Wednesday, December 13, 2006

Poligami dan ATM Kondom...

Helow epribadiiii !!!

Sepertinya sudah agak basi untuk membicarakan poligami. Eh, iya nggak ya?

Maksudnya begini, dalam sekian banyak perdebatan, perbincangan, pergunjingan, maupun pelesetan mengenai poligami, dari dari yang berlangsung di kereta ekonomi sampai kantor saya di Menteng, kedua belah pihak (pro dan kontra) sepertinya punya argumen yang (setidaknya menurut masing-masing dari mereka) cukup untuk mempertahankan pendapat mereka itu.

Anda termasuk yang mana?

Terserah anda sebenarnya.

Atau setidaknya, TADINYA terserah anda. Karena saat ini, mulai dari pengemis di kereta sampai Sang RI-1 (Presiden Republik Indonesia) sepertinya akan menggugat jawaban anda.

Mengapa?

Karena Aa Gym poligami?

Yaa... mungkin itu.

Memang luar biasa ternyata pengaruh poligami Aa yang satu ini terhadap perkembangan paradigma mengenai poligami di Indonesia. Judul headline di majalah Tempo terbaru juga cukup lucu : ”Poligami Masuk Istana”.

Menarik untuk disimak, bagaimana dan mengapa poligami yang dilakukan seorang Aa Gym bisa menimbulkan gejolak sebesar ini...

Apakah karena Aa Gym begitu diidolakan? Sehingga ketika sekarang beliau mengambil satu opsi yang cukup tidak populis, tiba-tiba semua yang tadinya mengidolakan berbalik menghujat? Lantas mungkin kita bisa bertanya, mengapa pada awalnya banyak yang mengidolakan Aa Gym?

Bisa juga kita langsung berkaca pada diri sendiri... Siapa suruh mengidolakan manusia secara berlebihan?

Bukankah hanya Allah yang tidak mungkin membuat kita kecewa?

Kalaupun ingin mengidolakan manusia, Rasulullah SAW bisa jadi merupakan pilihan yang paling pas. Tapi toh Rasulullah sendiri yang meminta untuk tidak dikultuskan. Yang penting adalah ajaran yang dibawa beliau bukan?

Tapi tetap menarik kalau melihat bagaimana saat ini hampir di setiap sudut (kalau ada yang sedang bergunjing mengenai issue ini tentunya), begitu banyak hujatan dan cemoohan yang dialamatkan pada seorang Aa Gym. Dan sepertinya orang akan bahagiaaaa sekali kalau bisa menemukan alasan atau bahan baru untuk menghujat.

Yah, itu soal pilihan gaya hidup.

Yang akan sangat disayangkan adalah kalau karena kekecewaan kita akan satu hal kemudian membuat kita menafikkan kebaikan-kebaikan yang lain.

Kalau itu yang terjadi, maka mungkin memang benar, banyak orang yang mengidolakan Aa Gym, dan bukan pesan-pesan yang disampaikannya.

Terbukti bahwa masyarakat kita memang sangat simbolik. Kalau simbolnya dianggap cacat, maka semua yang berkaitan dengan simbol itu kita anggap cacat juga, meskipun tadinya kita anggap baik.

Benarkah demikian?

Kalau memang benar, sangat disayangkan...

Mungkin kita perlu melihat lagi konsep untuk memperhatikan apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan. Yaaa... itu juga kalau kita mau. Sekali lagi, ini perkara gaya hidup dan cara pandang.

Mengenai poligami sendiri, bagaimana?

Satu hal yang jelas adalah bahwa itu diperbolehkan. Perhatikan bahwa kata yang digunakan disini adalah ”diperbolehkan”, bukan ”diharuskan”. Berarti, itu sebuah pilihan bukan?

Syarat-syaratnya sudah jelas diatur. Demikian juga motivasi yang sebaiknya dimiliki ketika mengambil pilihan itu.

Dalam pandangan saya pribadi, dua hal ini (syarat dan motivasi) sangat penting.

Memang betul bahwa dalam perkara syarat, sebenarnya tidak ada syarat bahwa poligami harus disetujui oleh istri pertama. Kalaupun ada yang mensyaratkan, bisa jadi itu karena alasan moral dan etika saja. Toh itu sebuah persyaratan yang baik.

Meski demikian, ada juga yang menganggap itu bid’ah. Karena menambah-nambahkan persyaratan dalam agama. Benar atau tidak itu bid’ah, sepertinya ada yang lebih kompeten untuk menjawabnya (bukan saya tentunya). Tapi kita bisa bercermin juga dari ”kasus” sayyidina Ali RA ketika akan berpoligami, dimana saat itu Rasulullah sendiri yang naik mimbar dan menentangnya, kecuali kalau Fathimah diceraikan terlebih dahulu. Bukankah itu merupakan (secara tersirat) pernyataan ”diizinkan atau tidak diizinkan oleh pihak istri pertama”??

Syarat lain yang lebih utama tentu adalah keadilan. Pilihan manapun yang kita ambil, satu hal yang perlu diingat adalah Islam mengajarkan untuk menegakkan keadilan. Jadi, pilihan apapun yang kita ambil hendaknya tidak menyimpangkan kita dari prinsip keadilan ini. Tentu saja, konsekuensi dari pilihan apapun yang kita ambil ini nantinya akan kita pertanggungjawabkan secara pribadi.

Lalu perkara motivasi...

Bolehkah ”nafsu” atau ”syahwat” menjadi motivasi dalam berpoligami?

Bagaimana anda mengaplikasikan motivasi ”karena Allah semata”?

Inilah sebabnya, sebenarnya saya agak terganggu apabila mendengar alasan ”takut zinah” atau ”daripada zinah” sebagai alasan poligami. Karena, bukankah itu berarti seseorang yang berpoligami itu telah memiliki dorongan seksual terhadap wanita yang menjadi istri ke-2,3 atau 4 tersebut ? Benar bahwa zinah itu haram. Akan tetapi, apakah dorongan seksual itu memang harus disalurkan sehingga memaksanya berpoligami? Apakah ”daripada zinah” itu tidak bisa ditahan dengan sarana lain? Puasa misalnya?

”Menghindari zinah”-nya bisa jadi adalah karena Allah. Tapi kemudian ”mengawini”-nya bisa jadi persoalan lain. Ini karena Allah atau karena anda tidak bisa menahan dorongan seksual terhadap wanita yang bersangkutan?

Maka, saya sekedar saran saja...

Apabila anda mungkin ingin berpoligami..

Coba tanyakan dulu pada diri anda, apa motivasi atau alasannya.

Kalau anda menjawab ”takut zinah” atau ”daripada zinah”, saran saya, lebih baik jangan berpoligami.

Apakah poligami itu sunnah?

Ya, itu sunnah. Tapi ada berbagai macam jenis sunnah. Poligami termasuk yang mana?

Lagipula kalau dari segi rentang waktu, bukankah Rasulullah SAW lebih lama bermonogami dibanding berpoligami? Maka yang mana yang lebih disunnahkan? Dan kalau memang disunnahkan, mengapa Rasulullah SAW sendiri yang melarang Ali RA berpoligami? Dalam hal inilah kemudian konteks situasi yang melatarbelakangi itu mungkin menjadi penting untuk diperhatikan.

Di sisi lain, perkara RI-1 kemudian seperti kebakaran jenggot (eh, SBY punya jenggot ga sih?) dan sampai berniat memberlakukan pelarangan terhadap poligami sepertinya cukup berlebihan (kalau tidak mau dibilang responsif emosional). Apa hak negara untuk melarang sesuatu yang dihalalkan?

Sepertinya akan lebih bijak untuk tetap membiarkannya sebagai sebuah pilihan terbuka. Toh sudah jelas konsekuensi apa yang harus ditanggung oleh setiap manusia dalam menentukan pilihan hidupnya.

Terkait Aa Gym bagaimana?

Sekedar saran lagi....

CUKUPLAH!

Jangan digunjingkan lagi.

Itu pilihan hidup beliau. Hanya beliau, keluarganya, dan Allah yang tahu motivasi, alasan, atau apapun yang berada dibalik pilihan itu.

Tidak berhak kita menghakimi pilihan itu (seolah-olah kita tahu segalanya), sama seperti kita tidak ingin pilihan hidup kita dihakimi orang lain.

Apalagi kemudian sampai menjelekkan mereka yang terkait langsung dengan pilihan itu.

Betul bahwa beliau adalah seorang public figure. Tapi bukan berarti bahwa pilihan-pilihan dalam hidupnya juga harus mengikuti kehendak publik kan?

Selain isu poligami ini (tapi sedikit banyak masih terkait), ada hal lain yang cukup menarik untuk diperhatikan. Yaitu mengenai seks bebas dan perzinahan.

Bersamaan dengan munculnya isu mengenai poligami, isu lain berupa seorang anggota DPR yang sedang berzinah dengan seorang penyanyi dangdut juga terkuak. Menarik untuk melihat bagaimana penyikapan dan pandangan masyarakat mengenai hal ini.

Beberapa hari yang lalu, secara tak sengaja, saya menonton acara “empat mata” di TV7 yang menghadirkan Maria Eva, sang artis dalam film yang tadinya tidak direncanakan untuk beredar itu. Menarik melihat bagaimana seorang Maria Eva, Tukul sang pembawa acara, maupun penonton di studio masih bisa tertawa dan seolah melihat apa yang dilakukan oleh Maria Eva bersama Yahya Zaini adalah sesuatu yang “wajar”. Kalaupun ada yang dianggap “salah”, maka mungkin itu adalah “kesialan” karena video yang menghebohkan itu sampai bisa beredar. Kalau tidak beredar, mungkin akan dianggap “lebih wajar lagi”.

Apakah seks bebas memang merupakan sesuatu yang wajar dalam masyarakat kita? Melihat perkembangan terakhir di negara kita ini, mungkin kita bisa jawab : YA. Atau setidaknya, “disetting” supaya dianggap wajar.

Contohnya?

Dalam sinetron-sinetron yang menghiasi layar kaca di rumah kita, ini bisa jelas terlihat. Sinetron “Wulan” misalnya, mengisahkan tentang seorang wanita yang hamil di luar nikah. Wanita ini menjadi pemeran utamanya, dan digambarkan sebagai seorang wanita yang baik-baik, dan akhirnya (dalam film itu) memperoleh simpati yang luas. Mungkin dari penontonnya juga? Dia tetap digambarkan “beragama”, dan seperti tidak ada yang salah dengan pilihannya untuk melakukan seks bebas (sehingga menghasilkan anak diluar nikah itu).

Dalam hukum negara kita pun, apakah ada hukum tentang perzinahan?

Kalau hukum tentang tindak perkosaan, ada. Tapi kalau suka sama suka? Sepertinya tidak ada ya? Paling banter mungkin ”hukuman sosial” dari masyarakat. Itu pun kalau ketahuan. Dan ”paradigma sosial” mengenai perzinahan itu pun sedang terdekonstruksi (dengan sinetron-sinetron semacam ”Wulan” tadi dan perilaku Yahya Zaini yang tidak banyak diprotes).

Kalaupun saat ini Maria Eva dan Yahya Zaini digarap oleh pihak kepolisian, itu karena adanya dugaan tindak kriminal pemerasan. Bukan karena perzinahannya.

Lantas bagaimana pemerintah menyikapi perilaku seks bebas yang banyak terjadi di masyarakat ini? Pemerintah menyediakan ATM Kondom.

Jadi, kalaupun anda mau ber-seks bebas-ria, minimal, pakailah kondom. Supaya tidak kena penyakit menular seksual, atau supaya tidak hamil.

Absurd?

Untuk saya... ya. Absurd.

Untuk sesuatu yang halal (dalam batasan tertentu) seperti poligami, ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pelarangannya untuk PNS. Yang kemarin diperbincangkan untuk kemungkinan diperluas. Akan tetapi untuk sesuatu yang jelas haram, disediakan ATM Kondom (Condoms Vending Machine).

Apa maksudnya ini?

Hmmm.... jadi kepikiran...

Dengan poligami, seorang pria harus memikirkan azas keadilan, menafkahi istri-istrinya, membiayai anak-anaknya, dsb. Yaaah, kewajiban seorang suami lah. Ia perlu memperhatikan perasaan wanita (istri pertamanya), dan diancam dengan hukuman terbelah dua di neraka kalau ternyata berlaku tidak adil. Tapi dengan ”one night stand” (saya lebih suka menyebutnya ”tabrak lari”), anda (pria) bebas! Tanpa komitmen. Kalau ternyata si wanita hamil, ya si pria bisa kabur. Putuskan hubungan. Cari lagi yang baru. Gampang toh? Si pria tidak perlu mencari PSK. Kadang-kadang mahal. Cari saja wanita yang ”suka sama suka”. Dituntut secara hukum? Apa pasalnya? Yang anda lakukan bukan perkosaan toh? Indah sekali bukan hidup ini? (bagi pria)

Lebih absurd lagi kalau memperhatikan bahwa kalau poligami dipandang sebagai sebuah ”kecacatan moral” atau ”penyakit sosial”, mengapa perilaku seks bebas ini seolah tak tersentuh? Oleh aktivis-aktivis feminis sekalipun?

Dan ATM-ATM kondom tetap tegar berdiri...

Lalu apa hubungannya seks bebas dengan poligami?

Saya hanya memandang bahwa saat ini kondisinya terbalik. Poligami menjadi sesuatu yang seolah terlarang, sementara seks bebas menjadi sebuah pilihan gaya hidup. Bukankah semestinya poligami itu yang dibiarkan menjadi sebuah pilihan, dan seks bebas itu sesuatu yang terlarang (diharamkan)?

Nah, karena sifatnya yang lebih berupa pilihan inilah, saya pribadi juga tidak sepakat kalau poligami dijadikan sebagai parameter ketakwaan seseorang. Saya lebih sepakat melihat unsur keadilannya saja, karena bisa jadi seorang yang memilih bermonogami lebih adil dibanding yang berpoligami, dan bisa saja yang memilih berpoligami itu lebih sakinah keluarganya (karena adil) dibanding yang bermonogami. Dan itu yang menilai hanya Allah saja. Saya, anda, dan siapapun juga, tidak mungkin bisa menilainya.



Keterangan : Gambar diambil dari www.pikiran-rakyat.com

Wednesday, December 06, 2006

Paradoks Mental

Sebuah siang yang cerah...

Saya dan wanita yang satu ini sedang melintas Taman Maluku (saya lupa nama jalannya, tapi itu di sekitar Taman Maluku, Bandung). Cukup sering saya melewati jalan ini di Bandung, dan pemandangan maupun pengalaman di jalan ini belum berubah.

Anda tahu coet?

Ini nama resmi dari apa yang mungkin kita kenal sebagai... “ulekan”. Wadah (dan alat) untuk mengulek dan menghaluskan bumbu-bumbu seperti bawang, cabai, dan sebagainya secara manual. Biasanya terbuat dari batu. Akan tetapi, di dapur-dapur “modern” , fungsi alat ini mungkin sudah banyak digantikan oleh blender listrik. Untuk saya (kalau sedang memasak), rasa masakan akan jauh berbeda kalau bumbu dihaluskan dengan coet, dibandingkan kalau dihaluskan dengan blender.

Tapi sudahlah, saya tidak sedang ingin berbagi resep maupun tips masak-memasak di postingan ini...

Jadi mau cerita apa?

Setiap melewati jalan ini, ada kemungkinan besar anda akan didekati oleh anak-anak yang menjual coet.

Anak-anak?

Ya. Anak-anak. Jangan berkomentar tentang hak perlindungan anak atau usia kerja. Toh saya rasa itu tidak akan terlalu berpengaruh juga untuk mereka.

Anak-anak ini, saya rasa banyak yang masih berusia dibawah 10 tahun, menggunakan pikulan untuk membawa coet-coet dari batu itu di bahunya. Kalau anda pikir satu buah coet itu ringan, maka anda tentu akan berpikir lain kalau mengangkat sebuah pikulan yang di setiap sisinya berisi banyak coet yang bertumpuk-tumpuk.

Pikiran pertama yang melintas dalam otak saya ketika melihat mereka hanya satu... ”badan mereka tambah kecil nggak ya kalo bawa gituan tiap hari?” (pertanyaan bodoh yang saya rasa tidak akan membantu siapa-siapa).

Anak-anak ini biasanya menjual coet buatan orang tua mereka, walaupun sepertinya banyak juga yang menjual bikinan orang lain. Terlepas dari bikinan siapa coet-coet itu, pemandangan semacam tadi (anak-anak penjual coet) cukup membuat dada bergemuruh.

Kenapa mereka harus bekerja seperti itu?

Ya, saya rasa pertanyaan seperti ini agak basi ya? Jadi tidak perlu kita bahas lagi sepertinya.

Yang mau saya bahas adalah sesuatu yang bahkan membuat dada ini semakin ingin meledak, dan tangan saya berteriak ingin bergerak untuk melempar sendal. Mengapa?

Karena beberapa saat setelah didekati anak-anak tadi (yang menawarkan dagangannya dengan teriakan melengking, ”coeeeeeeeeeeet !!!”), kami (saya dan wanita yang satu ini) didekati oleh seorang pria. Masih muda (yaaah, pertengahan 30an lah, atau mungkin malah kurang), sepertinya sehat tidak kurang satu apapun, badan lumayan tegap. Dan pria muda itu... mengemis!

Luar biasa! Dengan bermodal baju lusuh, kotor, topi buluk, wajah yang sepertinya jarang dicuci, serta tatapan sendu, dia mengemis.

Sementara anak-anak kecil tadi mengangkat dagangannya yang berat, berkeliling dari satu mobil ke mobil lain tanpa hasil, para pengemis muda ini cukup mengangkat tangan ke jendela mobil untuk mendapat uang sekitar 500 sampai 1000 rupiah.

EDAN!

Dunia macam apa ini?

Seandainya tidak ada anjuran untuk bersabar dan menahan amarah, sendal saya mungkin sudah melayang.

Yah, mungkin semua memang hanya masalah mental. Mentalitas yang memuakkan!

Sunday, November 26, 2006

Kabar-kabari

Ya! Saya kembali! =D

Beberapa minggu meninggalkan jagat per-blog-an, ternyata ada beberapa perubahan yang terjadi di dunia nyata. Tentu, ini adalah wajar, seperti kata seorang bijak yang saya lupa namanya, perubahan itu pasti, dan satu yang tidak berubah hanyalah perubahan itu sendiri.

Jadi, apa sajakah perubahan yang terjadi itu??

Pertama, saya sudah boleh makan es krim lagi!!!! =D perjanjian (entah dengan siapa) untuk tidak makan es krim sudah selesai. Dimulai dengan dua orang anak yang menjual koran Re**bl*ka di depan K*C Jalan Riau – Bandung, dan diakhiri secara simbolis dengan seorang anak perempuan di depan Mesjid Raya Bogor.

Kedua, kota tempat kelahiran saya sudah dikotori oleh kaki-kaki seorang presiden gila perang dari negara lain. Saya agak malas membahasnya, karena sudah dibahas di ribuan situs lain. Tapi yang jelas, saya kurang sepakat kalau motifnya itu politis. Saya lebih melihat motif ekonomi untuk menyelamatkan target pasar produk2 amerika di negara saya ini, karena produk2 china sudah mulai membanjiri pasar domestik Indonesia, menggeser pasar yang sebelumnya dikuasai Amerika. Dan terbukti, sehari setelah kunjungan ke Bogor, tersiar kabar bahwa China memperkuat hubungan dagang dengan India. Tentu, Indonesia tetap menjadi sasaran utama Amerika, karena penduduknya masih suka makan di McD dan menggunakan Nike dengan rasa bangga... entah mengapa.

Toh motif ekonomi ini juga berimbas langsung terhadap Kota Bogor, dimana ribuan sopir angkot marah-marah, ratusan pedagang kaki lima mengucap sumpah serapah, ribuan masyarakat Bogor yang memang kurang hiburan menganggap Bush seperti kuda lumping yang lucu untuk ditonton, dan ribuan pekerja yang biasa ulang-alik Jakarta-Bogor bersorak sorai bergembira karena punya alasan untuk membolos.

Ketiga, masih terkait dengan yang kedua, Ki Gendeng Pamungkas akhirnya mengakui kekalahannya. Padahal sebelumnya sudah potong kambing segala. Sesuatu yang sebelumnya jarang terjadi. Meski begitu, di salah satu koran murahan penyebar gosip di kereta ekonomi jabotabek, disebutkan bahwa Gendeng mengaku kalah karena dikeroyok oleh 6 dukun yang disewa pemerintah untuk melindungi Bush. Oke, satu hal yang tidak berubah dari isu yang satu ini adalah ... ternyata masih saja ada yang percaya sama yang beginian.

mmm... apalagi ya?

O iya, pipa gas di Porong meledak karena tertekan tanggul lumpur panas yang runtuh. Bakrie akhirnya mau terjun ke lapangan, setelah Lapindo dijual tentunya.

Seorang anak di Bandung meninggal karena di-Smack Down oleh 3 orang temannya. Ini juga sesuatu yang baru, mengingat resiko ini sebelumnya masih berupa wacana dan belum mampu menghentikan tayangan Smack Down (atau sejenisnya) di tivi. Sekarang sudah kejadian, kita tunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Perkembangan lain, saya sepertinya tahun depan bakal didepak dari tempat kerja sekarang. Ini juga sesuatu yang baru, walaupun gelagatnya sudah tercium dari dulu. Sesuatu yang wajar, mengingat sering berkelahi dengan seorang raja kecil di sini. Meski begitu, dari sekian banyak perdebatan dan perkelahian dengan sang raja kecil itu, tidak ada satupun yang saya sesali. Dalam perdebatan-perdebatan itu, insya Allah saya mempertahankan apa yang saya rasa benar, atau setidaknya, menjadi tanggung jawab saya sesuai dengan deskripsi pekerjaan yang saya emban ketika mengambil pekerjaan ini. Perkara karena saya mencoba menjaga substansi atau efisiensi lantas tidak ada uang yang bisa dialirkan ke ”pos lain”, itu sama sekali bukan urusan saya. Kalaupun akan didepak, ya sudah, toh memang itu resikonya. Seorang teman kerja yang bersimpati memang menyarankan saya untuk tidak terlalu sering bersitegang dengan atasan, dan berusaha mengambil hatinya, supaya bisa tetap kerja di sini. Tapi saya rasa, tidak ada alasan untuk saya melakukan hal itu. Toh sampai saat ini saya tetap menunjukkan sikap hormat kepadanya, dalam batas-batas profesional, karena dia memang atasan, dan orang yang lebih tua. Jadi, kita lihat kemana Allah akan menunjukkan jalan untuk saya tahun depan. Sesungguhnya, hanya Allah yang maha mengetahui apa yang terbaik untuk kita toh?

Perubahan lain, suhu udara di Bandung pada siang hari saat ini bisa mencapai 30 derajat celcius. Sesuatu yang sebelumnya belum pernah terjadi, karena seingat saya ketika kuliah, bahkan pada siang hari pun masih ada alasan untuk memakai jaket. Sekarang? Sekedar BPAG (Biar Panas Asal Gaya) saja sepertinya. Terkait dengannya tentu adalah perubahan siklus musim hujan tahun ini, dimana musim november masih bernuansa kemarau.

Meski begitu, ada banyak juga hal-hal lain yang ternyata tidak berubah!

Apa saja yang status quo itu?

Pertama, ya itu tadi, terkait kedatangan Bush, ternyata masih ada saja orang yang percaya orang Gendeng. Dan kedua, mental terjajah bangsa ini masih terungkap dengan jelas. Mental terjajah? Ya itu, mental yang mengatakan bahwa ”bule=superior”. Tidak percaya? Coba saja lihat bagaimana kedatangan Bush disambut sedemikian rupa. Padahal kalau dia takut mati kalau kesini, ya jangan kesini.

Contoh lain mental terjajah, kita bisa lihat di acara-acara semisal ”bule gila”, ”turis dadakan” dsb yang mengeksploitasi kekaguman orang Indonesia atas ”bule”. Kesannya aneh betul sepertinya kalau ada orang bule yang menjadi tukang sapu atau tukang daging atau supir bajaj. Apakah kita pikir bahwa hanya warga negara Indonesia asli yang bisa miskin, sementara orang bule sedemikian hebatnya sehingga menjadi supir bajaj adalah satu fenomena alam yang luar biasa? Demikian juga dalam rapat-rapat yang pernah saya ikuti (terkait pekerjaan saya), yang beberapa peserta rapatnya adalah orang bule, sangat terlihat sekali bahwa manusia Indonesia (contoh, birokrat-birokrat yang waktu itu bersama saya) hanya berani mengkritik atau menyanggah pendapat yang disampaikan oleh sesama orang Indonesia. Begitu orang bulenya bicara, biasanya yang mengikuti adalah anggukan kepala dari semua orang dan tiba-tiba jalannya rapat jadi mengikuti jalan pikiran si bule.

Saking penasarannya, saya bersama dua orang bule pernah mencoba berkonspirasi. Dalam sebuah workshop di Jogja pada bulan Februari lalu, ada sebuah usulan saya yang ditolak mentah-mentah oleh forum, meskipun argumentasi yang lebih banyak terdengar adalah karena saya ”masih muda dan kurang pengalaman”. Pada sesi istirahat, 2 orang bule menghampiri saya dan mengatakan bahwa usulan saya sebenarnya baik. Maka saya minta mereka yang menyampaikannya pada sesi berikutnya. Dan mereka melakukannya. Seperti yang kami bertiga perkirakan, semua orang kemudian mengangguk-ngangguk, entah karena mengerti atau karena tidak mengerti apa yang diomongkan si bule dalam bahasa Inggris itu. Pada akhirnya, minimal fenomena itu bisa menjadi bahan obrolan kami yang penuh tawa ketika makan malam. Dan menjelaskan mengapa bangsa ini masih berada dibawah bayang-bayang bangsa asing. Salah satunya karena mentalnya masih terjajah.

Apalagi yang tidak berubah?

Golkar masih menunjukkan dirinya sebagai partai yang mencla-mencle dan sangat pragmatis (terkait isu unit kerja bikinan presiden itu lho). Saya rasa, sebagai sebuah partai korup yang telah berkontribusi besar bagi kehancuran bangsa ini, hal seperti itu memang sudah merupakan kewajaran. Tidak ada gunanya untuk dianalisis sebenarnya. Lebih baik dibubarkan saja.

Iran masih bersikukuh untuk melawan Amerika dalam pembangunan instalasi nuklir. Saya harap ini tidak berubah.

Jumlah orang miskin di Indonesia masih terus naik. Ini trend yang masih tetap terjaga nampaknya. Dan pemerintah masih kurang berpihak pada petani. Setelah impor beras, maka sekarang pupuk menjadi mainan. Oke, modus operandinya berubah memang, tapi toh mentalitasnya masih sama saja. Yang berkuasa berhak menindas yang tidak punya suara, meskipun berjasa.

Kereta ekonomi jabotabek masih tetap penuh-sesak-padat, dan para penumpangnya masih mendapat pendapatan riil yang ”segitu-segitu aja”. Masih ada orang tertabrak kereta hampir setiap hari di berbagai stasiun. Dan masih banyak copet yang tidak jera digebugi berkali-kali.

Ada seorang wanita cantik di kereta express tanah abang (jadwal keberangkatan 8.09) yang sampai sekarang masih belum saya kenal. Dan sepertinya ini memang tidak akan berubah... ya sudalah...

Terakhir yang tidak berubah? Mmmm.... kebiasaan saya untuk menulis panjang. Ini contohnya.

Yah...

Mungkin itu dulu, perkembangan terakhir di dunia selama beberapa minggu tidak mengunjungi blog ini. Tentu, tidak semuanya saya tulis, berhubung tentu akan menghabiskan sangat banyak waktu (baik bagi saya yang menulis maupun anda yang membaca) kalau itu terjadi.

Intinya?

Yah, saya kembali =D

Anda sendiri, apa kabar?

Thursday, November 02, 2006

Sumpah Pemuda, Memang Sudah Tidak Muda Lagi....

Mungkin langkah pemerintah pada saat “reformasi” pasca tahun 1998 untuk menghilangkan kewajiban upacara bendera di sekolah tidak sepenuhnya tepat. Entah sayanya yang sedang aneh, mellow (sebenarnya, kata “mellow” ini artinya apa sih?), atau terlalu banyak bernostalgia dengan masa lalu, tapi dalam satu dan lain hal saya agak-agak merindukan upacara bendera tadi. Tentu, Anda boleh berpikiran bahwa mengingat volume kerja (dan manusia) di perkantoran Jakarta pada hari-hari pertama pasca libur lebaran ini masih sangat sedikit, saya jadi lebih banyak menganggur dan bengong di kantor sehingga kerinduan yang absurd akan hal-hal seperti upacara tadi singgah di kepala saya.

Hmmm.... yaaaa.... mungkin itu benar juga... melamun memang bisa menimbulkan pikiran macam-macam, mulai dari filsafat tingkat tinggi sampai imajinasi-imajinasi terlarang. Tapi tenang, tulisan ini tidak dibuat untuk menceritakan imajinasi-imajinasi tadi (karena kalau diceritakan, Anda tentu akan sepakat bahwa itu memang terlarang). Jadi, lebih baik saya berimajinasi sendirian saja...

--- jeda sebentar ya, lagi berkhayal dalam lamunan... ---

Maaf, sampai mana tadi??

O iya, soal upacara.

Sebenarnya bukan upacaranya yang membuat rindu. Ya iyalah, kegiatan berdiri dibawah terik matahari selama 2 jam tanpa boleh gerak-gerak ataupun buka mulut (kecuali diperintah) memang tidak terlalu menyenangkan.

Serba salah. Waktu berdiri di barisan depan, curi-curi ngobrol sedikit ketahuan pembina upacara, dan ditegur melalui microphone dengan jari telunjuknya jelas mengarah ke hidung saya. Waktu berdiri di barisan belakang, ternyata banyak yang curi-curi ngobrol, makan, sampai saling bertukar kartu porno. Tapi entah kenapa, hanya saya (dan beberapa anak) yang ditarik ke belakang oleh guru pengawas, lalu dilaporkan ke pembina upacara. Kemarahan sang pembina upacara (Kepsek) hanya diungkapkan dalam dua kata : “KAMU?!?! LAGI?!?!?”. Dalam versi bahasa inggrisnya kira-kira : “YOU!!??!? AGAIN??!?!”.

Hanya dua kata memang, tapi itu cukup untuk membuat seluruh siswa yang lain tertawa, atau setidaknya menahan senyum. Dan beberapa menit kemudian, saya beserta anak2 lain yang tertangkap basah tadi sudah berbaris di depan, di sebelah tiang bendera sampai upacara berakhir, untuk kemudian diceramahi lagi di Ruang Guru. Bukan kenangan yang menyenangkan. Meski begitu, saya tetap bersyukur karena telah berjasa membuat seluruh siswa tertawa. Setidaknya itu hiburan bagi mereka, sehingga upacara waktu itu tidak berjalan terlalu membosankan.

Tapi tidak bisa dipungkiri, disamping efek-efek yang (katanya) buruk berupa doktrinasi yang tidak perlu bagi generasi muda yang sedang dalam masa pertumbuhan, upacara juga menyimpan kandungan-kandungan positif dalam rahimnya. Tidak usah terlalu muluk memikirkan korelasi antara upacara dengan patriotisme kaum muda. Tidak usah juga terlalu berlebihan dengan mencari hubungannya dengan kuatnya nasionalisme atau pembentukan mental. Seperti kalimat yang muncul dengan tulisan-tulisan super kecil pada iklan shampo, “efek bervariasi tergantung jenis rambut”, maka demikian juga efek upacara pada mental pemuda maupun orang-orang tua.

Saya melihat dari yang sederhana saja, upacara mengingatkan kita pada hari-hari besar yang bersejarah bagi bangsa ini. Contohnya saja, hari sumpah pemuda tanggal 28 Oktober yang lalu. Ketika masih sering upacara, tentu ada upacara pada hari itu, atau minimal diingatkan oleh pembina upacara pada upacara sebelumnya. Nah sekarang? Sejujurnya, saya sendiri hampir lupa pada hari bersejarah itu, seandainya saya tidak mendapat sms dari seorang kawan yang sejak dulu sampai sekarang berjiwa aktivis patriotis yang berbunyi singkat : “Selamat hari sumpah pemuda! Ayo bangkit pemuda Indonesia!”. Luar biasa sekali bukan sms-nya?

Lantas untuk apa diingat-ingat segala? Nah, kalau itu saya tidak mau menjawab, karena jawabannya bisa bervariasi, sama seperti shampo tadi.

Berbicara sumpah pemuda memang akan membangkitkan kenangan kita akan semangat para pemuda yang (ketika itu) bahkan belum secara resmi punya negara. Lalu kita akan kembali miris saat melihat kenyataan bahwa perjuangan yang berdarah-darah itu sekarang seolah terlupakan saat saya menonton Spongebob atau Katakan Cinta.

Apa? ”Katakan Cinta” ??? Tayangan yang bertema keinginan bercinta yang utopis itu??

Sejauh mana kita memaknai sumpah pemuda saat ini secara filosofis, tentu bisa menjadi pembahasan para penulis yang lebih ”serius” dibanding saya. Toh saya lebih suka melihatnya dari perilaku sehari-hari kaum muda Indonesia. Kok kawula mudanya saja? Ya iya, karena kita sedang membahas sumpah pemuda.

Dari 3 aspek yang tertera dalam sumpah pemuda (bangsa, tanah air, dan bahasa), maka ”bahasa” bisa jadi merupakan aspek yang paling mudah terlihat (dan terdengar) dalam perilaku sehari-hari itu. Maka, mari kita membicarakan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan anak muda.

Pertanyaan utamanya adalah : ”sejauh mana generasi muda mengenal dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar?”

Mengenal?

Kawula muda saat ini, tentu bisa menjawab.... ”ooooo, ya jelas kenal dong ah, secara dari kecil kita pakai bahasa indo gitu loh!!”

Nah, sekarang, apa yang bisa Anda lihat dari kalimat jawaban tadi?

Ya! Benar!

Ada kata ”secara” yang sekarang ini nampaknya lumrah digunakan di kalangan para pemuda/i, padahal jelas kata tersebut digunakan dalam konteks yang salah. Pembenarannya? Inilah bahasa gaul kawula muda masa kini. Ini sah-sah saja. Setiap golongan berhak memiliki bahasanya sendiri. Akan tetapi, bisa jadi penggunaan ”bahasa gaul” secara terus-menerus dalam jangka panjang malah membuat pemakainya lupa akan bahasa Indonesia yang merupakan akarnya. Apalagi kalau bahasa semacam itu sudah dibiasakan semenjak anak-anak masih balita (atau bahkan batita diajarkan untuk berbahasa seperti itu), bisa-bisa akan menyebabkan mereka tidak mengenal Bahasa Indonesai. Apakah lantas kita akan mengganti teks sumpah pemuda menjadi ”berbahasa satu! Bahasa...gaul men!!”.

Secara ekstrim, bisa jadi di masa depan, ungkapan-ungkapan sederhana seorang anak perempuan pada temannya seperti : “eh, aku juga ingin kenal dengan lelaki itu dong...” akan berubah menjadi ”eh, akika mawar dong brondong bo !!! ...yuuuu...” (walaupun artinya sedikit berbeda). Asalnya, penggunaan bahasa semacam ini hanya saya dengar di kalangan bencong-bencong ibukota.

Seorang kawan saya di Bandung yang sempat berdiskusi dengan saya perkara ”secara” ini secara tak terduga bahkan malah mengajukan pertanyaan serius yang hampir membuat saya menangis...”eh, wan, ngomong-ngomong, jadi sebenarnya ”secara” itu penggunaannya yang tepat gimana sih?”, yang saya jawab dengan singkat...”HAIYAH!!”

Sepemahaman saya, yang tentu saja bisa salah karena nilai pelajaran Bahasa Indonesia saya juga tidak terlalu bagus, kata ”secara” itu bisa diartikan/digantikan oleh frase ”satu cara dengan” atau ”dengan cara”. Jadi, kalau misalnya saya katakan... ”Ia dibunuh secara brutal” akan sama artinya dengan ”Ia dibunuh dengan cara yang brutal”. Perhatikan bahwa kata ”secara” biasanya diikuti oleh kata sifat.

Nah, penggunaan kata ”secara” dalam bahasa gaul seperti sekarang ini sebenarnya lebih tepat kalau menggunakan kata ”berhubung” atau frase ”sehubungan dengan”. Jadi, kalau dalam bahasa gaul kita berkata... ”gw jalan-jalan dong, secara masih libur gitu loh”, maka dalam Bahasa Indonesia kira-kira berarti ”saya bertamasya dong, berhubung sekarang masih masa liburan”. Kira-kira begitu.

Oke, sekian pelajaran bahasanya, secara ini bukan diktat bahasa... (halah, ternyata enak juga pakai kata ini =p hueheheheh).

Satu kata lagi yang masuk daftar keprihatinan saya adalah kata ”kami”. Apakah anda menyadari, bahwa kita sedang kehilangan penggunaan kata ”kami” dalam bahasa sehari-hari?

Coba perhatikan kutipan salah satu iklan susu yang ditayangkan di televisi berikut :

”KITA pernah tersesat di hutan amazon... dst dst” (diucapkan oleh 2 orang anak kecil)

Bagi saya iklan itu terdengar janggal karena.... karena saya tidak ikut tersesat bersama anak-anak itu di hutan amazon. Lha lantas mengapa dia mengucapkan kata ”kita”??

Tapi toh ternyata di jagat Indonesia ini, penggunaan yang salah konteks seperti itu memang sudah banyak. Misalnya dalam sebuah acara di televisi yang menyajikan hiburan berupa macam-macam tarian dan nyanyian, presenternya sering sekali berkata : ”kita sudah menyiapkan ya, artis-artis blablabla dst dst”. Nah, yang menyiapkan itu siapa? Saya tidak ikut menyiapkan kok.

Dalam dua contoh tadi, bukankah lebih cocok kalau kata ”kita” diganti ”kami”?? Karena setahu saya, ”kita” itu merujuk pada orang pertama (yang berbicara) bersama-sama dengan orang kedua (yang diajak berbicara) dan bermakna jamak. Sementara ”kami” merujuk pada orang pertama jamak.

Jadi, kalimat-kalimat seperti :

1. ”Kita akan terus melakukan penyidikan atas kasus pembunuhan ini” (diucapkan seorang kepala polisi), jelas salah karena yang melakukan penyidikan tadi adalah aparat kepolisian. Saya tidak ikutan, ayah saya tidak ikutan, teman saya tidak ikutan, dan banyak orang lain yang tidak ikutan. Jadi, semestinya kalimatnya : ”KAMI akan terus blablabla...”

2. ”Kita pergi dulu yaaa.... dadaaaaah!!!!” Ini lebih absurd lagi. Untuk apa pamit ke orang yang ikut pergi?? Tentu semuanya akan lebih jelas kalau kalimatnya... ”KAMI pergi dulu yaaa”

3. ”Kita semua sayang kok sama cecep...” Ya sudahlah, sama saja penjelasannya...

Dalam bayangan saya, kehilangan ”kami” ini bisa jadi disebabkan oleh hal-hal berikut :

1. Terpengaruh Bahasa Inggris, karena kosakata Bahasa Inggris memang tidak mengenal pembedaan antara ”kami” dan ”kita”. Keduanya biasanya sama-sama diterjemahkan sebagai ”we”. Nah, dalam hal ini, Bahasa Indonesia bisa dibilang lebih unggul... tapi malah keunggulan itu hilang dengan sendirinya.

2. Terpengaruh dialek dari beberapa bahasa daerah, karena beberapa bahasa daerah di Indonesia memang biasa menggunakan frase ”kita orang” sebagai pengganti ”kami”. Frase ”kita orang” ini sebenarnya juga biasa digunakan oleh etnis cina dan kalangan tentara belanda waktu dulu menjajah negeri ini (”kita orang” untuk mereka, dan ”kamu orang” untuk orang pribumi yang diajak bicara).

3. Terpengaruh bahasa pejabat, karena pada masa orde baru dulu (dan orde lama mungkin), setiap pidato atau opini tertulis yang diutarakan oleh seorang pejabat selalu menggunakan frase ”kita”. Ini supaya rakyat yang mendengarnya MERASA turut bertanggung jawab atau turut ”memiliki” opini atau kebijakan tersebut. Penggunaan frase ”kita” ini terbukti sangat efektif sebagai sarana persuasi bagi rakyat banyak.

4. Karena dari kecil sudah mendengar yang salah konteks, ya sudah, memang tidak tahu lagi penggunaan yang benar itu seperti apa....

Nah... kan.... jadi serius gini kan tulisannya??

Ah, sudahlah.... cukuplah dua kata tadi (”secara” dan ”kami”) mewakili keprihatinan saya atas penggunaan Bahasa Indonesia di masa sekarang ini.

Intinya...

Mari memperingati sumpah pemuda dengan merusak bahasa persatuan kita...

NB :

- saya tidak menentang penggunaan ”bahasa gaul anak muda”. Tapi agak risih kalau itu merusak bahasa Indonesia atau penggunanya jadi tidak tahu lagi bahasa Indonesia itu seperti apa.

- kalau memang ”bahasa gaul anak muda” yang merusak Bahasa Indonesia, sementara Bahasa Indonesia itu ditetapkan sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda, maka mungkin Sumpah Pemuda memang sudah tidak muda lagi ya...

- tulisan ini bukan berarti saya tahu banyak tentang Bahasa Indonesia, atau jago berbahasa Indonesia... jadi, silakan koreksi...

- karena saya banyak mengkritik ”bahasa gaul anak muda”, maka saat menulis ini, saya merasa... saya merasa... merasa... tuaaaaaa sekali... atau minimal, ”gak gaul” =))

Monday, October 30, 2006

Semex (cerita-cerita dari kereta, episode 12)

Sekitar setengah tahun yang lalu, pada sebuah pagi yang cerah di Stasiun Kota Bogor, para calon penumpang dihebohkan oleh teriakan-teriakan para tukang koran yang cukup provokatif !!

“Beli koran temponya nih, kereta ekonomi mau diilangin!! Ekonomi diapus!!”

mendadak sontak, tentu saja para tukang koran ketiban durian runtuh karena berita mengejutkan itu. Semua mendadak ingin membeli koran tempo untuk membuktikan kebenaran isi teriakan-teriakan tadi. Beberapa tukang koran yang kehabisan stok koran tempo kemudian menawarkan koran lain ke calon pembelinya, akan tetapi kemudian dikembalikan lagi oleh si pembeli karena berita yang dicari tidak ada di koran-koran lain. Hanya ada di koran tempo. Dan memang benar, berita akan dihapuskannya kereta ekonomi itu memang disajikan di koran tempo, dalam dua halaman.

Saya pun berusaha mencuri baca dari orang-orang di sekitar saya, dengan melirik-lirik koran yang sedang dibaca orang lain. Perlahan tapi pasti, orang-orang yang saya lirik korannya itu mulai misuh-misuh menunjukkan keterusikannya atas tindak-tanduk saya. Tentu dengan muka masam dan mata yang seolah berkata, ”beli ndiri napa bang ?!!? serebu doang getoo!!”

Seketika, cuaca cerah Bogor pagi itu langsung ditandingi oleh wajah-wajah mendung para penumpang ekonomi. Tidak hanya di Bogor, berita itu ternyata juga menjadi topik obrolan yang hangat di kalangan penumpang-penumpang dari stasiun lain. Dari berita yang tertulis di koran tersebut dikabarkan bahwa semua gerbong kereta ekonomi akan dihilangkan dan diganti gerbong yang setipe dengan kereta express. Adapun kereta ekonomi akan tetap diopersikan, tetapi hanya sedikit, dan akan melalui jalur rel lingkar luar, seperti halnya kereta ”nambo” (sebutan untuk kereta diesel yang masih dioperasikan untuk jalur Bogor-Sukabumi dan Bogor-Jakarta melalui Cibinong dan stasiun2 lain diluar jalur utama Bogor-Depok-Jakarta).

Di satu sisi, semua orang akan sepakat bahwa kondisi kereta ekonomi Jakarta-Bogor dan sekitarnya memang sangat perlu lebih ”dimanusiawikan”. Saya rasa, hanya kereta ekonomi di India yang mampu menyaingi kepadatan kereta ekonomi Jabotabek. Hmmmm... koreksi, kereta ekonomi India JAUH lebih padat dan tidak manusiawi dibanding Jabotabek (saya ragu, apakah ini kondisi yang patut disyukuri atau bukan... tapi minimal ini membuktikan bahwa pepatah ”diatas langit masih ada langit” memang ada benarnya). Akan tetapi, dari segi finansial para penumpang ekonomi, berita mengenai rencana tersebut menghadirkan mimpi buruk yang menggantung di siang bolong. Pasalnya, harga tiket kereta express yang 11 ribu itu jelas berbeda jauh dengan tiket ekonomi yang maksimal 2500 (dan itupun banyak yang tidak bayar, baik karena tidak mampu maupun karena.... yah, pengen ga bayar aja...). Kalau dihitung selama 1 bulan (22 hari kerja), artinya akan ada pembengkakan pengeluaran sebesar... mmm... silahkan hitung sendiri...

Bulan demi bulan berlalu.... kabar itu mulai dianggap sebagai angin lalu... (aduuh, bahasakuu...)

Kemudian...

2 bulan yang lalu, mulai muncul kereta jenis hibrida baru di jalur Jakarta-Bogor... kereta semi-express yang kadang disingkat ”Semex”. Yap, ini adalah species hibrida (persilangan) dari kereta ekonomi dengan kereta express. Kereta ini menggunakan gerbong-gerbong kereta express, lengkap dengan AC-nya, tetapi berhenti setiap dua atau tiga stasiun sekali. Dengan harga tiket 6000 rupiah, kereta ini mulai deperkenalkan dengan jadwal keberangkatan 08.27 WIB (tapi perasaan tadi pagi saya lihat harga tiketnya sudah dinaikkan jadi 11 ribu, entah untuk masa libur lebaran ini saja atau sampai selamanya saya tidak tahu).

Kereta semex ini, mulai mencuatkan kembali isu penghapusan kereta ekonomi. Dan dalam pikiran saya, kedepannya memang mungkin kereta hibrida inilah yang akan menggantikan peran kereta ekonomi secara total. Tentu secara perlahan, yaitu dengan menambah jadwal keberangkatannya (yang dengan sendirinya, akan menggeser atau menghapus jadwal kereta ekonomi).

Dari segi manajemen transportasi, langkah ini bisa dibilang merupakan langkah konkrit yang perlu dipuji dari PT KAI untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kereta commuting (ulang-alik) Jakarta-Bogor dan sekitarnya. Akan tetapi, dari segi ke-manusiawi-an, hal ini membuat saya cukup bertanya-tanya.

Kita memanusiawikan kereta, tapi tidak memanusiawikan taraf hidup manusianya...

Ha? Maksud lo?

Maksud saya begini....

Tiket semex memang ternyata tidak semengerikan yang dibayangkan orang. Tapi, ukuran ”tidak mengerikan” itu mungkin adalah ukuran saya. Bagaimana dengan ukuran penumpang ekonomi yang lain? Sementara, tentu diharapkan penumpang-penumpang ekonomi itu akan beralih ke semex dalam melakukan commuting.

Sekarang, apabila sekarang dengan harga 2500 saja banyak orang yang tidak (mampu) membeli tiket ekonomi, lantas bagaimana kita bisa mengharapkan mereka (mampu) membeli tiket semex?

Sementara kisah satu setengah tahun lalu mengenai seorang Supriono yang menggendong mayat anaknya, Khaerunissa, untuk dibawa ke Bogor dengan kereta ekonomi, tanpa bayar (karena hanya itu yang dia mampu untuk berusaha menguburkan anaknya seperti layaknya manusia), masih menyisakan air mata yang tertahan. Dan memang, belum semua masyarakat pengguna kereta mampu untuk membayar tiket kereta ekonomi sekalipun.

Maka, dalam bayangan saya, alih-alih memanusiawikan kereta, semex justru berpotensi untuk menciptakan kondisi yang makin tidak manusiawi. Sekarang kita pakai hitung-hitungan sederhana saja. Sebutlah misalnya ada 100 penumpang kereta ekonomi jadwal 7.44 WIB, dan ada 100 penumpang kereta ekonomi jadwal 8.05 WIB. Nah, misalnya kemudian jadwal Semex ditambah, dan ada semex jam 8.05, yang dengan sendirinya kemudian menghilangkan kereta ekonomi 8.05. Nah, dari 100 orang penumpang kereta ekonomi 8.05 tadi, sebutlah misalnya hanya 50 orang yang mampu untuk beralih menggunakan semex, sementara 50 lainnya tidak mampu karena gajinya belum naik, inflasi, harga barang-barang naik, uang sekolah mahal, dan sebagainya. Lantas apa yang akan terjadi? Bisa jadi, yang 50 itu akan berpindah ke kereta ekonomi 7.44 sehingga penumpang ekonomi 7.44 bertambah menjadi 150 orang dengan jumlah gerbong yang tetap sama. Bukankah ini berarti menciptakan kondisi yang makin tidak manusiawi untuk kereta ekonomi jadwal keberangkatan 7.44??

Berpindah ke bus antar kota?

Pasca kenaikan BBM terakhir, tarif bus antar kota Jakarta-Bogor ditambah dengan tarif bus dalam kota, angkot, dsb kalau dihitung-hitung malah jatuhnya bisa sama (atau lebih mahal) dibanding menggunakan kereta express (ini untuk kasus saya, entah untuk yang beraktifitas di daerah lain).

Tentu, ini sekedar hitungan sederhana saja...

Dan saya juga tentu tidak akan menuntut apa-apa dari PT KAI, karena meningkatkan taraf hidup masyarakat memang bukan tugas PT KAI.

Lantas, tugas siapa?

Memindahkan semua kereta ekonomi ke jalur lingkar luar (pinggiran) mungkin memang tepat untuk situasi yang ironik ini... pada akhirnya, kaum miskin memang selalu termarjinalkan... terpinggirkan (kali ini, secara denotatif).

Manusiawi.... hmmm... ternyata tidak semudah itu untuk menjadi ”manusia” di negara ini...

NB :

- Lantas, apa sih yang lu usulkan wan?

- Gak banyak sebenernya gw cuma pengen ngomong, kalo bisa, harga tiket semex nantinya sama dengan harga tiket ekonomi... atau kalau bisa, kereta ekonomi tetap ada, sampai masyarakat kita mampu untuk membayar lebih dari itu.

- haiyah, mau enak kok ga mau bayar lebih?

- Itu dia... apakah ”manusiawi” dan ”enak itu hanya untuk yang bisa bayar? Tentu... inilah masa dimana ketidakmampuan untuk membayar menjadi alasan untuk tidak diperlakukan selayaknya manusia!

- kok serem gini sih tulisan tentang keretanya?

- yaaa.... terkadang ada hal-hal yang tidak pantas untuk dijadikan bahan tertawaan... meskipun akan selalu ada alasan bagi kita untuk masih bisa tersenyum.

Thursday, October 19, 2006

Surabaya, Kupu-kupu, dan Rawon Setan

Surabaya...
Saya tidak pernah menyukai kota ini.

Oke, pernyataan di atas, saya sadari sepenuhnya, adalah permulaan yang sangat buruk untuk sebuah tulisan.

Akan tetapi, memang pada dasarnya pada setiap kunjungan saya ke kota terbesar kedua di Indonesia ini, perasaan itu belum pernah berubah.

Setelah dari Makassar, perjalanan saya lanjutkan ke kota ini. Akan tetapi, berbeda dengan Makassar dan Samarinda, ini bukan pertama kalinya saya mengunjungi Surabaya. Pada masa-masa awal kehidupan saya, yaitu pada usia 2 sampai 3 tahun, saya bahkan pernah tinggal di kota ini, meskipun akhirnya harus mengungsi ke Bogor karena saya dan kakak saya ternyata tidak tahan dengan perubahan cuaca dari dinginnya pegunungan di Gadog (Ciawi, Bogor) ke panas dan berdebunya kota pantai semacam ini.

Setelah itu, biasanya memang secara rutin saya sekeluarga selalu mengunjungi kota ini setiap akhir tahun, yaitu pada masa liburan natal dan tahun baru, untuk mengunjungi sanak saudara. Rutinitas itu mendadak terhenti sejak tahun 2001.

Kembali ke Surabaya, kota ini ternyata sudah banyak berubah sejak 5 tahun terakhir. Cukup banyak ruas-ruas jalan yang diperbesar karena maraknya kemacetan lalu lintas. Pelebaran jalan-jalan itu, terutama di kawasan Rungkut dan sekitarnya, membuat saya hampir tidak lagi mengenali kawasan tadi. Semenjak mengikat kerjasama ”sister cities” dengan Seattle di Amerika Serikat, kota ini memang banyak berkembang. Meski begitu, ciri khas kota ini tetap sama. Panas, berdebu, ramai, dan nuansa ”jawa” yang kental.

Kunjungan dalam rangka perjalanan dinas kali ini, pada awalnya saya harapkan dapat merubah persepsi saya mengenai Surabaya. Tetapi, alih-alih mendapat kesan baik, saya justru menambah list pengalaman buruk.

Ketika masih menunggu pesawat di Bandara Soekarno-Hatta yang akan berangkat ke Surabaya, seorang kolega mengirim pesan singkat bahwa ia sudah membukakan kamar untuk saya di sebuah hotel yang sangat dekat dengan kompleks perkantoran Provinsi Jawa Timur. Buyarlah rencana saya untuk berkelana mencari hotel. Tapi tidak masalah, mengingat sasaran kunjungan saya memang banyak berkutat di kompleks perkantoran tersebut. Terlebih lagi, harga kamarnya konon cukup terjangkau. 125 ribu semalam. Maka, saya terima tawarannya.

Setibanya di Surabaya, tawar menawar tarif taksi (dan saya sampai sekarang masih tidak tahu, dalam tawar menawar itu saya menang atau kalah), saya langsung meluncur ke hotel yang dimaksud. Mesjid besar Surabaya yang beratap biru itu menyapa setiap yang datang di Kota Pahlawan ini.

Tiba di hotel yang dituju. Penampilan luarnya, tidak terlalu meyakinkan.Tapi memang sesuai janji, sangat dekat dengan perkantoran Provinsi. Lalu saya langsung meminta kunci kamar yang sudah dipesankan untuk saya itu di lobi hotel.

Ketika di lobi itu, ada sesuatu yang cukup mengejutkan. Pada daftar tarif sewa kamar per malam yang terpampang di lobi, tertera bahwa kamar dengan tarif 125 ribu per malam itu ternyata adalah kelas kamar yang tertinggi. Maksud saya, benar-benar paling tinggi. Yang terendahnya, 35 ribu per malam. Menarik... sekaligus mengkhawatirkan.

Masuk ke kamar yang dituju, saya rasa semua orang yang pernah melakukan kegiatan menyapu atau mengepel akan menyadari kalau lantai kamar ini sudah lama tidak disapu, apalagi dipel. Tapi tak apa, adanya fasilitas AC dan televisi saya rasa sudah cukup untuk membuat saya betah, walaupun handuk yang disediakan di kamar mandi saya rasa tidak sepenuhnya dicuci bersih. Terlihat dari bercak-bercak biru (entah apa) di handuk putih itu.

Sore harinya, saya ketahui bahwa kawasan ini tidak terlalu jauh dengan Doli (sampai sekarang, saya tidak tahu bagaimana ejaan yang benar dari nama ini, apakah Doli, Doly, Dolly, Dolli, atau bagaimana). Konon, Doli ini pada masa jayanya merupakan salah satu kawasan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Sekarang? Saya kurang tahu. Apa yang dilokalisasikan? Saya rasa akan kurang pantas kalau saya sebutkan di sini (meskipun dari kalimat ini, tentu Anda bisa menerka apa yang saya maksud). Saya dan rekan-rekan saya kemudian memutuskan untuk makan malam di luar hotel, sembari berkeliling mengenali kota yang sedang tumbuh pesat ini.

Pulang berkeliling, malam memang belum terlalu larut, tapi tak bisa dibilang muda lagi. Pukul 11 malam, dan udara masih terasa panas. Sesampainya di hotel, saya kemudian bergegas ke arah tangga menuju kamar saya. Dua orang wanita saya lihat sekilas tersenyum ke arah saya, dan saya membalas sekenanya.

”Malam mas”, kata seorang diantaranya.

”Malam bu...”, saya balas sambil tersenyum sedikit.

Yang menyapa saya itu nampaknya sudah berumur 40-an, berbaju hitam, dengan rias wajah yang menurut saya agak berlebihan. Dibelakangnya, seorang wanita yang jauh lebih muda, mungkin umurnya baru 20an, berkulit putih dengan paras cantik. Sama-sama berbaju hitam, tapi wanita muda ini berpakaian lebih... mmm... terbuka, seolah ingin menunjukkan bahwa kulit putih itu tak cuma dimiliki oleh wajahnya, tapi juga tersebar di seluruh tubuhnya.

Ketika saya hendak menaiki tangga, si wanita yang pertama menyapa lagi sambil tersenyum, ”Ikut ke atas ya mas...”

Saya pikir, dua orang wanita ini juga tentu tamu hotel, dan mungkin kamarnya juga di atas, sehingga tanpa pikir panjang saya jawab, ”oo, iya, silakan bu....”

Akan tetapi, kemudia ia berkata lagi, sambil tersenyum aneh, ”iya, ikut ke kamarnya mas yaaaa....” Dan dibelakangnya, si wanita yang lebih muda tadi melontarkan senyuman ke arah saya, dengan gaya senyuman menggoda yang bisa membuat jantung pria berdegup lebih cepat, lalu mengerdipkan sebelah matanya sambil menggerakkan tangan kanannya mengelus lengan kirinya yang memang dibiarkan terbuka.....

”Celaka!” Pikir saya dalam hati... ”Sejak kapan Doli pindah ke sini??!??!”

”ooo, nggak bu, makasih”, jawab saya, masih sambil tersenyum...

”bener nih mas?” tanya si wanita pertama sambil melirik ke rekannya yang lebih muda itu.

”nggak bu, makasih”, jawab saya, sambil bergaya sewajarnya, lalu langsung naik tangga tanpa menoleh ke belakang lagi...

Saya segera melupakan kejadian itu dengan membaca dan menonton televisi di kamar hotel. Udara dingin dari AC membuat saya melirik selimut yang teronggok di tempat tidur. Setelah dibuka, ternyata... bolong! Yap, selimut ini cukup banyak bolongnya, entah bekas rokok, pisau, gergaji atau apa. Yang jelas, bolong-bolong tak karuan. Hampir sia-sia dalam melindungi tubuh dari serangan dingin.

Belum habis kekecewaan saya terhadap selimut kamar ini, tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar saya. ”Siapa pula malam-malam begini?” pikir saya. Dan saya bergerak menuju pintu kamar ketika sambil berujar ”sebentaaaar..... siapa ya??”

Dan suara dari balik pintu menghentikan langkah saya. Suara wanita, renyah dan menggemaskan, bernada merayu, ”Malam maas... mau ditemani??”

”Hotel celaka!!” umpat saya dalam hati

dan segera saya jawab sekenanya... ”nggak mbak... terimakasih...”

Bah, untuk apa pula saya bilang terima kasih?

Segera saya kembali ke tempat tidur, meneruskan membaca, ketika kemudian saya mendengar ketukan di pintu kamar sebelah saya... dan tak lama kemudian suara pintu yang dibuka.

”Malam oom....” (suara wanita yang tadi)

”eeeh, malam dik, mari masuk...” (suara pria)

Menyadari apa yang terjadi di kamar sebelah, saya segera ambil keputusan, menyalakan televisi dengan agak keras (supaya suara apapun dari kamar sebelah tidak terdengar), membuka selimut dan menutupi kepala saya. Sambil mengucap sumpah serapah dalam 7 bahasa, saya berusaha memejamkan mata.

Keesokan harinya, setelah menyelesaikan urusan-urusan pekerjaan, saya bersama rekan-rekan memutuskan untuk kembali berkeliling Surabaya. Surabaya memang benar-benar hidup di malam hari. Cukup banyak tempat-tempat yang menjadi pusat keramaian. Akan tetapi, meskipun cukup banyak mall dan pusat perbelanjaan di kota ini, cukup banyak juga pusat-pusat keramaian di pinggir jalan (yang tercermin dari banyaknya mobil dan motor yang diparkir), meskipun sebagian diantaranya (entah kenapa) cukup remang-remang atau gelap dan hanya diterangi lilin-lilin yang jauh dari kesan ingin menciptakan suasana romantis.

Sebagaimana layaknya kota-kota besar lain di Indonesia, kesenjangan ekonomi masyarakatnya juga terlihat jelas disini. Kutukan kota-kota besar di Indonesia juga menyelimuti Surabaya. Kemiskinan kota jelas terlihat disini. Dan dengan demikian, kerasnya perjuangan hidup juga menjadi warna sehari-hari. Di kota inilah tempat dimana becak-becak begitu banyak berkeliaran, dikayuh oleh wajah-wajah yang lelah sekaligus keras. Saran saya, janganlah menawar tarif becak terlalu rendah disini. Salah-salah, anda tidak akan diangkut. Kalaupun diangkut, becak akan melaju demikian cepatnya sehingga anda akan meminta berhenti, dan kemudian sang tukang becak akan menjawab ringan ”bayar murah kok ya mau enak mas ??? selamat aja sudah syukur!” Demikian pula, kemiskinan inilah yang bisa menyebabkan fenomena seperti Doli sempat bersemayam disini. Orang-orang jawa memang terkenal ulet dan pantang menyerah. Jiwa kompetitif yang tinggi menyebabkan persaingan hidup (dan gengsi) disini sangat kentara.

Dengan hasrat mencari hiburan, ditambah salah seorang rekan yang tidak henti-hentinya memperdengarkan keahliannya menyanyi di dalam mobil, maka kami kemudian memutuskan untuk berkaraoke di.... saya lupa namanya, maaf.... selama 2 jam. Karena kami hanya berempat, maka waktu 2 jam yang dihabiskan dengan menyanyi itu cukup menguras suara. Sesuai hipotesis awal, ternyata kolega saya itu memang jagoan dalam tarik suara, dan secara otomatis kami kemudian mengkui bahwa gelar juara karaoke selingkungan kantor kami selama beberapa tahun itu adalah objektif (hingga akhirnya dia tidak lagi diizinkan menjadi peserta, dan diangkat menjadi ketua panitia lomba pada tahun ini).

Seorang rekan saya yang memang orang Surabaya menceritakan mengenai ”Rawon Setan”, yaitu kios yang menyajikan rawon sebagai hidangan utamanya akan tetapi hanya buka malam hari sampai subuh. Meskipun biasanya saya kurang menyukai rawon, tapi saya tertarik juga akan kekhasan cirinya. Maka, kami pun memutuskan untuk makan malam di Rawon Setan itu.

Awalnya, saya kira ”Rawon Setan” adalah julukan yang diberikan oleh masyarakat Surabaya karena kios tersebut hanya buka pada malam hari (sehingga otomatis, yang tahu mengenai kios ini hanya mereka yang memang gemar keluyuran malam). Ternyata, nama kiosnya memang benar-benar ”Rawon Setan”, dan terpampang jelas di spanduknya. Dan diluar dugaan, ternyata rawon yang satu ini memang benar-benar lezat. Dagingnya cukup banyak, dan saking banyaknya, nasi putih yang disajikan sebagai pelengkap sudah habis terlebih dahulu sebelum saya menghabiskan dagingnya (dan ini bukan karena nasinya sedikit!). Satu kondisi yang jarang saya temui. Kuah rawonnya gurih dan dagingnya benar-benar empuk. Tidak seperti masakan jawa lain yang menggunakan daging, bau amis pada rawon setan ini bisa dibilang hampir tidak ada. Dengan sambal yang menggoyang lidah, dilengkapi sebutir telur asin, saya merasa terpuaskan.

Ketika keesokan harinya saya pulang, saya rasa saya telah bisa menambah daftar kenangan buruk sekaligus kenangan manis saya di Surabaya. Yang buruk, tentu kejadian hampir dihinggapi kupu-kupu di hotel celaka yang saya tempati itu, dan yang manis, tentu, rawon setan.

Surabaya, walau bagaimanapun telah mengalirkan darahnya di setengah tubuh saya, karena ayah saya memang berasal dari kota ini. Dan sepertinya, di masa-masa mendatang, kunjungan saya ke kota yang satu ini masih akan berulang....

Keterangan, Sumber gambar :

- http://dementad.com/Reception/images/surabaya.jpg

- http://www.aseannewsnetwork.com/surabaya.jpg

Tuesday, October 10, 2006

Ada Berapa Matahari di Makassar ??

Lepas dari Samarinda, saya melanjutkan perjalanan ke Makassar.

Kesan pertama mengenai Makassar, apalagi kalau bukan panas. Tiba pada malam hari, sekitar pukul 21.00 WITA, saya segera kegerahan. Dalam bayangan saya, matahari pun terbit di kota ini pada malam hari. Tetapi, mengingat lokasi Makassar yang terletak di tepi pantai, saya rasa ini kondisi yang wajar. Angin berhembus membawa aroma amis sepanjang jalan.

Perjalanan dengan angkutan kota di Makassar benar-benar menyiksa. Anda kegerahan tanpa bisa berbuat apa-apa. Dari hotel saya yang terletak di daerah pelabuhan, menuju ke kompleks kantor gubernuran di Jalan Urip Sumoharjo tidak sedekat yang saya kira. Saya agak menyesal sudah berpenampilan rapi sejak dari hotel, karena ternyata semua sia-sia ketika saya tiba di tujuan.

Karena tidak tahu jalan, saya duduk di depan, dan duduk santai bersandar di kursi sebelah pak supir yang sedang mengendali angkot (yang ternyata tak terlalu baik juga jalannya). Ternyata posisi ini adalah posisi yang salah. Matahari Makassar di pagi hari menyerang saya dari kaca depan, membuat saya mengucurkan keringat tanpa henti dari sekujur tubuh. Lemas.

Setibanya di tujuan, saya merasakan angin berhembus dari belakang, dan punggung saya terasa sejuk. Curiga dengan kondisi itu, tangan saya bergerak meraba punggung. Apa mau dikata, ternyata pakaian saya telah basah kuyup oleh keringat di bagian punggung, hampir seluruhnya. Sebelumnya, saya kira kondisi seperti ini hanya bisa terjadi di kereta ekonomi jabotabek. Ternyata, angkot-angkot Makassar pun menimbulkan kondisi serupa.

Selesai urusan di kantor gubernuran, darah petualang saya bergejolak, dan saya pun menolak tawaran menumpang taxi bersama seorang kawan sampai ke hotel. Inilah pertama kali saya berada di Makassar, setelah sebelumnya hanya sempat dua kali singgah di Makassar hanya bisa menginjak bandaranya untuk transit. Angkot kembali menjadi pilihan saya.

Tertarik dengan tulisan ”Unhas” pada angkot-angkot yang melintas, saya pun tergerak untuk mengunjungi perguruan tinggi yang satu ini. Ketika dulu masih kuliah, kampus saya beberapa kali kedatangan kunjungan dari mahasiswa Unhas, dan beberapa kali saya berjanji pada mereka untuk ganti mengunjungi Unhas. Saya rasa, janji itu baru bisa terlunasi saat ini.

Kampus yang cukup besar, dan saya rasa memang akan cukup melelahkan untuk mengelilinginya dengan berjalan kaki. Berkeliling Unhas dengan angkot cukup menyenangkan, dan mengingatkan nostalgia akan masa-masa kuliah dulu. Tapi tentu, kawan-kawan yang dulu mengunjungi saya di Bandung juga sudah lulus dan entah dimana rimbanya.

Cukup banyak mall dan pusat perbelanjaan modern di Makassar. Tipikal kota besar yang sedikit membuat saya miris, karena saya tidak bisa melihat kultur atau budaya yang berbeda dengan kota-kota besar di Jawa. Tak disangka, ketika berjalan di depan Panakukang Trade Center, saya bertemu seorang pegawai bappeda yang saya kunjungi pagi itu di kantornya. Ajakan makan tak bisa saya tolak, meskipun dengan keterpaksaan karena ternyata lokasi makan yang dipilihnya adalah KFC (yang di hampir kota manapun bisa saya temui). Saya tanyakan padanya, mengapa dengan kondisi sepanas ini, makanan khas Makassar adalah coto. Bukankah itu akan membuat badan lebih panas bila dimakan pada siang hari? Dan ia hanya tertawa. ”Tidak juga”, katanya, ”kalau sudah terbiasa.” Jelas, saya belum terbiasa. Panas ini, saya rasa hampir sebanding dengan Yahukimo di Papua, walaupun tetap, Yahukimo lebih panas dan kering tanpa ada angin.

”Sebelum jam 10, sinar matahari di sini itu obat, tapi diatas jam 10, itu penyakit” katanya. Dan saya setuju. Saya rasa saya sakit.

Lelah dan mulai pusing karena terik matahari, saya putuskan untuk beristirahat di Mesjid Raya Makassar, atau setidaknya, ketika saya tanyakan pada supir angkot, Mesjid berwarna hijau inilah yang dikenal sebagai Mesjid Raya. Lucu juga, nuansa hijaunya sangat terasa karena cat eksterior dan interiornya didominasi warna hijau muda, diselingi sedikit hijau tua. Warna yang meneduhkan. Dan saya rasa, inilah tempat terteduh yang saya kunjungi di Makassar. Keteduhan dan angin sepoi-sepoi yang membuat saya enggan beranjak, dan terlelap sejenak.

Selepas Ashar di Mesjid Raya, saya memutuskan untuk kembali ke hotel. Awalnya, sebenarnya saya berencana untuk mengunjungi Pantai Losari yang sudah tersohor itu. Akan tetapi, mengingat teriknya matahari dan panasnya udara, saya rasa pergi ke pantai pada saat-saat seperti ini sama saja mencari masalah. Saya rasa lebih baik saya ke pantai di malam hari.

Kembali menumpang angkot secara spekulatif (karena sebenarnya saya tidak tahu dimana letak hotel saya itu. Orientasi peta saya sedang agak kacau), saya kembali ke hotel, mandi, dan tertidur sampai jam 8 malam (mungkin karena terlalu pening). Saya rasa sudah terlalu malam untuk berkelana ke pantai, maka saya putuskan untuk sekedar mencari makan di luar saja.

Diluar perkiraan, Makassar ternyata cukup sepi pada malam hari. Biasaya, kota-kota dengan iklim sepanas ini punya kehidupan malam yang cukup ramai di seluruh sudut kota. Makassar justru sebaliknya (atau mungkin saya saja yang tidak tahu dimana titik-titik keramaiannya di malam hari). Berdasarkan info dari beberapa orang yang saya ajak berbincang, tempat yang ramai di malam hari, ya di Pantai Losari. Di tempat lain? Jarang.

Keesokan harinya, setelah sholat Jum’at dan menyelesaikan urusan-urusan pekerjaan di kantor Bappeda Sulsel, saya terpaksa ke Bandara Makassar untuk menyelesaikan beberapa permasalahan terkait dengan tiket saya kembali ke Jakarta.

Jalan menuju bandara dari Makassar yang hanya satu-satunya ini tidak dilengkapi dengan lampu jalan barang satu pun. Di kanan-kirinya banyak terdapat pabrik-pabrik besar. Saya pikir, jalan yang resminya hanya terdiri dari 2 jalur mobil ini (berupa 2 lajur bolak-balik) ini tentu mengalami kemacetan rutin di pagi dan sore hari (waktu-waktu kedatangan dan kepulangan para pekerja), dan rawan perampokan di malam hari. Jalan ini perlu lampu.

Malam itu, saya putuskan untuk mengunjungi Losari, karena saya harus pulang ke Jakarta keesokan harinya. Maka dari bandara, taksi langsung saya minta meluncur ke Losari.

Sopir taksi yang ramah. Banyak bercerita tentang kehidupan di Makassar, selain cerita tentang perjuangan hidup sebagai supir taksi tentunya. Taksi itu menghidupi dua keluarga, yaitu keluarga sopir saya itu dan keluarga adiknya. Ia dan adiknya bergantian dalam bekerja. Adiknya biasanya menarik taksi di siang hari.

Cukup untuk makan seadanya, katanya. Sebenarnya cukup untuk makan mewah, tapi tentu harus mengorbankan anak-anak tidak sekolah. Tentu, pendidikan untuk anak-anak nomor satu. Makan masih bisa menunggu. Beginilah katanya, nasib hidup di kota besar tanpa korupsi. Harus banyak-banyak mengurut dada, menyabarkan hati. Toh, bukan berarti kebahagiaan tidak bisa dimiliki.

Losari...

Sejujurnya, saya kecewa.

Tujuan saya mengunjungi pantai sebenarnya adalah untuk mencari angin. Maksud saya, benar-benar mencari angin. Bukan sekedar perumpamaan. Saya ingin merasakan angin laut menerpa wajah saya, sambil merasakan pasir di kaki saya, dan sesekali merasakan hangatnya air laut. Suasana yang menenangkan, sambil mendengarkan deburan ombak. Setidaknya, kalaupun saya mau ke pantai (biasanya saya lebih suka gunung), suasana itulah yang saya cari.

Tapi ternyata, Losari jauh dari harapan saya. Alih-alih merasakan pasir dan ombak, saya harus puas melihat bahwa tepian laut rupanya telah ditembok/dibendung dan langsung berbatasan dengan jalan raya. Maka, tidak ada pasir yang tersisa. ”Pantai” secara denotatif sebenarnya sudah tidak ada. Dan yang menjadi obyek hiburan di sana ternyata adalah : CAFE. Cafe, cafe, dan cafe lagi sepanjang jalan. Ada juga kapal mengapung agak ke tengah laut, dan untuk mencapainya perlu menyewa perahu atau sepeda air. Kapal itu pun, tak lain, adalah cafe juga. Ada juga kawasan wisatanya (yang katanya disinilah pusat keramaian muda-mudi di waktu malam itu), yang ternyata juga berupa kumpulan cafe-cafe. Dan cafe lagi.

Yap, ternyata gaya hidup ala metropolitan Jakarta memang tak bisa ditahan penyebarannya. Saya rasa, tidak perlu jauh-jauh ke Makassar dan tidak perlu juga jauh-jauh ke pantai untuk sekedar makan atau minum di cafe. Apalagi, kawula mudanya pun ternyata sama saja (atau minimal, sepertinya ingin dipersamakan) dengan saudara-saudaranya di Bandung atau Jakarta. Yang jelas, sebagian diatara mereka, yang saya perhatikan, nampaknya begitu senang dan bangga ketika oleh teman-temannya diberi predikat sebagai ”anak gaul”. Mendengar istilah ini, seorang remaja putri kemudian tertawa dan berkata ”iya dong. Gue gituloh. Ngapain juga jadi kuper? Gaul dong! Hahahahaha.”

Dan akhirnya, saya memilih warung rokok di tempat paling sepi yang saya temukan di kawasan itu, mencari posisi di pinggir laut, membeli teh botol, dan menikmati rokok sambil menikmati angin laut dan obrolan ringan dengan pemilik warung. Seorang ibu dengan anak-anaknya yang nakal. Anak-anaknya itu, bekerja juga, mengamankan motor yang diparkir di kawasan itu. Lumayan untuk menambah pemasukan warung. Hingar bingar musik di cafe sebelah, dengan terpaksa, harus saya dengar juga.

Gaul ya? Entah kenapa, saya tidak suka istilah itu, tidak suka pada gaya hidup yang diasosiasikan dibelakangnya. Mungkin saya lebih suka seperti ini, sepi, diam, sendiri. Kuper mungkin?

Keesokan harinya, dalam perjalanan menuju bandara untuk pulang ke Jakarta, saya masih terheran-heran pada bagaimana matahari bisa secara intens dan konstan memberikan panas yang sedemikian ini selama 3 hari 3 malam saya berada di Makassar. Panas yang membuat lemas. Saya terigat pada analisis Ibnu Khaldun dalam buku Muqodimah mengenai pengaruh iklim suatu daerah terhadap karakter penduduk daerah tersebut. Dikatakan bahwa, daerah-daerah yang panas biasanya membuat roh manusia juga cepat kegerahan, dan karenanya, menjadi lebih ekspresif. Dalam kondisi bahagia atau senang, karakter mereka adalah cepat tertawa, bahkan menari, berteriak-teriak, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau sedih atau marah, temperamennya juga bisa naik dengan sangat cepat. Cepat menangis, dan cepat juga beringas. Yah, semoga saja, yang banyak kita dengar nanti dari Makassar adalah suara tawa, bukan suara kemarahan.

Meninggalkan Makassar, saya cukup menyesal karena tidak sempat mengunjungi Fort Rotterdam, benteng peninggalan Belanda di Makassar ini. Ah, semoga bisa lain waktu. Dan ketika pesawat mulai tinggal landas, saya berusaha melihat keluar jendela. Penasaran, ada berapa matahari yang menyinari kota ini....

Tuesday, October 03, 2006

Degradasi Mimpi ??

Perbincangan dengan Erfan beberapa waktu lalu memunculkan sebuah prasangka baru dalam otak saya.

Ya, saya rasa cukup wajar bagi seorang manusia untuk berprasangka, terlepas dari apakah itu prasangka baik atau buruk. Meski memang, hampir semua kata-kata mutiara dan petuah bijak agama akan lebih menyarankan anda untuk berprasangka baik, dan meninggalkan prasangka buruk. Dan harus saya katakan, petuah-petuah itu lebih banyak benarnya. Ini terkait dengan persepsi. Prasangka baik akan membuat anda memiliki persepsi baik pula terhadap dunia. Sebaliknya, prasangka buruk akan menyiksa batin anda dengan perasaan waswas, dan persepsi buruk akan segala hal di sekeliling anda.

Tapi kalau kali ini yang muncul adalah prasangka buruk…. Mau bagaimana lagi?

Topik obrolan saya dengan Erfan itu sebenarnya tidak terlalu mutakhir. Masih seputar laga-laga popularitas yang saat ini begitu marak di televisi, apakah itu dengan mengambil tema lomba tarik suara, lomba menari, sampai lomba menjadi da’i dan ustadz. Dari beragam jenis acara tersebut, intinya tetap sama, para kontestan unjuk kebolehan, cari penggemar secara instant, lantas menyerahkan nasib eksistensinya di acara tersebut pada sms yang dikirimkan oleh pirsawan televisi (dengan tarif sms diluar kewajaran).

Saya tidak ingin berbicara mengenai objektivitas penilaian dalam lomba-lomba tersebut, karena tentu di dunia maya ini sudah banyak yang menggugat soal itu. Gugatan yang dalam banyak hal juga saya setujui. Toh para alumnus jebolan lomba-lomba nyanyi semacam ini, alih-alih eksis di dunia nyanyi-menyanyi profesional, seringkali malah dijerumuskan kedalam dunia persinetronan. Padahal kontesnya bukan kontes mencari aktor/aktris, tapi, siapa yang peduli?

Saya rasa memang ada sedikit latihan drama teatrikal pada kontes-kontes tadi, yaitu pada saat semua kontestan berlomba-lomba menangis atau minimal menunjukkan mimik sedih ketika ada kontestan yang harus dipulangkan. Masyarakat kita nampaknya memang begitu tertarik pada aksi teatrikal semacam ini.

Yang saya perbincangkan dengan erfan ketika itu lebih pada efek psikologis yang kami curigai mulai menggejala pada generasi muda bangsa ini, terkait dengan acara-acara pempopuleran diri secara instan tadi. WOW !! apakah topik diskusi kami terkesan bombastis? Yah, nggak gitu-gitu amat seeh…

Semua dimulai dari sebuah ucapan berbau tuduhan dari erfan yang kira-kira berbunyi seperti ini :

“Gara-gara acara-acara gitu, bisa-bisa anak-anak jaman sekarang nantinya cita-citanya malah pengen jadi artis semua.”

“Lha, apa masalahnya dengan itu?” (Tanya saya menyelidik)

“Ya gapapa sih… cuma kayaknya, kalo dulu orang punya cita-cita misalnya jadi dokter, ato jadi pilot, ato jadi guru kek, cita-cita yang lebih banyak ngasih atau pengabdian buat orang lain. Kalo sekarang, kayanya orientasi cita-cita jadi lebih ke pemuasan diri sendiri. Pergeseran orientasi dari memberi ke menerima”

Hmmmm…. Yaaaa….

Sebenarnya prasangka semacam ini akan mampu dengan mudah dipatahkan oleh selebritas manapun. Tentu yang akan diangkat adalah “bahwa menjadi artis yang menghibur masyarakat pun adalah sebuah profesi mulia, karena masyarakat butuh hiburan, dan memberi hiburan pada masyarakat pun adalah sebuah pengabdian.” Kemudian akan disambung dengan ungkapan yang PALING SAYA BENCI, yaitu “diserahkan ke masing-masing pribadinya lah, niatnya apa dengan menjadi artis itu.” Kenapa saya benci dengan jawaban penyerahan ke pribadi masing-masing itu (untuk konteks apapun)? Karena jawaban semacam ini menutup pintu diskursus lanjutan, dan terkesan membiarkan terjadinya keburukan apabila diasumsikan bahwa masih ada yang baik. Jawaban semacam ini biasanya final (mau disanggah bagaimana lagi coba?), dan apabila digunakan untuk semua segi kehidupan, maka tidak akan ada bedanya peradaban manusia ini dengan hukum rimba yang tanpa aturan.

Benar bahwa Allah SWT menilai perbuatan seseorang itu berdasarkan niatnya, niat pribadinya. Meski begitu, kita tetap tidak bisa menutup mata bahwa apabila sesuatu itu dirasa lebih banyak mudhorotnya bagi masyarakat, maka sesuatu itu harus kita gugat.

Kembali ke topik, memang agak sulit untuk menganalisis apa motivasi seseorang untuk menjadi populer (dan menjadi artis). Akan tetapi, melihat animo masyarakat yang (nampak) sangat besar untuk mengikuti ajang-ajang cari bintang tersebut (dapat dilihat dari padatnya calon kontestan yang berbondong-bondong ikut audisi), sepertinya sebagian masyarakat kita memang begitu berminat untuk menjadi artis. Untuk menganalisis perilaku massal seperti ini, maka motivasinya juga tentu terkait dengan sesuatu yang bersifat massif pula. Dan jendela utama masyarakat untuk mengintip kehidupan dunia selebritas secara massif itu, tentu adalah televisi.

Televisi memang menyediakan dunia mimpi yang indah. Kecantikan yang tiada habisnya, gemerlap dunia, dan kekayaan duniawi yang seolah begitu mudah diraih, adalah hal-hal yang melenakan dari dunia pertelevisian. Segalanya memang harus terlihat gemerlap di layar kaca. Semuanya harus cantik. Dalam sebuah sinetron, entah seorang artis berperan sebagai pengemis, supir metromini, petani, pengamen, atau direktur perusahaan besar, atau menjadi presiden, menjadi apapun, tetap harus terlihat cantik dan tampan. Sinetron memang keterlaluan. Sangat jarang sebuah sinetron menjelaskan perjuangan seorang karakternya untuk menjadi kaya, atau apa pekerjaannya, tapi selalu digambarkan bahwa uang bukan masalah. Selalu ada uang untuk mentraktir makan di restoran mewah, membeli mobil mahal, atau sekedar berjalan-jalan dan belanja tanpa melihat harga. Paling banter digambarkan kalau kekayaannya itu didapat dari perusahaan, tanpa menjelaskan perusahaannya itu bergerak di bidang apa. Yang penting kerjanya pakai kemeja, jas dan dasi. Ini kalau si karakter digambarkan sudah berusia cukup matang. Kalau sinetronnya tentang dunia remaja atau anak muda lebih parah lagi, lebih tidak jelas darimana seorang anak muda bisa punya mobil atau uang untuk gaya hidup seperti itu, paling banter digambarkan kalau orang tuanya kaya... pokoknya kaya! Titik.

Dunia yang membuat orang-orang bertampang pas-pasan (bahkan cenderung menengah kebawah) seperti saya ini hanya bisa gigit jari dan dianggap iri hati.

Yang lebih parah lagi tentu adalah infotainment. Dalam gosip-gosipan semacam ini, dunia mimpi sinetron seolah direplikasi dalam dunia nyata. Segala permasalahan yang digosipkan dalam infotainment tetap dibungkus dalam gemerlap gaya hidup sinetron. Bila anda jarang menonton infotainment, anda tentu akan tercengang melihat bagaimana perselingkuhan, perceraian, sampai persengketaan antara anak dan orang tua bisa dibungkus sedemikian rupa seolah hal-hal seperti itu memang pantas untuk dipergunjingkan secara nasional. Apalagi, semuanya disajikan seolah tanpa beban moral atau mental dari si pelakunya. Cerai? Ya sudahlah, sudah biasa kok. Selingkuh? Namanya juga dunia modern. Kebahagiaan artifisial tetap ditonjolkan, dan kesalehan virtual yang sifatnya kondisional terkadang mengemuka. Segala pertanyaan biasanya kemudian akan dijawab dengan penyerahan pada Tuhan, dan menonjolkan kepribadian yang seolah bijak. Nampak indah bukan? Apalagi secara tersirat tetap ditonjolkan bahwa, uang bukan masalah.

Dengan mimpi-mimpi massif seperti ini, bisakah kita mencoba memperkirakan motivasi seseorang untuk berjuang menjadi artis?

Dalam teori Maslow mengenai perkembangan kedewasaan seorang manusia, digambarkan bahwa tingkatan terendah dari seorang manusia adalah apabila ia masih berorientasi pada pemenuhan kepuasan perut, sementara tingkatan tertinggi adalah apabila ia sudah mencapai tahap aktualisasi diri. Saya rasa dunia selebritas, dan keinginan untuk menjadi selebritas, secara ekstrim terletak dalam dua tingkatan ini. Jangan menafsirkan kepuasan perut sebagai pemenuhan kebutuhan akan makanan saja. Saya lebih mengartikan pemenuhan kepuasan perut sebagai usaha pemenuhan kepuasan-kepuasan pribadi atau untuk diri sendiri. Maka, itu termasuk kecintaan akan pengumpulan uang, sampai pencarian popularitas untuk kepuasan diri. Sementara aktualisasi diri, saya pahami sebagai peningkatan orientasi dari pemuasan diri sendiri menjadi pengabdian untuk masyarakat. Artinya, diri sendiri diaktualisasikan dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya dia menjadi bermanfaat bagi masyarakat itu, dan leburlah ke-aku-annya dalam masyarakat dunia. Sekarang, motivasi mana yang menurut anda tergambar dalam dunia selebritas?

Bagaimanapun, acara-acara pencarian bintang itu saya rasa sudah mencapai batas kemuakan pribadi saya. Kalau soal ajang menyanyi yang para alumnusnya menjadi artis sinetron, tidak terlalu bermasalah sebenarnya, toh saya rasa bagi mereka yang penting adalah menjadi artis. Tapi yang kadang membuat saya risih adalah sentimen-sentimen primordial dalam acara-acara itu. Seberapa sering anda mendengar seorang kontestan yang berasal dari Ambon misalnya, begitu yakin kalau masyarakat Ambon akan mendukungnya? Nampaknya ia begitu yakin sehingga yang diucapkannya adalah : ”orang Ambon, dukung saya ya!!” Demikian juga dengan kontestan dari Papua misalnya, yang berteriak lantang, ”saya yakin orang Papua dukung saya”, dan kontestan dari Medan bilang ”orang Medan, dukung saya ya!!”, lalu orang jawa DALAM BAHASA JAWA, meminta dukungan dari seluruh etnik jawa di tanah air. Hampir semua kontestan dari semua etnik bicara seperti itu. Kok jadi kesukuan begini sih? Apakah pencarian sms dukungan sampai bisa melunturkan semangat berbangsa? Tapi toh sepertinya format acaranya mendukung itu, karena setiap kontestan memang dikesankan ”mewakili” suatu daerah.

Yang kemudian membuat saya hampir muntah darah adalah ketika ada iklan rencana program pencarian ustadz/ustadzah dengan format acara serupa. Ada 5 kontestan yang diiklankan di situ. Yang pertama, setelah mengucap salam kemudian berkata dengan yakin sambil menunjuk kamera ”Pilih saya!”. Yang kedua, setelah mengucap salam kemudian berkata ”pilih saya ya, karena saya ustadz yang ganteng”. Yang ketiga, berdandan dan bergaya bicara dimirip-miripkan dengan seorang ustadz kondang asal bandung yang berinisial AAG, setelah mengucap salam kemudian berkata ”pilihlah saya!”. Yang keempat, seorang wanita memakai jilbab dengan rambut bagian depan masih ditampakkan, setelah mengucap salam kemudian berkata ”pilih saya ya, saya ustadzah yang cantik dan banyak penggemar lho”. Yang kelima setali tiga uang, meminta dukungan atas kegantengannya.

Apa anda pernah melihat iklan itu? Saya hanya sempat melihatnya 3 kali. Tidak saya sebutkan stasiun televisinya disini, karena bisa dianggap pencemaran nama baik. Tapi entah, sekarang-sekarang ini nampaknya iklan (dan mungkin rencana acara itu) sudah ditarik dari peredaran. Yang jelas, iklan itu membuat saya menyesal menonton TV (karena itu tadi, membuat muntah darah). Ternyata jaman sekarang televisi mengakomodir orang-orang yang ingin menjadi ustadz kondang bukan dengan nilai-nilai spiritualitas, tetapi dengan dukungan sms atas kegantengan/kecantikan mereka. Erfan tentu akan menggolongkan ini kedalam ”Islam sebagai komoditi”.

Terhadap acara pemilihan da’i kecil yang melibatkan banyak sekali anak-anak, saya hanya bisa berdoa... ”Ya Rabb, luruskanlah niat mereka...”

Topik ini sebenarnya sudah lama ingin saya tulis, tapi selalu tertunda. Ada satu kejadian yang akhirnya mendorong saya menuliskan ini.

Ketika pada suatu hari saya berkunjung ke rumah nenek saya, seperti biasa kami sekeluarga besar berkumpul. Iseng-iseng saya bertanya pada sepupu saya yang baru berumur 6 tahun. Nama panggilannya Ipang. Saya tanyakan sambil bercanda ”Nanti Ipang kalau sudah besar mau jadi apa?”. Dia jawab ”Mau jadi artis aja ah. Enak, kaya terus banyak fansnya!”. Kontan semua tertawa.... sementara saya tersenyum kecil sambil miris dalam hati. Menyesal sudah bertanya.

Apakah memang telah terjadi pergeseran mimpi pada manusia? Mimpi untuk menjadi bermanfaat bagi banyak orang perlahan bergeser menjadi mimpi untuk pemuasan diri dan penumpukan kekayaan? Padahal sabda Rasulullah SAW masih terngiang, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Apakah memang telah terjadi degradasi mimpi? (Dikasih akhiran begini, supaya terkesan nyambung sama judulnya)