Friday, January 05, 2007

Lha?! Ada toh yang Beginian?? (cerita-cerita dari kereta, episode 13)

Lho?! Ada Ya Yang Beginian?

Bertemu kawan lama… tentu menyenangkan.

Begitupun dengan saya.

Ketika saya AKHIRNYA bisa kembali naik kereta Bogor-Tanah Abang jadwal keberangkatan 7.20 WIB, saya pun merasakan kebahagiaan bertemu kawan-kawan lama itu. Yaaah, setidaknya, saya menganggap mereka kawan, meskipun saya sebenarnya tidak tahu apakah mereka menganggap saya ADA atau tidak. (duuuh, kesannya cinta yang bertepuk sebelah tangan banget ya... jadi inget cerita-cerita cinta picisan =P, remaja banget lah...)

Sebagai latar belakang, mungkin sepenggal kisah perlu diulang.

Sampai sekarang, mungkin sudah lebih dari satu setengah tahun saya berpetualang di kereta (lebih tepatnya mungkin “baru” satu setengah tahun). Pada masa itu, beberapa bulan pertama banyak saya habiskan di kereta pagi, jadwal keberangkatan jam 06.30-07.00 WIB. Setelah itu, karena sering terlambat, saya mulai sering naik kereta jurusan tanah abang jadwal keberangkatan 7.20.

Setelah itu, saya mulai rutin naik kereta tanah abang itu karena ternyata jarak dari stasiun Sudirman (yang dilalui oleh kereta tanah abang) lebih dekat ke kantor saya dibanding dari Cikini atau Manggarai. Selain itu, jarak antara Stasiun Sudirman dengan kantor juga bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 15 menit (jalan cepat, bisa jadi karena kebelet ingin ke WC) sampai 25 menit (jalan luar biasa santai, sambil tengok kiri kanan atau sekedar menghirup udara segar bercampur timbal dari asap knalpot). Mengingat tubuh saya yang mulai menggembung karena kurang olah raga, maka jalan kaki di pagi hari tentu bisa menjadi alternatif yang murah meriah (saking murahnya, bahkan malah bisa menghemat ongkos).

Maka jadilah saya mulai rutin naik kereta tanah abang. Lebih spesifik, gerbong 3 (dihitung dari belakang). Kenapa pilih gerbong 3? Bisa dibaca di Cerita Kereta episode 7 (Komunitas Gerbong).

Tanpa terasa, rutinitas di kereta tanah abang itu berjalan sampai hampir satu tahun. Seperti kata pepatah “tumbuh cinta karena biasa”, maka saya pun merasa “bersahabat” dengan para penumpang gerbong 3 tanah abang itu. Tentu saja, wujud persahabatan itu tidak lebih dari sekedar senyum atau sapaan-sapaan khas kereta (semacam: “panas ya mas?” atau “penuh gini ya...” atau “yaaah, gini deh, namanya ekonomi, disalipin melulu sama expres”, dsb). Saya memang sangat jarang berinteraksi langsung dengan penumpang lain, seperlunya saja. Saya lebih suka memperhatikan atau mendengarkan obrolan mereka, dan diam-diam ikut berpikir (kalau perbincangannya serius) atau menahan tawa (kalau perbincangannya LEBIH serius lagi).

Setelah itu, ternyata kebiasaan lama saya yang buruk itu kembali hadir. TERLAMBAT. Ya, ini satu kebiasaan buruk saya yang kerap melekat. Karena sering terlambat mengejar kereta tanah abang, maka saya mulai terbiasa naik kereta jurusan Kota (Jakarta) jadwal keberangkatan 7.44 WIB. Apalagi kemudian saya mendapat teman seperjalanan (Bogor-Cikini), maka saya menjadi pelanggan rutin kereta 7.44 ini.

Setelah hampir setengah tahun ini berpetualang di kereta 7.44, entah kenapa, menjadi sangat sulit bagi saya untuk sekali-sekali berkunjung ke kereta 7.20

-alaaaaaaaaaaah, udalah wan, ga usah ja’im!! Bilang aja TELAT MOLOOOOOOO!!!!!-

Yah... mari kita lewat saja topik tadi...

Beberapa minggu yang lalu, akhirnya saya bersama teman yang biasanya bersama-sama naik kereta 7.44 bisa naik kereta tanah abang 7.20. Selain karena memang ada keperluan untuk berangkat lebih pagi, saya juga memang sudah cukup rindu untuk kembali kesana.

Setelah melewati stasiun Bojonggede, saya perhatikan bahwa ternyata komunitas gerbong 3 seperti yang dulu pernah diceritakan di Cerita Kereta episode 7 (Komunitas Gerbong) memang sudah tidak lengkap lagi. Cukup banyak penumpang lama yang sudah tidak terlihat lagi. Entah berpindah jadwal (seperti saya), pindah gerbong, atau mungkin sudah meningkat status ekonominya sehingga berpindah ke moda kereta expres atau bus.... dan mungkin juga ada alasan-alasan lain semisal seorang roker (rombongan kereta) wanita yang setelah wanita kemudian disarankan untuk tidak perlu bekerja lagi oleh suaminya atau tidak boleh naik kereta lagi oleh suaminya. Intinya, banyak lah yang bisa jadi alasan.

Meski begitu, banyak juga yang masih tetap. Rombongan Bojong misalnya, sebagian besar masih tetap sama. Termasuk “Pak J” dan kawan-kawannya yang masih tetap menjadi motor keceriaan (dan kekesalan) di gerbong ini.

Beberapa pasang mata yang seperti sudah begitu lama saya kenal melihat saya dengan tatapan bertanya-tanya. Mungkin dalam hati mereka memang bertanya-tanya... “kayak pernah kenal...” (atau kira-kira begitulah). Saya tersenyum sedikit ke mereka yang dulu memang terbiasa berdiri dekat saya, dan mereka pun balas tersenyum sebentar, lalu kembali berbincang riuh rendah dengan kawan-kawannya.

Topik perbincangan (dan keramaian) di gerbong 3 kereta tanah abang ini memang relatif lebih “berkualitas” dibanding gerbong 3 kereta 7.44. Memang sering juga yang muncul adalah candaan-candaan khas kereta atau celetukan-celetukan yang sekedar mengundang tawa. Akan tetapi, kalau sudah serius, ya serius. Topiknya bermacam-macam, mulai dari permasalahan rumah tangga, intrik politik di kelurahan (nampaknya rombongan ini rumahnya satu kompleks atau satu kelurahan), persoalan manajemen kereta, pemilu, pemerintahan, sampai filsafat. Kemarin itu, kebetulan sedang hangat-hangatnya kasus Yahya Zaini – Maria Eva, dan poligami. Maka, tidak heran kalau perbincangan serius yang terjadi adalah seputar poligami.

Perbincangan serius semacam ini sangat jarang terjadi (bahkan seingat saya tidak pernah) di gerbong 3 kereta 7.44. Rombongan yang dominan di gerbong 3 kereta 7.44 ini biasanya sibuk saling cela-mencela (sampai kadang ada yang pundung/ngambek dan turun di stasiun terdekat untuk naik kereta selanjutnya), atau main kartu domino untuk menggilir tempat duduk (yang menang boleh duduk).


Sekedar melepas kerinduan, sekali-sekali bolehlah...

Yah, mungkin saja (kalau saya sudah bisa tidak terlambat lagi), saya akan kembali rutin menumpang di gerbong 3 kereta tanah abang ini.

----------

-Udah? Segitu aja cerita keretanya? Kok pendek amat wan? Biasanya sampai 5 lembar A4 spasi 1 times new roman 12?-

---------

Ya belom dong!!! =D

Belom beres =D

Beberapa waktu lalu, wanita yang satu ini (frase ini terbukti pernah menjadi pengalih perhatian yang baik pada salah satu postingan terdahulu, entah mengapa) pernah memberi saya sebuah tulisan yang cukup lucu. Lucu karena saya baru tahu kalau yang seperti ini ternyata ada.

Tulisannya adalah tentang Standard Tingkat Kepadatan Penumpang Kereta Api, yang bersumber dari buku berjudul “Indikator Penilaian Kawasan untuk Menentukan Pola Penyediaan permukiman Perkotaan” karya Kuswara, ST,MA dan diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puslitbangkim – Dept. PU). Dalam buku itu memang dituliskan juga berbagai macam aspek lain dalam manajemen kereta api seperti Karakteristik Pelayanan KA, Kategori Jaringan Pelayanan Angkutan, Kategori Jenis dan Kondisi Simpul KA (Stasiun), dan sebagainya. Tapi standard tingkat kepadatan penumpang adalah topik yang paling menarik bagi saya.

Dalam buku itu disebutkan beberapa tingkatan kepadatan sebagai berikut :

- 100% = kapasitas tempat duduk penuh, para penumpang merasa nyaman, mendapatkan tempat duduk, dapat bergantung pada tali atau memegang tiang di dekat pintu.

- 150% = walaupun bahu saling bersentuhan, para penumpang masih cukup ruangan untuk membaca koran

- 180% = walaupun badan beradu satu sama lain, penumpang masih dapat membaca majalah (perhatikan bedanya saudara-saudara, majalah dan koran memang jelas jauh berbeda ukurannya)

- 250% = para penumpang bergoyang setiap waktu pada saat kereta api berjalan dan mereka tidak dapat bergerak.

Wakakakakakak......

Ternyata ada juga ya yang berinisiatif menyusun standard semacam ini. Yah, walaupun saya tidak tahu dasar pemikirannya sehingga bisa menyebutkan angka-angka prosentase kepadatan itu (dan kondisi yang digambarkannya), tapi standard ini cukup bagus.

Lalu, kepadatan di KRL Jabodetabek itu termasuk tingkatan yang mana?

Nah, itu jawabannya bisa sangat bervariasi, tergantung jadwal keberangkatan, gerbong, ukuran tubuh anda, apakah ada kereta mogok atau tidak, dan sebagainya.

Untuk siang hari, tentu kepadatannya akan kurang dari 100%. Tapi untuk pagi dan sore hari (jam-jam terpadat), sepertinya standard itu perlu ditambah satu tingkat lagi. Yaah, kalau pada tingkat 250% penumpang masih bisa bergoyang (meski tidak dapat bergerak), perlu ada satu tingkat lagi yang menggambarkan kondisi penumpang tidak bisa bergoyang dan tidak juga bisa bergerak (apalagi baca koran). 300% mungkin? Atau 350%?

Yah.... meski begitu, sebagai orang Indonesia, kita tetap harus punya sesuatu untuk tetap bisa berkata.... “yaaaah, masih mending lah... daripada...”

Kalau kita membandingkan kondisi kereta ekonomi jabodetabek ini dengan kereta ekonomi di India misalnya... saya rasa kita bisa banyak bersyukur dan mengucapkan kata-kata tadi (“yaaah, masih mending lah...daripada...”). Mengapa? Karena ketika melihat foto-foto kereta ekonomi di India (saya dapatkan dari seorang teman yang mengirim e-mail pada saya, jadi saya tidak tahu darimana sumbernya), saya rasa kereta ekonomi di kita masih “ecek-ecek”.

Kalau yang di India itu dibandingkan dengan standard tadi?

Yaaah, mungkin masih perlu dua tingkatan lagi. Sampai 500% mungkin?

No comments: