Thursday, October 09, 2008

Selamat Lebaran

Assalamu’alaikum wr. wb.

Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyaamanaa wa shiyaamakum.

Selamat hari raya Iedul Fitri 1429 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Semoga kita bisa menjadi insan yang semakin mencintai Allah…

Wednesday, August 27, 2008

Saya Kembali =D

Saya Kembali... :D

Apakah 5 bulan terlalu lama? Mmm... ya, mungkin terlalu lama untuk ukuran saya yang pada awal-awal pembukaan blog ini biasa mengisinya sampai 2 kali dalam seminggu, lalu mulai menurun frekuensinya menjadi 1 kali seminggu... lalu 1 kali per bulan.

Sekarang, sudah hampir sekitar 5 minggu saya tidak mengisi blog ini.

Sudah agak-agak tidak terhitung lagi berapa banyak ide atau inspirasi tulisan yang datang dan pergi. Dan seperti biasa, ketika saya akhirnya punya sedikit niat untuk duduk di depan komputer dan membiarkan jari-jari ini menari di atas keyboard, tiba-tiba saya kehilangan kata-kata untuk menulis semuanya. Saya rasa ini semacam sindrom yang aneh untuk penulis amatiran yang mengandalkan pada mood dan waktu luang dalam menulis.

Saya rasa ini sebabnya dalam hampir semua sekolah atau kursus mengenai dunia tulis menulis, salah satu hal yang dinasihatkan pada para pesertanya adalah: “Usahakan setiap hari Anda membuat 1 tulisan. Tentang apa saja. Pokoknya, menulislah tiap hari!”. Sepertinya itu akan sangat bermanfaat untuk melatih intuisi, ketajaman, dan feeling dalam menulis. Yah... mungkin saya juga sudah harus mulai melakukan hal itu. Minimal memulai kembali kebiasaan menulis seminggu sekali, dan mulai melatih intuisi dalam menjadikan apapun sebagai inspirasi yang bisa ditulis.

Bukan karena saya bercita-cita menjadikan dunia tulis menulis ini sebagai profesi... (mmm... tapi boleh juga sih...) tapi lebih karena saya sendiri mulai merasa frustasi karena tidak menulis, dan lebih frustasi lagi ketika memaksakan diri untuk menulis lalu mendapatkan hasil yang saya sendiri tidak terlalu tertarik untuk membacanya. Anda pernah mengalami hal seperti ini?

O iya, saya juga ingin berterima kasih pada semua orang yang pernah mengunjungi blog ini, dan terutama pada kawan-kawan semua yang suka berkunjung kesini secara berkala. Maaf saya belum bisa melakukan hal yang sama untuk kawan-kawan semua akhir-akhir ini.

Eniwey, untuk yang bertanya-tanya apa yang saya lakukan akhir-akhir ini (benar sekali saudara-saudara, saya tetap narsis dan ke-GR-an untuk merasa bahwa ADA yang bertanya-tanya mengenai kabar saya), bisa saya informasikan bahwa sebulan terakhir ini merupakan bulan yang cukup membuat kata “istirahat” menjadi sebuah kemewahan. Meski begitu sebenarnya cukup menyenangkan.

Saya rasa saya memang sedang banyak membutuhkan jalan-jalan. Minimal sekedar merasakan suasana baru. Maka ketika tuntutan pekerjaan memaksa saya kadang harus berada di dua daerah (kabupaten/kota) yang berbeda dalam satu minggu dalam satu bulan ini, saya menyambutnya dengan gembira. Yah, walaupun banyak hal yang terpaksa terlewati selama saya tidak berada di Jakarta atau Bandung atau Bogor, tapi mungkin saya memang membutuhkan perjalanan-perjalanan ini.

Paling melelahkan sebenarnya dua minggu terakhir ini. Minggu lalu setelah dua hari bekerja seperti biasa di Jakarta, saya bertolak ke Pontianak dengan pesawat pagi, langsung mengadakan rapat dengan pemerintah setempat, cari-cari data sedikit, lalu langsung melakukan perjalanan darat selama 9 jam menuju Kabupaten Melawi melalui jalan sempit berliku berbatu dan berlubang dengan supir mobil yang sepertinya selalu enggan berjalan dalam kecepatan yang hanya membutuhkan transmisi gigi dua atau satu. Saya rasa tidak mabuk darat dan muntah di tengah jalan adalah sesuatu yang pantas disyukuri.

Tiba di Melawi pukul 1 malam, saya baru bisa tidur pukul 3, dan harus kembali bangun subuh untuk mempersiapkan rapat dengan Pemda setempat di pagi harinya. Selesai rapat, dilanjutkan dengan rapat lain dan wawancara dengan berbagai instansi. Syukurlah Pemda setempat begitu memfasilitasi semua proses ini. Dan ketika semua proses selesai pukul 5 sore, saya memulai perjalanan kembali ke Pontianak pukul 6. Kembali 9 jam dalam ruang sempit beroda 4 yang melaju kencang tanpa mempedulikan lubang atau batu yang menghadang.

Tiba di Pontianak pukul 3 pagi, saya mensyukuri kesempatan untuk beristirahat sampai Jumat Siang sebelum menghabiskan waktu di Bandara Pontianak karena, lagi-lagi, pesawat yang akan saya tumpangi ke Jakarta ditunda keberangkatannya sampai lebih dari tiga jam. Tentu saja Jakarta hanya menjadi tempat menumpang tidur malam itu sebelum besok paginya saya ke Bandung. Keesokan sorenya saya sudah kembali bertolak ke Jakarta untuk mempersiapkan kepergian ke Makassar hari berikutnya.

Ketika tulisan ini dibuat, saya sedang berada di Makassar, baru tiba tadi pagi, dan akan kembali ke Jakarta besok sore untuk pergi lagi ke Kendari besok lusa. Semalam di Kendari, jadwalnya kemudian saya harus ke Kota Bau-Bau, sekitar 4 jam dari Kendari, dan baru kembali ke Jakarta dua hari berikutnya.

Setelah semua selesai, pada hari kedua Bulan Ramadhan (insya Allah), saya akan ke Jawa Tengah beberapa hari dan ke Padang pada minggu berikutnya. Berarti praktis saya dijadwalkan untuk menghabiskan dua minggu bulan Ramadhan tahun ini dalam perjalanan dinas. Menarik juga.

Oke, sepertinya saya sudah cukup membuat Anda bosan dengan tulisan yang tidak jelas tema, pangkal maupun ujungnya ini. Memang tidak bertujuan apa-apa selain memulai kembali mengisi kekosongan 5 bulan ini.

Jadi... Sudah dulu nampaknya.

Sampai jumpa :D

NB: Sayang... kamu tau apa yang paling berat dari semua perjalanan saat ini? Ternyata... berat menanggung kerinduan padamu...

Thursday, April 03, 2008

Es Krim (Seri Makanan Untuk Jiwa)


Anda suka es krim?

Saya tidak tahu sejak kapan saya menyukai benda dingin yang lumer di lidah dan menghangat setelah melewati tenggorokan ini. Tapi yang jelas, memakan es krim dalam jumlah yang lumayan banyak ternyata memang menyenangkan.

Lucunya, semua peristiwa memakan es krim yang cukup memuaskan biasanya justru terjadi tanpa saya rencanakan sebelumnya. Kalau direncanakan, biasanya malah justru tidak terlalu memuaskan, atau bahkan tidak jadi. Merencanakan makan es krim biasanya disertai dengan mengajak beberapa orang teman untuk menemani, atau merencanakan pergi ke tempat-tempat tertentu yang katanya menjual es krim. Perkaranya, saya (sebenarnya) adalah tipe orang yang penyendiri (yeah... right...), dan makan es krim yang paaaaaaling enak dan ketika (mengutip kata-kata seorang teman saya) “memang ada sesuatu yang sedang harus didinginkan”. Nah! Proses pendinginan inilah yang biasanya tidak terlalu berhasil apabila saya berada di tengah-tengah banyak orang yang saya kenal.

Lho? Mengapa?

Karena di tengah banyak orang yang saya kenal sebelumnya berarti saya harus berinteraksi dengan mereka. Dan ketika ada sesuatu yang harus didinginkan (di dalam tubuh saya maksudnya), pertama-tama saya harus berusaha dulu agar ke-“panas”-an itu tidak menular ke orang lain, atau setidaknya, saya tidak ingin orang lain menjadi sasaran ke-“panas”-an saya itu. Alasan lain, bisa jadi beberapa orang tidak suka es krim dan menyarankan untuk pergi ke tempat lain atau membelokkan rencana makan es krim itu.

Maka, saat-saat paling menyenangkan untuk makan es krim untuk saya adalah ketika sedang sendiri menatap langit ditemani hembusan angin yang syahdu (kadang-kadang saya ingin muntah membaca gaya bahasa saya sendiri yang seperti ini), atau sambil teriak-teriak bernyanyi ditemani suara gitar, atau bersama satu orang teman makan yang memang saya undang atau saya harapkan cukup tahan mental untuk berada di samping saya ketika sedang dalam masa-masa seperti itu. Catat bahwa semuanya akan jauh lebih baik apabila terjadi pada malam hari.

Tapi toh tidak banyak orang yang mendapat keistimewaan seperti itu, untuk bisa saya menemani saya makan eskrim ketika saya sedang membutuhkan (semacam selebriti begini ya saya? Geuleuh!). Alasannya bisa bermacam-macam. Bisa karena dia tidak suka es krim (jarang ada orang kaya gini), takut gemuk (yah, no komen, yang jelas buat saya alasan ini absurd), sibuk (no komen juga, mau gimana lagi kalo orangnya emang lagi sibuk kan?), malas jalan (karena jalan-jalan bersama saya biasanya memang berarti “jalan” secara denotatif : melangkahkan kaki banyak-banyak), atau alasan yang paling sederhana : tidak tahan untuk bersama saya (Nah! Alasan inilah yang sebenarnya paling banyak menjadi sebab utama tidak banyak yang bisa menjadi teman makan es krim saya =p).


Pertanyaannya sekarang adalah... “seberapa banyak es krim sebenarnya yang diperlukan untuk mendinginkan hari seseorang?”

Yah, jawabannya akan sangat relatif. Tapi untuk saya (tentu saja saya mengambil diri saya sendiri sebagai contoh, karena ini adalah blog saya =D), jumlah 1 liter adalah jumlah yang rasional. Tapi ya jelas, karena memakan 1 liter es krim tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu 10 menit, harus ada cara supaya esnya tidak keburu lumer. Biasanya, kalau Anda membeli es krim literan di sebuah supermarket anda bisa meminta es batu atau es serut untuk dimasukkan kedalam plastik, dan Anda membawa es-krimnya dalam plastik itu. Nah, metode ini bisa digunakan. Jangan keluarkan wadah es krim dari kantung plastik itu selama Anda memakannya.

Meski begitu, cukup jarang saya membeli es krim 1 liter ini. Selain cukup mahal, biasanya memakan 1 liter es krim sendirian membuat Anda sakit perut setelahnya (meskipun pelampiasan sakit perut itu juga adalah salah satu bagian dari kepuasan yang dapat menenangkan Anda). Jadi saya rasa, harga adalah alasan utama ya? Untuk saya, ya. Apalagi kalau saya sering panas, maka alokasi untuk es krim bisa membengkak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sayah (APBS).

Maka di Jakarta ini biasanya kemudian saya beralih pada ukuran 350ml atau 400ml. Dimakan sendirian, volume ini seperti mencukupi ketika Anda pertama membelinya. Tapi setelah suapan terakhir, ternyata sendok yang saya gunakan masih saja belum berhenti mengais-ngais tiap tetes yang ada di wadahnya. Seandainya tidak saya kendalikan, lidah saya juga sepertinya ingin segera menjilati dasar wadah itu. Aaaahh... KURAAAAAANG !!! Tapi ya mengingat kondisi finansial, dimana eskrim 350ml atau 400ml (merk Wall’s atau Campina) masih seharga kurang lebih 15 ribu rupiah, maka saya terpaksa mencukupi diri dengan itu. Tapi apakah dapat mendinginkan hati? Dengan sangat berat terpaksa saya katakan... mmm... belum.


Sekarang kita bicara rasa.

Kalau ditanya eskrim rasa apa yang saya paling doyan, itu agak susah dijawab. Tapi standarnya, karena saya juga suka coklat (mengenai coklat akan kita bahas lain kali), maka saya juga suka eskrim coklat. Tapi saya juga terbuka untuk semua varian rasa =D

Kalau bicara merk, ini sangat tergantung dari Anda suka yang seperti apa. Campina menawarkan es krim yang padat, rasa yang kuat, dan kelebihannya, dia agak lama lumernya. Karena padat, Campina lebih mengenyangkan dibanding eskrim umum lain dengan volume yang sama.

Wall’s, di sisi lain, lebih tepat untuk Anda yang menyukai rasa yang lebih lembut. Eskrimnya juga tidak terlalu padat (bahkan agak gembos). Kalau dibiarkan dalam suhu kamar, dia lumernya agak cepat.

Merk lain... mmmm... biasanya sy ga pilih. Hehe, jadi kaya promosi dua merk gini sayah =D

Ya ada juga merk-merk lain yang enak. Baskin-Robbins dan Haagen-Dasz (bener ga sih nulisnya dua merek ini? Bodo ah) juga enak. Saya hanya sempat mencicipi sekitar satu sendok makan untuk kedua merk itu, minta dari teman yang punya uang cukup untuk dihamburkan demi eskrim. Itulah sebabnya kedua merk itu, meskipun saya ingin sekali memakannya, belum pernah saya beli.


Singkat kata singkat cerita (karena tulisan ini memang sudah panjang), Salah satu keinginan saya yang belum terwujud mungkin adalah makan satu liter eskrim coklat sendirian di atas gunung pada malam hari, sambil bermain gitar dan bernyanyi keras-keras, ditemani sebungkus rokok kretek, satu gelas besar kopi kental panas racikan sendiri, dan seseorang untuk berbagi eskrim itu. Satu orang saja =)

Susahnya untuk mewujudkan keinginan itu adalah... kalau sudah di puncak udaranya mungkin sudah cukup dingin, tapi waktu naik gunungnya, gimana caranya menjaga supaya eskrimnya tidak lumer ya?


Eniwey...

Mungkin Anda juga bertanya-tanya mengenai judul postingan ini. Apa yang saya maksud dengan “makanan untuk jiwa”? Banyak orang mungkin akan mengartikan ungkapan ini dengan sesuatu yang berbunga-bunga dan konotatif. Akan ada yang mengartikan ungkapan ini sebagai siraman rohani, sesuatu yang religius, atau apapun yang seolah abstrak. Tapi untuk saya, makanan ini bermakna lebih denotatif. “Makanan” yang saya maksud ya makanan beneran. Sesuatu yang bisa dimasukkan melalui mulut ke perut kita. Tapi saya sebut “makanan untuk jiwa” karena efeknya. Makanan-makanan yang saya kategorikan sebagai “untuk jiwa” ini adalah makanan-makanan yang bisa memberi satu sensasi, meskipun mungkin semu, keindahan atau ketenangan. Mungkin semu, tapi saat ini bahkan keindahan yang semu saja begitu sulit untuk dicari.

Yah, sebenarnya kesukaan saya terhadap eskrim bisa jadi merupakan sebuah pelarian. Pelarian dari dunia mungkin ya? (duuuh... bahasakuuuu....)

Apakah dunia ini memang sudah begitu gila sehingga kita harus terus berlari? Atau mungkin semua orang itu waras dan kita yang gila? Kalau memang begitu, mungkin saya tidak keberatan menjadi gila, apabila melihat ukuran waras orang kebanyakan saat ini.

Di kota ini (Jakarta), orang merasa “waras” ketika mereka merasa telah berbuat apapun (APAPUN!) untuk mengejar dan mendapatkan uang. Uang, uang dan uang. Bentuk kewarasan lain bagi masyarakat urban ini mungkin adalah mereka seolah merasa bahagia apabila mereka merasa, atau mendapat kesan, bahwa ada orang lain yang hidupnya lebih tidak baik dari mereka. Saya rasa itu sebabnya begitu banyak yang mencintai gosip atau sindiran-sindiran sarkastik bukan?

Menarik.

Kita hidup di dunia dimana kejujuran dan kesederhanaan mengenai sesuatu yang sifatnya hakiki sangat sulit diterima. Kita hidup di dunia dimana manusia hanya bisa mendengar apa yang mereka mau dengar.

Maka mungkin yang bisa mendengar sebuah kejujuran, sesederhana apapun itu, memang bukan manusia. Hanya Allah? Ya, mungkin hanya Allah.

Tapi Allah juga menciptakan banyak hal untuk menjadi teman bagi manusia saat ingin meneriakkan isi hatinya. Angin malam, bulan dan bintang, gunung-gunung dan pepohonan, dan semua yang tidak akan memilih mengenai apa yang akan mereka dengar dari kita, tapi tetap setia menemani kapanpun kita butuhkan, dan bisa membuat kita tersenyum dengan berhias ketulusan.

Makanan? Ya makanan juga salah satunya =D


Sampai jumpa di seri selanjutnya =)

Selamat menikmati hidup, dalam satu liter eskrim.



NB : Sayang... adakah yang lebih sederhana dari cinta dan sebentuk mimpi?


Keterangan: gambar dari sini dan sini. Iya, ga ijin. Maap.


Tuesday, March 25, 2008

Dimensi



Pandangan mulai berkabut. Kegelapan seolah menyelimuti.

Tidak perlu takut sebenarnya, diri sendiri yang memanggil kegelapan itu.

Perlahan tubuh ini mulai menggigil meski dalam balutan baju tebal dan tidak ada angin.


Tanpa ada yang meminta, kedua kelopak mata memberat dengan sendirinya, mulai menutup lensa-lensa yang kelelahan.

Ingatan mengenai warsa-warsa yang telah lalu melintas tak menentu. Satu persatu bayangan-bayangan buram datang dan pergi, seolah hanya ingin mengganggu. Tapi perhatian harus tetap terpaku pada satu titik di wajah, pada pertengahan antara dua alis mata. Dari titik itu kemudian seolah dipancarkan seberkas cahaya, merambat lurus ke atas entah kemana, mungkin menuju Sang Pencipta.


Perlahan kesadaran badani memudar, dan tubuh mulai merasakan kantuk yang teramat sangat. Akan tetapi kesadaran yang sejati seolah menyeruak ingin keluar, ingin mengendalikan setiap simpul syaraf yang tadinya dikendalikan oleh otak yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Pertarungan dimulai. Tubuh kasar tidak mungkin memenangkan pertarungan ini. Tapi dia bisa membawa sang sadar bersama-sama kedalam tidur lelap tanpa mimpi. Kelelahan menjadi senjatanya, sementara kemauan dan tekad yang semu menjadi senjata lawannya.


Sang sadar berkata, malam ini harus menjadi saatnya. Dia harus keluar dari penjara kotor ini, melesat terbang dalam dimensi suci para arwah, dan bersua sesama pengelana. Misi suci cinta harus dituntaskan, atau selamanya penasaran.


Nafas sang tubuh terus melambat, denyut jantung mulai terdengar, dan rambatan aliran darah mulai terasa hangat. Tak lama kemudian, tidak ada suara selain desah nafas dan detak jantung yang memompa darah sendiri. Kegelapan total terlihat oleh mata, terkadang dilintasi oleh bias-bias sinar berwarna ungu dan hijau muda, datang dan pergi.


“Tidurlah, tubuh... dan biarkan aku berkelana” kata sang sadar.

“Akankah engkau kembali?” tanya sang tubuh.

Sang sadar tidak menjawab, dan mengulangi perkataannya pada sang tubuh. Bukan karena ia tidak mau menjawab, tapi lebih karena ia memang tidak tahu jawabannya.

“Kalau harus, aku akan kembali” Jawab sang sadar akhirnya.


Tapi ketakutan merasuki keduanya. Sang tubuh takut ditinggalkan, dan sang sadar takut akan dimensi yang hendak ditujunya. Sang sadar meyakinkan dirinya untuk tidak merasa takut, karena Sang Pencipta menjanjikan dia akan baik-baik saja, kecuali dia menyakiti dirinya sendiri.


Sang tubuh mulai bergetar. Sudah saatnya sang sadar meninggalkannya.

Tidak ada lagi tangan. Tidak ada lagi kaki. Tidak ada lagi perut, kulit, dan kepala. Yang ada hanyalah sang sadar, dalam penjara yang sepenuhnya tidak bisa bergerak tanpa kehendaknya. Sebuah ironi yang membingungkan. Bagaimana mungkin sebuah penjara hanya bisa digerakkan oleh sesuatu yang menjadi tahanannya?


Sensasi levitasi, melayang terbang, dicoba untuk terus dipertahankan. Membayangkan seberkas energi memancar keluar dari titik fokus diantara dua alis mata. Keluar sampai semua tali yang mengikat antara keduanya terputus. Semua kecuali satu tali berwarna perak yang tetap menghubungkan dua sahabat yang seringkali bertengkar itu, agar sang sadar selalu bisa menemukan jalan pulang.


Sang sadar melihat sang tubuh yang tergolek tidur di bawahnya, meninggalkannya sendiri, lalu bebas berkelana sesuai kehendak membawanya. Melihat mereka yang dicintanya, melewati alam-alam mimpi yang membuai mereka yang terpenjara, melihat realitas semu yang disebut semua orang sebagai “nyata”. Terbang terus mencari cahaya yang dahulu menjadi asalnya. Sampai kelelahan melanda, dan dia tidak menemukan apa yang sebenarnya dicarinya. Dan dia bertanya pada Yang Maha Kuasa, “Jika alam ini bagiMu tak terikat ruang dan masa, maka kumohon izinkan aku melawannya. Beri kekuatan yang cukup untukku menembusi dimensi waktu. Walau mungkin tak kuasa aku mengubah takdirMu, tapi setidaknya izinkan aku melihat apa-apa yang telah berlalu.”


Dan sang sadar tetap belum kuat untuk itu.

Terhempas dia kembali kedalam penjaranya, karena kecewa dan tak punya lagi tenaga.


Hasilnya bisa ditebak. Hampir setiap malam sang tubuh kasar berhasil, meski tidak menang, melunturkan kehendak sang sadar. Dan sang sadar tetap terpenjara dalam sang tubuh. Sebuah kenyataan yang menyesakkan pada setiap menjelang pagi, karena kegagalan sekali lagi ditemui.

Sang tubuh menghiburnya... “Tenanglah, suatu saat nanti waktu akan berpihak padamu...”

Dan sang sadar hanya bergumam lemah, membisikkan satu yang tetap terpatri, “tunggulah cinta, suatu saat aku akan kembali.”



Keterangan:

Gambar dari www.protoniccreations.com/wst_page3.html

Thursday, March 06, 2008

Beberapa Hal Memang Tidak Bisa Dipaksakan


Beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan. Maksud saya, ada beberapa hal yang mungkin kita inginkan, atau tidak kita inginkan, tapi kadang ada sebagian dari diri kita yang berkata bahwa... kita tidak bisa... saat ini.

Demikian juga dengan menulis. Memang lucu kalau dipikir-pikir. Dulu, ketika saya tidak punya banyak waktu untuk menulis, ide-ide dan inspirasi seperti datang berlompatan dalam pikiran, dan semua mengatakan bahwa saya harus menuliskannya sekarang juga. Terkadang saya mencuri-curi waktu untuk menuangkan ide-ide itu menjadi sebuah tulisan, dan tak jarang juga kesedihan muncul ketika akhirnya ada beberapa ide yang tidak sempat terolah.

Tapi sekarang, ketika saya punya banyak waktu (khususnya di malam hari), dan ada fasilitas komputer serta internet untuk menulis... justru ide dan inspirasi tak kunjung datang. Apalagi mood, entah kemana perginya. Pada masa-masa seperti ini, sebagaimanapun saya paksakan untuk menulis, tulisan itu tak kunjung datang. Kalaupun akhirnya saya paksakan, ternyata hasilnya mengecewakan. Saking mengecewakannya, saya sendiri yang menulisnya sampai malas membacanya.

Beberapa buku yang mencoba mengajarkan tentang dunia tulis menulis biasanya berkata bahwa pada masa-masa latihan, kita harus membiasakan diri untuk menulis setiap hari. Apapun itu, pokoknya tiap hari harus membuat satu tulisan. Tapi untuk saya, ternyata mood itu sangat berpengaruh. Semenarik apapun topiknya, kalau mood itu tidak datang, sama saja. Beberapa topik malah saya hindari untuk dijadikan sebuah tulisan, dengan berbagai alasan yang sebenarnya hanya dibuat-buat.

Apakah itu juga berlaku pada berbagai hal lain?

Yah... mungkin juga. Walaupun mungkin alasannya tidak selalu perkara mood.


Beberapa kawan yang mungkin pernah mengunjungi blog ini sejak 2 tahun lalu mungkin ingat beberapa tulisan serial saya mengenai “cerita-cerita dari kereta”. Serial ini sudah mencapai 14 episode, dengan berbagai topik yang semuanya berkaitan dengan kehidupan di seputar kereta ekonomi Jakarta-Bogor. Tapi sekitar satu tahun terakhir ini, serial itu tidak lagi berlanjut, dan sekuat apapun saya memaksakan diri untuk melanjutkan serial itu, ternyata tidak bisa. Alasannya sederhana saja, karena saya memang tidak lagi sering naik kereta ekonomi itu.

Sejak setahun lalu, saya memang lebih sering naik kereta ekspres. Awalnya, sering ada rapat atau acara lain di kantor yang menuntut saya datang pagi plus berpakaian rapi. Tentu saja, kerapihan pakaian dan kondisi kereta ekonomi seringkali tidak berteman baik, sehingga saya memilih kereta ekspres. Apalagi saat itu saya memang diberi ongkos harian yang cukup besar sehingga menjatuhkan pilihan pada kereta ekspres adalah pilihan yang logis.

Selanjutnya, seperti yang pernah dikatakan seseorang pada saya, kemewahan itu seperti candu. Apalagi dengan adanya peningkatan kesejahteraan (penghasilan) plus tambahan beban kerja yang membuat stamina saya memang habis untuk pekerjaan di kantor dan saya seringkali merasa malas untuk menghabiskan sisa energi yang ada untuk berdesakan di kereta ekonomi. Tanpa disadari, kemanjaan itu datang. Pertama-tama tubuh saya jadi manja, dan kemudian semangat itu juga menjadi manja. Memalukan. Tapi memang itulah yang terjadi.

Bukan berarti bahwa saya tidak lagi mengikuti perkembangan kereta ekonomi. Saya tetap mengikuti melalui media massa atau cerita-cerita teman mengenai bagaimana kondisi kereta sekarang atau kebijakan-kebijakan yang diambil Daop I PT Kereta Api (yang mengurus wilayah Jabodetabek) mengenai kereta ekonomi. Tapi toh saya tetap tidak mau menuliskannya, karena saya tidak mengalaminya sendiri.


Selain itu, saya tidak lagi sering naik kereta Jakarta-Bogor karena sejak sekitar 2 bulan yang lalu, saya juga berpindah domisili. Saya tidak lagi tinggal di Bogor, dan memilih untuk “menumpang” di Jakarta. Tempat tumpangan saya adalah sebuah rumah di kawasan Menteng yang telah disulap menjadi sekretariat sebuah proyek hasil kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan salah satu lembaga donor yang kalau ada kesempatan ingin saya hancurkan dan usir dari republik ini. Di sekre ini, saya bisa menumpang dengan gratis, plus fasilitas-fasilitas seperti internet 24 jam (kalau sedang tidak error, yang mana sebenarnya ini lebih sering terjadi), mandi air panas, AC, meja pingpon, Play Station II, dan kadang-kadang dapat makan malam kalau ada bos yang sedang berbaik hati untuk mensedekahi kami kaum penunggu sekre.

Luar biasa nyaman bukan? Bersama para satpam, Office Boy, Supir, dan rekan seprofesi yang sama-sama kekurangan modal untuk cari kos-kosan, saya menghabiskan malam-malam saya di tempat ini. Kekurangannya cuma satu, dan itu sebenarnya cukup vital : tidak ada kasur. Jangan tanya dimana saya tidur. Meski begitu, sekitar sebulan terakhir akhirnya saya bisa tidur di sebuah kasur lipat bekas peninggalan seorang rekan penunggu sekre yang sekarang sudah tidak lagi tinggal di sini.

Lantas mengapa saya pindah dari Bogor?

Alasannya sederhana saja. Untuk mengejar mimpi.


Ketika saya pertama lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di sebuah institusi pemerintahan di Jakarta, saya tetap memaksakan untuk tinggal di Bogor karena permintaan ibu saya tercinta. Maklum, mungkin rindu karena terlalu lama saya tinggal ke Bandung dan sangat jarang pulang ke Bogor, ibu meminta saya untuk tinggal di rumah lagi. Saya penuhi.

Tapi beberapa hal ternyata memang tidak bisa dipaksakan. Sebuah pilihan dilontarkan oleh orang tua saya mengenai jalan hidup saya. Satu hal yang sampai sekarang gagal saya mengerti adalah mengapa keberhasilan dan stabilitas ekonomi dianggap hanya dapat terjadi apabila saya menjadi PNS atau mendapat “kerja tetap”. Ketika itu pilihannya adalah menjadi PNS kalau masih mau tinggal di rumah atau sebaliknya. Dan akhirnya saya memilih sebaliknya. Sejak dulu impian saya bukan menjadi seorang PNS atau mendapat “kerja tetap” di suatu perusahaan. Saya mengerti kalau banyak orang yang begitu berhasrat untuk mengabdi pada negara melalui jalur PNS atau mengejar stabilitas ekonomi dengan bekerja tetap di satu perusahaan (kalau bisa yang besar), dan saya juga tahu bahwa banyak orang yang ingin di jalur yang lain. PNS, Karyawan, Wiraswasta, seniman, artis, dokter, tentara, politisi, penulis, atau apapun jalur itu, saya rasa tidak ada yang benar atau salah. Itu sebuah pilihan. Dan saya ingin memilih.


Pernah ada suatu masa ketika saya membiarkan waktu yang memilihkan suatu jalan hidup untuk saya. Pernah ada suatu masa ketika saya beranggapan bahwa berpasrah pada Allah berarti bahwa pada suatu saat nanti Allah akan memutuskan yang terbaik untuk saya secara mutlak. Tapi akhirnya saya belajar (dalam kegetiran) bahwa sikap seperti itu mungkin tidak sepenuhnya benar. Kali ini, saya tidak lagi mau berpikir seperti itu. Saya tetap harus memilih. Saya tetap harus mengambil resiko. Kalau ternyata ada pihak-pihak yang kecewa atau tersakiti dengan pilihan saya, semestinya saya tetap berusaha. Toh, saya sebenarnya tidak pernah berniat untuk menyakiti orang lain itu. Saya harus membuat takdir saya sendiri, semampu saya. Kalau ternyata Allah memutuskan yang lain, saya tahu setidaknya saya telah berusaha semampu saya dan bisa berkata bahwa setidaknya saya tidak mengecewakan diri saya sendiri.

Terdengar egois? Mungkin saja. Mungkin saja saya telah mengecewakan orang tua saya dengan pilihan ini. Tapi kali ini, harus saya coba. Toh kalaupun memang takdir berkata lain, pada akhirnya Allah akan menunjukkannya, dan kita hanya bisa menerima. Saya hanya ingin bahwa sebelum ketetapan akhir itu tiba, saya bisa berkata pada diri saya sendiri bahwa saya telah berusaha yang terbaik untuk mengejar impian itu. Selama saya yakin bahwa impian itu adalah sesuatu yang baik, saya harus tetap maju.

Meski begitu, karena standar nilai itu merupakan sesuatu yang sangat subyektif, maka membuat justifikasi benar-salah atau baik-buruk untuk impian orang lain adalah sesuatu yang absurd. Kita hanya bisa menjalani pilihan masing-masing, dan mengejar mimpi kita masing-masing. Kalaupun kita tidak sependapat dengan orang lain, yang bisa kita lakukan hanyalah memberi pandangan. Mungkin nasihat kalau memang diminta. Tapi kita tidak berhak untuk menentukan pilihan hidup seseorang itu salah atau benar. Dan dengan itu, maka di sini saya juga tidak akan menuliskan MENGAPA saya tidak mau menjadi PNS, karena bisa ada tendensi bahwa saya memandang pilihan seperti itu tidak sebaik pilihan saya. Tidak saudara sekalian. Saya TIDAK memandang seperti itu. Setiap orang berhak memilih, dan berhak memiliki alasannya masing-masing. Kecuali kalau memang kita sudah kehabisan pilihan, salah langkah, dan satu-satunya jalan yang tersisa adalah menunggu, maka menunggu itu pun adalah sebuah usaha.

Beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan. Bahkan sebuah “kenyataan” atau “realitas” kadang juga menjadi sesuatu yang tidak bisa dipaksakan untuk diterima. Itu menjelaskan kenapa penyakit “kegilaan” kemudian muncul, meskipun kita harus berdebat panjang mengenai apakah “kegilaan” itu sebenarnya adalah suatu penyakit atau justru sebuah pencerahan yang tidak bisa diterima oleh sebagian besar orang yang merasa dirinya “waras”. Sebagian orang tidak bisa dipaksa menerima kebohongan atau sesuatu yang bersifat samar, dan lebih bisa menelan bulat-bulat kenyataan, sepahit atau semanis apapun itu. Sebagian lagi kadang justru tidak mampu menerima kenyataan yang tidak dia mengerti, dan lebih menyambut baik sebuah kebohongan atau kepura-puraan, selama hal itu merupakan sesuatu yang bisa dia terima, atau minimal bisa dia mengerti. Mungkin “realitas” itu juga merupakan sebuah pilihan. Pilihan mengenai “apa yang mau kita percayai terjadi”.

Benarkah demikian? Atau mungkin kita hanya tidak memaksakan diri dengan lebih keras?

Bagaimana menurut Anda?



NB : Sayang... Apa lagi pilihan yang tersisa untukku?



Keterangan : Foto dari (lagi-lagi ga ijin dulu)
www.nyc-photo-gallery.com,

Monday, February 04, 2008

Hanya Itu Alasannya...


Dalam Do'aku

(Sapardi Joko Damono, 1989, kumpulan sajak "Hujan Bulan Juni")



Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata,
yang meluas bening siap menerima cahaya pertama,
yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil
kepada angin yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja
yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun di sana,
bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya,
yang setia mengusut rahasia demi rahasia,
yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku

Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu



Wednesday, January 23, 2008

Hukum Ketertarikan?


Sekitar 3 bulan yang lalu... tepatnya setelah akhir bulan Ramadhan tahun lalu, dalam keadaan setengah depresi dan setengah berharap ada mobil yang menabrak saya saat itu, saya main ke toko buku. Waktu itu hari Jum’at, dan setelah sholat Jum’at saya sedang malas pulang. Berlama-lama di Mesjid kemudian juga tidak terlalu nyaman karena ramainya orang berjualan di pelataran Mesjid membuat saya pusing. Alhasil, toko buku di seberang Mesjid menjadi pelarian.

Dalam keadaan kalut seperti itu, apalagi setelah sholat dan menumpahkan apa-apa yang ada dalam pikiran kita, pergi ke toko buku memang menyenangkan. Sedikit banyak, Anda bisa berharap langsung menemukan jawaban yang anda cari dalam doa-doa Anda itu di toko buku. Naif memang. Berharap terlalu banyak? Yaaaaah, bisa saja. Tapi toh tidak ada ruginya kan?

Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Di toko buku itu ternyata sedang promosi besar-besaran buku “The Secret” karya Rhonda Byrne. Buku ini sebenarnya sejak lama sudah direkomendasikan oleh seorang teman untuk saya baca. Tapi, sejujurnya, saya tidak terlalu menyenangi buku-buku semacam ini. Maksud saya, buku yang mengatakan kita harus begini begitu, tidak boleh begitu begini, kalau bisa harus begene begono.
Yah, tapi dasar orang lagi linglung. Akhirnya saya ambil juga satu buku kecil yang mahal itu. Baca-baca sinopsisnya sebentar, ternyata tentang hukum ketertarikan (law of attraction). “Bukan barang baru”, pikir saya, mengingat hukum alam yang satu ini sudah sering saya dengar dari (what so called) pepatah-pepatah bijak di berbagai buku. Tapi harus diakui, menjadikan sesuatu yang tidak baru menjadi sesuatu yang diburu banyak orang saat ini tentu bukan perkara mudah. Tentu ada sesuatu yang istimewa di buku ini. Entah penyajiannya, entah cara penulisnya meyakinkan pembaca, entah strategi pemasarannya, entah apa. Toh, akhirnya dibeli juga. Apalagi, meskipun hukum ketertarikan bukan sebuah barang baru, sebenarnya pertanyaannya adalah apakah hukum itu sudah pernah dipergunakan sebelumnya. Begitu bukan?
Satu hal lagi yang menarik di toko buku itu adalah.... mendadak buku yang bercerita tentang hukum ketertarikan seperti itu jadi sangat banyak. Dengan berbagai judul. Lucu juga. Ada judul “Mestakung (Semesta Mendukung)” dari Yohanes Surya, ada judul “Hukum Ketertarikan” yang entah karangan siapa, dan macam-macam judul lain. Wajar sepertinya kalau ada buku yang laris manis lantas banyak yang niru temanya ya? Masih ingat fenomena novel “Ayat-Ayat Cinta” dulu? Karena laku keras bak kacang goreng, tiba-tiba novel-novel dengan tema yang dimirip-miripkan mendadak muncul. Bukan cuma temanya. Bahkan nama pengarangnya dibuat mirip. Covernya juga. Setting bukunya juga. Pokonya semua harus serba mirip. Maka jadilah, fenomena “cerita cinta utopis yang tokoh-tokohnya soleh tetapi ceritanya sebenarnya sama saja dengan AADC” langsung mewabah.

Kembali pada buku The Secret yang saya beli tadi. Jadi ada 2 faktor yang menyebabkan buku itu hampir tak bisa lepas dari buku saya selama beberapa hari. Pertama, ternyata cara penyajian dan cara penulisannya memang menarik. Si penulis mampu menyerap berbagai sumber dan menyajikannya sebagai satu kesatuan yang mendukung tema utama. Menarik. Yang kedua, sejujurnya, waktu itu saya memang tidak punya pilihan lain (masih inget soal keputus-asaan yang melatarbelakangi pembelian buku ini kan?).
Inti yang dibicarakan sebenarnya sederhana saja. Untuk meraih sesuatu, Anda harus meyakini sesuatu itu akan terjadi. Disinilah pentingnya kemudian mengatur apa yang ada dalam pikiran Anda, karena pikiran Anda adalah magnet bagi semesta. Dengan kata lain, apa yang Anda pikirkan, akan Anda yakini. Dan apa yang Anda yakini, itulah yang akan terjadi. Alam semesta akan mewujudkannya untuk Anda. Tapi hati-hati, ini berlaku untuk hal-hal yang (menurut Anda) baik, maupun buruk. Jadi, baik atau buruknya hal yang menimpa Anda, konon katanya, itu karena Anda sendirilah yang menariknya. Buku ini kemudian mengajak Anda untuk selalu berpikir positif. Bukan apa-apa, sekedar supaya yang mengikutinya dalam kehidupan Anda juga hal-hal yang positif.
Sekarang, apakah itu terjadi untuk segala hal?
Bagaimana lantas kita memasukkan “Kehendak Tuhan” misalnya, kalau hukum ketertarikan itu memang benar?
Yang menarik, setelah bertanya seperti itu, yang terngiang dalam telinga saya justru adalah perkataan “Aku adalah seperti persangkaan hamba-hambaKu”. Makanya kita harus selalu berprasangka baik pada Tuhan. Eh, begitu bukan? Hmmmm.... sepertinya saya tidak akan terlalu memperpanjang yang satu ini. Silakan para pembaca berkelana sendiri-sendiri untuk mencari pemahaman yang sesuai untuk Anda =)
Yah, meski begitu, bukan Awan namanya kalau tidak skeptik (skeptis kok bangga?=p). Muncul niatan saya untuk menguji hukum ini. Sekali lagi, sepertinya tidak ada ruginya.

Kebetulan pada waktu itu, saya sedang kehilangan sebuah buku. Sudah dicari-cari di rumah tidak ada. Di tas juga. Di kantor apalagi. Buku itu kecil, berwarna ungu, seharga 5000 rupiah yang saya beli pada pertengahan bulan Ramadhan. Sebenarnya kalau saya beli lagi juga tidak masalah. Tapi, namanya juga nyoba...
Saya niatkan, saya gambarkan buku itu dalam pikiran saya, saya yakini bahwa buku itu akan saya temukan kembali suatu saat nanti. Saya tuliskan bahwa buku itu akan saya temukan. Dan dalam kepala saya, saya anggap buku itu tidak pernah hilang. Anda tahu apa yang terjadi beberapa hari setelahnya?
Yap! Benar! Buku itu tidak saya temukan. Beberapa minggu setelahnya? Masih juga belum ketemu. Oke, pikir saya, mari kita lupakan dan biarkan saja akan ketemu kapan. Tapi tetap saya yakin, buku itu akan saya temukan, suatu saat nanti.

Beberapa minggu setelah membeli buku itu, sebuah peristiwa kembali mengingatkan saya akan hukum ketertarikan. Waktu itu hari Sabtu, saya sedang mengendarai motor di Bandung. Di daerah Pasteur, saya menyaksikan sebuah kecelakaan tepat di depan mata saya. Seorang wanita yang sedang mengendarai motor tertabrak oleh truk yang sedang melintas kencang, tepat di depan saya. Saya bersama seorang pengendara motor lainnya langsung berhenti dan menggotong wanita itu ke pinggir jalan, dibantu oleh seorang polisi. Kelanjutannya saya tidak tahu karena wanita itu langsung dibawa ke rumah sakit terdekat dalam keadaan pingsan.
Bukan apa-apa, tapi ekspresi shock wanita tadi terus membayang di pikiran saya ketika itu. Hingga beberapa waktu, sy kerap merasa khawatir kalau kejadian seperti itu menimpa orang-orang yang saya sayangi. Apalagi pada sore harinya, saya ketahui kalau ternyata seorang tetangga kosan saya yang sering membantu-bantu kami di kosan juga baru saja kecelakaan motor bersama suaminya ketika akan pulang ke Bandung dari Garut.
Hari Seninnya, ketika saya sudah di Jakarta lagi, saya baru mengetahui kalau pada hari Minggu seorang teman kantor saya juga kecelakaan motor. Dia jatuh karena ngebut di waktu hujan dan jalannya licin. Tak ayal, kejadian tabrakan dan kecelakaan motor menjadi bahan pikiran saya terus menerus, dan menjadi bahan obrolan bersama teman-teman.

Pada hari Selasa sore, saya berjalan bersama seorang teman menuju kantor. Bahan obrolannya, masih seputar kecelakaan motor juga. Kemudian, tepat ketika menyeberang jalan pada pertigaan terakhir sebelum sampai di kantor, dan kami baru selesai ngobrol, tiba-tiba sebuah motor berbelok dengan kecepatan agak tinggi. Waktu itu gerimis dan jalan agak licin. Kebetulan teman saya berada di sebelah kiri saya, sementara motor datang dari arah kanan. Selama sepersekian detik saya melihat motor itu oleng berusaha menghindari kami. Dalam sepersekian detik itu juga saya tahu motor itu tidak akan berhasil. Teman saya sempat menghindar, tetapi motor itu terlalu dekat dengan saya. Motor itu jatuh, lalu menabrak saya.
Yap, benar sekali saudara pembaca sekalian. Akhirnya saya tertabrak motor. Alhamdulillah saya baik-baik saja. Tapi kasihan juga si pengendara motor itu, langsung dimarahi oleh seorang petugas yang kebetulan berada di dekat situ. Pasalnya, kami menyeberang di zebra-cross, dan ketika itu si motor memang berbelok dengan cepat. Kurang hati-hati.
Beberapa saat kemudian saya baru menyadari... menarik juga hukum ketertarikan ini.

Tapi yah, bisa jadi hal ini tidak berlaku untuk semua hal. Atau sebenarnya berlaku tapi kitanya yang kurang sabar.
Pada pertengahan bulan Desember, saya ingat ketika itu saya kembali sedang dilanda kebingungan dan kekalutan. Masalah pekerjaan, masalah impian, cita-cita, dan sebagainya.
Pada saat itu, seorang kerabat jauh datang berkunjung. Sebenarnya masih terhitung paman saya, tapi silsilah keluarganya agak jauh. Karena sedang tidak bersemangat, saya lebih memilih untuk berada di kamar dan membiarkan paman saya itu mengobrol dengan kakak dan ibu saya.
Tidak saya sangka, setelah sholat Maghrib, paman saya itu datang ke kamar saya, dan melihat-lihat tumpukan buku-buku saya. Setelah meminta izin meminjam sebuah buku, paman saya itu mengambil sebuah buku lain yang tidak pernah saya baca lagi. Sebenarnya buku itu sangat menarik, akan tetapi tulisannya yang kecil-kecil dan ukuran bukunya yang besar serta sangat tebal membuat saya jiper untuk menamatkannya.
Paman saya mendekati saya, mengobrol, sambil membuka-buka buku itu. Kemudian, tanpa saya sangka, paman saya itu tiba-tiba berkata bahwa ada sesuatu yang terselip pada buku itu. Ketika kami buka, ternyata yang terselip adalah... sebuah buku kecil berwarna ungu yang saya beli dengan harga 5000 rupiah pada bulan Ramadhan. Ya! Buku itu akhirnya kembali pada saya. Dan selama ini ternyata ada di kamar saya sendiri. Seperti tidak pernah hilang.

Ya, bukan berarti bahwa buku tersebut kembali karena hukum ketertarikan. Tapi memang menarik bahwa kedua kasus itu berbeda dalam hal waktu dan intensitas. Kasus kecelakaan motor terjadi dalam jangka waktu yang cepat setelah terus menerus berada dalam pikiran saya. Kasus penemuan kembali buku ungu tadi malah sebaliknya, terjadi setelah lebih dari dua bulan dan sejujurnya sudah tidak pernah saya pikirkan lagi. Bahkan sudah saya ikhlaskan kalau memang hilang.
Bagaimana menurut Anda?

Untuk saya sendiri, sebenarnya cukup banyak kasus keinginan yang berujung kekecewaan dalam hampir 26 tahun hidup saya ini, dan lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa hukum ketertarikan itu mungkin tidak selamanya berlaku. Akan tetapi, kalau dipikir lagi, cukup banyak juga kasus keinginan yang berujung kegembiraan untuk membuktikan bahwa kita bisa meraih sesuatu kalau kita yakini itu. Tentu saja, akan menjadi konyol apabila kita hanya mengharapkan suatu mimpi bisa terwujud tanpa kita sendiri mengusahakannya. Meski terkadang, ada kondisi-kondisi yang sedemikian kompleksnya hingga membuat pilihan kita satu-satunya memang hanya pasrah padaNya.
Yang jelas, dua kasus yang saya alami tadi tetap akan terlalu absurd untuk dijadikan patokan apakah suatu hukum itu relevan atau tidak. Akan tetapi, keduanya terjadi pada saat saya sedang jatuh. Cukup untuk seolah mendengar Tuhan sedang berkata pada saya bahwa... dalam kondisi apapun, selalu masih ada ruang untuk memiliki harapan.


Gambar diambil dari (maap ga ijin dulu): http://ebookee.com, www.spuggy.co.uk/images/monk-escape.jpg.

Monday, January 14, 2008

Film Cinta

Seorang teman pernah bertanya pada saya, film bertema cinta yang paling berkesan buat saya itu yang seperti apa. Pertanyaan yang menarik, mengingat begitu banyak film yang pernah saya tonton. Dan sepertinya banyak juga film bertema cinta yang saya tonton. Walaupun sebenarnya, saya tidak terlalu menyukai film-film dengan tema ini. Agak terlalu “biasa” buat saya. Saya memang tidak terlalu menyenangi film drama. Apalagi sinetron. Tapi, apa memang tidak ada yang menarik?

Kalau dipikir-pikir... ada juga sih beberapa film cinta yang sampai sekarang masih menjadi favorit.

Teringat film “Janji Jhoni” beberapa tahun lalu. Pada awal film itu, ada ucapan narator yang cukup menarik. Dia katakan, setiap orang pasti punya film favorit, dan kadang mengidentikkan kehidupan yang saat ini dijalaninya dengan sebuah film yang pernah ditontonnya. Misalnya, seseorang sedang jatuh cinta, lalu dia ingat film Titanic, dan mengidentikkan dirinya dengan tokoh Jack dalam film itu (walaupun saya yakin dia tidak membayangkan dirinya lantas mati tenggelam seperti Jack). Kadang juga seseorang mengidentikkan kisah hidupnya itu dengan sebuah lagu. Ya, bagaimanapun, itulah yang dia sebut dengan sebuah film yang “mengesankan” buat seseorang.

Sebenarnya kalau seseorang menyebutkan “film cinta”, yang kemudian terbayang di otak saya adalah film-film remaja-remaji semacam AADC, Apa Artinya Cinta, 30 Hari Mencari Cinta, Love is Cinta, You’ve Got Mail, My Best Friend’s Wedding, dan kawan-kawannya, yang membuat saya yakin bahwa TIDAK ADA film cinta yang saya cintai (paradoks yang menarik...). Bukan berarti bahwa film-film itu jelek (mmm... okelah, ada beberapa yang saya anggap BURUK). Hanya saja, agak terlalu “datar” buat saya.

Sewaktu dulu masih kuliah di Bandung, memang sempat saya dan teman-teman kos menggilai film “Love Actually”, dengan alasan yang tidak jelas sama-sekali. Mungkin karena bintang-bintangnya cantik-cantik. Bisa juga karena saya senang dengan OST-nya (lagu Dido yang judulnya “Here With Me”). Atau sekedar senang saja. Entahlah. Tapi buat ukuran kosan cowok, kami sepertinya agak sangat terlalu mellow saat itu. Beberapa dari kami bahkan memutar DVD-nya (bajakan) sampai lebih dari tiga kali, dan menitikkan air mata waktu adegan dimana lagunya Dido itu diputar. Cengeng? Kami tidak mau mengakuinya waktu itu. Sekarang? Kami tetap tidak mau mengakuinya.

Tapi memang, biasanya ada beberapa adegan yang paling meninggalkan kesan di hati kita dalam sebuah film. Dan beberapa adegan itu, bisa membuat kita menyukai satu film secara keseluruhan. Adegan dimana Mel Gibson berkata “We don’t have to win, we just have to fight them..” dalam film Braveheart misalnya, menjadi ucapan yang sangat berkesan buat saya (selain teriakan “FREEDOOOOOOOOOOM” di akhir hidup William Wallace tentunya).

Oke, kembali pada tujuan awal, tulisan ini tidak ditujukan untuk menuliskan daftar film-film favorit saya. Lebih spesifik, kali ini bertemakan film cinta. Jadi, sebelum melantur kemana-mana, mari kita kembali ke pertanyaan awal.

Sepanjang bisa diingat, sepertinya untuk kategori film cinta yang berkesan buat saya hanya ada dua judul (mohon maaf, karena dua-duanya film asing). Yang pertama itu City of Angels (Meg Ryan dan Nicholas Cage). Yang kedua adalah Butterfly Effect (Ashton Kutcher). Lucunya, dua-duanya adalah film yang bisa dibilang relatif tidak logis, dan banyak orang bilang bahwa kedua film ini (juga relatif) tidak punya “happy ending”. Mari kita lihat satu-persatu.


Sepertinya kawan-kawan semua sudah banyak yang pernah menonton film “City of Angels” ya? Ceritanya tentang seorang malaikat yang jatuh cinta dengan seorang wanita (manusia). Sesederhana itu konsepnya. Tapi tentu jadi ribet ceritanya kalau dua dunia begini kan? Tentu, ide ceritanya sendiri bisa dibilang tidak logis. Malaikat... jatuh cinta... dengan manusia... (yeah.. right!).

Meski begitu, ada beberapa filosofi yang menarik untuk dibahas (oke, mulai serius tulisannya kalo udah bicara FI-LO-SO-FI begini ya...). Singkat cerita, si malaikat (pria) jatuh cinta dengan seorang manusia (wanita). Si wanita balas mencintainya, meskipun dia merasa banyak keanehan dan misteri yang melingkupi si pria. Akhirnya, si pria mengatakan kalau dia adalah seorang malaikat. Si wanita kaget, ga percaya, sedih, marah blablabla. Tapi itu tidak mengubah apa-apa, karena mereka tetap saling mencintai (aaaaah.... so sweeeet....).

Kemudian, ada satu adegan dimana si wanita ngobrol dengan temannya si pria. Si teman ini kemudian mengatakan bahwa si pria memang benar-benar malaikat, dan sulit untuk menyatukan cinta mereka. Si wanita kemudian mengeluarkan satu pertanyaan filosofis... “Mengapa Tuhan mempertemukan kami kalau kami tidak bisa bersama?”. Pertanyaan itu kemudian memaksa si teman mengatakan bahwa sebenarnya ada satu cara supaya mereka bisa bersama, yaitu si malaikat bisa “mati” dan melepaskan keabadiannya untuk menjadi manusia. Dia tahu itu karena dulunya dia juga adalah seorang malaikat (oke, ceritanya mulai ga logis ya....).

Kemudian, si wanita membuat si pria benar-benar berniat untuk mewujudkan cinta itu. Singkat kata, si malaikat akhirnya “menjatuhkan” diri untuk melepaskan keabadiannya. Dia menjadi manusia, dan akhirnya bisa bersama si wanita. Mereka benar-benar merasakan kebahagiaan untuk satu hari. Apakah film berakhir? Tidak. Hari berikutnya, dengan kejadian yang betul-betul konyol (si wanita naik sepeda sambil lepas tangan), si wanita ketabrak truk dan tewas dalam pelukan si pria. Kebersamaan mereka hanya untuk sehari.

Menarik bukan ending-nya? Menjadi menarik karena kemudian pertanyaan filosofis si wanita tetap relevan sampai akhir film (“mengapa Tuhan mempertemukan kami dst dst.). Relevan, dan tetap tidak terjawab. Terlepas dari apakah ending seperti ini membahagiakan atau tidak, saya rasa untuk sebuah ungkapan cinta, film ini menarik.

Sementara OST-nya.... lagu “Angel” yang dinyanyikan Sarah Mclachlan dan lagu “Iris” yang dibawakan Goo Goo Dolls adalah dua lagu yang nampaknya akan menjadi favorit saya sepanjang masa. “In this sweet madness... Oh this glorious sadness... He brings me to my knees” dan “when everything’s meant to be broken, I just want you to know who I am...” adalah dua baris syair dari kedua lagu tersebut yang paling saya senangi.

Kadang saya pikir, film ini tetap punya satu kekurangan. Seandainya seseorang dihadapkan pada pilihan seperti yang dihadapi si pria, saya rasa mudah bagi seseorang mengorbankan sesuatu yang merupakan miliknya sendiri dan tidak merugikan orang lain. Keabadian misalnya. Itu miliknya, dan tidak ada yang dirugikan kalau dia melepasnya. Akan tetapi, bagaimana kalau pilihannya adalah dengan merugikan/menyakiti orang lain? Akan se-egois apakah seseorang demi cinta?


Film kedua, “Butterfly Effect”, sepertinya tidak terlalu banyak yang tau ya? Agak rumit untuk menceritakannya. Tapi saya coba deh. Narasi awal dari film ini mencoba merumuskan konsep “waktu”. Ada satu penelitian di AS sana yang menyebutkan bahwa segala sesuatu dalam satu dimensi waktu itu begitu teratur, sehingga bila ada yang mengubah keteraturan itu, meskipun sekecil getaran sayap kupu-kupu, akibatnya bisa berupa kekacauan yang sangat besar, sebesar badai topan di Atlantik. Ini yang kemudian disebut dengan teori butterfly effect dalam konsep time-traveling. Film ini sendiri memang kemudian sedikit banyak memang tentang perjalanan melintasi waktu.

Alkisah ada seorang anak lelaki dengan kelainan di otaknya. Dia kadang kehilangan kesadaran/ingatan, dan tidak tahu apa yang sudah dia lakukan. Singkat kata, ternyata pada masa-masa dia kehilangan kesadaran itu, pasti ada sesuatu yang buruk terjadi, yang tentu saja mempengaruhi kehidupan dia selanjutnya. Sebagai bentuk terapi, dokter menyuruhnya membuat jurnal harian, supaya dia tahu apa saja yang telah dia lakukan dan tahu kapan tepatnya dia mengalami kehilangan kesadaran. Meskipun dia tidak akan ingat apa yang telah dia lakukan saat dia kehilangan kesadaran itu, minimal dia tahu waktunya.

Dalam perjalanannya, dia mencintai seorang gadis. Akan tetapi, karena rangkaian kejadian buruk yang sayangnya dia tidak ingat apa (karena saat kejadian-kejadian itu berlangsung, dia sedang kehilangan kesadaran), hidupnya kacau dan dia akhirnya harus berpisah dengan gadis yang dicintainya itu. Kemudian dia pergi pindah rumah dengan ibunya. Ketika dia akan pergi, si gadis mengejarnya. Dia hanya bisa menuliskan sebaris kalimat di secarik kertas untuk dibaca si gadis, dan menempelkannya di kaca mobil yang membawanya pergi.

Singkat cerita, tahun-tahun berlalu, si pria sudah tidak pernah kehilangan kesadaran lagi. Dokter telah mengobatinya. Dia juga hampir tidak pernah lagi berhubungan dengan teman-teman masa kecilnya (termasuk si gadis yang dicintainya itu). Dia kuliah dan hidup dengan aman-tenteram-gembira-lancar.

Suatu ketika, dia membuka-buka jurnal lama yang berisikan cerita-cerita hidupnya ketika kecil. Termasuk waktu-waktu dimana dia kehilangan kesadaran. Kemudian, secara aneh dan tidak sengaja, dia kembali ke masa dimana dia kehilangan kesadaran. Dia melihat dan mengalami lagi semuanya. Kali ini dengan sadar. Kemudian kembali lagi ke masa sekarang, juga secara tidak sengaja.

Tidak yakin dengan apa yang terjadi, dia berusaha menghubungi teman-teman masa kecilnya. Ternyata, semua yang dia lihat dan rasakan/lakukan itu adalah kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampaunya. Akan tetapi, betapa sedihnya dia ketika melihat teman-teman masa kecilnya itu hidupnya telah kacau balau karena kejadian-kejadian buruk di masa lalu.

Dia teringat gadis yang dicintainya, lalu mencarinya. Ternyata hidup si gadis itu sama kacaunya. Sedikit banyak, si gadis marah karena si pria dulu meninggalkannya dan menyebabkan hidupnya kacau balau. Beberapa hari kemudian, si gadis bunuh diri karena depresi. Di pemakaman si gadis, pria itu kemudian melemparkan secarik kertas yang dulu dia tempelkan di kaca mobil ketika pergi meninggalkan si gadis (kata-kata dalam kertas itu, ga akan saya tuliskan di sini, tapi sekarang sering saya tuliskan dalam status YM saya... hehe, ga penting banget kan?)

Eniwey. Akhirnya si pria berusaha kembali ke masa lalu dengan cara yang sama ketika dia tidak sengaja membaca jurnal-jurnalnya. Dan dia bisa! Dia bisa kembali ke masa lalu, yaitu pada momen-momen dimana dia dulu kehilangan kesadaran. Hanya ada satu tujuan dalam pikirannya, untuk memperbaiki masa lalu, supaya kehidupan gadis yang dicintainya itu bisa baik di masa kini, dan mereka bisa kembali bersama (aaaah... so sweeeet... lagi....). Berhasilkah dia?

TIDAK! Dia berulang kali melompat ke masa lalu, pada berbagai momen. Akan tetapi, setiap dia kembali ke masa kini, ternyata yang ditemuinya justru adalah kekacauan yang lebih besar. Dia selalu gagal. Apa akhirnya yang dia lakukan?

Dia kembali ke masa pertama kali dia bertemu dengan si gadis, yaitu ketika mereka masih kecil. Masih TK. Dan dia mengatakan pada si gadis kalau dia membencinya, dan jangan sekali-sekali mendekati dirinya. Dia kembali ke masa kini, dan akhirnya mereka memang seperti tidak pernah saling kenal (lebih tepatnya, si gadis yang tidak pernah mengenal si pria, sementara si pria harus hidup dengan mengingat SEMUA yang telah dilaluinya). Sehingga ketika pada ending-nya mereka berpapasan di jalan, si wanita tidak mengenal si pria, sementara si pria memandang dengan sedih mengenang cinta mereka. Tapi toh, mereka berdua hidup dengan baik-lancar-sejahtera-dsb, meskipun hidup mereka tidak lagi saling bertautan.

Logiskah ceritanya? Happy ending-kah? Relatif. Tapi buat saya, tetap saja apa yang dilakukan si pria itu cukup mengesankan. Terlebih lagi, sebenarnya secara konsep/teori, memang ada konsep yang bisa memungkinkan kejadian seperti yang dilakukan oleh si pria itu. Anda pernah mendengar tentang “perjalanan astral”? Singkatnya, konsep astral ini adalah memisahkan kesadaran sukma kita dengan raga. Mirip seperti pengalaman mendekati kematian (Near Death Experience). Hanya saja ini dilakukan dengan sengaja. Jadi si kesadaran kita itu seperti bisa berjalan-jalan kemana-mana, bahkan melihat tubuh kita sendiri yang sedang kita “tinggalkan”. Konon katanya, secara konsep, dalam keadaan tertentu si kesadaran ini juga bisa melakukan perjalanan melintasi waktu. Apakah juga bisa merubah masa lalu? Entahlah... Tertarik untuk mencoba? Saya hanya menceritakan bahwa konsep itu ada. Bukan berarti itu mudah =)

Nah, itulah dia dua film cinta yang paling berkesan buat saya. Film cinta ya. Kalau film bertema lain, lebih banyak yang berkesan buat saya. Bagaimana dengan Anda?

Yang jelas, bukan berarti ending seperti inilah yang saya harapkan terjadi dalam kehidupan cinta saya =))



NB : Ini untukmu, satu-satunya yang pernah mendengar kata “cinta” dari mulut saya untuk manusia.