Tuesday, September 27, 2005

Kalau ada yang bilang bangsa kita bangsa pemalas, saya jitak !!! (cerita-cerita dari kereta, episode 2)

Kembali dengan serial cerita dari kereta…

Teng... Ketika jam sudah menunjukkan jam setengah 6 pagi, maka dimulailah perjalanan panjang per-KRL-an Jakarta Bogor... Dan dimulailah perjalanan panjang anak-anak bangsa mencari rizki pada hari itu...

Kadang-kadang saya suka bertanya-tanya, berapa sih jumlah commuter Bogor-Jakarta yang menggunakan moda KRL ini... Perkaranya, kalau yang menggunakan bus juga dihitung, sepertinya sy ga sanggup. Lalu, apakah menghitung yang menggunakan KRL saja itu saya sanggup? Tentu saja... tidak juga... Yang jelas, mulai kereta jam setengah 6 sampai kereta jam setengah 8 pagi, kepadatannya kira-kira sama, yaitu berkisar 10 orang per meter persegi... pada rata-ratanya (mungkin agak berlebihan, tapi kalau melihat luas bidang tubuh yang menempel dengan tubuh orang lain, sepertinya masih cukup rasional). Jumlah itu bisa kurang bisa lebih tergantung hari dan jam. Pada hari Senin, kepadatan mungkin bisa meningkat sampai 15 orang per meter persegi, pada kereta di semua jam. Luar Biasa, arus orang yang cukup fenomenal. Mungkin hanya kalah dengan KRL di India (sepertinya memang benar, karena dari foto yang saya dapat, kepadatan KRL Jakarta-Bogor sepertinya ecek-ecek dibanding India). Tapi tetap saja, kepadatan seperti itu lebih dari cukup untuk membuat badan berkeringat.

Hari Selasa, kepadatan kereta pagi mulai berkurang, dan kepadatan puncak biasanya terjadi pada kereta jam 6.30 atau jam 7. Begitu juga dengan hari Rabu. Hari Kamis dan Jum’at, sepertinya semua orang mulain ingin berangkat siang, dan kepadatan puncak akan terjadi pada kereta jam 7 atau jam 7.30. Biasanya, kepadatan puncak pada hari-hari Rabu/kamis juga terjadi pada Kereta Tanah Abang yang berangkat jam 7.20. Walaupun memang kadang-kadang ada fenomena yang aneh pada hari Jum’at, dimana tidak ada kepadatan puncak. Semuanya mungkin malah dibawah rata-rata. Ya, sekitar 8 orang per meter persegi lah.

Memang, sejak beberapa tahun terakhir ini, kereta jurusan Tanah Abang kembali diaktifkan. Untuk waktu pagi, biasanya kereta tanah abang ini hanya tersedia satu rangkaian, yang berangkat jam 7.20. Bedanya dengan jurusan Jakarta Kota, dari Manggarai kereta tanah abang akan ke stasiun Sudirman lalu Tanah Abang, ke arah barat, sementara kereta Kota ke timur, ke stasiun Cikini dan seterusnya ke Kota.

Jangan salah sangka, tingkat kepadatan seperti itu tidak dimulai sejak dari stasiun Bogor. Biasanya penumpang Bogor hanya mampu memenuhi semua tempat duduk plus orang berdiri satu baris. Yaaa, kalau hari Senin atau jam-jam kepadatan puncak bisa lah mungkin 2 baris yang berdirinya. Dan orang-orang akan bermasukan di stasiun-stasiun berikutnya...

Stasiun Cilebut...
Orang-orang mulai bermasukan, tapi tidak terlalu banyak. Biasanya orang-orang yang duduk pun masih pada asyik ngobrol. Yang berdiri sebagian ada yang membaca korang. Semua masih santai.

Bojonggede...
Orang-orang yang duduk mulai bersiap tidur. Sebagian bahkan sudah tidur. Yang tidak tidur kemudian ada juga yang pura-pura tidur, terutama kaum pria. Bukan apa-apa, masalahnya di Bojonggede inilah stasiun yang menjadi parameter sebanyak apa keringat kita pagi ini. Yap, mungkin stasiun inilah yang paling banyak menyumbang saham penumpang KRL pagi. Nah, kalo misalnya ada kaum pria yang duduk, terus didepannya ada perempuan ato ibu2 tiba2 masuk dan berdiri, maka langkah paling bijak adalah... TIDUR !! Lebih bijak lagi kalo tidurnya dimulai selepas Cilebut (biar ga keliatan banget kalo pura2). Dengan begitu, anda bisa tetap duduk tanpa merasa pegal dan tanpa merasa bersalah karena melihat ibu2 bertampang kesal karena ga dapet duduk.

Citayam....
Kira-kira sama dengan Cilebut, dalam hal jumlah penumpang yang masuk.
Dulu, waktu saya SMP kelas 1, eh, apa waktu SD ya?? Anyway, dulu, waktu berdesakan di kereta dari stasiun Bojonggede-Citayam bersama bibi saya, saya suka ditunjukkan sebuah danau besar di kejauhan yang terlihat dari jendela di sebuah titik antara Bojonggede-Citayam. Semua penumpang sepertinya sudah tau akan danau nan indah ini (ya... ga indah-indah amat sih, tapi lumayan lah buat refreshing), dan semuanya mencoba-coba melongok ke jendela-jendela di sisi barat kereta. Tapi sejak beberapa tahun terakhir, sepertinya danau itu sudah tidak terlihat lagi. Dan sekarang pun memang saya sudah tidak pernah melihatnya lagi. Ada 2 kemungkinan. Pertama, di depan danau itu sudah dibangun gedung-gedung atau rumah sehingga tidak terlihat lagi dari jendela kereta. Kedua, danaunya sendiri yang sudah hilang, berganti menjadi gedung/rumah... Kemungkinan yang mana yang terjadi?

Depok Lama
Tidak ada yang terlalu istimewa disini. O iya, karena ini adalah stasiun pertama dengan peron sejajar dengan pintu kereta, frekuensi penumpang yang duduk di atap kereta mulai meningkat secara signifikan. Buat penumpang yang duduk di dalam, lebih bijak kalau anda tidak bersandar, apalagi menyandarkan kepala dekat jendela. Masalahnya, jendela itu dijadikan tumpuan kaki orang-orang yang memanjat kereta untuk duduk di atas.
Apakah di atas orang-orang tidak perlu bayar karcis? Yang jelas, ga akan ada yang mau meriksain karcis di atas. Paling-paling juga di beberapa stasiun mereka akan disuruh turun. Tapi ternyata, mereka diatas bayar juga, entah 500 atau 200 perak, tergantung siapa preman yang sedang ”bertugas” di atap kereta itu. Jadi, ternyata ada juga preman yang narikin duit di atap kereta. Biasanya preman2 ini jumlahnya 1 atau 2 (tapi temennya banyak, pada duduk di atas juga). Jangan coba-coba ga bayar, apalagi kalo orang baru ato belum akrab sama premannya. Sekali waktu, pernah ada orang baru yang duduk di atas, ditarik 500 dia nolak, mau berantem, eeeh, si preman dan temen-temennya langsung ngelemparin orang itu dari kereta. Alhamdulillah tidak mati, tapi yang jelas banyak tulang yang patah-patah... (demi 500 perak doang?? Hidup memang keras...)
Berarti, satu-satunya kenikmatan duduk di atas adalah kena angin (ga kepanasan). Mungkin juga demi gengsi... Ya... gengsi. Terutama untuk anak2 sekolah dan pemuda-pemuda tanggung. Bisa naik di atap sepertinya memang menjadi satu justifikasi bahwa seseorang itu layak disebut sebagai seorang ”laki-laki sejati”. Resikonya paling Cuma satu, kalo lagi apes, ya menjadi laki-laki yang mati... konyol...

Depok Baru
”Waspadai tangan-tangan jahil, copet dan jambret selalu mengintai di dekat pintu.” Ucapan ini menjadi trademark stasiun depok baru. Sang petugas stasiun ini sepertinya orangnya sama, pagi dan sore, dan ucapannya selalu begitu. Okelah, tentu ada variasi2nya, tapi kata2 kuncinya selalu sama (”waspada”, ”tangan2 jahil”, ”copet dan jambret”). Tapi lumayan lah, minimal kita jadi punya parameter yang jelas. Kalau sudah mendengar kata2 ini, minimal kita tau kalo kita sudah mencapai depok baru, kira2 seperempat perjalanan sampai ke kota.
Kadang statement ini jadi bahan candaan penumpang kereta juga. Mendekati stasiun depok baru, biasanya orang-orang sudah mulai celetak-celetuk... ”awas copet”, ”copet2, awas tangan jahil...” dsb. Tapi terbukti, sepertinya sang petugas stasiun itu juga kadang dirindukan oleh para penumpang kereta. Pernah beberapa kali waktu, stasiun depok baru sepi dari statement ini, dan orang-orang mulai bertanya-tanya... ”petugasnya baru ya??”, atau ”loh, mana si tangan jahil?” atau ”petugasnya/si tangan jahil lagi sakit ya??” Ini bisa jadi sebuah bukti, kalau kehadiran ”si tangan jahil” memang dirindukan...
O iya, soal kepadatan puncak yang saya tuliskan di atas... nah, disinilah terjadinya. Dari Bogor sampai Depok Baru, arus penumpang yang turun memang jaul lebih rendah dibanding penumpang yang turun, dan dari Depok Baru biasanya arus penumpang yang turun mulai sebanding atau bahkan melebihi arus naik, meskipun sampai Pasar Minggu, pengaruhnya tidak terlalu signifikan (tetap keringetan, red.)

Stasiun Pondok Cina
Stasiun pertama yang menemukan titik keseimbangan antara arus penumpang masuk dan arus penumpang keluar. Biasanya didominasi mahasiswa UI yang kost di deket Pondok Cina.
Universitas Indonesia...
Stasiun UI, tempat mahasiswa2 kedua terbaik di Indonesia (setelah ITB, hehe, dasar anak ITB arogan!!) turun dari kereta lalu masuk hutan dalam kampusnya. Disini, biasanya turun berbagai jenis mahasiswa, mulai dari mahasiswa laki2 berkaca mata dengan tampang ”cupu”, mahasiswa laki2 begajulan, mahasiswi berbaju adek bercelana ketat, mahasiswi berbaju ”standar”, mahasiswi bertampang ”cupu” (juga), mahasiswi setengah akhwat (pakai jilbab tapi baju tetap ketat, jilbabnya ga nutupin dada pula), dan para ”ATT” (akhwat tingkat tinggi). Loh, kok banyakan mahasiswinya? Bukan... mungkin jumlahnya seimbang... tapi jelas, saya lebih merhatiin mahasiswinya =P
Para pria yang duduk di atap biasanya mulai bersiul2 menggoda, bahkan berteriak-teriak layaknya babun di ragunan, ketika melihat mahasiswi UI yang memang...layak digoda... kebanyakan sih yang serba ketat. Tapi biasanya semua langsung terdiam ketika seorang ATT lewat... Aura yang luar biasa (mampu mendiamkan babun tanpa perlu bersuara sedikitpun).
Paling kasihan kalau ada mahasiswa yang, mungkin, ada ujian atau kuis... sempat2nya, membaca sambil berdesak-desakan. Kadang-kadang bukunya jadi ketetesan keringat. Demi cita-cita... berjuanglah dik...

Stasiun Universitas Pancasila, Lenteng Agung, Tanjung Barat
Standar... bingung apa yang mau diceritakan di stasiun-stasiun ini... yang jelas, transaksi arus keluar-masuk tidak terlalu signifikan.

Stasiun Pasar Minggu
Alhamdulillah... kita sudah sampai Pasar Minggu... artinya, buat saya, 15 menit lagi sampai Manggarai (kalau lancar).
Di sinilah arus besar-besaran penumpang yang turun terjadi... sekali lagi... alhamdulillah... oksigen... oksigen... Minimal, keringat tidak lagi mengucur sederas sebelumnya dan bisa bernafas agak lega, berdiri agak tidak berdempet.
Satu-satunya kedongkolan di Pasar Minggu adalah... Biasanya di stasiun ini KRL harus menunggu sekitar 5-10 menit (kadang lebih juga), untuk menunggu disusul oleh kereta-kereta ekspres (biasanya sekitar 2-4 kereta). Sekarang saya tau kenapa kereta-kereta ekspres sering dilempari batu oleh ”orang-orang yang tidak bertanggung jawab”. Bayangkan, kita berada dalam sebuah kaleng panas, berdesakan (berhimpitan) dengan banyak orang, tidak ada angin (karena keretanya tidak jalan, dan badan sudah terlanjur basah oleh keringat... sudah begitu kita masih tidak diprioritaskan untuk jalan (pliss pak... kami butuh angin...). Sementara kereta ekspres (okelah, mereka bayar lebih mahal), selalu dapet prioritas pertama. Penumpangnya kan duduk!! Pakai AC pula!!
Pertama2 sih masih bisa sabar... tapi diatas 7 menit kemudian biasanya bukan Cuma badan yang panas... Hati ini mulai mendidih. Para penumpang mulai memukul-mukul dinding kereta (meskipun mereka tau itu ga akan banyak membantu, tapi setidaknya bisa memuaskan syahwat untuk marah...). Cara lain, mulai berteriak-teriak ga jelas (meskipun mereka tau, si masinis tidak akan mendengarnya... kalaupun terdengar, bukan dia yang berkuasa untuk menentukan kapan kereta boleh jalan lagi). Kalau sudah begitu, ketika si kereta ekspres itu akhirnya lewat... memang rasanya ingin nimpuk dengan batu...
Mungkin hipotesis bahwa peristiwa penimpukan kereta selama ini salah satunya disebabkan oleh kesenjangan ekonomi bisa jadi benar... untuk beberapa kasus. Lantas kenapa KRL ekonomi juga kadang2 dilemparin (sampe sering kena matanya masinis)? Nah... biasanya... yang nimpukin KRL ekonomi itu murni orang ”iseng” ato anak2 yang ga tau apa2 tentang ”kesenjangan ekonomi” (plus ga bisa ngebedain antara KRL ekonomi dan Argo Bromo) tapi meneladani orang2 dewasa yang suka melempari kereta juga (yang karena kesenjangan ekonomi tadi...).

Stasiun Pasar Minggu Baru dan Stasiun Duren Kalibata
Tidak ada yang terlalu menarik... standar2 aja... tapi yang jelas udah bisa bernafas agak lega...

Stasiun Cawang dan Tebet
Didahului oleh sebuah terowongan pendek... tapi lumayan terasa gelapnya, kita memasuki stasiun Cawang, kemudian lanjut ke Tebet. Nah, arus turun disini juga alhamdulillah lumayan besar. Biasanya didominasi para pekerja perbankan dan konsultan (mulai dari pasar minggu sampe Tebet ini kebanyakan emang para karyawan konsultan2). Maka cukup wajar kalau arus penumpang disini didominasi oleh orang2 berbaju rapi dan wanitanya... eeeuuu... gimana ngomongnya ya... pokonya pekerja bank dan konsultan lah... lumayan cantik2 dan lucu2 =P

Manggarai
Inilah salah satu stasiun besar di Jakarta. Langsirannya sangat ramai, dan jalur relnya mencapai 7 jalur. Disinilah titik temu arus kereta Jakarta-Bogor dan Jakarta-Bekasi (termasuk yang ke Bandung). Untuk arus dari jakarta, manggarai juga menjadi titik temu arus kereta dari arah Gambir-Kota dan arah Tanah Abang. Jadi, memang stasiun yang cukup sibuk (dan kalo ada masalah di jalur-jalur itu, penumpukan kereta pasti terjadi di Manggarai).
Karena saya biasanya turun di Manggarai, bisa diceritakan juga bahwa daerah Manggarai merupakan salah satu daerah ”rawan” di Jakarta... bisa juga disebut ”bronxki” (meminjam nama kawasan Bronx di New York yang terkenal dengan gangsta paradise-nya).
Meskipun begitu... para pedagang disini cukup ramah2. Yang agak mengganggu mungkin para tukang ojeg dan penarik bajaj di depan stasiun, yang kadang-kadang sangat (terlalu) agresif dalam menawarkan jasanya... taktik paling kotor adalah : memanggil sembarang nama. Misalnya, akan ada banyak yang berteriak2...”Joko!” atau ”War!!”,”Wan!!”,”Bud!!”,”Sita!!”,Tanti!!” ato apapun... kalau ada yang menengok, langsung deh dia tawarkan jasanya dengan lebih agresif lagi (berhubung sudah kontak mata). Jadi, triknya kalau melintasi depan Manggarai adalah... menunduk dan tidak menoleh untuk suara apapun yang terkesan memanggil anda!!!
Biasanya di stasiun ini juga terjadi pemberian nasihat untuk orang-orang yang duduk di atap KRL. Dimulai dari yang paling halus, ”Hei, itu yang di atas turun hei!!”. Kadang juga agak kasar, ”Woy, yang di atas... Turun !! Mau mati lu??!!”. Kadang juga bersifat ancaman, ”Dengan ini diinformasikan bahwa sampai penumpang yang di atap turun, maka kereta akan berhenti di Manggarai...” Nah, model ancaman ini yang biasanya efektif, karena orang2 yang duduk di atap biasanya malah dimarahi oleh penumpang lain (yang di bawah) yang sudah mulai kepanasan ingin segera jalan.
Dari sini, ada percabangan, yang ke barat itu ke arah Tanah Abang, yang ke utara itu ke arah Cikini-Gondangdia-Gambir-Juanda-dst sampai stasiun Kota.

Stasiun Cikini-Gondangdia
Yang ke kota aja ya... berhubung saya jarang ke Tanah Abang. Disini arus turun juga cukup besar, sama juga didominasi pekerja konsultan dan sektor jasa.

Gambir
”Misi bang... orang miskin mau lewat... misi (permisi) bang...” Berhubung KRL ekonomi sejak satu dekade terakhir ini (mungkin lebih) dianggap ”tidak pantas” untuk berhenti di Gambir... maka mungkin sindiran sarkastik dari beberapa penumpang tadi cukup relevan... Pernah juga sih, kejadian, masih ada orang yang duduk di atap (karena ga disuruh turun waktu di Manggarai) menyiapkan potongan kertas2 kecil banyaaaaak sekali, kemudian dihamburkan ketika melintasi Gambir. Cukup indah juga sih, mirip ujan salju (maksa!)... tapi kasian yang ngebersihin...

Stasiun Juanda-Mangga Besar-Sawah Besar-Jayakarta
Ga ada yang istimewa... yang jelas udara semakin panas, bukan karena padat, tapi karena sudah semakin ke utara yang notabene daerah panas...

Stasiun Jakarta Kota
Akhir perjalanan... Ayo turun2... kalo ada yang tidur tolong dibangunin, supaya ga kebawa balik ke Bogor.


Yap... begitulah perjalanan kereta pagi dari Bogor ke Jakarta... penuh perjuangan.
Dalam salah satu perjalanan, saya pernah berbincang dengan seorang ibu dan seorang bapak... yah, perbincangan yang tidak terencana, terjadi lebih karena kami berdempetan dengan cukup parah, sehingga perbincangan dimulai dengan ucapan si ibu pada si bapak... ”aduh! Ati-ati dong pak! Kaki saya jangan diinjek. Geser dikit pak!! Kegencet nih...” Balasan dari si bapak agak bisa ditebak, ”yah, bu, maap, ga sengaja, ini juga saya kegencet... kalo bisa sih sy juga ga mau gencet ibu...”. Sementara saya hanya senyum-senyum karena tanpa mereka sadari, keduanya menggencet saya secara bersamaan.
Perbincangan berlanjut ke topik ”Keikhlasan dalam berjuang”. Redaksionalnya kira2...
”yah... namanya juga naek kereta bu... ya begini...”,
”iya ya pak... duh...”,
”sabar aja bu... lagian... ngapain juga ya kita kaya gini tiap pagi???”,
”tau tuh pak, apa sih yang dicari??”,
”iya ya, apa sih yang dicari sampe kegencet-gencet gini?? Duit doang paling... Kalo udah gini sih saya inget anak saya bu, kemaren tawuran, udah gitu saya nasehatin malah bilang saya kolot. Kurang ajar bener... mana terus malah minta dibeliin motor... duh...”
”Wah, kalo anaknya gitu sih, banting aja pak!! Ga tau apa orang tuanya banting tulang buat ngidupin die, terus malah kurang ajar lagi.... Kalo anak saya kaya gitu, kagak saya kasih makan dah”
”iya ya bu, padahal kita begini2 buat dia juga...”

Begitulah kira2 perbincangan antara dua orang penumpang kereta, yang tidak saling kenal, tapi menjadi akrab karena merasa satu nasib... Begitulah adanya para penumpang kereta, semua bersaudara, sama2 berjuang.Nah, lalu siapa yang bilang bangsa kita bangsa pemalas??? Liat sini!! Liat perjuangan bapak2 dan ibu2 ini untuk anak2 mereka!! Jihad mereka lebih berkeringat dan lebih menuntut pengorbanan dibanding kebanyakan pekerja di Jakarta. Tapi pendapatan mereka??

Apakah mereka begitu karena mereka mau? Tidak... mereka terpaksa... dan dipaksa (karena pemerintah menganggap bahwa kondisi kereta seperti itu sudah cukup ”layak” untuk mereka). Padahal merekalah yang memutar uang di Jakarta...
Tidak... mereka tidak malas. Mungkin juga, mereka sudah ”mapan”, dan kereta hanyalah bagian dari rutinitas dalam kemapanan mereka. Tetapi, ucapan bahwa bangsa kita bangsa pemalas sungguh tidak fair untuk ditujukan pada mereka yang tidak kaya tetapi bekerja dengan keras. Banyak orang bilang bahwa orang2 itu miskin karena mereka malas. Maka saya katakan, TIDAK!! Mereka miskin karena orang2 yang sudah lebih dulu kaya membuat sistem untuk terus menjerat mereka dalam kemiskinan. Keadaan bahwa mereka bekerja lebih keras tetapi mendapat lebih sedikit tidak lain dari menunjukkan bahwa ketimpangan dan kesenjangan ekonomi di Republik ini sudah sedemikian memprihatinkannya...

Siapakah yang akan mendengar mereka.... saudara-saudaraku...

Saudaraku... sampai jumpa di akhirat nanti... semoga kita bertemu kembali dalam senyuman...dan kalian akan berjalan dengan membawa pahala dari jihad kalian...

No comments: