah ukuran saya. Bagaimana dengan ukuran penumpang ekonomi yang lain? Sementara, tentu diharapkan penumpang-penumpang ekonomi itu akan beralih ke semex dalam melakukan commuting.

Sekarang, apabila sekarang dengan harga 2500 saja banyak orang yang tidak (mampu) membeli tiket ekonomi, lantas bagaimana kita bisa mengharapkan mereka (mampu) membeli tiket semex?

Sementara kisah satu setengah tahun lalu mengenai seorang Supriono yang menggendong mayat anaknya, Khaerunissa, untuk dibawa ke Bogor dengan kereta ekonomi, tanpa bayar (karena hanya itu yang dia mampu untuk berusaha menguburkan anaknya seperti layaknya manusia), masih menyisakan air mata yang tertahan. Dan memang, belum semua masyarakat pengguna kereta mampu untuk membayar tiket kereta ekonomi sekalipun.

Maka, dalam bayangan saya, alih-alih memanusiawikan kereta, semex justru berpotensi untuk menciptakan kondisi yang makin tidak manusiawi. Sekarang kita pakai hitung-hitungan sederhana saja. Sebutlah misalnya ada 100 penumpang kereta ekonomi jadwal 7.44 WIB, dan ada 100 penumpang kereta ekonomi jadwal 8.05 WIB. Nah, misalnya kemudian jadwal Semex ditambah, dan ada semex jam 8.05, yang dengan sendirinya kemudian menghilangkan kereta ekonomi 8.05. Nah, dari 100 orang penumpang kereta ekonomi 8.05 tadi, sebutlah misalnya hanya 50 orang yang mampu untuk beralih menggunakan semex, sementara 50 lainnya tidak mampu karena gajinya belum naik, inflasi, harga barang-barang naik, uang sekolah mahal, dan sebagainya. Lantas apa yang akan terjadi? Bisa jadi, yang 50 itu akan berpindah ke kereta ekonomi 7.44 sehingga penumpang ekonomi 7.44 bertambah menjadi 150 orang dengan jumlah gerbong yang tetap sama. Bukankah ini berarti menciptakan kondisi yang makin tidak manusiawi untuk kereta ekonomi jadwal keberangkatan 7.44??

Berpindah ke bus antar kota?

Pasca kenaikan BBM terakhir, tarif bus antar kota Jakarta-Bogor ditambah dengan tarif bus dalam kota, angkot, dsb kalau dihitung-hitung malah jatuhnya bisa sama (atau lebih mahal) dibanding menggunakan kereta express (ini untuk kasus saya, entah untuk yang beraktifitas di daerah lain).

Tentu, ini sekedar hitungan sederhana saja...

Dan saya juga tentu tidak akan menuntut apa-apa dari PT KAI, karena meningkatkan taraf hidup masyarakat memang bukan tugas PT KAI.

Lantas, tugas siapa?

Memindahkan semua kereta ekonomi ke jalur lingkar luar (pinggiran) mungkin memang tepat untuk situasi yang ironik ini... pada akhirnya, kaum miskin memang selalu termarjinalkan... terpinggirkan (kali ini, secara denotatif).

Manusiawi.... hmmm... ternyata tidak semudah itu untuk menjadi ”manusia” di negara ini...

NB :

- Lantas, apa sih yang lu usulkan wan?

- Gak banyak sebenernya gw cuma pengen ngomong, kalo bisa, harga tiket semex nantinya sama dengan harga tiket ekonomi... atau kalau bisa, kereta ekonomi tetap ada, sampai masyarakat kita mampu untuk membayar lebih dari itu.

- haiyah, mau enak kok ga mau bayar lebih?

- Itu dia... apakah ”manusiawi” dan ”enak itu hanya untuk yang bisa bayar? Tentu... inilah masa dimana ketidakmampuan untuk membayar menjadi alasan untuk tidak diperlakukan selayaknya manusia!

- kok serem gini sih tulisan tentang keretanya?

- yaaa.... terkadang ada hal-hal yang tidak pantas untuk dijadikan bahan tertawaan... meskipun akan selalu ada alasan bagi kita untuk masih bisa tersenyum.

Monday, August 28, 2006

Berdarahkah Tuan Yang Duduk Di Belakang Meja? (Cerita-cerita dari Kereta, episode 11)

Kalau saya tidak salah mengingat tanggal (sekedar pengakuan, perkara tanggal dan waktu ini sebenarnya adalah salah satu kelemahan saya... dan itulah sebabnya mengapa saya tidak pernah ingat ulang tahun orang...), peristiwa ini terjadi pada tanggal 11 Mei 2006.

Pagi itu sebenarnya pagi yang cerah, bahkan menjurus panas. Pada bulan Mei tersebut saya sudah mulai terbiasa untuk naik KRL jurusan Jakarta Kota pemberangkatan pukul 7.44 WIB, dan mulai meninggalkan KRL jurusan Tanah Abang pemberangkatan pukul 7.20 WIB. Pada pagi hari tanggal 11 Mei 2006 itu, saya tidak terlalu terlambat. Sesuai perhitungan, saya tiba di stasiun besar Bogor sekitar pukul 7.18 lewat 4 detik (halah, sok ngitung!). Maka saya segera bergegas menuju peron untuk mengejar kereta tanah abang (seperti biasa, gerbong 3 jadi incaran). Akan tetapi, fenomena yang saya lihat di stasiun pagi itu sungguh tidak terduga...

Aneh... sudah jam segini, tapi wajah-wajah yang biasa mengisi gerbong 3 kereta tanah abang (pemberangkatan 7.20)maupun kereta ke kota (pemberangkatan jam 7.44) masih berkeliaran di peron stasiun. Lebih aneh lagi, dari 8 jalur rel di Stasiun Besar Bogor, ada 5 jalur yang terisi, semuanya KRL ekonomi, dan semuanya kosong. Bukannya mengisi gerbong-gerbong kereta, pagi itu, para calon penumpang bergerombol di peron-peron stasiun. Saya perkirakan berkisar beberapa ratus atau mungkin sampai angka 1000an orang yang memadati peron-peron stasiun. Jelas ada masalah...

Selidik punya selidik, dari beberapa calon penumbang yang berwajah familiar (atau famiLIEUR), saya memperoleh informasi bahwa KRL dari jam 6.30 tidak ada yang jalan, entah karena alasan apa. Kabarnya, ada alat (apa gitu saya tidak terlalu tahu) di pos pengendali stasiun yang mengalami gangguan. Akan tetapi, tetap aneh karena kereta ekspres pukul 7.00 dan 7.15 bisa tetap diberangkatkan. Kalau alat di stasiun ada yang rusak, kenapa cuma KRL ekonomi yang tidak diberangkatkan? Berita menjadi simpang siur karena tidak ada pengumuman resmi maupun informasi dari petugas stasiun.

Orang-orang semakin gelisah, gundah, marah.

Bagi siapapun yang mengetahui sedikit saja tentang manajemen massa, tentu paham bahwa berkumpulnya massa yang tidak terkoordinir dalam jumlah besar di satu titik pada satu waktu sangat potensial untuk berkembang menjadi kerusuhan, atau minimal keributan. Apalagi, ada kondisi yang menjadi ”musuh bersama”, yang dalam hal ini adalah kondisi tidak jalannya KRL ekonomi tanpa disertai info apapun.

Dan benar saja...

Dari sayap utara, segerombolan orang mulai terdengar berteriak-teriak menuntut penjelasan dari pihak petugas stasiun. Beberapa lama ditunggu, penjelasan yang dinanti tak kunjung datang. Suasana mulai bertambah panas. Sebagian calon penumpang memilih pergi dari stasiun, nampaknya ingin naik bus dari terminal baranang siang. Akan tetapi, sebagian besar memilih bertahan, entah untuk melampiaskan kemarahan atau karena tidak ada uang untuk naik bus. Di beberapa sudut mulai terdengar kata-kata yang paling berbahaya untuk diucapkan dalam suasana seperti itu : ”Ancurin!”, ”Bakar!”, dan kata-kata sejenisnya.

Beberapa orang mencoba memasuki kantor pengurus stasiun, mencoba mendapat penjelasan, mungkin dengan tujuan untuk menenangkan massa yang lain. Akan tetapi, orang-orang yang masuk ke kantor stasiun itu kemudian malah terlihat dikeluarkan dengan paksa dari kantor stasiun. Beberapa teriakan terdengar. Marah. Sebagian mulai menyerbu ke kantor stasiun, namun masih dapat dikendalikan. Sebagian orang yang awalnya duduk di dalam gerbong-gerbong kereta bermunculan keluar, menambah penuh peron-peron.

Tak lama kemudian, kira-kira pukul 7.30, terjadilah...

Sekelompok pria mengambil batu-batu dari rel, besar maupun kecil, lalu melemparkannya ke arah stasiun, kantor stasiun, jam gantung, dan... apa saja yang bisa dilempar.

Mereka bergerak menyisir dari sayap utara, ke sayap selatan, dan apa-apa yang terlihat di depan mereka, terkena lemparan batu.

Orang-orang (pria dan wanita) bersorak-sorak sambil bertepuk tangan : ”NAH! GITU! ANCURIN SEKALIAN!! BAKAAAAR!!!”.

Mereka yang di sayap selatan sibuk menyemangati (wow, provokator sekaleeee) dan melompat-lompat seperti habis minum ekstasi (sok berima, padahal ga nyambung). Yang lain cukup menonton saja.

Saya dan beberapa orang lain yang masih memakai kepala dingin (abis minum teh botol pake es), mengingatkan sekelompok ibu-ibu yang menonton di dekat kantor stasiun. Bukan apa-apa, mereka juga bisa kena lemparan batu. Seolah terjaga dari mimpi, mereka lalu bergegas mengungsi ke sayap selatan stasiun, dekat WC umum dan mushola.

Seorang bapak-bapak bertindak heroik. Lemparan batu mulai tidak terkendali, mulai mengarah ke toko dunkin donut dan warung-warung di stasiun (yang tentu tidak ada sangkut pautnya dengan mandegnya kereta). Si bapak tadi, tanpa mempedulikan batu-batu yang bisa saja mengenainya, berdiri di depan dunkin donut sambil mengangkat kedua tangan, menyetop lemparan batu supaya tidak mengenai mereka yang tidak bersalah. Ya, bisa jadi si bapak itu pemberani, tapi saya lebih menyebutnya ”gegabah”.

Penyisiran berhenti, pelemparan batu terus berlanjut, mengarah ke kantor stasiun, meskipun kaca-kaca dunkin donut sudah terlanjur pecah. Tak lama kemudian, barang-barang yang melayang makin mengagetkan. Bangku-bangku panjang dari warung mulai ikut melayang, memecahkan kaca-kaca. Setelah itu, TONG SAMPAH (berupa drum perukuran pendek) pun mulai lepas landas, dan mendarat sembarangan. Luar biasa kacau beliau (balau)....

Para petugas stasiun berhamburan entah kemana. Beberapa petugas yang saya kenali wajahnya ternyata telah berganti baju, menyamar, dan... ikut tepuk tangan.

Sebagian massa mulai meninggalkan stasiun.

Tak lama kemudian, polisi datang (tidak banyak, jumlah dibawah 10 orang, beberapa diantaranya pejabat polres). Melihat kondisi massa, mereka mengambil langkah simpatik untuk menenangkan massa. Seorang pejabat polres berbicara melalui corong resmi stasiun, dan mengatakan bahwa KRL-KRL akan segera diberangkatkan, dengan terlebih dahulu mengucapkan salam dan permohonan maaf. Salut! Tanpa kekerasan, kerusuhan dapat dikendalikan.

Memang, tak lama kemudian, sekitar pukul 8.00, 4 kereta langsung diberangkatkan berturut-turut. Para calon penumpang langsung menyerbu kereta-kereta, dan diberangkatkan. Menyisakan kerusakan, kerusuhan berakhir... tanpa ada yang sibuk mencari kambing hitam.

-----

Terjadinya kerusuhan itu menurut saya cukup patut disesali...

Bagaimanapun, kemarahan para calon penumpang tadi cukup bisa dimengerti. Terkadang memang banyak yang tidak memikirkan, kalau ketepatan jadwal kereta kadang sangat berarti bagi para pengguna KRL. Banyak alasannya. Selain menghindari kemarahan bos, ada juga perusahaan-perusahaan (dan instansi) yang misalnya hanya memberi jatah uang makan siang pada karyawan yang datang tepat waktu. Ada yang janjian sama orang, ada yang mau cepat-cepat jualan di pasar, ada yang mau ini, ada yang mau itu. Apapun alasannya, memang tidak manusiawi untuk membiarkan para calon penumpang yang memiliki sejuta mimpi dan rencana itu dalam kebimbangan dan ketidakjelasan jadwal kereta (halah, bahasanya...).

Tapi...

Para pelaku kerusuhan itu, para calon penumpang yang marah itu, bisa dibilang salah sasaran. Kalau ada satu jenis konflik dalam masyarakat yang paling saya sesalkan, itu adalah konflik horizontal. Konflik antar sesama kelompok masyarakat yang senasib.

- mmm... maksud lu apaan sih wan? -

Maksud saya, walau bagaimanapun, kondisi sosial ekonomi yang menyelimuti para karyawan, para pekerja, juga dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil oleh para bos. Demikian juga dengan kebijakan-kebijakan teknis, seringkali para karyawan hanyalah orang yang melaksanakan kebijakan, bukan membuat. Maka, kalaupun ada kemarahan terhadap suatu sistem, semestinya tidak dialamatkan pada para petugas stasiun yang hanya menjalankan perintah atasan. Semestinya justru dialamatkan pada para pembuat kebijakan itu! Lebih jauh lagi, kekecewaan terhadap sistem perkereta-apian di Indonesia semestinya dialamatkan pada para petinggi PT KAI, dan Menteri Perhubungan!! Bukan pada para petugas stasiun, penjaga langsiran, penjaga pintu perlintasan, dan kawan-kawannya.

Lha wong sama-sama RBT kok... (Keterangan : RBT = Rakyat Banting Tulang)

Tentu, kerusuhan tersebut sebenarnya hanyalah puncak-puncak kecil dari sebuah gunung es permasalahan di dunia perhubungan dan transportasi di Indonesia. Ia bukanlah penyakit itu sendiri, melainkan hanya gejala-gejalanya. Meski begitu, menyelidiki gejala adalah salah satu pendekatan dalam menemu-kenali penyakit.

Permasalahan dalam manajemen perkereta-apian di Indonesia, sayangnya, memang hanya banyak dibahas apabila terjadi letupan-letupan seperti ini saja, termasuk bila terjadi kecelakaan kereta. Itu pun, biasanya hanya terhenti pada sebab-sebab klise seperti kelalaian petugas persinyalan, kelalaian penjaga pintu perlintasan, kereta yang terlalu padat, sampai terlalu banyaknya penumpang yang naik di atap (pada kasus ambruknya atap kereta beberapa waktu lalu). Setelah itu ditutup dengan permintaan maaf dan ucapan belasungkawa dari para petinggi dephub atau PT KAI. Kadang ada juga isu-isu mundur-tidaknya pejabat, yang kemudian lebih sering berujung pada : tidak jadi mundur. Tentu dengan alasan bahwa mundur tidaknya satu orang belum tentu bisa menyelesaikan permasalahan.

Alasan tersebut, secara jujur bisa kita katakan benar. Memang belum tentu. Tapi bukan berarti lantas berhenti melakukan langkah-langkah perbaikan. Mundur atau tidak semestinya merupakan sebuah perwujudan pertanggungjawaban. Kalaupun tidak mundur, pertanggungjawaban itu harus terwujud dalam perbaikan secara signifikan.

Apakah akan dipakai alasan waktu (dalam pengertian, tidak mungkin ada perbaikan signifikan dalam waktu singkat) ? Kalau ya, maka bisa saya katakan bahwa alasan seperti itu sama sekali TIDAK RELEVAN. Mengapa? Karena permasalahan seperti itu bukan barang baru, dan alasan-alasan yang dikemukakan juga bukan barang baru. Coba lihat, sejak kapan ada kecelakaan kereta ekonomi? Sejak dulu bukan? Sejak kapan ada orang naik di atap? Sejak dulu bukan? Sejak kapan petugas persinyalan atau penjaga pelintasan dipersalahkan? SEJAK DULU JUGA BUKAN? LANTAS KENAPA SETELAH INDONESIA (KATANYA) MERDEKA SELAMA 61 TAHUN INI MASALAH YANG SAMA MASIH BERULANG??

--- tenang wan.. tenang... jangan emosi... ---

Lho, JELAS DONG SAYA EMOSI !!! tapi kepala tetap dingin (semoga).

Berapa sih dari kita, dan berapa sih dari para pejabat kereta dan dephub yang pernah memikirkan, bahwa orang-orang yang menjadi ujung tombak dunia perhubungan di negeri ini justru menjadi kalangan yang paling kecil gajinya di dephub atau PT KAI??

Berapa sih yang memikirkan kalau seorang penjaga pintu perlintasan kereta masih perlu mencicil 3 bulan sebelum lunas membeli sebuah termos? (beritanya pernah saya tonton di sebuah liputan tipi, yang saya lupa judulnya apa, dan stasiun tipinya juga)

Padahal keselamatan banyak orang berkorelasi langsung dengan ketekunannya menjalankan tugas.

Terkadang, kita lebih sering (dan lebih mudah) mencerca seorang petugas pemeriksa karcis yang mengutip uang barang seribu dua ribu dari penumpang yang tidak memiliki karcis, tapi kita luput memperhatikan korupsi besar-besaran di dephub yang memaksa kondisi itu terjadi (kondisi dimana korupsi menjadi sebuah kebutuhan bagi mereka yang tidak berjabatan).

TIDAK! Saya tidak sedang membenarkan alasan terjadinya korupsi. Hanya saja, saya membagi korupsi menjadi dua golongan besar, yaitu corruption by need (korupsi karena kebutuhan) dan corruption by greed (korupsi karena keserakahan). Keduanya patut ditumpas habis. Tetapi, saya memandang bahaya korupsi karena keserakahan jauh lebih berbahaya, lebih busuk, lebih jahat, dan lebih patut ditumpas terlebih dahulu. Mengapa? Karena ia menciptakan sebuah sistem. Sebuah sistem yang kemudian membuahkan korupsi karena kebutuhan bagi kelas di bawahnya.

- Hmmm... kok jadi teori kelas sosial ya? Mulai ngelantur nih... -

ya...

kadang suka aneh juga, dari sekian banyak kecelakaan kereta yang terjadi di Indonesia, kenapa sebagian besar melibatkan kereta ekonomi ya? Kereta rakyat kecil... apakah golongan masyarakat terbesar di Indonesia ini tak punya hak untuk mendapat jaminan keamanan yang sama dengan para penumpang argo?

Kereta bangsa Indonesia... bangsa yang belum lagi lepas dari budaya keterjajahan. Bangsa yang anak-anaknya yang kaya kemudian menjelma menjadi penjajah bagi saudara-saudaranya yang lebih miskin.

Saat menuliskan ini... saya sedang mendengar lagu ini :

1910

- Iwan Fals –

Apa kabar kereta yang terkapar di Senin pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah

Air mata...air mata....

Belum usai peluit... belum habis putaran roda
Aku dengar jerit dari Bintaro
Satu lagi cacatan sejarah

Air mata...air mata

Berdarahkah tuan yang duduk di belakang meja
Atau cukup hanya ucapan bela sungkawa
Aku bosan....

Lalu terangkat semua beban di pundak
Semudah itukah luka-luka terobati

Nusantara...tangismu terdengar lagi
Nusantara....derita bila berhenti

Bilakah...bilakah.....

Sembilan belas Oktober...tanah Jakarta berwarna merah
Meninggalkan tanya yang tak terjawab
Bangkai kereta lemparkan amarah

Air mata...air mata

Nusantara....langitmu saksi kelabu
Nusantara....terdengar lagi tangismu
Nusantara....kau simpan kisah kereta
Nusantara....kabarkan marah sang duka

Saudaraku pergilah dengan tenang
Sebab luka sudah tak lagi panjang
Saudaraku pergilah dengan tenang

NB : Buat yang bingung kenapa judul postingan ini terkesan ”angker” sekali, sy cuma mengutip dari syair lagu ini...

Thursday, June 22, 2006

Doktrinasi!! (Cerita-cerita dari Kereta, episode 10...)

Anda mungkin tidak percaya, tapi percayalah, bahwa ini masih kisah seputar kehidupan di KRL ekonomi Jakarta-Bogor.

-(Intro) dungprakdungdung jrengjreng
tatatatatatatatatatatatatatatataaaaaa
jreng jreng jreng jreng-

"Bang, sms siapa ini bang??
Bang, kenapa pakai sayang sayang??
Bang, nampaknya dari pacar abang
Bang, hati ini mulai tak tenang..."



Ternyata, saya mulai hafal syair-syair lagu yang saya ga tau judulnya itu.
Kalau teman-teman mungkin pernah membaca postingan cerita kereta episode 5, maka inilah tipe pengamen yang termasuk tipe yang tidak mempedulikan pendengaran penumpang kereta. Si penyanyi (pengamen) membawa sebuah kotak hitam (yang ternyata adalah sebuah radio), memutar kaset lagu ini KERAAAAAASSSS bgt, sehingga bahkan saat si ibu belum masuk gerbong pun, intro lagunya sudah terdengar.
Dan seketika itu juga, anda bisa menghitung berapa desahan nafas panjang dari para penumpang yang terdengar dalam satu gerbong. Desahan nafas yang dapat diartikan kira-kira sebagai berikut : ”ya Allah... tidak lagi... jangan... jangan...”. Sebuah ungkapan kesedihan sekaligus ketabahan dari para penumpang kereta.

Perkaranya bukanlah karena dia (sang pengamen) memutar pengatur volume suara dari radio itu sampai kekuatan maksimal. Bukan juga karena si radio itu nampaknya sudah begitu tua sehingga speakernya terdengar sember tidak karuan. Permasalahan utama sebenarnya terletak pada lagunya (tapi tentu ini bukan masalah kalau anda menyukai lagu itu, yang saya tidak tahu, dan TIDAK MAU TAHU apa judulnya).

Lagu tersebut termasuk dalam salah satu cabang dari jenis musing dangdut. Akan tetapi sama sekali bukan dangdut konvensional.

Anda familiar dengan aliran musik ”SKA”?? Aliran ska ini sempat populer sekitar sewindu yang lalu dengan dansa ”pogo”-nya. Sebagai seorang pemakai putih abu-abu saat ska ini mulai booming, tentu selangkah dua langkah pogo tak luput dari kaki saya.

Eniwey, lagu sms-sms tadi merupakan campuran dari dangdut dan ska. Jadi, kalaupun anda mau berjoget mendengarnya, anda bisa memadukan pogo dengan goyang (maaf) pantat ala Inul. Tapi, bukan itu saja, lagu ini juga mengalami pencampuran ulang (bahasa kerennya, ”remix”) dengan house music. Nah, jenis house music atau jenis-jenis music ”techno” lainnya inilah yang paling tidak saya sukai di jagat permusikan, karena saya selalu menganggap remix house music ini sangat merusak lagu (apapun lagunya). Apalagi kalau lagunya sudah tidak terlalu bagus. Nah, jadi, kembali ke lagu sms-sms tadi, dengan perpaduan antara dangdut-ska-house music, maka gerakan joget yang bisa anda lakukan saat mendengar lagu tadi tentu adalah perpaduan antara pogo, goyang (maaf lagi) pantat, dan gedek-gedek kepala. Silakan anda coba praktekan... PUSING KAN?!??!??!

Tentu harus kita ingat, walaupun kata Inul dangdut tanpa goyang seperti sayur tanpa garam, tapi menurut saya ungkapan itu harus ditambah dengan kalimat : ”tapi awas jangan berlebihan, salah-salah malah jadi haram”

Aliran lagu semacam ini mengalami evolusi dari dangdut menjadi aliran musik yang secara pribadi saya golongkan sebagai ”MUSIK CADAS.” Jangan anda mengira kalau pengusung musik cadas ini hanya nama-nama tenar semacam KORN, Megadeth, Slipknot atau Marilyn Manson. Karena saya mendefinisikan musik ”cadas” sebagai ”musik yang mampu mendoktrinasi pendengarnya”, maka mau tak mau, nama seperti Neneng Anjarwati pun bisa jadi termasuk artis ”cadas”.

Musik dangdut, yang sering sekali dianggap sebagai musik ”asli” Indonesia, sebenarnya merupakan sebuah musik cerapan dari musik India. Adapun musik yang mungkin lebih asli Indonesia adalah dari jenis semacam keroncong, karawitan, dan semacamnya (sejujurnya, saya malah cukup menyukai lagu-lagu semacam ini). Musik India kemudian mengalami akulturasi dengan keroncong dan karawitan ini, sehingga menjadi dangdut ala Indonesia. Tentu kemudian musik ini berkembang secara mandiri, melahirkan artis-artis dangdut yang kemudian menjadi ”icon”nya, seperti Rhoma Irama, Megi Z, Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, Elvi Sukaesih, dan sebagainya. SAYANGNYA, musik dangdut sekarang ini malah berkembang menjadi sangat sulit dinikmati oleh telinga, dan lebih banyak memanjakan mata melalui artis-artis semacam Inul, Annisa Bahar, dan sebagainya.

Lalu kembali ke musik kereta, aliran ”cadas” yang saya sebutkan tadi bisa dibilang mulai populer pada pertengahan tahun 90-an. Awalnya, musik ini dihasilkan oleh remix dangdut dengan hous-music. Kemudian, hadirlah Neneng Anjarwati di TVRI pada waktu itu, dengan sebuah ”brand” untuk musik tersebut, yaitu ”CHADUT”, kabarnya singkatan dari ”chacha-dangdut”. Nama yang agak aneh, karena agak sulit untuk berdansa chacha dengan lagu semacam ini. Adapun lagu yang dibawakan Neneng pada waktu itu adalah Waru Doyong. Tau kan? Itu loh, yang syair awalnya kira-kira berbunyi... ”waru doyoooong (”yooong” dilafalkan dengan cengkok khas dangdut), nenenene...(ga tau), dst.”. Lagu inilah yang pertama kali populer di kereta, untuk jenis chadut tentunya.

Setelah kemunculan Waru Doyong, kemudian ada dua lagu beraliran chadut yang ”booming” di Indonesia, terutama di gerbong-gerbong kereta. Dua lagu tersebut adalah Bang Thoyib dan Kumbang-Kumbang di Taman. Saya rasa anda semua tentu kenal dua lagu ini, terutama Bang Thoyib. Ciri khas lagu semacam ini adalah... judulnya merupakan kata-kata pertama dalam liriknya.

Khususnya bagi saya, kedua lagu ini serriiiiiiiiiiiiiiiiiing sekali saya dengar pada bulan-bulan pertama saya menjadi bagian dari roker (Rombongan Kereta). Dan kenyataan ini dengan tabah saya terima, walaupun sungguh mengganggu telinga. Dan setelah dua lagu tadi mulai pudar popularitasnya, muncullah lagu sms yang kita bicarakan di awal.

Lagu-lagu kereta memang seperti itu. Dan sejak setahun yang lalu, saya perhatikan si pengamennya itu masih sama, seorang ibu-ibu gemuk, nampaknya belum terlalu tua, membawa seorang anak perempuan di depannya. Si anak perempuan itu kadang joget, kadang ikut bernyanyi, kadang sekedar jalan membawa kantung untuk minta uang dari penumpang. Si ibu-ibu itu memegang kepala si anak untuk mengendalikan laju jalannya. Dan yang paling saya ingat adalah ekspresi dari si ibu saat menyanyi (mengamen)... SAMA SEKALI TANPA EKSPRESI. Dingin seperti es batu. Tanpa senyum maupun cemberut. Bingung saya... Tentu, kalau setiap hari anda melakukan hal yang sama, dengan lagu yang sama, saya rasa anda pun lama kelamaan akan menggantungkan ekspresi semacam itu di wajah anda.

Dia juga tidak keberatan kalau begitu dia menyanyikan lagu itu, sebagian penumpang kereta akan mentertawakan atau menggodanya dengan menggedek-gedekkan kepala (ditambah satu jari diacungkan di depan hidung), maupun dengan ikut menyanyikan kata ”Bang...” dalam setiap bait liriknya.

Lebih dari itu, saya rasa, lagu-lagu semacam ini sangat efektif sebagai sarana doktrinasi.

Ketika saya dulu mengikuti Ospek waktu mahasiswa (dan beberapa tahun menjadi panitianya), saya pelajari bahwa metode paling efektif untuk mendoktrinasi seseorang adalah dengan cara membuat orang tersebut berada dalam kondisi ”zero level”. Zero level ini merupakan sebuah kondisi dimana seseorang begitu lelah sampai tidak bisa berpikir dengan jernih, sehingga kalau kita katakan bahwa 2+2=5 disertai sedikit argumentasi yang kita buat sendiri, orang itu akan percaya.

Pada saat saya masuk ITB, dan saya ikuti Ospek, kultur di ITB secara umum masih menganut metode yang sama dengan kaderisasi militeristik, dimana kondisi zero level berusaha dicapai dengan cepat melalui eksploitasi kemampuan fisik manusia. Dengan kata lain, fisik kita dibuat begitu lelah, dan otak kita dibuat begitu bingung dengan berbagai orasi maupun debat yang berputar-putar sehingga akhirnya peserta ospek tidak lagi bisa berpikir dan mudah disusupi doktrin apapun yang diinginkan panitia. Contoh lain metode pencapaian zero level ini misalnya pada training ESQ (yang sempat saya ikuti sekitar setahun lalu). Bedanya, training ESQ menggunakan kekuatan sound system, suara-suara dan gambar-gambar dramatis untuk mempercepat zero level, untuk kemudian diledakkan dengan tangisan peserta. Saat itulah nilai-nilai ditanamkan. Sangat efektif, walaupun sangat mahal (terutama sound systemnya, karena panitia harus yakin sound system itu cukup kuat untuk memberi efek menggetarkan langsung sampai jantung anda).

---Lha, ini ngomongin apaan sih?? Dari Chadut kok jadi doktrinasi??”---

Saya menuliskan ini karena saya rasa saya mulai terasuki doktrin lagu tersebut.

Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa saya mandi sebelum berangkat kerja. Dan seperti biasa juga, saya bergumam atau bernyanyi sedikit-sedikit sambil bernyanyi, untuk membunuh waktu. Tanpa saya sadari, pagi itu yang saya gumamkan adalah nada-nada dari lagu sms tadi…

Seketika, saya merasa bahwa karir saya sebagai penyanyi kamar mandi sedang mencapai titik nadir. Saya siramkan air dingin sebanyak-banyaknya ke kepala saya…. GAGAL!! Nada-nada itu masih bergaung di kepala saya. Dalam kekalutan dan keputus-asaan, saya kemudian menenggelamkan kepala saya di bak mandi yang penuh air dingin itu, sambil berteriak keras-keras di dalam air…”TIDAAAAAAAAAAKKKKKK!!!!!!!!”

Alhasil, saya keluar dari kamar mandi dengan kepala pucat dan mata merah. Ibu saya yang shock melihat keadaan saya menyangka saya masuk angin dan menyarankan untuk tidak masuk kerja. Tapi toh saya tetap masuk kerja, dan kembali naik kereta, dan kembali mendengar lagu itu, dengan intonasi yang sama, suara yang sama, pengamen yang sama, dan kesedihan yang sama.

Saya hanya menunduk… terdiam… berusaha menyanyikan lagu “Aku Seorang Kapiten” untuk menangkal efek doktrinasi lagu sms tadi…

Dan saya tetap gagal…

--- “Kalau bersilat lidah, abang memang jagonya…
Sudah terbukti salah, masih saja berkilah…
Orang salah kirim lah, Orang iseng-iseng lah…
Orang salah kirim lah, Orang iseng-iseng lah…”---

NB : Kemarin saya secara tak sengaja melihat video klip dari lagu itu di sebuah kios yang menjual tivi-tivi bermerek palsu. Ternyata, penyanyinya cantik juga…

Tuesday, May 30, 2006

Kereta Meleduk!! (Cerita-cerita dari kereta, episode 9)


Manggarai, larut sore di pertengahan bulan Februari 2006 (atau Maret ya?? Januari?? Ya pokoknya bulan-bulan itu deh).

Kegelapan mulai menyelimuti Jakarta. Temaram Manggarai menjadi satu keseharian yang menjemukan bagi kami, kasta pekerja upahan. Kepenatan menjadi bekal sehari-hari yang menghiasi perjuangan hidup atas dasar cinta. Bukan cinta yang murah. Tapi cinta yang mulia.

Terkadang angin memilinkan jemarinya, menggelitik tubuh-tubuh yang basah oleh keringat, membuatnya ternsenyum.

---- stop press ----

Sebelum diteruskan, mari kita bertanya...

Aduh wan, bahasamu... bahasamu... sudahkah virus-virus merah jambu mengeluarkan mantranya di jari-jarimu? Dan mengapa pertanyaan ini juga menggunakan kosa kata yang hanya layak bagi para pujangga?

(Dalam bahasa sunda, ada satu kata yang dapat menjelaskan fenomena kata-kata semacam ini, yaitu : GEULEUH. Kalau ditambah dengan dua kata lagi, maka mereka adalah : HAYANG UTAH. Tentu diakhiri dengan sebuah tanda seru)

Tapi tak apa. Dalam cerita kereta kali ini, mari kita ber-romatis-puitik-ria, tanpa meninggalkan ciri khasnya untuk mengundang perenungan dan tawa, dua hal yang menjadikan kita... manusia. (Tah! Tingali pin! Kirang romantis kumaha deui sok?!?)

Eniwey... mari kita teruskan... dengan bahasa yang sekenanya aja...

Sampai dimana tadi??

O iya, temaram bla bla bla, angin kitik-kitik bla bla bla tadi ya??

----- end of “stop press” ----

Beberapa kereta ekspres ke Bogor dan Depok melintas. Kereta ekonomi terlambat (lagi). Sedikit keluhan terdengar di sana-sini. Walau akhirnya semua luluh atas nama kewajaran. Wajar memang kalau kereta ekonomi terlambat. Dalam dunia perkereta-apian, KRL ekonomi memang menduduki kasta terendah dalam giliran melintasi rel. Harus selalu mendahulukan kereta ekspres AC maupun kereta-kereta jarak jauh.

Meski begitu, alasan keterlambatan KRL ekonomi tidak hanya didominasi oleh sistem pergiliran lintas rel tadi. Alasan lain yang cukup signifikan dalam mengacak-acak jadwal kereta adalah kerusakan mesin. Sederhananya, mogok.

Selang habis sebatang dji sam soe bapak-bapak di sebelah saya, tanda-tanda kemunculan kereta ekonomi baru terlihat. Sebuah kereta gelap gulita terlihat merayap lambat dari arah utara. Lampu depannya tampak buram, tertatih berusaha melawan kegelapan malam yang masih remaja.

Beberapa calon penumpang di sekitar saya ragu untuk naik...

“Wah, odong-odong nih... mati semua lampunya... ntar tengah jalan mogok nih kayanya”

“udeeeh, kagak ada lagi, masih lama masuk kereta lagi. Udah naek ini ajalah. Bismillah.”

Karena kereta terlambat, calon penumpang sudah menumpuk cukup banyak di Manggarai. Saya sempat mengalami kecurigaan yang sama dengan dua calon penumpang di sebelah saya tadi. ”Odong-odong” adalah sebutan akrab untuk kereta yang nampaknya sudah butut seperti kaleng kerupuk, dan dikhawatirkan sering mogok. Asalnya, istilah ini sebenarnya merujuk pada gerobak zaman lawas yang ditarik seekor sapi.

Kecurigaan itu timbul karena tidak ada satupun gerbong yang nampak terang. Semuanya gelap, atau dengan kata lain, tidak ada satupun lampu didalam kereta yang menyala. Ini kondisi yang paling didam-idamkan oleh copet. Dan lebih jauh dari itu, menunjukkan kalau kereta itu memang sudah bobrok. Meski begitu akhirnya saya tetap memaksakan masuk. Maklum, sudah lewat isya.

Kereta melaju lambat...

Terlalu lambat...

Dan panasnya...

Lain dari biasanya.

Kali ini, jumlah penumpang terlalu padat, bahkan bagi kami yang sudah terbiasa. Kalau pada hari lain kami bisa berlindung pada angin yang masuk melalui sela-sela jendela, kali ini lambatnya laju kereta membuat angin tak bersuara. Keringat tak tertahankan untuk mengucur, sementara tubuh ditekan (dan menekan) dari (dan ke) segala sisi.

Tak tahan dengan kondisi, sebagian penumpang memilih untuk menyerah dan berguguran di Pasar Minggu. Kondisi yang kami syukuri, tentu saja, walau tak cukup signifikan untuk mengurangi kepadatan.

Kereta kembali melaju lambat... terlalu lambat... dan mulai menimbulkan berbagai spekulasi diantara penumpang. Tanjung Barat...

”mogok nih kayanya...”
”Bisa jadi, udah ngok-ngokan gini jalannya...”

”paling ampe Depok nih umurnya kereta”

”ah, semoga aja bisa nyampe bogor”

Seiring jalannya kereta yang makin melambat, disertai bunyi-bunyi yang menunjukkan bahwa lokomotif tengah bekerja terlalu berat, perbincangan dalam kereta semakin sepi. Semua menunggu, semua berharap, semua termenung sendiri (atau tidur karena bosan). Pada saat-saat begini, berharap kereta tidak mogok adalah sesuatu yang naif. Do’a yang sebaiknya dipanjatkan mungkin adalah ”semoga kalo mogok setidaknya di stasiun, bukan di middle of nowhere begini...”

Dan suasana semakin mencekam. Gelap gulita dan sunyi senyap dari candaan-candaan khas kereta. Hanya bunyi roda-roda kereta yang seolah dipaksa berputar terlalu keras, dan bunyi karet-karet diantara gerbong yang mulai terdengar seperti engsel pintu rusak. Keringat mulai mengucur lagi, karena gugup memikirkan apa yang akan terjadi.

(plis deh, paling juga mogok, takut amat sih??)

Dan celetukan-celetukan yang ada mulai berubah menjadi...

”SEMOGA umurnya ni kereta bisa nyampe Depok ...”

Lenteng Agung... Universitas Pancasila... terasa begitu lama terlewati...

Universitas Indonesia... akhirnya tiba juga. Tapi tetap terlalu lama dibanding biasanya. Tentu banyak kereta lain di belakang yang juga terpaksa melambat karena kereta yang saya naiki ini.

Sepintas saya mencium bau karet terbakar dan saya merasakan udara menjadi lebih pekat... asap. Ada yang merokok di tengah kepadatan seperti ini? Gila!

Tapi ini bukan bau asap rokok. Ini bau seperti karet terbakar. Cuma saya saja, atau semua juga mencium bau ini?

Pondok Cina... bau itu semakin tercium. Bunyi kereta semakin keras, dan laju kereta semakin melambat. Setelah ini Depok Baru, dan kami yakin kereta akan diistirahatkan disana (kalau sampai). Kereta berhenti terlalu lama di Pondok Cina, seolah tidak yakin untuk melanjutkan perjalanan satu stasiun lagi. Tapi akhirnya berangkat juga. Sempat mati sebentar selepas Pondok Cina, yang membuat orang-orang panik, tapi kemudian berjalan lagi.

Hening... semua berharap... ketika tiba-tiba, kesunyian itu dipecahkan oleh...

”HEH!! Kentut lu ya??”

”Set dah! Kagak! Sumpe deh gw kagak kentut. Lu kali!”

”Ni bau apaan ya?? Ngerokok lu??”

”Kalo ngerokok ya pasti keliatan apinya dong!”

”Iya ya... Ni bau banget nih...”

Dan udara semakin pekat. Asap. Tidak terlihat karena gelap, tapi terasa sesak di hidung. Asap yang kental, tanpa diketahui sumbernya dari mana. Kereta semakin lambat (lagi, dan hampir-hampir berhenti). Saya bertanya-tanya dalam hati, ”hanya perasaan saya saja, atau memang malam semakin gelap ya?”

Para penumpang, entah atas dorongan apa, semua melihat ke jendela dan pintu sebelah barat gerbong. Rumah-rumah penduduk terlihat sangat dekat. Aneh, orang-orang berdiri di depan rumah mereka, menonton kereta kami. Kami ditonton. Mengapa??

Akhirnya semua terjawab ketika seorang ibu-ibu di depan rumahnya yang berada di pinggir rel, hanya memakai sarung untuk menutupi bagian tubuhnya mulai dari dada sampai lutut, tiba-tiba berteriak pada kami.

”KEBAKARAAAAAN!!! KEBAKARAAAAN!!!! KERETANYA KEBAKAR!!! KELUAR SEMUA WOY!!”

Hening, satu detik...

Senyap, satu detik lagi berlalu...

..... dan satu detik lagi berlalu....

sebelum kemudian...

“WAAAAAAAA!!!!! WAAAA!!!! Keluar!! Ayo keluar!! Loncat semua!! Tolooong!!! Tolllooooonnnggg!!!! Turun cepetan pak!!!”

Teriakan penuh kepanikan menggema, sahut menyahut dari para wanita di gerbong. Histeria!! Terlalu berlebihan menurut saya. Para pria tetap cool dan tidak terlalu menunjukkan gejala panik. Tapi tetap saja panik..

Beberapa orang berusaha menenangkan yang lain...

“tenang bu, jangan loncat sekarang, tunggu keretanya berenti dulu, ntar jatoh...”

“tenang-tenang, ga kenapa-kenapa kok...”

“NGAAAAK PAAKK!! SAYA GA MAU MATIIII !!!!” Oke, buat saya, si ibu ini jelas-jelas terlalu berlebihan. Panik histeris seperti ini tidak menyelesaikan masalah. Tapi cukup lucu untuk disimak.

Sebenarnya kepanikan seperti itu cukup wajar, mengingat mulai banyak orang-orang yang berdiri di depan rumah-rumah mereka yang memang terletak di pinggir rel, berteriak-teriak soal kebakaran itu, yang entah di bagian sebelah mana kereta. Selain itu, kami semua mulai sadar kalau asap hitam ternyata sudah sejak tadi mengungkung kereta. Ternyata apa yang saya kira sebagai ”malam bertambah gelap” itu tak lain karena asap hitam tadi sudah memenuhi pandangan saya sejak tadi. Kontan saja penumpang bertambah panik, apalagi nafas semakin sesak. Ditambah lagi, waktu itu belum terlalu lama berlalu dari bayang-bayang insiden rubuhnya atap kereta yang menghebohkan itu.

Kereta akhirnya berhenti. Beberapa ibu-ibu melompat paksa keluar kereta, dan terjatuh. Melihat itu, proses turun kereta berusaha diatur oleh beberapa penumpang. Aturannya, beberapa pria turun duluan, lalu membantu yang wanita untuk turun. Sekelompok penumpang lain, tanpa mempedulikan asap yang semakin pekat, bercanda ria dan menyatakan untuk menunggu perbaikan kereta, tidak akan turun dari kereta itu. Akan tetapi, ketika salah seorang diantara mereka melihat ke gerbong sebelah, semua panik. Pasalnya, gerbong sebelah sudah kosong melompong. Seberkas cahaya entah dari mana menembus kepekatan asap di gerbong kosong itu, menghiasi suasana yang semakin mencekam. Hanya gerbong kami yang masih berisi penumpang!!!

Saya termasuk penumpang yang melompat turun terakhir.

Ternyata asap berasal dari lokomotif bagian depan. Asap mengebul dan beberapa percikan api masih terlihat. Masinis dan para pegawai kereta api yang lain sambil tertawa-tawa mencoba memperbaiki kereta, diiringi tatapan penasaran dari para penumpang yang sudah turun, sesekali diselingi umpatan kekesalan. Mereka tetap tersenyum-senyum saja. Dan sebagian besar penumpang memang lebih memilih untuk tersenyum.

Pada kondisi seperti ini, senyum memang tidak berfungsi sebagai penghibur. Ia lebih berfungsi sebagai alternatif. Alternatif ini biasanya akan diikuti dengan ungkapan kepasrahan semacam...”yaaah, namanya juga ekonomi... ya begini...”

Stasiun Pondok Cina sudah terlalu jauh. Depok Baru lebih menjanjikan.

Maka berjalanlah kami, para penumpang yang sudah kelelahan, tapi kehabisan pilihan, menyusuri rel sampai ke Depok Baru.

Beberapa menyebar ke perumahan penduduk, beberapa memilih berjalan menyusuri rel.

Mungkin rombongan kami berkisar beberapa ratus jiwa. Berjalan bersama.

Dalam keremangan malam, saya teringat film Tour of Duty yang dulu suka saya tonton di tivi. Di soundtrack awal dan akhirnya, disajikan video klip yang menggambarkan para tentara amerika berjalan berbaris, bersikap waspada, dengan latar belakang matahari yang tenggelam.

Kira-kira, penampakan kami seperti video klip Tour of Duty itu, dalam jumlah besar tentunya.

30 menit berlalu, gedung stasiun Depok Baru terlihat.

Kembali menunggu, dan kereta ekonomi berikutnya tiba. Kembali memaksakan diri untuk berdesakan didalam gerbong, karena penumpang sekarang adalah pasukan dari dua kereta, kami menuju pulang. Diselingi obrolan seru dari penumpang kereta yang mogok, dan pertanyaan-pertanyaan dari penumpang kereta yang kami kudeta ini, suasana mencair. Muka-muka tegang berubah mengendur. Setidaknya, malam ini, kami punya cerita.



NB : Gambar diambil dari http://www.tempointeraktif.com/hg/photostock/2005/04/05/s_K1a09407.jpg tapi mohon maaf, tanpa izin.