Saturday, December 03, 2005

Ketika Sholat Maghrib pun Menjadi Sebuah Kemewahan (Cerita-cerita dari Kereta, episode 3)

Stasiun Manggarai Jakarta, jam 5 sore.

Para calon penumpang KRL ekonomi Jakarta Bogor sudah mulai gundah gulana gelisah tak karuan menunggu kereta yang nampaknya datang terlambat...
KRL sore memang sering terlambat, berhubung kereta-kereta ekspres sudah mulai banyak, baik yang ke bogor, ke bandung, ke jawa, kemana-mana. Akibatnya, begitu KRL datang, semua orang bergegas berebut masuk. Yap, berebut, dorong mendorong tak kenal ampun. Kadang, penumpang didalam KRL yang mau turun di Manggarai malah terdesak kembali masuk, ga bisa keluar...

"Noh, kereta noh!! (Tuh, kereta tuh!!)"
"Mana? ekspres itu mah..."
"Bukan. Kaleng! Beneran, tu kaleng yang dateng" (KRL Ekonomi memang sering disebut "kaleng" oleh para penumpang, berhubung logam material KRL yang sudah tak terawat dan banyak coret-coretan mirip kaleng kerupuk di warung-warung sekitar stasiun)

Kedatangan KRL ekonomi memang bisa dirasakan oleh para calon penumpang. Kalau ada kereta yang sudah kelihatan kepalanya, berarti itu KRL ekonomi. "Kepala" disini maksudnya adalah kepala orang-orang yang duduk atau berdiri di atap-atap gerbong KRL, dan kepala orang-orang yang bergelantungan di pintu menantang bahaya keserempet dinding peron. Kepadatan orang-orang yang bergelantungan di pintu kereta ini mungkin setara dengan kepadatan orang-orang yang berada di dalam... sama-sama saling jepit.

KRL berhenti, penumpang yang mau turun langsung berhamburan keluar, saling dorong dengan calon penumpang yang memaksa masuk. Tidak bisa tunggu menunggu layaknya angkutan normal lain (biasanya kan didahulukan yang turun dulu, baru yang naik...) berhubung kereta tak berhenti lama. Tak jarang, karena saking semangatnya, orang-orang yang turun langsung jatuh terjerembab di lantai peron begitu keluar dari desak-desakan itu. Yang paling ribet, adalah kalo ada pedagang atau orang-orang yang membawa barang bawaan besar, baik itu keranjang besar penuh mangga, salak, kereta bayi, box tivi, atau apapun yang bisa membuat orang tertimpa dan berteriak : “Sialan!! Ati-ati dong kalo bawa barang!!”. Dan dengan tenaga yang melebihi badak bercula satu di ujung kulon, sebagian calon penumpang akhirnya masuk, dan sebagian lagi gigit jari harus menunggu kereta berikutnya….

Di Manggarai, setiap sekitar pukul 5.30 dan 7.00 biasanya memang ada kereta balik. Kereta balik ini adalah KRL ekonomi dari bogor yang mengakhiri perjalanan hanya sampai Manggarai, lalu kembali ke Bogor. Tapi, kereta balik biasanya akan ngetem di manggarai sampai setengah jam (memang ketentuannya begitu, untuk mendahulukan kereta yang dari Kota/Tanah Abang). Meski begitu, karena kereta balik start dari manggarai, tentu saja kereta kosong melompong, dan kesempatan untuk dapat tempat duduk jadi terbuka lebar. Akibatnya, dorong-mendorong, saling sikut, tendang, dan saling menjatuhkan tetap terjadi di kereta balik ini. Begitu ada kereta balik masuk, sebelum kereta berhenti total, orang-orang sudah mulai berloncatan masuk demi tempat duduk. Ketika kereta mulai berhenti total, para pedagang di stasiun akan berteriak : ”satu.... dua...SERBUUUUU!!!!!!”. Dan benar saja, para calon penumpang, secara denotatif, benar-benar menyerbu pintu masuk, saling desak, saling tendang (dikit), sikut sana-sini agar dapat tempat duduk. So pasti, setiap hari ada saja orang yang terpaksa mencium lantai gerbong kereta balik... Disinilah bisa kita lihat kesetaraan gender dan emansipasi wanita secara ekstrim. Tidak ada perbedaan antara pria-wanita, sama-sama saling sikut, dan ga ada istilahnya pria mengalah pada wanita dalam hal tempat duduk ! (kecuali si wanita itu cantik luar biasa atau ibu-ibu tua atau ibu-ibu yang membawa anak kecil digendong). Yaaah, tapi ada saja orang baik yang gantian duduknya setelah sampai Pasar Minggu atau Depok Baru.

Saya sendiri, mau naik kereta balik atau kereta sarden dari Jakarta, tetap GA PERNAH dapet kursi, karena malas berdesakan dengan kaum wanita (walaupun sebenarnya cukup mengasyikkan, hehe). Dan lagi, biasanya saya beserta segolongan penumpang lain tetap memilih kereta sarden dari Jakarta dibanding menunggu kereta balik berangkat jam 6 sore, berhubung sudah kebelet ingin pulang cepat-cepat...

Singkat cerita (SEGINI SINGKAT???!!), di dalam gerbong, hhhhmmmm, gimana mendeskripsikannya ya?? Gini deh, suka lari pagi atau olah raga? Nah, bayangkan anda lari pagi jam 11 siang di Lapangan Bola Sabuga selama 1 jam atau 1 jam setengah. Setelah itu, buka baju anda yang masih basah oleh keringat, dan bekapkan di muka anda! Nah, kira-kira seperti itulah baunya! Kalau anda bisa menahan pose itu selama kurang lebih 1 jam, baru anda boleh naik kereta sore. Karena kalau anda tidak tahan, bisa dijamin anda akan muntah, atau minimal ga tahan dan turun di stasiun Cawang atau Pasar Minggu. Yap, setiap hari pasti ada saja yang muntah di semua KRL ekonomi jakarta bogor. Yang tidak pasti cuma di gerbong mananya, siapa orangnya, dan siapa orang apes di sebelahnya yang terpaksa kena muntahan... Biasanya, orang-orang yang muntah ini adalah : orang yang baru/tidak biasa naik kereta, atau orang yang belum makan siang sehingga perutnya kosong, atau orang yang terlalu banyak makan sejam sebelumnya, atau orang yang terlalu capek, atau orang yang memang sedang masuk angin.

Kepadatan di dalam gerbong? Yaaah, tau lah saya bakal bilang apa... Kalau di kereta pagi, kepadatan 12 jiwa/meter persegi adalah kepadatan puncak, maka di kereta sore, itu adalah kepadatan MINIMAL. Kepadatan puncak mungkin bisa mencapai 15-16 orang per meter persegi... Loh, masa sih? Segitu sih buat kaki aja ga cukup! Ya siapa bilang anda akan bisa berdiri dengan dua kaki secara normal? Beruntunglah kalau anda cukup tinggi, karena kepala anda bisa menghirup udara lebih bebas. Tapi kalau anda seorang wanita atau berukuran kurang dari atau sama dengan 160 cm, bersiap-siaplah berada dalam kondisi dimana kepala anda menempel dengan punggung orang di depan dan ketiak orang di belakang... Bau? Tahan!

Soal keringat, tak perlu diragukan lagi... Seringkali, ketika saya sampai di Bojong, baru saya perhatikan kalau baju saya yang coklat muda tiba-tiba sudah berganti warna total menjadi coklat tua seperti kalau saya sedang berjalan tanpa payung dalam kondisi hujan badai. Keringat itu bukan milik saya semata. Lebih banyak keringat orang-orang yang menempel dengan tubuh saya... Tapi alhamdulillah, mungkin kereta sore adalah tempat dimana anda akan sangat banyak mendengar asma Allah disebut, dan istighfar bersahutan... ”Masya Allah, panasnya...”, ”astaghfirullah”, ”Ya Allah ya rabbi, banyak amat sih orang?”, dsb-dsb... Masyarakat kereta memang cukup religius ternyata...

Seorang pria kereta pernah berkata... ”yaaah, terima aja pak, sesama saudara... kita semua udah besodara disini...”. ”Sodara bagemana maksudnya?” ”sodara satu keringet, bukan satu darah lagi... satu keringet...”. Benar... kami semua bersaudara... dan mungkin persaudaraan senasib sependeritaan itu adalah ikatan terkuat kedua setelah persaudaraan sedarah.
Orang kereta saling memperhatikan satu sama lain. Kalau ada satu orang kecopetan dan copetnya ketangkep, maka sebagai saudara, satu gerbong akan turut menggebuki si copet (kecuali kalo ga ketauan). Kalau ada saudara perempuan yang terlihat pegal, seorang saudara laki-laki biasanya akan memberikan tempat duduknya...dan tanpa perlu meminta maaf, orang-orang kereta akan secara otomatis memaafkan (memaklumi) saudaranya yang mendorong atau menyikutnya untuk mendapat udara lebih atau sekedar ingin masuk/keluar kereta... kami memang bersaudara. Titik.

Berbuka puasa kemudian juga adalah suasana yang penuh kehangatan persaudaraan. Pada bulan Ramadhan lalu misalnya... mungkin kereta adalah tempat terhangat kedua setelah rumah saya sendiri dimana saya merasakan kehangatan kekeluargaan saat berbuka puasa... Berbagai cerita dan legenda terlintas saat bulan puasa ini. Mulai dari seorang bapak yang membawa sekantung besar aqua gelas untuk dibagikan ke penumpang lain, atau seorang bapak yang membawa banyak kue untuk dibagikan sebagai hidangan berbuka, sampai seorang tukang jeruk yang mengikhlaskan sekitar 25 buah jeruknya yang masih tersisa untuk orang-orang berbuka secara gratis... Seorang pedagang yang bersedekah pada penumpang lain, karena mereka tau, di kereta, tidak ada yang lebih kaya atau lebih miskin... semua bersaudara.

Dan saya pun beberapa kali menerima kehangatan keikhlasan itu saat berbuka di kereta. Pernah saat saya sedang puasa sunnah, orang di sebelah saya bertanya apakah saya puasa dan merasa kasihan karena tidak ada tukang aqua yang lewat sehingga saya belum bisa berbuka (mungkin orang itu curiga karena muka saya mulai pucat karena lelah berdiri)... ia lalu memberikan aquanya pada saya. Terima kasih pak... Tidak ada liputan televisi, tidak ada gembar-gembor amal sedekah ke panti-panti, tidak ada khotbah mengenai pentingnya beramal atau bahwa perbuatannya itu adalah atas nama kesalehan... di kereta tidak ada basa-basi. Hanya memberi dengan ikhlas, lalu kembali diam setelah berterima kasih... Amal adalah sesuatu yang wajar, tidak perlu ditambah-tambah dengan omongan, khotbah, atau ucapan terima kasih yang berlebihan yang malah bisa menjadi riya’ bagi orang yang beramal. Meski begitu, bersiap-siaplah menunda saat berbuka sampai stasiun UI atau Depok baru... karena mungkin baru di stasiun itulah anda bisa bergerak agak bebas, atau sekedar menurunkan tangan dari pegangan...

”Aqua pak... aquanya yang belum.... udah maghrib nih... yang udah juga siapa tau mau tambah... aquanya pak”
di ujung lain... ”aquanya pak, aqua prutang aqua”
di tengah gerbong... ”aquanya pak, prutang-prutang aqua”
di dekat pintu... ”aquanya pak...”
pedagang aqua lain... ”buset, kalo bulan puasa kok tukang aqua semua ya???”
penumpang... ”tukang tahu mana sih? Lapar gw”
pedagang lain, baru masuk dari gerbong sebelah... ”aqua pak...”
penumpang... ”udah banyak! noh ada 5 di tengah gerbong kagak bisa lewat, padet, aqua semua! Panggilin tukang tahu tong!”

Anyway, berlalu dari bulan Ramadhan, suasana kembali ”normal” dari invasi tukang aqua dan prutang (frutang, red.).

Stasiun Cawang dan Tebet mungkin adalah 2 stasiun kecil yang abnormal, karena jumlah calon penumpangnya hampir sama banyaknya dengan Manggarai. Dorong mendorong yang kuat akan terjadi di 2 stasiun ini... Siap-siap berpegangan kuat !!!!!

”buset dah, yang turun 3 yang naek 30”
”astaghfirullah, pada makan apa ya? Dorongnya kuat amat??”
”set dah bu, pelan2 aja dorongnya! Kejepet nih!”
”Masya Allah, dorong teruuuss!!!”
adalah ucapan2 yang kerap terdengar di 2 stasiun ini. Kepadatan puncak akan terjadi selepas stasiun Cawang sampai kira-kira Lenteng Agung atau UI. Kalau selepas Cawang anda masih bisa berdiri normal, berarti kereta sedang ”kosong”.

Stasiun Depok Baru... seperti biasa, akan terdengar suara dari penjaga stasiun untuk berhati-hati terhadap ”tangan-tangan jahil, copet dan jambret yang berdesakan di pintu”. Penumpang yang turun di stasiun Depok Baru ini memang sangat banyak, mungkin bisa sebanyak penumpang Bogor, atau mencapai 1/3 dari jumlah penumpang KRL. Orang-orang biasanya sudah mulai bersiap turun mulai dari Univ.Pancasila, UI dan Pondok Cina, dan berbaris sampai tengah gerbong. Ketika sampai Depok Baru, anda akan mendengar ucapan dari para penumpang yang tidak turun di Depok Baru : ”yak, yang punya Depok, yang punya Depok, siap-siap!” atau sekali lagi... ”satu.... dua... SERBUUUUU!!!!” karena memang penumpang akan menyerbu keluar (kereta tak berhenti lama lagi). Arus dorong-mendorong keluar ini mirip dengan gerak peristaltik di kerongkongan untuk mendorong makanan masuk ke lambung, dan getaran atau pengaruhnya akan dirasakan di seluruh gerbong, tak terkecuali di tengah gerbong pun, penumpang yang berdiri pasti akan terdorong dengan kuat.

Kesulitan untuk keluar ini biasanya disebabkan oleh para penumpang yang bergelantungan di pintu sehingga menghalangi mereka yang mau keluar. Biasanya orang-orang yang marah akan berteriak... ”udeh, dorong aja tuh yang di pintu!!!” atau ”woy, yang di pintu!!! Minggir!!!” dan sebagainya yang memaki-maki orang-orang di pintu.

Selepas Depok Baru... KRL lebih manusiawi...dan arus penumpang keluar yang cukup besar kemudian akan terjadi lagi di Bojonggede. Karena jumlah penduduk Bojong yang banyak menggunakan KRL inilah, maka beberapa tahun belakangan muncul Bojes (Bojong Ekspres) yang jumlah penumpangnya ternyata memang hampir bisa menyaingi Boges (Bogor Ekspres). Boges dan Bojes adalah 2 istilah yang baru muncul setelah booming AFI 2005 di I**o***r.

Para petugas pemeriksa karcis mulai beraksi, karena tubuh mereka sekarang sudah bisa melewati kepadatan penumpang... Orang-orang mulai memberi karcis yang diminta untuk dibolongi petugas. Beberapa yang pura-pura tidur terpaksa dibangunkan oleh petugas tersebut. Beberapa penumpang yang tidak punya karcis terlihat menyelipkan selembar atau 2 lembar uang seribu rupiahan pada tangan pak petugas. Uang masuk saku, lalu petugas berlalu... sebuah kewajaran dan kemakluman akan terjadi... yah, berapa sih uang yang dimiliki penumpang KRL untuk bisa bayar denda? Atau berapa sih gaji seorang petugas pemeriksa karcis sehingga kita bisa berteriak bahwa hal itu adalah sebuah pungli? Pemakluman yang menyakitkan...bila mengingat banyaknya koruptor milyaran rupiah yang melangkah bebas di bumi republik ini.

”Abu pak!” jawab seorang penumpang, dan si petugas berlalu. ”Abu” adalah singkatan untuk abudemen, karcis terusan kereta seharga 60 ribu rupiah untuk trayek Jakarta Bogor selama 1 bulan. Biasanya para petugas sudah mengenali orang-orang ber-abu ini. ”Abu pak!” jawab seorang penumpang ragu2... ”Mana abu?”, ”mmm, ada pak di tas, susah ngambilnya.”, ”Mana coba liat?”..... si penumpang mengalah, karena dia memang tidak punya abudemen, dan menyelipkan 2 ribu rupiah ke tangan si petugas... ada-ada aja orang nih...

Yaah...bernafas lega... Selepas Citayam sampai Bogor, para penumpang yang merokok akan meninggalkan tempat duduk mereka dan berdiri di dekat pintu... menyalakan rokok dan mulai menghisapnya dalam-dalam... sedalam lautan. Merokok di tengah guyuran keringat di tubuh dipadukan dengan angin dingin Kabupaten Bogor adalah kenikmatan yang teramat sangat bagi seorang perokok... Rokok kretek sekualitas Djarum Coklat 76 bahkan terasa nikmat disini. Tidak ada yang protes, toh mereka juga biasanya urung merokok kalau di sebelah mereka ada wanita atau anak kecil. Kami (para perokok) juga punya hati...dan sedikit otak. Tidak ada yang protes, karena semua memahami bahwa kepenatan yang dirasakan adalah luar biasa... sebagian menghilangkannya dengan tidur, sebagian dengan aqua, sebagian dengan tahu sumedang, dan sebagian dengan rokok... semuanya saling menghormati satu sama lain.

Ketika sampai Citayam ternyata hujan turun... maka lengkaplah sudah cobaan para penumpang kereta... setelah basah berpanas-panas dengan keringat, sekarang basah berdingin-dingin dengan air hujan yang menyerbu gerbong melalui pintu-pintu dan jendela yang biasanya menjadi sahabat penumpang karena menjadi tempat masuknya angin. Semua bergeser ke tengah gerbong sambil berdiri... kursi-kursi kosong, dan hanya diisi oleh orang-orang yang saking lelahnya, tidak peduli lagi dengan air hujan yang mulai membasahi kursi-kursi sekaligus tubuhnya.

Setelah semua itu... ternyata semua masih bisa berucap ”alhamdulillah” ketika kami menjejakkan kaki di peron stasiun Bogor... semua bersyukur karena walaupun dengan perjuangan, semua bisa pulang, semua bisa memparipurnakan jihadnya hari itu... berkumpul kembali dengan keluarganya di rumah, yang menjadi alasan mereka berjuang setiap hari.

Pukul 7 kurang 15. Masih sempat untuk Sholat Maghrib... Puluhan penumpang, baik pria maupun wanita, berlari-lari kecil menuju mushola stasiun Bogor. Cepat-cepat karena takut adzan isya keburu datang.

Sholat maghrib adalah sesuatu yang langka bagi para penumpang kereta sore ini. Penumpang kereta balik, atau penumpang kereta pukul setengah 6 yang turun di Bogor biasanya tidak akan sempat untuk sholat Maghrib tepat waktu. Menjama’ sholat adalah sesuatu yang lumrah bagi kami.

Seorang teman saya, Dani MM, pernah berkata pada saya ketika saya menanyakan perihal jama’ menjama’ sholat ini. Kira-kira ia menjawab begini... ”wan, kalo lu ada tamu ke rumah lu, lu suguhin, lu lebih seneng kalo suguhan lu itu diterima ato ga diterima?”. ”diterima”. ”Nah, katanya sih, Allah senang dengan orang2 yang melakukan perjalanan. Para musafir itu adalah tamu Allah, dan menjama’ Sholat itu adalah jamuan Allah untuk tamu-tamu itu”.

Yaah...mungkin benar (berhubung saya tidak tahu dalilnya atau apakah hadits itu shahih atau tidak). Tapi, kalaupun benar... Bagi kami, para penumpang kereta, kerinduan itu selalu ada. Kerinduan untuk bisa menyapa Sang Kekasih dalam forum wajib minimal 5 kali sehari. Kerinduan untuk mengambil air wudhu dalam rangka Sholat Wajib 5 kali sehari. Kerinduan untuk melapor dan berdo’a... ”Ya Allah, demikian jihadku hari ini, semoga Engkau merahmati, dan bisa menjadi barokah bagiku dan keluargaku...”. Kerinduan untuk bisa Sholat Sunnah 2 rakaat setelah Maghrib, kerinduan untuk tilawah sambil menunggu datangnya adzan isya... Kerinduan yang mendorong setiap penumpang untuk berusaha menaiki kereta jam 5 atau 5.20... hanya supaya, setidaknya 1 atau 2 kali dalam seminggu, bisa bersholat Maghrib pada waktunya secara berjamaah...

Dan mushola stasiun adalah salah satu tempat dimana saya bisa merasakan getaran ketika sholat maghrib... lebih dari ketika bersholat di Masjid Salman atau Istiqlal sekalipun... tidak, getaran ini lain... Aura orang-orang yang ikhlas menunda waktu pulangnya sekitar 15 menit di stasiun untuk sholat. Bau keringat yang tiba-tiba menjadi wangi ketika berbaur dengan kesejukan air wudhu...Kekhusyukan para jama’ah...dan senyum ikhlas yang memancar dari wajah-wajah penuh cahaya ketika kami berjabatan tangan sebelum meninggalkan tempat sholat... Beda, semuanya terasa berbeda... Kepenatan seketika hilang, panas keringat tak lagi kami rasakan... dan hanya kesejukan yang mengisi hati kami... Alhamdulillah, hari ini kami bisa sholat Maghrib... maafkan kami ya Allah, karena tidak mengambil jamuanMu karena rindu yang tak tertahan...

Setelah sholat, meskipun sebagian jama’ah masih belum puas, ingin memanjatkan doa dan berdzikir, ingin rawatib, tapi semuanya dengan ikhlas bergegas meninggalkan tempat sholat ketika orang-orang di belakang kami mulai melantunkan iqamah untuk memulai shalat berjamaah berikutnya. Semua ikhlas, semua sadar, bahwa kerinduan bukan milik kami saja, dan mempercepat perpaduan kasih kami dengan Sang Khalik adalah sebuah amal, agar orang-orang di belakang kami juga bisa segera memadu kasih dengan Allah. Sebuah sholat Maghrib yang singkat, tanpa surat-surat atau cara baca yang dipanjang-panjangkan atau difasih-fasihkan. Tidak ada basa-basi, dan tidak diperlukan adanya pengakuan atau pencitraan kesalehan. Biarlah Allah, Rasulullah, dan orang-orang saleh yang menilai...

Kami pulang... dan besok pagi, kami akan kembali, insya Allah...

No comments: