Tuesday, January 17, 2006

Kuingin slalu dekat disampingmu... (Cerita-cerita dari kereta, episode 5)

Stasiun Manggarai, jam setengah 6 sore…

Seperti biasa… penumpang mulai gundah gulana gelisah menunggu kereta….

Bulan September 2005… sebuah ketidakbiasaan yang menyenangkan, sore ini ada 2 kereta balik dari Manggarai pada waktu bersamaan. Kereta balik pertama dari bogor yang masuk di jalur 5 adalah kereta balik yang rutin ada setiap hari, dan dijadwalkan berangkat dari Manggarai jam 6. Saya tidak naik kereta balik itu karena ingin cepat berangkat. Jadi saya menunggu KRL dari kota yang walaupun jauh lebih padat, tapi lebih cepat berangkatnya...

Tapi ternyata ada kereta balik satu lagi dari dipo (bengkel kereta) yang masuk di jalur 6. Kereta balik yang ini kosong melompong, sehingga langsung diserbu penumpang yang ga kebagian duduk di kereta balik pertama. Semua orang lantas bertanya-tanya, kereta mana yang berangkat duluan?? Petugas stasiun tidak memberi pengumuman, sepertinya dia juga bingung.

Otak saya langsung menganalisis... Kereta jalur 5 jadwal berangkat biasanya jam 6. Artinya, ga ada lagi kereta yang bakal ngelewatin jalur itu sampai jam 6. Jadi mestinya, kereta balik itu emang berangkat jam 6. Nah, jalur 6 itu jalurnya KRL ekonomi dari kota dan KRL ekspres. 5 menit lagi, mestinya ada KRL ekonomi dari kota. Jadi harusnya, dalam 5 menit kedepan, kereta di jalur 6 harus udah bersih! Maka saya naik kereta di Jalur 6

Dan benar... tanpa tedeng aling2, tanpa pengumuman lebih dulu... kereta di jalur 6 bergerak dengan diiringi tawa-tawa sinis dan teriakan bernada mengejek dari penumpang yang bergelantungan di pintu ke penumpang kereta di jalur 5. Tentu disertai juga dengan keluh kesah dari penumpang kereta di jalur 5...



Selepas Tebet, ternyata tidak terlalu penuh... yang berdiri cuma satu baris setengah. Lorong yang tersisa cukup untuk lewat tukang tahu, minuman ringan, dan pengamen kereta.

Sayup-sayup terdengar alunan musik lembut tapi beat-nya cukup menghentak seakan tak mau kehilangan aura lagunya yang ceria... ”Surat Cinta” milik Vina Panduwinata... dimainkan dengan aransemen jazz lembut instrumentalis. Terdengar melodinya dimainkan dengan sebuah biola. Meskipun grup pengamen itu masih di gerbong sebelah, tapi alunan musiknya sudah cukup untuk membuat orang2 di sekitar saya bersenandung kecil mengikuti melodi...

Saat ini memang cukup banyak grup pengamen yang beralat musik lengkap, baik bikinan sendiri maupun alat bekas yang masih cukup layak pakai. Biasanya terdiri dari perkusi minimalis buatan sendiri, lengkap dengan tambur dan simbalnya, satu bas betot, satu atau dua gitar, dan satu keyboard. Ini formasi standar grup2 pengamen orkes yang jumlahnya mulai menyaingi para pengamen tuna netra yang berkaraoke atau beralatkan gitar, dan pengamen ”apa adanya” yang lebih mengandalkan rasa kesal penumpang sehingga memberi supaya mereka cepat pergi dibanding suara mereka atau musik untuk menghibur.

Grup pengamen dari gerbong sebelah, dengan sedikit perjuangan, akhirnya tiba di gerbong saya, dan berhenti tepat di belakang saya. Para personilnya nampak sudah cukup berumur... berusia matang. Nampaknya melodi yang biasa dibawakan dengan vokal oleh mereka digantikan dengan biola, menjadikan musik yang murni instrumentalis... satu karakter yang cukup jarang di kalangan pengamen kereta.


Perkusi mulai menabuh.. bas betot mulai bermain, dan kocokan gitar diluar standar mulai mengalun. Sebuah intro yang tidak biasa, membuat semua orang sulit untuk menerka lagu apa yang dibawakan oleh grup ini. Sebuah jazz ringan dengan aransemen yang baru saya dengar. Tetapi ketika biola mulai digesek, melodi mulai mengalun dan misteri perlahan mulai terkuak. Lagu ini... terasa sangat akrab di telinga... seperti lagu yang sudah pernah didengar oleh semua orang tetapi tersimpan dalam memorinya masing2.

Sesaat saya memperhatikan orang-orang disekitar saya...

Mereka yang tadinya tidur, atau pura2 tidur mulai terbangun memperhatikan orkes didepan mereka. Kaki mereka mulai mengetuk-ngetuk lantai mengikuti irama. Orang-orang mulai tersenyum, sebagian sambil memperhatikan orkes, dan sebagian sambil memejamkan mata. Tapi semua orang jelas mengikuti irama, entah dengan bergoyang ringan, atau mengetuk-ngetuk batangan besi tempat mereka berpegangan, atau mengetuk lantai tempat berpijak... Semua seperti... terhipnotis... dalam kenyamanan.

Penat... lelah... panas bercampur keringat... adalah beban sehari-hari yang dengan tabah dijalani orang-orang kereta. Tapi kali ini, semua tersiram ketentraman dari alunan musik yang diperdengarkan oleh orkes tersebut...

Alunan biola mulai diikuti gumaman orang-orang yang mulai mengenali lagu yang dibawakan.

Nanananaaa... nana.. dam dam dam dam... dadadam... Andai saya bisa menyanyikannya melodi itu dalam untaian kata ini, akan saya lakukan.


Sepasang suami istri yang sebelumnya duduk tiba-tiba berdiri, tersenyum, lalu berdansa ringan di sebelah saya tanpa sungkan, dengan diiringi pandangan mata dan senyum ikhlas tanda mengerti dari orang-orang disekitar kami. Beberapa pasang suami istri lain kemudian melakukan hal serupa. Berdansa dalam ruang yang terbatas, tapi mereka terlihat menikmatinya...

Mata mereka terpejam, kemudian sebagian besar dari kami pun memejamkan mata. Sesaat kami melupakan bahwa kami sedang berada dalam gerbong panas kereta ekonomi. Imajinasi kami membawa kami pada lantai dansa di klub-klub papan atas jakarta pada tahun 80-an dan awal 90-an, ketika lagu ini sedang jaya-jayanya. Lampu-lampu kereta seakan menjadi lampu klub yang lembut, dinding-dinding gerbong seakan berganti menjadi dinding-dinding yang dihiasi lukisan-lukisan indah, orkes pengamen nampak seperti kelompok orkestra ternama dengan pakaian kebesaran mereka, dan baju-baju lusuh para penumpang nampak seperti setelan jas dan pakaian perlente yang rapih bersih, dan para penonton duduk dibelakang meja-meja bundar sambil mengobrol dengan ditemani secangkir kopi manis, mengamati pasangan-pasangan yang turun di lantai dansa.

Sejenak, kami lupakan segala penat dan kekejaman kereta... mencoba kembali menjadi manusia.


Ya...inilah kereta, tempat dimana kemanusiaan kerap dipertanyakan, tapi terkadang muncul dengan segenap kebesarannya yang mengagumkan... Tempat yang menyimpan banyak tawa dan tangis, kemarahan dan kesabaran, kesombongan dan kerendahan hati. Tempat yang begitu melegenda dan telah menciptakan dunianya sendiri, terlepas dari dunia dan realitas sosial yang berkecamuk diluarnya. Inilah tempat dimana orang bisa melupakan intrik politik dan olah kata pejabat negara yang tidak kunjung membuat bangsa ini lebih bermartabat, sebuah tempat dimana orang bisa mencampakkan semua artikel atau semua omong kosong mengenai kemiskinan, melupakan semua orang yang mengaku peduli terhadap orang miskin agar bisa tetap kaya, sebuah tempat dimana orang-orangnya belajar untuk memutuskan kapan harus melembutkan hati, dan kapan harus mengeraskannya.

Kereta ini memang tak lepas dari berbagai legenda mengenai kemiskinan dan perjuangan. Legenda mengenai tukang2 sayur dari sukabumi yang naik kereta nambo dari sukabumi jam 4 pagi lalu disambung dengan kereta ini untuk berjualan di jakarta, legenda mengenai copet-copet dan orang-orang yang mati saat berusaha mengejar copet, legenda mengenai seorang bapak yang membagi-bagikan aqua dan seorang pedagang jeruk yang membagi-bagikan jeruknya pada saat berbuka puasa di suatu hari pada bulan Ramadhan, legenda para pedagang, legenda anak-anak gerbong, legenda para pengemis, legenda para pengamen, dan legenda mengenai seorang bapak tua yang membopong mayat anak perempuannya didalam kereta sore yang padat dari Manggarai untuk dibawa ke Bogor karena tidak ada uang untuk dimakamkan di jakarta, dan tidak ada uang untuk membawa mayat itu ke bogor, kecuali dengan kereta, tanpa membeli karcis... Dan bahkan semua itu hanya sebuah keseharian yang rutin bagi orang-orang kereta...


Sekejap lamunan saya berlalu, dan saya kembali menemukan diri saya tengah berada di dalam gerbong dengan iringan musik yang membuat semua orang seolah melupakan segala legenda, dan larut dalam mimpi yang indah.

Ketika lagu itu mencapai reffrainnya, tanpa sadar semua orang bersenandung bersamaan... “apapun yang terjadi... kuingin slalu dekat disampingmu...”

Semua saling berpandangan, lalu gelak tawa terlepas seketika... Semua orang sadar bahwa mereka telah terhipnotis, dan membiarkan diri mereka menikmatinya. Lagu lawas dari Vina Panduwinata. Mungkin akan lebih lengkap apabila sang artis sendiri hadir untuk menyanyikannya, meskipun dengan aransemen seperti ini, saya rasa suara Iga Mawarni akan lebih pas untuk memperkuat aksen jazz-nya.

Selang beberapa lama mimpi itu berjalan, orkes tadi mengakhiri konsernya dengan diiringi tepuk tangan dari kami. Pasangan-pasangan yang tadi berdansa kemudian mengambil posisi semula dengan aura keceriaan yang kini terpampang di wajah mereka, menggantikan kepenatan. Orkes instrumentalis itu kemudian memainkan lagu lain... sebuah lagu country, “Country Road”, yang masih membius beberapa orang untuk mengikuti irama dan sesekali terdengar menyanyikan liriknya.

Setelah selesai, orang-orang mulai memberikan uang tanpa mereka perlu meminta paksa. 1000, 500, 2000, dan yang tidak memberi, tidak mengapa. Sang orkes tetap tersenyum. Ada 2 tipe pengamen di kereta. Yang pertama adalah yang memang hanya menginginkan uang, sehingga ia tidak peduli dengan musik yang dimainkannya, atau kadang2 malah memang terkesan disengaja untuk membuat orang kesal sehingga terpaksa memberi agar si pengamen cepat pergi. Siasat lain adalah agar orang memberi dengan landasan iba... Sementara tipe kedua adalah mereka yang selalu tersenyum diberi atau tidak diberi, dan tidak membangunkan orang yang sedang tidur untuk menagih uang setelah mereka mengamen. Tipe kedua ini biasanya memainkan musik dengan sangat baik, dan sepertinya memang berkomitmen dalam profesi mereka. Sepertinya misi utama mereka memang untuk menghadirkan hiburan bagi para penumpang. Orkes ini adalah pengamen tipe kedua. Uniknya, ketika beberapa orang kemudian menanyakan apakah mereka bisa diundang untuk mengisi acara2 walimahan atau sebagainya, mereka kemudian memberi kartu nama pada orang-orang sampai kartu nama mereka habis (karena yang meminta cukup banyak).


Tanpa terasa, kereta memasuki Depok Baru, kemudian bergegas menuju Bogor.

Orkes tadi telah pergi ke gerbong sebelah, melanjutkan misi mereka, mengganti kepenatan para penumpang dengan aura kenyamanan dan kebahagiaan.

Suatu hari di bulan September... senandung lagu tadi masih terus saya gumamkan selepas saya turun dari kereta malam itu... kuingin slalu dekat disampingmu...

No comments: