Thursday, November 15, 2007

Keajaiban (Episode 2)



TADAAAAAAAA !!!!!!!!!


Saya kembaliii !!!! =D

PENTING banget kan? =p

Yah, tadinya memang saya berniat untuk meneruskan tulisan mengenai "keajaiban" (yang saya tulis sebelum ini). Sudah ada beberapa pikiran yang melayang-layang minta dituliskan mengenai lanjutannya.

Akan tetapi...

Yah, walau bagaimanapun, kadang-kadang kita perlu mencoba bersikap responsif.
Jadi, ada sedikit perubahan rencana. Sepertinya tulisan Keajaiban episode ke-2 tidak akan dikeluarkan sesuai rencana. Sebagai gantinya, dalam judul tulisan yang sama, tulisan ini akan berisi tanggapan balik dari semua komentar yang masuk dari para pembaca episode ke-1.
Untuk menyingkat tulisan, saya tidak akan menulis ulang komentar-komentar tersebut. Saya akan langsung tulis tanggapan baliknya. Jadi mohon maaf, kalau pembaca mau baca komentar-komentar tersebut, silahkan klik kolom komentar di tulisan sebelumnya, atau klik di SINI.

Bagaimana? cukup responsif bukan? =D

Mari kita mulai...

  1. Untuk "RoSa" : Iya bu... soal yang kemarin :D
  2. Untuk "Ipin Jangkrik!" : Iraha atuh? sibuk wae maneh mun urang ka bandung. Gw ragu kalo kita "beda arah". Cuma kita taulah bagaimana tulisan sering menimbulkan penafsiran yang salah. Kemungkinan lu salah menafsirkan tulisan gw pin.
  3. Untuk "teeka" : Dan ternyata ga jauh-jauh, kita mengalami hal yang sama :))
  4. Untuk "catuy" : Ya karena ternyata lu udah menuliskan komentar itu, berarti kita bisa yakin kalo perihal lu nulis komen itu adalah takdir lu dong tuy, dan tulisan gw cuma jalan lu buat memenuhi takdir itu :)) Ya. tentunya Allah menyebut dengan dua nama yang berbeda ("qadha" dan "qadr") itu ada alasannya kan? Tapi yang gw tangkep dari komentar lu ini sih tuy... lu juga bingung mau nulis apaan :)) Yang lu tulis di komentar lu itu udah pernah ditulis di puluhan buku kan? Dan kita tau itu ga nyambung sama pertanyaan gw. Tentu lu punya pikiran sendiri...
  5. Untuk "fathy" : Ga ada yang bilang kalo kita "tak butuh lagi berdoa" kan dra? :p saya pun ga bilang begitu kan? justru sekarang-sekarang ini saya sangat menikmati doa... :)
  6. Untuk "noel" : Sebenernya ini bukan sebuah "interpretasi lain terhadap apa2 yang udah umum". Saya ga terlalu tertarik untuk menimbang-nimbang apakah interpretasi ini sesuai dengan "interpretasi umum" atau tidak. Ya ini sekedar interpretasi yang saya rasakan. Tapi bukan berarti saya sendirian juga. Saya insyaAllah yakin ada banyak juga orang berinterpretasi seperti ini. Ya, insyaAllah dengan interpretasi ini saya malah lebih ngerasain kehadiran Allah mas... soalnya saya ga lagi mikirin apakah doa itu dikabulkan atau engga. Itu terserah Allah. Saya cuma mau ngobrol sama Allah saja. Apa itu malah bisa menjauhkan ya?
  7. Untuk "aku" : Iya... masih inget kok mbak :) apa kabar? sama-sama, selamat idul fitri... mohon maaf lahir batin ya mbak. Iya, mungkin memang hanya itu yang Allah minta dari kita... Yang jelas, konon katanya, salah satu syarat supaya do'a kita dikabulkan itu justru saat kita bener-bener pasrah, dalam pengertian udah terserah Allah aja gimana dan kapan itu dikabulkannya. Iya kan? :) Jadi ironinya disini adalah, kita boleh berharap sesuatu pada Allah, tapi kita harus benar-benar pasrah mengenai bagaimana harapan itu akan dikabulkan olehNya. Lucu juga kalo dipikir-pikir... Allah selalu memaksa kita berada dalam prinsip "jalan tengah" untuk perilaku sehari-hari. Bener nggak mbak?
  8. Untul "teqo" : Ya, dan yang tentu ada salahnya juga :))
  9. Untuk "masadi" : Salam kenal juga. Kenapa atuh ga pernah komen? :p Pertanyaannya sekarang adalah... apakah lauhil mahfudz itu bertuliskan apa-apa yang AKAN menjadi jalan hidup kita (masa depan yang akan kita jalani nanti), atau apa-apa yang SUDAH kita jalani (masa kini dan masa lalu yang akan kita pertanggungjawabkan nanti di akhirat) ?? Atau keduanya?? Sepertinya Anda terlalu saklek dalam memandang mas... termasuk dalam men-judge tulisan saya ini =) Saya bukan penganut faham bahwa manusia tidak bisa mengubah takdir (atau setidaknya, mungkin "qadr" kita ga bisa ubah, tapi "qadha" itu buat sy masih misteri). Saya juga (sudah) tidak berpikir bahwa surga dan neraka ditentukan sejak awal, karena itu tadi, qadha belum ditentukan.
  10. Untuk "ika" : iya, sepakat, perantara antara makhluk dengan Sang Khaliq. Iya, sepakat semua sama yang ika tulis, kan tulisan saya ga ada yang bertentangan sama komentar yg kamu tulis ka? =p yah, kalo kita sudah mengakui kerendahan hati dan ketidakberdayaan kita, kita memang akan jadi tenang kan? karena yakin Allah akan menjaga kita, dan memberi yang terbaik buat kita (yang belum tentu sesuai dengan keinginan kita itu). Betul? Lantas apa yang ika ga sepakati mengenai korelasi doa dengan rasa PD dan ketenangan? Apa ada tujuan lain selain itu ketika kita berdoa? Kalau ada... kenapa?
  11. Untuk "saia" : betul sekali... sepakat dengan Anda.
  12. Untuk "Rhen" : Wsw. Ah...Anda ini... komentarnya seperti menjudge saya ya? =p sayangnya... saya rasa Anda tidak membaca tulisan saya sampai tuntas. Atau setidaknya, Anda bacanya sekedar "scanning" saja kan? =p Coba Anda baca lagi pelan-pelan... ada nggak pernyataan dalam tulisan saya itu bahwa saya "sok tak perlu do'a" ? =) Kalaupun ada, bukankah itu dalam bentuk pertanyaan yang kemudian saya jawab sendiri? =p lebih jauh lagi...beberapa paragraf terakhir saya itu... apakah mengisyaratkan kalau saya tidak lagi butuh doa?
  13. Untuk "nien" : hehehe... nggak terguncang berarti sering mikir gini juga ya? =p btw, blog situ tulisannya juga keren-keren.... iya, semoga bisa lebih produktif...
Nah, demikianlah pembaca yang budiman... tanggapan saya akan komentar kawan-kawan sekalian...

Beberapa hal yang saya tangkap dari komentar-komentar yang masuk tersebut adalah...

pertama, sangat jarang yang membaca (apalagi menyimak) tulisan saya sampai tuntas :)) Tentu saja, ini adalah kesalahan saya yang sampai sekarang masih belum mampu menulis dengan efektif dan efisien :p

kedua, bahasa manusia kadang tidak mempu menuliskan apa yang benar-benar kita rasakan. Seperti orang bijak dulu yang meminta seorang muridnya untuk menuliskan bagaimana harumnya bunga. Tentu tulisan ini tidak bisa menggambarkan semua yang dirasa. Dan itu ternyata terbukti bisa menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda-beda. Sebagian bahkan berbeda jauh dari yang saya maksudkan. Ini bisa terjadi pada mereka yang membaca sampai tuntas. Maka, apalagi yang tidak tuntas? =p

ketiga, tulisan semacam ini, apabila tidak didiskusikan dengan benar dan hanya setengah-setengah seperti ini bisa menimbulkan salah penafsiran, bahkan "menyesatkan" buat yang langsung membaca tanpa ditelaah ulang. Semoga pembaca yang budiman tidak demikian...

Dan ketiga hal itu sepertinya cukup untuk mengurungkan niat saya menuliskan episode 2 dari tulisan "keajaiban" =) --> daripada lebih menimbulkan persepsi yang makin jauh sama yang dimaksud =p


Sampai jumpa pada tulisan berikutnya =D

semoga masih mau berkunjung...



NB : Tulisan ini untuk Kita... untuk cerita Kita... untuk malam-malam yang Kita lalui dalam mencari sebentuk ridho dan keikhlasan... =)
Meski kadang lelah dan kantuk mengalahkan kerinduan... dan kadang cinta memaksa derasnya air mata...
Semoga Kita selalu bersama.

Sunday, October 07, 2007

Keajaiban (episode 1)

Agak ragu sebenarnya untuk posting kali ini....

Tapi sesuai judul blog ini, nampaknya ini juga jadi salah satu perjalanan pulang.

Nah, sebelum membaca postingan ini, sepertinya saya harus memperingatkan Anda dulu. Kalau kira-kira tidak siap untuk agak tergoncang sedikit prinsip hidup dan pemahaman beragamanya, mending jangan baca.


MENYERAMKAN BUKAN PEMBUKAANNYA??? =))


Sebenarnya mungkin tidak semenyeramkan itu sih. Cuma ya... sepertinya akan banyak yang menasihati saya setelah postingan ini, terutama soal pemahaman beragama, hadits-hadits, atau mungkin ada yang menuliskan ayat-ayat Qur'an untuk saya =p
Ya kalau ada yang berbaik hati untuk melakukannya, saya akan sangat berterima kasih, walaupun mungkin belum tentu mengubah pandangan saya =D

Mari kita buka dengan sebuah pertanyaan...
Pernahkah Anda mengharapkan... begitu mengharapkan... hadirnya sebuah "keajaiban". Mukjizat. Atau apapun namanya.
Kadang bentuk keajaiban yang Anda harapkan itu sudah Anda tentukan sendiri... atau kadang Anda tidak tahu akan seperti apa keajaiban itu nantinya. Yang jelas Anda tahu bahwa Anda sangat membutuhkannya. Apapun namanya itu.

Lantas, apa yang Anda lakukan untuk itu?
Berusaha? Harus...
Tapi kalau Anda tidak tahu harus berusaha seperti apa, lantas apa yang Anda lakukan?
Tentu kembali pada langkah awal dan akhir Anda bukan?
Ya! Berdoa...

Akan mudah untuk menentukan apakah doa-doa Anda sudah "dijawab" atau belum kalau Anda sudah mengetahui bentuk pasti keajaiban itu akan seperti apa. Lha kalau Anda tidak tau apa yang Anda mau... lantas gimana?

Bingung?
Sama...
Saya meracau apa sih?

Oke, kita ambil contoh...
Menurut Anda, ketika Nabi Musa AS dulu memohon keajaiban Allah untuk menghindarkan dirinya dan ummatnya dari kejaran Firaun, apakah beliau tau kalau bentuknya adalah laut merah tiba-tiba terbelah?

Sejujurnya... saya rasa tidak.
Tapi jelas, keajaiban/mukjizat itu ternyata turun dalam bentuk menakjubkan seperti itu.


Sekarang pertanyaannya, itukah kekuatan doa?

Apakah doa-doa itu akan terjawab sesuai keinginan kita?

Atau pertanyaan mudahnya, benarkah bahwa Allah akan mengabulkan SEMUA doa?

Sekarang kalau misalnya begini....
Ada seseorang (kita sebut namanya Budi, bukan nama sebenarnya) yang punya hutang ke orang lain (kita sebut namanya Joni, juga bukan nama sebenarnya). Nah, si Budi tidak bekerja, dan tidak punya uang sama sekali untuk melunasi hutangnya itu. Padahal sudah jatuh tempo. Di lain pihak, Joni juga lagi butuh uang, dan uang tercepat yang bisa didapatnya adalah dari pembayaran hutangnya Budi.

Maka jadilah kedua orang ini berdoa, karena sudah bingung mau bagaimana lagi. Si Joni berdoa supaya Budi sadar dan cepat bayar hutang, karena dia sama sekali tidak enak kalau harus menagih. Sementara Budi berdoa supaya Joni lupa atau tidak keberatan kalau memberi perpanjangan waktu, tapi dia juga tidak enak kalau harus minta perpanjangan waktu.

Menurut Anda, doa siapa yang akan dikabulkan?

Contoh lain...
Anda tentu pernah bepergian naik kendaraan kan? Pernah naik pesawat? Anda berdoa dulu sebelum lepas landas supaya Anda selamat?

Nah sekarang... apakah doa Anda akan menyelamatkan Anda ketika Allah sudah menentukan bahwa sekarang adalah saatnya Anda pulang (pulang ke rahmatullah maksudnya) ??
Maksud saya, kalau Anda mendengar berita tentang kecelakaan pesawat yang menewaskan semua penumpangnya, apakah menurut Anda tidak ada satupun dari penumpang pesawat itu yang berdoa memohon keselamatan sebelum mereka lepas landas?

Jadi... doa seperti apa yang dikabulkan?

Atau... benarkah bahwa doa-doa itu dikabulkan?
Pertanyaan aneh bukan?

Lucunya, pertanyaan aneh itu ternyata berpotensi untuk memunculkan jawaban-jawaban aneh juga.

Maksud saya, bisa saja bahwa sebenarnya Allah tidak memberi pengabulan atas doa.
Yang diberikan adalah... HIKMAH.

Nah loh... apa pula maksud racauan si Awan ini??


Hikmah adalah pemaknaan kita atas kuasa takdir bukan? Jadi misalnya ada kejadian yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan Anda, suatu saat Anda biasanya akan bisa berkata... "ternyata semua itu ada hikmahnya". Bukankah begitu?

Tentu saja, karena manusia bisa berkehendak sesuka hatinya, tapi toh akhirnya kehendak Allah saja yang terjadi kan? Yang tersisa dari kita hanyalah bagaimana kita mengambil hikmah dari itu. Toh kita tidak perlu khawatir karena Allah saja yang maha mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Kita tau apa? Sejujurnya, kita memang tidak tau apa-apa.


Saya rasa, itulah mengapa doa yang sering diajarkan ke kita adalah "agar kita diberi yang terbaik" oleh Allah. Dengan kata lain, kita serahkan semua pada Allah, dan berharap agar Allah memberi yang terbaik untuk kita.
Tapi toh doa ini menurut saya tetap absurd. Mengapa? Karena menurut Anda, pernahkah Allah memberi kita sesuatu yang bukan terbaik untuk kita? Apa? coba sebutkan satu dari diri Anda yang bukan terbaik untuk Anda! Apakah Anda pernah memintanya pada Allah atau tidak, saya insyaAllah yakin bahwa Anda memperoleh semua yang terbaik untuk Anda dari Allah.

Kalau Anda merasa tidak... saya rasa Anda hanya belum menemukan hikmah dibalik itu. Dengan kata lain, Anda belum berkata... "ternyata semua ada hikmahnya ya..."
Dan biasanya, itu hanya soal waktu. Kalaupun tidak, biasanya kitanya yang tidak mencari (hikmah) itu.

Jadi kesimpulannya apa?
Apakah doa itu tidak ada gunanya?
Atau doa seperti apa yang dikabulkan itu?
Apakah ada doa yang salah dan yang benar? Siapa yang menentukan kebenaran dan kesalahan dalam hal pembicaraan kita dengan Allah?

Dalam benak saya sekarang... gunanya doa tak lebih dari memberi kita ketenangan. Kepercayaan diri. Itu saja. Kalau doa Anda tidak memberi ketenangan pada diri Anda, baru saya rasa ada yang salah dengan itu. Dan biasanya, kesalahan itu ada pada ketidak-siapan kita untuk menghadapi kenyataan kalau memang bukan kehendak kita yang akan terjadi.

Apakah itu yang namanya "Ikhlas"?

Kalau ya... mungkin itulah keajaiban terbesar yang bisa diberikan Allah dalam hati setiap manusia. Mungkin sama nilainya dengan terbelahnya laut merah. Atau kalaupun dulu Allah berkehendak lain pada Nabi Musa AS dan ternyata Nabi Musa AS beserta ummatnya kembali tertangkap oleh Firaun, maka keikhlasan dalam hati sang nabi akan kejadian ini bisa jadi lebih ajaib dibanding terbelahnya laut merah itu.

Perkaranya, hanya Allah yang bisa menentukan kapan keikhlasan itu akan diberikan pada kita. Manusia hanya punya satu senjata potensial yang secara "default" sudah dimilikinya sejak lahir. Senjata itu mungkin adalah apa yang kita sebut dengan "sabar". Saya sebut potensial karena apakah senjata itu akan digunakan atau tidak tergantung pada keputusan pemiliknya.


Jadi, apakah postingan ini sedang menyuruh Anda untuk melupakan doa karena doa itu tidak ada gunanya?

Mmmmm.... bisa diartikan seperti itu....

Atau bisa juga Anda artikan lain.
Kalau kita konsisten meminta suatu keajaiban, maka doa adalah satu-satunya yang kita punya untuk berharap pada Allah. Tapi yang jelas saya hampir sudah melupakan doa-doa "konvensional". Ketika saya berdoa memohon sesuatu... sesuatu yang sangat saya inginkan sekalipun... saya sadar bahwa pada akhirnya kehendak Allah-lah yang akan terjadi (bahkan saya jadi bingung harus berdoa seperti apa kalau mau naik pesawat, toh kalau tiba saatnya saya mati, saya akan mati). Ketika saya memohon untuk diberikan yang terbaik, saya malah tertawa karena seolah tidak yakin bahwa Allah memang SELALU memberi yang terbaik, terlepas dari apakah kita memintanya atau tidak.

Maka doa-doa saya sekarang lebih seperti sebuah perbincangan. Ngobrol. Saya akan resisten kalau ada yang memberi tahu saya bahwa cara saya ini salah, dan bahwa setiap doa seharusnya selalu penuh dengan permohonan-permohonan. Mengapa harus ada yang mengajari saya bagaimana cara saya berhubungan dengan Allah saya?

Satu hal yang jelas... saya tetap seorang manusia...
Saya jelas bukan malaikat yang terbebas dari hasrat (semoga saya tidak lebih dekat pada sifat-sifat setan). Saya belum bisa lepas dari keinginan-keinginan akan keajaiban...

Sedemikian naifnya permintaan akan keajaiban itu, terkadang saya melupakan betapa besar keajaiban yang diberikan pada setiap desahan nafas, pada setiap helai rambut, pada setiap denyut jantung, pada tiap sel di tubuh saya, pada keajaiban siang dan malam, pada keajaiban alam, pada keajaiban takdir... Saya lupa.

Saya tetap meminta terbelahnya laut merah... dan mengesampingkan keajaiban dalam bentuk keikhlasan.

Saya tetap menatap nanar pada langit dan memohon Allah untuk menuntaskan segala kebimbangan, dan terkadang tak sabar ingin segera kembali pada segala kepastian di sisiNya...


Keajaiban...

Ya Allah... kuatkanlah kami...


Wallahu'alam bish-showab


NB : tulisan ini belum selesai... tapi sudah terlalu panjang... kita lanjutkan lain kali. semoga pembuka ini tidak mengarahkan pembaca pada persepsi yang "salah".

Sumber gambar dari id.wikipedia.org

Wednesday, September 26, 2007

Pecahkan Layar Kaca Anda !!!


Yah, sekali lagi mungkin postingan tentang dunia persinetronan kita ya…

Setelah sebelumnya saya mengupas (tidak tuntas) tentang kecenderungan tiru meniru tema yang (terlihat) sukses dalam belantika sinetron Indonesia, sekarang saya ingin sedikit membahas tentang... mutu.

Ya!

Mutu! Kualitas!

Dan sedikit tentang anggaran (anggaran bikin film) juga mungkin.

Darimana mulainya ya?

O iya, sebelumnya tanya dulu, apakah Anda suka menonton sinetron-sinetron yang bermunculan di layar kaca Anda sekarang-sekarang ini? Sinetron apa kalau boleh tau?

Apakah bertema… cinta? (lebih tepatnya mungkin “keinginan bercinta yang utopis”)

Apakah para pemerannya nampak berumur dibawah 40 tahun? (bisa jadi seorang aktris yang berperan sebagai seorang ibu sebenarnya lebih muda dari aktris yang berperan sebagai anaknya… atau minimal hampir seumuran lah)

Apakah semua pemerannya (apabila diukur dengan standar pasca globalisasi) cantik-cantik dan ganteng-ganteng? “Indo” mungkin?

Apakah tidak ada cerita lain diluar cerita cintanya? Misalnya, apakah tidak ada cerita bagaimana mereka bekerja untuk mendapatkan uang guna membiayai gaya hidupnya? Kalau ada lakon yang ceritanya kaya, apakah tidak ada yang menceritakan apa tepatnya yang mereka kerjakan sehingga bisa dilimpahi kekayaan seperti itu?

Dan yang paling penting… Apakah ceritanya bertele-tele tapi akhirnya bisa ditebak dan mirip-mirip dengan puluhan sinetron yang pernah Anda tonton sebelumnya (walaupun ditambah sedikit variasi di sana-sini)?

Kalau semua pertanyaan itu anda jawab “YA”, maka sepertinya kita bisa bersepakat bahwa dunia sinetron memang hampir pasti mentok pada patron itu. Kalaupun ada satu atau dua sinetron yang tidak mengikuti patron itu, atau bahkan mungkin bertentangan sama sekali, ya sepertinya sifatnya hanya sempalan. Minoritas.

Tentu saja, ini bisa tidak berlaku kalau kita membicarakan sinetron-sinetron dengan genre komedi situasi (semacam Bajaj Bajuri, OB, dan lain sebagainya).

Dalam perkembangannya, kemudian muncul juga sinetron-sinetron yang mengaku Sinetron (sok) Religi(us). Meskipun pada awalnya bisa dibilang sebagai sebuah terobosan ”dakwah”, akan tetapi ujung-ujungnya miris juga kalau ”dakwah” itu kemudian dicitrakan dengan mayat berbelatung, dimakan ular, berdarah-darah, atau ditolak oleh bumi (tidak bisa dikubur). Setelah kurang lebih 2 tahun berjaya, sinetron semacam ini sepertinya mulai membuat mual...

Perkembangan terakhir bisa dibilang lebih membuat mual lagi.

Semenjak adanya kebijakan penyiaran yang mewajibkan stasiun-stasiun televisi untuk memperbanyak proporsi siaran produksi dalam negeri (lokal), sepertinya acara-acara dan sinetron “gak penting” mulai merajalela. Kita sepertinya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan stasiun-stasiun televisi mengenai kecenderungan ini. Mengapa? Karena sepertinya wajar kalau dari segi hitung-hitungan bisnis mereka memprioritaskan membuat sendiri tayangan-tayangan itu dengan anggaran seminim mungkin. Yang penting ada yang nonton, dan ada slot untuk pasang iklan.

Ditambah lagi, mungkin terkait juga dengan tingginya tingkat pengangguran di kalangan muda-mudi kita, tayangan ini membuat banyak sekali lapangan kerja di sektor profesi “selebritas”. Maksudnya, kalau anda muda, menarik (cantik/ganteng, lebih bagus lagi kalau indo), dan percaya diri, daripada mengantri untuk melamar kerja, lebih baik meniti karir sebagai pendatang baru dalam belantika artis Indonesia. Karena tayangan sinetron murah meriah membutuhkan pendatang-pendatang baru yang masih mau dibayar murah meriah juga. Lumayan toh untuk pengentasan pengangguran? Jangan khawatir mengenai kualitas akting. Cukup seadanya. Yang penting, diluar film yang Anda bintangi, Anda cukup laku untuk dijadikan bahan gosip di acara-acara ”infotainment”. Dijadikan bahan gosip dalam acara-acara infotainment adalah pengukuhan Anda sebagai seorang selebritas. Selain itu, semakin populer Anda, semakin besar nilai jual Anda untuk meminta honor lebih kalau ditawari main sinetron atau iklan lagi. Kualitas akting? Siapa peduli? Toh dengan saking banyaknya artis-artis baru dewasa ini, cukup kecil kemungkinan nama Anda akan diingat oleh masyarakat. Jangankan nama, tampang saja sebenarnya mirip-mirip.

Maka lengkaplah sudah semua persyaratan untuk memunculkan sinetron-sinetron atau film singkat dengan cerita alakadarnya.

Mengenai tema, toh seorang produser bisa mengambil novel-novel remaja yang baru terbit. Kalau tidak, ambil saja tema dari sinetron luar negeri. Mau yang lebih mudah, ikuti saja patron yang ada. Yang penting filmnya jadi. Kalau tidak, ambil saja cerita-cerita rakyat lokal maupun luar negeri.

Mengenai anggaran, agak luar biasa melihat kreatifitas para pembuat film untuk melakukan penghematan. Untuk cerita-cerita rakyat zaman dahulu misalnya, jangan khawatir mengenai anggaran membuat setting zaman belanda atau zaman kerajaan Majapahit dulu. Bahkan Sangkuriang dan legenda tangkuban perahunya saja sah untuk digambarkan memakai celana jeans, mobil keluaran terbaru, dan telepon selular. Siapa yang mau protes?

Padahal agak aneh juga melihat orang-orang dengan telepon selular masih minta dibuatkan candi sebagai syarat menikah, atau dibuatkan danau beserta perahunya dalam satu malam, lalu masih tertipu dengan suara kokok ayam yang menandakan datangnya fajar. Satu-satunya yang terlihat wajar justru adalah bangsa jin dan segalam macam makhluk halus yang membantu pembuatan candi atau danau itu. Mereka masih tampil konvensional dengan bertelanjang dada dan bercelana kain tanpa sepatu, lengkap dengan tampang seramnya. Diluar itu, hampir tidak ada yang wajar.

Untuk mereka yang berprasangka baik, tentu ini akan disebut sebagai sebuah kreatifitas dan usaha yang baik untuk “membumikan” kisah-kisah lama dalam konteks kekinian. Akan tetapi, untuk orang seperti saya yang terlahir dengan bakat sinisme yang agak parah (sengaja saya pakai kata “sinisme” karena “prasangka buruk” itu katanya tidak boleh), sepertinya ini sekedar upaya agar dapat memproduksi tayangan dengan cepat dan murah.

Mengenai efek visual, jangan berharap menyaksikan efek visual semacam film Transformers yang beberapa waktu lalu merambah bioskop-bioskop kita. Cukup dengan animasi komputer sederhana yang masih tampak kasar dan tidak menyatu dengan latar belakangnya, efek visual di layar kaca kita ternyata sudah dinilai baik.

Saya ingat beberapa hari lalu terpaksa menemani ibu saya menonton sinetron singkat “Legenda Pelabuhan Ratu”. Cukup menarik menyaksikan bagaimana film itu menggambarkan kepanikan ketika air laut menjelma menjadi tsunami yang menenggelamkan sebuah desa di lokasi yang sekarang disebut Pelabuhan Ratu. Cukup dengan menyuruh beberapa orang berlari-lari tidak karuan sambil teriak-teriak (walaupun masih tampak beberapa orang tersenyum karena tidak tahu harus lari kemana) dan efek ”menggoyang-goyang kamera ke kiri-kanan-atas-bawah”, nuansa kepanikan itu dianggap paripurna. Adapun tsunami digambarkan dengan gambar ombak yang di-crop lalu ditaruh diatas orang-orang yang berlari-lari itu. Luar biasa aneh.

Kemudian dimunculkan gambar rumah-rumahan yang terbuat dari karton lalu disiram air dengan teknik yang terlihat seperti sekedar menyeborkan air dengan menggunakan gayung. Persis mirip dengan film Ultraman di awal tahun 80-an (tahu Ultraman kan?). Benar-benar low-budget bukan?


Lantas bagaimana dengan dunia layar lebar?

Lagi trend horor-horor lucu ya?

Sekitar setengah tahun yang lalu saya pernah bertanya-tanya, bagaimana kalau semua setan dan makhluk halus sudah habis “digarap” oleh dunia perfilman kita. Dan sekarang saya tahu jawabannya… MEREKA MEMBUAT SEKUEL!!!

Pocong 2, kuntilanak 2, jelangkung 3, dan lain sebagainya. Kalau bukan sekuel, ya makhluk yang sama dieksploitasi di film lain. Sejauh ini, sepertinya Kuntilanak dan suster ngesot yang paling laris.

Yaaah… saya rasa inilah periode dimana tayangan-tayangan gak penting merajalela di layar kaca kita. Dan bintang-bintang muda dengan penampakan serupa membuat pusing masyarakat yang masih mencoba-coba mengingat nama-nama mereka.

Mari kita nikmati bersama saja ya…



Keterangan :

Gambar diambil dari www.tpi.tv, www.10kbullets.com, dan www.sinema-indonesia.com

Sekali lagi tanpa izin... maaf ya...

Monday, August 13, 2007

Pindah Ruangan

Wah... lebih dari sebulan blog ini ga keurus ya...

Ada yang penasaran menunggu update-nya?
Demi ego saya yang tengah memuncak ini, tolonglah, setidaknya satu orang saja, tolong katakan “YA” (haiyah! dibuka dengan narsisme yang kambuh).

Oke, yang tadi sama sekali tidak penting.

Yah, beberapa bulan terakhir ini saya kebetulan memang disibukkan oleh berbagai perjalanan dinas. Yang terakhir (yang membuat blog ini lama tidak terurus), adalah ke Bandung, Palembang, Samarinda (2 kali), dan Kendari. Yaaah, tapi, ini sekedar alasan saja sih. Alasan “malas” sebenarnya cukup dominan juga =D

Alasan lain (yang akan menjadi topik tulisan kali ini), adalah tergusurnya saya dari ruangan kantor yang telah saya tempati selama lebih dari 2 tahun terakhir ini. Sekretariat ILGR. Karena alasan yang kalau saya kemukakan disini juga sepertinya akan sulit dimengerti, ruangan itu memang dibongkar dan karenanya para penghuninya (termasuk saya) harus pindah ke tempat lain. Akhirnya saya tahu juga rasanya jadi korban penggusuran.

Nah, dalam pemindahan itulah, sampai sekarang saya belum menemukan tempat yang tetap untuk meletakkan komputer kerja saya. Jangankan tempat menaruh komputer, meja pun masih belum jelas dimana.

Selama beberapa hari (atau minggu) setelah penggusuran itu, saya tahu bahwa kondisi emosional saya akan sedikit terganggu. Lha? Mengapa?

Teman-teman yang telah mengenal saya dengan cukup baik sebelumnya mungkin akan mengetahui salah satu keanehan dalam diri saya ini. Saya orang yang cukup sentimentil dengan dimensi ruang. Dengan kata lain, sentimentil dengan “tempat”.

Maksudnya bagaimana?

Maksud saya, seandainya saya ke Bandung dan mengunjungi kampus lalu melewati Gerbang Ganesha misalnya, maka tanpa dapat dicegah, ingatan saya akan mengenang kapan pertama kali saya memasuki gerbang ini, kapan terakhir kali saya keluar dari gerbang ini dengan status “mahasiswa”, peristiwa-peristiwa apa saja yang pernah saya lalui disini, dan sebagainya. Selain gerbang ganesha, tempat lain yang akan menimbulkan kesan sentimentil itu mungkin adalah ruang himpunan mahasiswa, gedung campus center (yang dulu masih bernama student center dan menjadi tempat kos kedua saya di Bandung), lapangan basket, dan sebagainya. Jangankan ruangan-ruangan itu, bahkan pohon besar yang berdiri tegak di depan gerbang timur Mesjid Salman saja masih membuat saya tersenyum setiap kali melewatinya (jangan tanya memori apa yang pernah terjadi di bawah pohon itu ya! =P ).

Aneh kan? Tapi memang begitulah adanya.

Apakah Anda juga begitu? Maksud saya, apakah ketika Anda memasuki sebuah tempat baru, Anda berjalan dengan lambat dan memasukkan semua aspek dalam dimensi ruang itu kedalam memori anda? Dan ketika meninggalkan tempat itu, apakah Anda juga meninggalkan sebagian emosi Anda didalamnya?

Begitulah yang terjadi dengan ruang ILGR yang tadi kita singgung di awal tulisan ini.

Bagi sebagian orang, pindah ruangan kerja mungkin menjadi sesuatu yang jamak. Bagi saya juga. Tapi emosi dan memori yang menyertainya bukan sesuatu yang mudah untuk dijinakkan.

Masih teringat dengan jelas, ketika saya memasuki ruangan itu untuk pertama kali, saya langsung memilih tempat didepan pintu kaca yang bisa dibuka, agar saya bisa mendapat udara segar kapanpun saya butuhkan. Yang duduk di sebelah kiri saya adalah Amel, meja di depan saya ditempati oleh Deyla dan Eji. Meja di sebelah kanan saya ditempati oleh Mas Mahendra, di sebelah kanannya lagi ditempati Mas Perdana, dan di pojok paling kanan di tempati oleh Pak Aris. Mas Hasan biasa memakai komputer yang berada di tengah ruangan, walau hanya sesekali.

Satu bulan setelah saya masuk, Pak Aris keluar karena berselisih dengan atasan. Ia digantikan oleh Mas Tauhid, meskipun sangat jarang beliau masuk kantor dan lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya di tempat lain. Mas Perdana dan Mahendra kemudian juga ditempatkan di sekretariat lain, dan hanya sesekali datang ke ruangan. Kemudian, masuklah Petty, menempati komputer yang sebelumnya biasa digunakan Mas Hasan. Mas Hasan mengungsi ke tempat yang ditinggalkan Pak Aris.

Tak lama kemudian, Eji dan Amel juga pergi karena masa Kerja Praktek mereka sudah berakhir. Petty kemudian menempati meja yang ditinggalkan Amel, di sebelah kiri saya. Maka praktis yang tinggal di ruangan tinggal berempat (Saya, Petty, Deyla, dan Mas Hasan). Setengah tahun kemudian, Deyla pergi karena mendapat kerja di tempat lain. Ia digantikan oleh Nissa, yang tiga bulan setelah itu keluar karena menjadi PNS di tempat lain. Nissa digantikan oleh Griya, yang juga hanya bertahan tiga bulan, kemudian pergi karena menerima tawaran kerja dari tempat lain. Petty kemudian juga berpindah ruangan, walaupun masih di gedung yang sama. Griya digantikan oleh Ika, dan tak lama setelah itu, masuk orang baru bernama Mas Kholid yang menempati tempat yang dulu ditinggalkan oleh Mas Perdana. Tak lama kemudian, masuklah Ervin yang menggantikan Petty. Meski begitu, Ervin hanya bertahan kira-kira 3 bulan di ruangan itu, kemudian dipindahkan ke tempat lain, meski masih sering bulak-balik ke ruangan kalau ada keperluan.

Setelah itu, masuklah Mbak A’yun, ketika itu dalam status magang, dan menempati tempat di sebelah kanan saya yang dulu ditempati Mas Mahendra. Penghuni ruangan mulai mapan lagi (Ika, Kholid, A’yun, Mas Hasan, dan saya). Kemudian, masuklah Imas, menempati meja di tengah. Setelah itu, masuklah Nissa (Nissa yang lain lagi dengan Nissa yang pertama), menempati meja yang dulu ditempati Eji. Nissa hanya bertahan 2 bulan, kemudian keluar karena menerima tawaran di tempat lain, dan digantikan oleh Dwi.

Maka, itulah dia formasi terakhir ruangan ILGR! (Ika, Dwi, Imas, A’yun, Kholid, Mas Hasan, saya sendiri, dan ditambah Pak Ucen yang masuk kantor 2-3 kali seminggu). Saya yakin, 4 paragraf terakhir terasa membosankan bagi Anda semua, karena Anda TIDAK TAHU SAMA SEKALI SIAPA ATAU APA YANG SAYA OMONGKAN =)). Maaf ya =P.

Tapi, kalau Anda mungkin sedikit memperhatikan 4 paragraf itu, akan Anda temukan bahwa saya dan Mas Hasan adalah 2 orang yang sejak saya pertama kali masuk ruangan itu (2 tahun yang lalu) MASIH TETAP =D. Yang lain sudah datang dan pergi semua. Fiuuh... kenyataan yang aneh kalau mengingat bahwa sejak awal sebenarnya saya tidak berniat untuk berlama-lama di instansi ini.

Dan, karena keanehan yang tidak terjelaskan seperti yang saya utarakan di awal tadi, beberapa hari setelah penggusuran, saya masih membawa-bawa kunci ruangan ILGR di saku celana saya, karena reflek setiap pagi untuk menyambar HP, dompet, dan kunci ruangan ketika akan meninggalkan rumah ke tempat kerja masih belum berubah. Demikian juga, bahkan sampai sekarang ini, setiap kali melihat puing-puing ruangan ILGR yang sudah rata dengan tanah, saya seolah masih melihat dengan jelas apa-apa yang dulu pernah ada disana. Semua komputer, meja kursi, semua permainan kartu, canda tawa, diskusi, tangis (lha? Tangis?), kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, perenungan, dan semua emosi yang pernah terlepas disana.

Bukan hanya pada ruangan ILGR saja. Semua tempat lain yang pernah saya kunjungi pun akan mendapat perlakuan sama. Seolah, semua memori dan emosi yang pernah tertumpah di satu tempat selalu menyapa saya ketika kembali ke tempat itu. Dan ketika itu terjadi, maka langkah saya akan melambat, mata saya akan terpejam untuk beberapa saat, dan menunggu angin membisikkan beberapa patah kata di telinga saya : “selamat datang kembali”.

Thursday, July 05, 2007

Tak Tertebus...

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono)


Aaaah... wahai Sapardi Djoko Damono, sampai sekarang belum berkurang kesukaan saya terhadap puisi Anda ini.

Mungkin karena kita berdua begitu mencintai dunia mimpi? Dunia angan-angan yang jauh menembus khayalan.

Seandainya Anda tahu,

Bagi saya, bahkan ternyata sebuah “kesederhanaan” itu kadang begitu mahal.

Kadang tak tertebus...


Keterangan : Gambar diambil dari (maaf ga minta izin dulu) www.ithb.ac.id/images/anyer/anyer_unggun1.jpg

Thursday, June 21, 2007

Kegelapan Itu Indah...

wah... sebulan sudah ternyata blog ini tidak di-update...

Ada apa aja yang terjadi? Apa kabar semuanya?

Basa-basi sepertinya ya...

Oke, kita lewat saja.

Yah, beberapa kejadian kurang menyenangkan terjadi pada saya beberapa waktu terakhir ini (selain kejadian-kejadian yang patut disyukuri tentunya). Kejadian menyebalkan terakhir tentunya adalah kalahnya FC Barcelona dalam perebutan gelar juara La-Liga Spanyol tahun ini. Dan tentu saja, sebagai penggemar Barcelona, sy menjadi pembenci Real Madrid.
Dalam diskusi terakhir dengan salah seorang teman, sy katakan bahwa kalaupun Real Madrid sedang bertanding melawan Persekabpas Pasuruan sekalipun, saya akan mendukung Persekabpas!

Tidak logis? Tidak realistis? Saya tidak peduli...

Gara-gara sistem head-to-head brengsek di La-Liga, maka meskipun Barcelona mengakhiri musim dengan perolehan nilai yang sama dengan Real Madrid, menang selisih gol, ditambah predikat sebagai tim yang paling produktif membobol gawang lawan, plus paling sedikit kebobolan, dan tidak terkalahkan di kandang, tapi tetap saja Madrid juaranya.

Yaah... tapi tentu kita juga harus berbesar hati mengakui tekad anak2 Madrid yang sangat besar untuk mengakhiri paceklik gelar selama 3 musim sebelumnya, telah berperan besar dalam mendorong mereka menjadi juara. Selamat buat Madriditas! semoga musim depan kita bersaing seru lagi =D

Postingan ini cuma buat ngomongin beginian?
Tentu tidak...
Teman-teman yang sudah sering mampir kesini tentu tau kalau saya suka ngelantur di awal postingan kan? =D

Menerima kekalahan...
Kadang kita suka bertanya, mengapa bisa kalah?
Kadang kita bertanya, mengapa ada kejahatan, sementara Allah dapat membuat semuanya terlihat indah di mata kita?
mengapa ada penderitaan? mengapa ada kesedihan?
mengapa ada neraka kalau semua orang bisa diciptakan untuk masuk surga?
mengapa ada kegelapan kalau semua bisa diciptakan dalam terang benderang?

Pertanyaan-pertanyaan ini tak pelak adalah yang paling sering muncul dalam benak saya dan dalam diskusi-diskusi dengan beberapa teman.

Dalam sebuah malam di Ciburial (Bandung Utara), jawaban seolah muncul dengan samar...

Lampu-lampu kota begitu gemerlap, saling bersaing untuk mengedip, membuat pemandangan malam dari dataran tinggi begitu indah, ditambah bintang-bintang yang mengintip dari atas langit yang cerah.

Apakah Anda suka melihat lampu kota? Bintang?

Semakin saya lihat, sepertinya yang saya suka bukan lampunya. Bukan hanya bintangnya.

Pernahkah kita bertanya, mengapa lampu kota dan bintang-bintang terlihat indah?

Bukankah karena kegelapan yang menyelimutinya?
Kan kalau tidak ada gelap, yang terang tidak akan terlihat indah?
Lantas mengapa kita hanya memuji lampu dan bintang, tapi lupa mensyukuri adanya kegelapan?

Bagi saya... kegelapan itu indah.

Apakah analogi ini bisa digunakan untuk pertanyaan-pertanyaan lain dalam hidup?

Keterangan :
Foto dari (maaf ga minta izin dulu) : www.physics.ohio-state.edu

Thursday, May 24, 2007

Belum Pantas Berkata "Lelah"

Coldplay
"Fix You"

When you try your best but you don't succeed

When you get what you want but not what you need

When you feel so tired but you can't sleep

Stuck in reverse

And the tears come streaming down your face

When you lose something you can't replace

When you love someone but it goes to waste

could it be worse?

Lights will guide you home

and ignite your bones

And I will try to fix

you High up above or down below

when you're too in love to let it go

but If you never try you'll never know

Just what your worth

Lights will guide you home

and ignite your bones

And I will try to fix you

Tears streaming down your face

When you lose something you cannot replace

Tears streaming down your face and I

Tears streaming down your face

I promise you I will learn from my mistakes Tears

stream down your face and I

Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you

(Lyrics taken from www.lyricsmania.com)

Aaah... lagu yang liriknya cukup menenangkan.

Dan lagu ini pula yang menandai pergantian judul blog ini dari “sebuah pencarian akan makna” dengan tagline “sebuah tempat pencarian makna kehidupan, tak lebih selain untuk diri sendiri” menjadi salah satu penggalan liriknya. Yang saya pilih adalah “lights will guide you home”. Sebenarnya saya ingin mempertahankan taglinenya, tapi karena diprotes oleh saudari Warastuti terkait masalah hak cipta, maka saya diharuskan untuk memajang nama Coldplay berikut judul lagu tersebut. Tawaran saya untuk menempatkannya di sidebar ditolak mentah-mentah.

Kembali ke topik... (kalau memang postingan ini ada topiknya)

Apa yang terjadi di blog ini, tidak bisa dipungkiri, terkadang mencerminkan kondisi psikis penulisnya (dalam hal ini : ya saya). Apakah lantas hal ini berarti bahwa saya telah “berhenti” mencari makna?

Tentu tidak!

Perkaranya adalah, saya mencoba merenungkan kembali, apa tujuan dari pencarian itu. Dan sepertinya, tujuan pencarian dari setiap pencari adalah... pulang. Ya! Pulang. Pulang ke tempat dimana sebuah jiwa merasa tenang dan ada di “rumah”. Rumah itu mungkin lebih tepat diartikan sebagai sebuah “kondisi”, sebuah “keadaan”. Bukan sekedar sebuah tempat.

Dan kemanakah setiap jiwa ingin menuju kalau bukan ke Tuhannya? Allah SWT...

Sebelumnya, topik ini sudah pernah saya ulas dalam tulisan “Secangkir Kopi Hangat”, dan dalam tulisan itu diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya sang jiwa memang tidak pernah terpisah dari Allah. Satu-satunya hal yang seolah menjauhkan adalah... dunia. Atau dengan kata lain, kehidupan itu sendiri.

Lalu mengapa saya tertarik dengan kalimat “lights will guide you home”??

Alkisah suatu malam, saya naik kereta ekonomi terakhir dari Jakarta, jam 9 malam. Sesampainya di Stasiun Bogor, di sebelah saya berjalan seorang pengamen buta bersama istrinya (yang juga buta). Mereka berjalan di samping saya menuju tempat Angkot (angkutan kota). Tanpa ada yang menunjukkan jalan, mereka melangkah dengan pasti. Begini kira-kira percakapan yang terjadi antara kami :

Saya : “Mau kemana pak?”

Pengemis buta : “pulang dik”

Saya : “Ooo... naik angkot?”

Pengemis buta : “iya, naik angkot disana (sambil menunjuk ke depan)”

Saya : “Maaf pak, bagaimana bapak tahu arah yang benar itu lurus kesana? (sambil berharap semoga dia tidak tersinggung)”

Pengemis buta : “saya ga buta total dik. Masih bisa kerasa kalau ada cahaya. Saya ikuti cahaya lampu jalan saja”

(Dengan dipandu lampu jalan, mereka berdua pada akhirnya bisa mencapai tempat angkot)

Saya pikir, kehidupan pencarian seseorang juga begitu. Jiwa kita tidak sepenuhnya buta dalam melihat tujuan pulangnya. Allah telah memberi kita panduan untuk bisa menyelami makna kehidupan. Dan dalam setiap makna hidup yang kita selami, kita seolah melihat cahaya. Cahaya ilahi. Inilah yang akan memandu kita pulang.

Bukankah begitu?

Selain alasan filosofis tadi, lagu Coldplay yang satu ini juga sepertinya begitu mengena pada kondisi saya sekarang ini. Kelelahan fisik maupun psikis sepertinya sedang menghampiri saya. Satu dan lain peristiwa yang datang membuat saya seperti kehilangan orientasi hidup.

Salah seorang kakak saya waktu di kampus, Teguh Prasetya, akan mendefinisikan kondisi ini sebagai “disorientasi visi” (apapun artinya itu). Tapi saya dan sahabat saya, Arifin, lebih suka menyebutnya sebagai “lagi dapet”.

Masalah pekerjaan di kantor?

Yaa, mungkin itu salah satunya.

Masih teringat peristiwa di awal tahun dimana saya memiliki begitu banyak target finansial yang saya pikir perlu saya perjuangkan. Dari situ, saya terang-terangan di depan seluruh atasan saya “meminta pekerjaan lebih banyak”. Dan pada akhirnya saya memang diberi bobot pekerjaan yang bisa dibilang saat ini 3 kali lipat pekerjaan tahun lalu (karena saat ini memang saya harus memegang 3 project sekaligus).

Kalau akhirnya pada saat ini saya dilanda kesibukan pekerjaan (walaupun masih sempat posting panjang-panjang gini sebagai penangkal stress), saya tidak pernah menyesalinya. Karena memang inilah resiko yang sejak awal saya sadari harus saya tanggung.

Yang menyedihkan adalah ketika alasan saya melakukannya itu yang berguguran satu persatu... Maka jadilah saya kehilangan motivasi dan semangat dalam bekerja. Mengapa? Karena kekhawatiran bahwa semua ini menjadi sia-sia terus menghantui.

Masalah asmara? (halaaaaah... kamana atuh asmara????)

Bisa jadi... Bisa jadi juga sekedar pembenaran.

Seorang sahabat saya yang lain, Novasyurahati, menawarkan sebentuk terapi sederhana. Dia sarankan untuk melihat cermin setiap pagi, lalu sebisa mungkin tersenyum dengan ikhlas. Gagal! Entah kenapa, setiap saya melihat cermin, yang saya lihat adalah bayangan seseorang yang murung dan seolah berkata pada saya : “hadapilah wan, hidup lu cuma lelucon, dan semua orang tertawa kecuali lu sendiri”.

Sampai akhirnya... yah, perenungan pasca perbincangan dengan pengemis buta itu menyadarkan saya kembali.

Saya sadari bahwa tidak ada sesuatupun di dunia ini yang terjadi dengan sia-sia. Allah maha mengatur hamba-hambaNya.

Saya menata kembali impian dan cita-cita saya. 30 tahun? 20 tahun? Berapapun lamanya impian dan cita-cita itu akan tercapai, saya sadari bahwa semua itu harus dilalui tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik.

Maka bukankah kesulitan, kesibukan, atau masalah yang kita alami detik ini hanya sebuah langkah kecil yang dilalui dalam perjalanan pulang kita? Tidaklah pantas untuk berputus asa karena satu perkara, sementara perkara itu hanya satu bagian kecil dari keseluruhan hidup kita.

Saya sadari bahwa selama ini saya memang salah dalam memandang hidup. Terlalu pendek pikiran saya. Masalah apa? Pekerjaan? Jodoh? Keuangan?

Semua hanya masalah dunia. Masalah yang ada dalam dunia mimpi yang belum tentu juga nyata. Saya dipaksa belajar bahwa semua masalah sebenarnya hanya ada dalam pikiran kita.

Masalah cinta dan jodoh misalnya. Saya selalu merasa bahwa selama ini umat manusia terlalu di-ninabobo-kan oleh impian keindahan cinta antar manusia. Padahal yang dibutuhkan hanya niat dan komitmen dalam menjalani hidup bersama. Itu saja. Tapi memang bukan perkara gampang menjaga komitmen pada seseorang apabila setiap hari kita melihat wanita yang lebih cantik atau pria yang lebih tampan misalnya =)) Tapi toh itu masalah yang dangkal. Yang lebih sulit mungkin bagaimana menjaga konsistensi.

Saya dipaksa belajar bahwa keinginan-keinginan bercinta yang utopis antar manusia semacam ini sebenarnya tidak perlu diambil pusing (seperti yang dicontohkan dalam sinetron-sinetron dan film-film picisan untuk remaja). Saya punya cita-cita dan impian yang jauh lebih besar dari itu semua. Toh kalau waktunya sudah tiba, Allah sendiri yang akan menunjukkan jalan. Kewajiban kita hanya berusaha.

Untuk semua masalah lain, toh kita punya Allah yang jauh lebih besar dari semua masalah itu. Bagaimanapun, Allah juga yang kita tuju bukan? Toh hidup kita bukan untuk sekedar menghadapi masalah demi masalah yang datang. Yang jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana pemaknaan terhadap masalah itu dapat mendekatkan kita pada Allah.

Maka saat ini, saya rasa segala masalah yang saya hadapi bukanlah sesuatu yang akan membuat saya terkapar. Tidak! Allah memberi saya kekuatan untuk berdiri. Allah memberi saya kekuatan untuk terus berjalan. Maka saya akan berdiri, dan saya akan terus berjalan. Semua masalah bisa datang dan pergi kalau mereka mau. Semua orang bisa menemani dan meninggalkan saya sesuka mereka. Karena ketika lahir, saya berada sendirian dalam rahim ibu saya, dan ketika mati nanti, saya juga akan sendirian dalam kubur saya. Tidak ada orang lain. Hanya Allah dan jiwa kita saja.

Lantas mengapa lanturan ini keluar disini?

Maaf saudara-saudara pembaca yang budiman. Ini hanya salah satu cara saya untuk memotivasi diri sendiri. Walau bagaimanapun, hanya ada 2 yang lebih sabar dari manusia dalam mendengarkan sebuah cerita. Allah... dan kertas. Ya, kertas memang lebih sabar dari manusia, dalam mendengarkan cerita-cerita seperti ini. Karena telinga dan mata manusia cepat lelah, lalu otak manusia cepat bosan.

Seorang teman saya yang lain bertanya, lantas apa yang saya butuhkan saat ini?

Saya rasa....

Saya butuh sendiri. Saya merindukan angin malam mendengarkan senandung rindu saya, saya merindukan tidur berselimutkan kabut dan dihangatkan oleh bara api unggun, saya merindukan mentari pagi bersinar ditemani tetes embun di dedaunan, saya rindu melihat bintang-bintang gemerlapan, saya tepekur di bawahnya. Saya rindu gunung. Saya rindu laut. Saya rindu kesendirian bersama Allah, bersama dalam alam yang telah diciptakanNya. Saya selalu merasa, semua kesedihan hanya dapat hilang ketika kita sendiri bersama Allah, dan ditemani oleh keagungan ciptaanNya.

Tapi toh saya sadari, Allah tak pernah meninggalkan kita.

Ketika saya membutuhkan rezeki lebih, Allah menguatkan saya untuk bekerja lebih keras. Ketika saya membutuhkan cinta, Allah memberi saya orang-orang yang berkesusahan untuk saya cintai. Ketika saya membutuhkan kekuatan untuk terus berjalan, Allah mempertemukan saya dengan pengemis buta yang berjalan di samping saya, dan berkata bahwa cahaya akan membimbing saya pulang.

Demi semua impian, demi semua cita-cita, demi pencarian yang tak kunjung habis, demi semua langkah jiwa untuk pulang padaNya, saya belum pantas berkata lelah. Dan tidak akan pernah pantas untuk lelah, kecuali kalau perjalanan saya sudah berakhir dalam dekapanNya.

Maka, melalui sebuah uraian nan panjang dan ngelantur kemana-mana ini... saya resmikan perubahan judul blog saya ini...

“Lights will guide you home...”

Selamat menikmati =)

Tuesday, May 15, 2007

Pertanyaan Bodoh

Langsung pada intinya aja ya... (tumben-tumbenan saya begini)

Berikut beberapa kisah mengenai pertanyaan bodoh...


Mana yang Lebih Rugi?

Beberapa waktu yang lalu, saya masih jarang naik kereta ekspres (sekarang dah mulai sering tidak disiplin dalam hal pengeluaran), sehingga saya tidak tahu kalau harga tiket kereta bogor ekspres itu sama rata, meskipun penumpang itu turun di Depok maupun Bojonggede. 11 ribu rupiah. Pada suatu malam di Stasiun Sudirman, saya bertemu seorang teman yang rumahnya di Depok. O iya, sekedar info, kereta bogor ekspres yang dari Tanah Abang sebelum sampai Bogor akan berhenti dulu di Depok dan Bojonggede.

TSYRDD (Teman Saya Yang Rumahnya Di Depok) : Hei Wan, naik kereta juga?

ADA (Awan Diga Aristo) : Iya Pak. Sekali-sekali naik ekspres =D

TSYRDD : Oooh, sekali-sekali... pantes jarang liat. Turun dimana?

ADA : Bogor Pak. Bapak turun dimana?

TSYRDD : Depok.

ADA : (kehabisan bahan obrolan) Ooooo... emang kalo Depok harga tiketnya berapa pak?

TSYRDD : Sama. 11 ribu. Kan tiketnya sama sama punya kamu.

ADA : (baru tahu kenyataan ini) Ah, masa sih pak? Kalo gitu rugi dong yang turun di Depok dan Bojong? Bayarnya sama kaya ke Bogor.

TSYRDD : (diam sebentar) Ya tapi kalo saya ikut dulu ke Bogor terus baru balik lagi ke Depok, lebih rugi lagi kan?

ADA : (diam karena merasa telah mengajukan pertanyaan bodoh)


Penyebab Kematian

Kereta ekonomi melintasi Stasiun Pasar Minggu, ketika terdengar teriakan histeris orang-orang di peron stasiun.

OODS (Orang-orang di Stasiun) : Mati tuh!! Mati kayanya!! Kasian banget!! Tolongin pak!!

OODGK (Orang-orang di Gerbong Kereta) : (melongok-longok ke jendela dan pintu) Ada yang mati ya?? Ckckckck... kasian amat....

ADA (Awan Diga Aristo) : Ada kecelakaan pak? Meninggalnya kenapa?

GTS,KOAND (Ga Tau Siapa, Kayanya Orang Asal Nyeletuk Doang) : Ajalnya dateng kayanya.

ADA : (Sialan! Gw jg tau itu mah.... lantas ngapain saya tanya yah?)


Namanya Juga Dagang

Sendal saya di Bandung hilang. Karena akan jalan-jalan dengan seseorang yang selalu memarahi saya apabila saya berkeliaran dengan sendal jepit kebanggaan saya, saya memaksakan diri membeli sendal yang pokoknya terlihat bagus, tapi harus murah! Pasar Simpang Dago menjadi pilihan. Perbincangan terjadi dalam bahasa sunda. Saya terjemahkan biar semua bisa mengerti.

TS (Tukang Sendal) : Nyari sendal pak?

ADA : (dasar ni tukang dagang, ngajuin pertanyaan bodoh!) Ya kalo nyari beras saya gak kesini pak. Mana yang bagus?

TS : Iya ya.... bener juga... pilih aja, semua juga bagus kok.

ADA : (memilih satu sendal) Ini berapa pak?

TS : 20. bisa kurang lah

ADA : Masa kaya gini 20? 10 kali...

TS : 15 deh. Kualitas dijamin itu mah pak.

ADA : sama siapa?

TS : ya sama saya... Ini saya juga pakai nih (sambil memperlihatkan kakinya yang memakai sendal sama persis dengan yang saya pilih).

ADA : Awet ga?

TS : Awet pak! Ini saya pakai dari lebaran kemaren belom rusak-rusak.

ADA : Enak ga dipakainya?
TS : enak pak! Empuk. Ga bikin lecet kaki.

ADA : Ga licin ya?

TS : Anti selip!

ADA : perasaan saya tanya kok bagus-bagus semua?

TS : Ya namanya juga orang dagang pak. Masa saya bilang dagangan saya jelek?

ADA : (garuk-garuk kepala) Yaudalah, bungkus pak!


Barang Hilang

Teman saya kehilangan jam tangan pemberian pacarnya. Datang sambil memaki-maki peruntungannya.

TSYKJ (Teman Saya yang Kehilangan Jam) : Setan! Jam gw ilang!

ADA : Sabar... ilang dimana emangnya?

TSYKJ : kagak tau gw.

ADA : ko ga tau?

TSYKJ : Ya kalo gw tau tu barang dimana terakhir, namanya ga ilang dong!

ADA : (sabar... sabar...)


200 meter?

Selepas SMA, saya bersama seorang teman bermaksud mencari beasiswa kuliah di negeri orang. Kedutaan negeri manapun kami datangi, mulai dari Jepang sampai Portugal dan Venezuela. Sekalian jalan-jalan di Jakarta, karena selepas ujian kelulusan memang tidak ada kesibukan.

Alkisah kami hendak ke kedutaan X, yang berlokasi di Jakarta Pusat. Tidak tahu jalan, saya tanya ke kenek Kopaja.

ADA : bang, tau kedutaan X dimana ga?

KK (Kenek Kopaja) : ooo, tau bang. Ntar turun aja di perempatan depan, terus jalan ke arah utara. Sebelah kanan jalan.

ADA : Jauh ga bang? Berapa meter kira-kira?

KK : 200 meteran lah.

Kami turun di perempatan yang dimaksud, lalu jalan kaki melintasi Jalan Rasuna Said. Selepas 15 menit tidak juga sampai, kami bertanya ke seorang pria yang melintas.

ADA : Mas, tau, kedutaan X dimana ga? Bener kesana? (sambil menunjuk ke depan)

MM (mas-mas) : Oooo... bener kok. Ntar kalo udah keliatan plang gedung Bidakara dari jauh, berarti udah deket.

ADA : Oooo... berapa jauh lagi kira-kira mas?

MM : 200 meteran lah.

ADA : 200 meter ya? Ok. Makasih mas.

Kami berjalan lagi, sampai 15 menit berlalu lagi. Tidak juga sampai. Tulisan Bidakara juga belum nampak sejauh mata memandang. Bertanya lagi ke tukang teh botol. Sambil jajan.

ADA : Bang, tau kedutaan X?

TTB (Tukang Teh Botol) : Oooo... tau-tau. Udah bener jalan ini. Terusin aja sampe keliatan plang Bidakara dari jauh.

ADA : (de ja vu?) berapa jauh kira-kira bang?

TTB : hmmm.... berapa meter lagi ya... (berguman sendiri)

TSYMTS (Teman saya yang mulai tidak sabar) : 200 meter ada?

TTB : YA! Kira-kira 200 meter lagi lah!

Akhirnya 15 menit kemudian kami tiba di kedutaan X tersebut, sambil belajar satu hal baru : Menanyakan jarak di Jakarta adalah sebuah pertanyaan bodoh!


Jalan Kaki

Alkisah ketika saya baru lulus SMA, masih dalam rangka pencarian beasiswa, saya bersama teman saya mencari kedutaan sebuah negara. Waktu itu saya sedang berada di daerah Komdak, dan kedutaan yang dituju berada di dekat gedung BEJ. Dan saya belum terlalu tau Jakarta.

ADA : Pak, kalo dari sini ke BEJ jauh ga pak?

BB (Bapak-bapak) : BEJ? Deket kok dek. Naek bis itu aja tuh (menunjuk sebuah bis).

ADA : Naek bis pak? Jauh ya?

BB : Yeee, dibilangin deket ga percaya. Nanti bayar aja seribu seorang.

ADA : Kalo jalan kaki bisa gak pak?

BB : Dek, di jakarta itu kalo dibilang deket juga mending naik bis aja. Ukuran jauh sini sama di kampung beda.

ADA : (Setan!)

TSYMP (Teman Saya Yang Masih Penasaran) : Jadi ga bisa kalo jalan kaki ya pak?

BB : Jalan kaki mau ke Surabaya juga bisa dek! Tapi jauh!



Demikianlah sekelumit kisah tentang pertanyaan bodoh....

Masih banyak sih, tapi saya tidak sebodoh itu untuk menceritakan semuanya sekaligus =D


Keterangan : Gambar diambil (maaf tanpa ijin) dari :

- www.krlmania.com

- www.mitra-leather.com

- www.seasite.niu.edu

Sunday, April 29, 2007

Jangan Persoalkan Cuaca! (Cerita-cerita Dari Kereta, Episode 15)


Bagi teman-teman yang kebetulan pernah kontak dengan saya via sebuah fasilitas untuk bercakap-cakap melalui internet (kita sebut saja inisialnya, YM!), mungkin beberapa kali pernah menemukan saya online dengan status line “hari tanpa kemeja”. Apakah maksud dari status ini?

Yaaah, saya tidak sedang bermaksud untuk mengembangkan segi narsistik dengan beranggapan bahwa teman-teman semua selalu ingin tahu kondisi saya. Tidak juga saya merasa iri dengan Dirly dan Ikhsan, dua jebolan Indonesian Idol tahun 2006 yang sekarang membuka line SMS bagi para penggemarnya untuk sekedar tahu mereka sedang apa di saat-saat tertentu (yang konon katanya dikirim langsung dari ponsel mereka). Selain karena saya memang bukan jebolan Indo Idol, ponsel saya kalau dipergunakan seperti itu juga nampaknya tidak bakal mampu. Maklum, satu-satunya yang bisa dibanggakan dari ponsel saya itu adalah ringtone-nya yang sudah pholiphonic. Lain dari itu, biasa saja. Tapi yang penting, alhamdulillah dibeli pakai uang sendiri =P.

Aaaah… pembukaan yang bertele-tele… ciri khas Awan sekaleeeeeee…

Sampai mana tadi?

O iya, soal “hari tanpa kemeja” itu ya...

Nah, buat yang MUNGKIN sekedar bertanya-tanya, “apakah saya benar-benar tidak pakai kemeja?” padahal kalau online biasanya saya sedang di kantor, maka akan saya katakan YA!, saya memang tidak pakai kemeja kalau sedang pasang status line itu. Mengapa? Mungkin Anda akan bertanya-tanya lagi. Dimana kemeja saya?

Kemeja saya, tak lain dan tak bukan, sedang dijemur. Dijemur di teras luar ruangan kantor saya (saya sangat beruntung mendapat tempat yang dibelakangnya terdapat semacam “teras”).

Lha, ada apa pakai jemur-jemuran segala?

Tentu karena kemeja saya basah, sehingga harus saya jemur. Basahnya ini juga bisa karena beragam hal. Bisa karena air hujan, dan bisa juga karena keringat setelah turun dari kereta ekonomi. Kalau karena keringat, keringat ini juga bisa bermacam-macam. Bisa keringat saya sendiri, bisa juga campuran berbagai keringat dari badan orang-orang yang menempel di tubuh saya waktu berdesakan di kereta. Yang jelas, apapun alasannya, membuat badan gerah!

Maka biasanya yang saya lakukan adalah membuka kemeja, tetap memakai kaus dalam (karena kalau itu dibuka juga, ada pergulatan batin dalam diri mengenai norma-norma kesopanan didepan rekan kerja yang banyak wanitanya), memakai jaket (yang tidak ikut basah karena biasanya dalam perjalanan saya simpan di tas), supaya dingin lalu menyalakan AC agak besar, lalu menjemur kemeja saya di luar. Setelah kemeja kering, barulah semuanya kembali normal.

Pada hari-hari semacam itu juga, memang ada beberapa teman yang suka bertanya... “Gimana caranya lu bisa keringetan kaya begitu??”

Kadang kala saya menjawab : “Iya nih, udara panas banget! Dari Bogor matahari udah terik, Jakarta apalagi! Keringetan deh satu kereta.”

Tapi kadang-kadang saya juga menjawab : “Iya nih, parah banget, dari Bogor ujan gede! Sampe jakarta udah agak reda sih, tapi udah pada keringetan deh satu kereta.”

Saya tidak sadar bahwa jawaban saya yang bervariasi itu justru menimbulkan kebingungan baru. Setelah agak sering saya ber-“hari tanpa kemeja”-ria, dengan jawaban yang variatif pula, salah seorang teman saya lantas menggugat: “Lu pegimane sih? Panas ngeluh! Ujan juga ngeluh! Mau lu apa sih?”

Kontan saya tersentak dan meluruskan pandangan itu, karena teringat slogan “Diklat Mahasiswa Muslim” tahun 2002 yang pernah saya ikuti ketika kuliah dulu (dan hampir dikeluarkan secara tidak hormat karena melanggar peraturan diklat – memalukan!) bahwa “Muslim Tangguh Pantang Mengeluh”. Saya jelaskan bahwa saya tidak mengeluh mengenai cuaca. Jawaban-jawaban itu adalah sekedar keterangan atas pertanyaan dia sendiri.

Iya kan?

Saya tidak terdengar seperti mengeluh kan?



IYA KAN??!?!?!!



AWAS kalau ada yang bilang saya mengeluh!



Yah, walau bagaimanapun, gugatan teman saya itu memang cukup membuka pertanyaan baru bagi saya, yaitu : “Jadi sebenarnya, kalau naik kereta ekonomi, lebih enak cuaca seperti apa? Panas? Atau Hujan?”

Mungkin Anda bisa membantu menjawab. Ya! Anda!

Bagaimana caranya? Silakan perhatikan perbandingan berikut, dan pikirkan baik-baik, kalau Anda naik kereta, Anda akan lebih memilih yang mana....

Pertama, cuaca panas.

Jelas, didalam kereta kalau sudah penuh sesak dan tak ada udara, kegerahan itu akan timbul dengan sendirinya. Berdiri jauh dari jendela adalah sebuah bencana. Oksigen adalah sesuatu yang langka. Apalagi semilir angin untuk mengusir keringat yang keluar dari pori-pori kulit anda... Tidak Ada! (Mengapa paragraf ini begitu berima?)

Otak kita tentu lantas akan memberi perintah untuk mendekati jendela. Nah, kalau begini Anda harus berhati-hati. Jangan dekati jendela yang salah! Salah bagaimana maksudnya?

Begini, kalau anda naik kereta pagi dari Bogor ke Jakarta, itu artinya Anda menuju ke Utara, dan ketika itu matahari sedang terbit dari Timur. Nah, kalau Anda mendekati jendela yang menghadap ke Timur (sebelah kiri kalau dilihat dari arah asal kereta), maka selain mendapat angin, Anda juga akan mendapat siraman cahaya mentari. Dan itu artinya, tambah panas! Saran saya, dekatilah jendela di sebelah barat. Tapi tentu, yang berpikiran seperti itu bukan hanya Anda saja. Jadi, sudah pasti area jendela barat akan lebih padat dari jendela Timur. Hal yang analog tapi berkebalikan juga berlaku kalau Anda naik kereta dari Jakarta ke Bogor sebelum jam 5 sore. Jangan dekati jendela yang menghadap ke arah Barat!

Jadi Anda punya 3 pilihan. Pertama, berdiri di tengah gerbong, tergencet dari kanan dan kiri (depan dan belakang juga), sehingga keringat keluar tanpa ada angin yang membantu. Kedua, mendekat ke jendela yang ada sinar mataharinya. Agak lebih lowong, dapat angin, tapi panas karena cahaya matahari. Ketiga, mendekat ke jendela yang tidak ada sinar mataharinya. Tidak ada panas matahari, tapi lebih padat, dan angin juga dibagi ke banyak orang. Apakah seperti tidak ada pilihan yang enak? Yah, itulah kalau cuaca sedang panas! Matahari seolah menjadi musuh karena MENAMBAH gerah dan pengap yang tanpa matahari pun sudah terasa karena padatnya manusia. Kesimpulannya hanya satu, jangan harap baju Anda akan tetap kering.

Sekarang, kalau cuaca hujan.

Yang jelas, anginnya akan lebih dingin, dan matahari yang biasanya memusuhi juga bersembunyi malu-malu dibalik awan kelabu (halah... sok puitis lagi...). Masalah mulai muncul ketika orang-orang yang biasanya Anda lihat naik di ATAS ATAP gerbong kereta, mulai terlihat masuk ke DALAM gerbong kereta. Bisa ditebak alasannya. Kalau tetap di atas, mereka kehujanan. Segila-gilanya mereka yang naik di atas, mereka menghindari kehujanan juga. Pada saat itu, kita yang biasanya geleng-geleng kepala kalau melihat ada orang naik di atas gerbong, akan kembali geleng-geleng karena melihat mereka masuk kedalam gerbong. Mengapa? Karena berarti gerbongnya tambah penuh dong!.

Demikian juga orang-orang (dan copet-copet) yang biasanya senaaaaaang sekali bergelantungan di pintu atau berdiri berdesakan di pintu (karena cari angin dari pintu). Kalau hujan, secara otomatis mereka akan mendesak ke tengah gerbong, menjauhi pintu, karena bukan angin yang mereka dapat, melainkan air hujan. Tutup pintunya? Sejak kapan kereta ekonomi pintunya ditutup? =)) Kalaupun bisa, tidak akan bisa ditutup semua. Minimal, jendela pintunya tetap terbuka karena tidak ada kacanya.

Lalu, kalau biasanya jendela menjadi sahabat karena menjadi tempat masuknya angin, sekarang malah menjadi musuh karena menjadi tempat masuknya air. Kontan saja, orang-orang yang tadinya berebut duduk jadi lebih memilih berdiri karena duduk berarti menjadi bulan-bulanan air. Menutup jendela (kalau memang masih ada kacanya) menjadi alternatif yang biasanya memang dipilih oleh para penumpang kereta. Dan Anda sadar kan? Menutup jendela berarti juga menutup jalan angin (walaupun angin itu disertai air hujan).

Kesimpulannya... gerbong kereta menjadi seperti akuarium yang penuh sesak ditengahnya, dan pengap karena tidak ada udara mengalir. Keringat kembali mengucur deras... Banyak orang memilih memakai jaket karena mendapat angin pada saat tubuh anda basah itu sama artinya dengan mengundang penyakit. Masuk angin dalam jangka pendek, dan paru-paru basah dalam jangka panjang.

Masalah lain yang harus dihadapi penumpang kereta ketika hujan adalah... BOCOR! Bocornya atap kereta yang mengakibatkan TETESAN-TETESAN air adalah sebuah gangguan (apalagi kalau tetesannya jatuh tepat di kepala Anda). Akan tetapi, kalau bocornya atap kereta itu mengakibatkan CUCURAN air, maka itu adalah sesuatu yang harus anda sikapi dengan... ikhlas... (pada bagian tubuh manapun cucuran itu menimpa Anda).

Nah, seperti itulah kira-kira perbandingannya. Yang mana jadi pilihan? Itu tergantung selera.

Kalau saya pribadi, saya lebih merindukan “mendung tak berarti hujan”. Pilihan lain tentu cerah yang disertai angin sepoi-sepoi dan matahari yang tak terlalu terik. Cuaca yang agak ideal mungkin... “berawan”.

Tuesday, March 27, 2007

Mendikte (Kehendak) Tuhan (?)

Sejak kapan sebenarnya kita menjadi akrab dengan bencana?

Ya, sebenarnya kalau mau lebih obyektif dalam melihat sejarah bencana alam dan “bencana non-alam” (seperti kecelakaan kereta dan sebagainya), bangsa Indonesia seharusnya memang tidak asing dengan bencana. Tapi memang, sepertinya akhir-akhir ini (sejak bencana tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004 lalu), bencana yang silih berganti datang nampaknya memaksa kita untuk lebih mengakrabkan diri dengan kesedihan.

Dan tentu saja, tawaran “hikmah yang dapat diambil” dari semua kejadian tersebut juga bermunculan. Saya sebut “tawaran” karena walau bagaimanapun, hikmah itu saya rasa bersifat sangat pribadi, dan sangat unik tergantung dari setiap individu manusia. Maksudnya, kalau ada seseorang yang berkata hikmah dibalik semua ini adalah bahwa seluruh bangsa Indonesia harus melakukan tobat nasional misalnya, bisa jadi Anda sependapat, dan bisa jadi juga Anda menganggapnya absurd.

Betul?

Kalau Anda bilang “salah”, maka itu membuktikan bahwa tidak semua orang sama dalam memaknai hikmah.... (inilah yang disebut ngeles atau mencari pembenaran dari semua kemungkinan jawaban =p )

Tapi memang menarik untuk memperhatikan bagaimana sebuah masyarakat atau sebuah bangsa menyikapi apa-apa yang sedang terjadi pada dirinya. Karena sebuah bangsa dalam skala luas dapat dipandang sebagai satu individu juga. Maka yang sedang kita lakukan mungkin sama dengan memperhatikan sikap seseorang yang baru saja kecopetan. Ada yang mengucap sumpah serapah, ada yang mengejar copetnya, ada yang ikhlas dan berkata bahwa mungkin memang kurang sedekah atau mungkin si copetnya lagi butuh uang, dan sebagainya. Sama juga dengan memperhatikan sikap seseorang yang baru saja mendapatkan rezeki. Ada yang bersyukur dan mengucap alhamdulillah, ada yang lupa bersyukur dan tidak berucap apa-apa, ada yang menggerutu karena merasa rezeki itu masih kurang banyak, ada yang langsung menyedekahkan sebagian rezekinya itu, dsb.

Singkatnya, sikap satu individu ketika mendapat rezeki dan musibah bisa jadi mencerminkan kepribadiannya, dan mungkin juga bahkan mencerminkan bagaimana kedekatannya dengan Tuhannya. Tentu itu dengan asumsi bahwa individu itu percaya ada Tuhan.

Lantas bagaimana bangsa Indonesia menyikapi semua musibah yang silih berganti menyapa seperti sekarang ini??

Tawaran yang paling banyak beredar sekarang di telinga saya adalah seputar bahwa ini merupakan teguran dari Allah, ujian dari Allah, bahkan ada yang bilang bahwa ini azab atau peringatan dari Allah, dan sebagai turunannya tentu solusi yang ditawarkan berkisar pada “pertobatan” secara nasional. Cukup menggelitik untuk kita bertanya, apakah semua musibah akan berhenti kalau bangsa ini memang, sebutlah, bertobat? Atau pertobatan itu bertujuan untuk menyiapkan masing-masing kita kalau tiba-tiba nanti malaikat maut menjemput? Kemungkinan jawaban yang kedua ini, nampaknya masih agak jarang dipikirkan.

Dengan sendirinya, analisis pemikiran dangkal saya mengatakan, premis yang dipakai adalah: “karena bangsa Indonesia sudah demikian buruknya, maka Allah mengazab bangsa ini. Maka kalau mau negeri ini terhindar dari bencana, bertobatlah!” Begitu bukan? Menurut Anda bagaimana? Atau sayanya yang terlalu dangkal?

Kalau analisis pemikiran dangkal itu benar, saya hanya berpikir... alangkah hebatnya manusia? Seolah manusia bisa mengendalikan kapan Allah harus mengizinkan terjadinya “bencana”. Kalau mau Allah menurunkan bencana, manusia tinggal berbuat kebejatan beramai-ramai. Kalau tidak mau, ya tinggal berbuat kebajikan beramai-ramai. Padahal kita perlu bersama-sama memikirkan juga, apakah “bencana” itu?

Gunung meletus? Apakah itu bencana? Bukankah tanah di Indonesia subur karena banyak gunung berapi juga? Bukankah letusan gunung berapi itu dalam jangka waktu beberapa lama akan menumbuhkan kesuburan di sekitarnya? Ini sekedar contoh saja. Banyak juga contoh-contoh lain siklus alam (baik yang menguntungkan kita maupun tidak) yang salah satu bagiannya merupakan “bencana” bagi kita. Bukankah kita menganggap sebuah peristiwa sebagai bencana hanya karena peristiwa itu merugikan kita (manusia)? Menurut Ada bagaimana?

Maksud saya apa?

Maksud saya adalah... kalau untuk tobat nasional, tidak perlu menunggu bencana atau “azab” datang. Bukankah Al Qur’an telah diturunkan sejak “lama” (karena waktu juga relatif) sebagai pembawa kabar gembira sekaligus peringatan? Mengapa manusia perlu menunggu bencana kalau sejak lama sudah ada peringatan yang nyata di tangannya? Yang kandungannya dibaca dalam setiap sholatnya?

Atau mungkin, kita memang masih menganggap kehendak Allah itu seperti ilmu eksakta. Kalau 2 ditambah 2, ya hasilnya 4. Kalau 4 dikali 5, ya 20. Jadi, kalau manusia berbuat baik, maka nasibnya di dunia juga akan baik. Dan sebaliknya, kalau jahat, ya siap-siaplah diazab di dunia. Benarkah kehendak Allah bekerja seperti itu? Bukankah Allah yang lebih tahu mana yang terbaik untuk ummatNya?

Maka, mohon maaf untuk yang berpendapat lain, saya lebih memandang bahwa “bencana” yang terjadi di Indonesia sebagai siklus alam saja. Kalaupun manusia ada yang dirugikan karenanya, saya rasa untung atau rugi itu tergantung dilihat dari perspektif siapa. Toh Allah maha-adil. Saking maha-adilnya, kadang kita juga dibuat bingung, adil itu apa.

Beda lagi kalau urusannya dengan bencana yang dibuat manusia sendiri. Banjir misalnya... hmmmm.... saya rasa sudah banyak saya singgung dalam postingan di sini.

Flu burung? Nah... ini juga kasus yang cukup menarik. Bagi saya agak absurd sebenarnya mempertanyakan apakah flu burung itu sebuah “azab” juga atau bukan (karena banyak juga yang bilang begitu di koran-koran murahan di kereta). Karena, mohon maaf sebelumnya, tanpa bermaksud menganggap nyawa manusia sebagai sederetan angka semata, jumlah korban yang meninggal karena demam berdarah atau AIDS setiap tahunnya masih jauh lebih banyak dibanding korban flu burung. Lantas mengapa yang jadi pusat berita itu flu burung ya? Karena baru?

Lantas kalau kecelakaan-kecelakaan transportasi bagaimana?

Saya rasa, tidak adil bagi kita menyalahkan “azab” atau kesalahan-kesalahan manajerial manusia dalam mengurus hajat hidupnya. Sama seperti banjir juga, kesalahan manajerial dalam mengurus transportasi di mata saya adalah kesalahan turun-temurun yang mencapai akumulasinya di masa sekarang.

Disaat orang ramai meributkan reshuffle kabinet untuk mendepak menteri perhubungan, dalam perspektif lain saya justru merasa agak kasihan dengan pak menhub yang sekarang ini. Dalam sebuah perbincangan dengan salah seorang rekan kerja yang duduk di sebelah saya setiap hari di kantor, kami sepakat bahwa menteri yang sekarang ini sekedar... “menjabat di waktu yang salah”. Dengan kata lain, dia sedang apes.

Mengapa?

Karena pesawat-pesawat tua yang menjadi andalan semua maskapai di Indonesia ini tidak dibeli pada zaman dia menjabat. Perawatan yang buruk pada kapal-kapal macam Levina tidak hanya terjadi pada tahun ini. Perkara kereta api ekonomi yang bobrok dan selalu kelebihan penumpang sudah terjadi sejak zaman kereta api ekonomi itu sendiri mulai beroperasi. Tapi sejak dulu pula, siapapun yang menjabat menterinya, tidak ada yang sanggup membenahi sistem manajemen yang buruk itu. Mengapa? Karena sebelumnya memang kecelakaan itu belum banyak terjadi, atau setidaknya belum disorot seperti sekarang (karena kita baru sadar ada masalah kalau sudah ada yang celaka). Toh pasca terbakarnya kapal Tampomas dan kecelakaan kereta di Bintaro yang merenggut ratusan nyawa pada pertengahan tahun 1980-an, media belum segiat sekarang dalam mencari berita, dan tidak ada juga yang berani menyuarakan perlunya perbaikan manajemen.

Sekarang, ketika semua alat transportasi telah mencapai usia uzurnya (bahkan seharusnya sudah menjadi fosil), kecelakaan merupakan sesuatu yang “wajar”. Tidak ada yang abadi. Suatu saat atap kereta akan ambruk kalau penumpang menumpuk di atap. Suatu saat kapal akan tenggelam kalau tidak dirawat. Kalau tidak, justru itu yang tidak “wajar” bukan? Dan untuk Menhub sekarang maupun Menhub berikutnya (kalau jadi reshuffle), mohon maaf, sepertinya agak mustahil bagi Anda untuk memeriksa SEMUA kapal, SEMUA gerbong kereta, dan SEMUA pesawat dari Sabang sampai Merauke sekarang, dan melarang yang tidak laik jalan untuk beroperasi. Karena walau bagaimanapun, masyarakat masih membutuhkan kendaraan-kendaraan yang tidak laik jalan itu. Contohnya, akan dikemanakan ribuan pengguna kereta ekonomi jabotabek kalau semua kereta ekonomi itu tidak dioperasikan? Padahal sepertinya hampir semua kereta ekonomi jabotabek itu sudah tidak laik jalan dan potensial menimbulkan kecelakaan kapanpun juga.

Perlu diketahui, ini bukan karena saya mendukung Menhub yang sekarang ataupun terlibat pro-kontra reshuffle. Saya tidak peduli siapapun yang menjabat (toh jabatan menteri lebih banyak pertimbangan politisnya). Yang paling optimal bisa dilakukan sekarang ini adalah memperbaiki manajemen, melengkapi infrastruktur, menetapkan standar tinggi kelaikan moda, dan... yah... silakan yang bekerja di Dephub melengkapi.

Demikian...

Kembali pada soal awal, saya rasa keadilan Allah memang bukan kuasa manusia. Kalaupun ada yang bilang bahwa “di zaman presiden yang dulu bencana jarang terjadi, kenapa di masa presiden sekarang bencana sering terjadi?” Maaf, buat saya opini semacam ini lebih absurd lagi. Apalagi kalau disambungkan dengan sesuatu yang bersifat klenik seperti “ini karena presiden sekarang butuh tumbal untuk bisa naik jadi presiden” atau “karena presiden dulu jin-nya kuat”. MasyaAllah... sepertinya tidak perlu saya elaborasi lagi. Apakah sekarang presiden dan jin yang mengendalikan kehendak Allah? Yang bisa saya katakan hanya: kalau anda mempercayai pemikiran semacam ini, mungkin Tuhan kita tidak sama.

Jadi, bagaimana menyikapi bencana-bencana di Indonesia sekarang ini?

Yah, silakan bertanya, bagaimana orang Jepang menyikapi gempa 7,1 SR yang kemarin menerpanya? Bagaimana AS menyikapi badai katrina? Bagaimana India menyikapi banjirnya? Mari lakukan perbaikan yang bisa kita lakukan, dan berhenti menyalahkan “kehendak Allah”, karena Allah maha mengetahui apa yang terbaik bagi kita.

Lantas bagaimana dengan tobat nasional? Sadarilah, perintah bertobat sudah datang sejak dulu. Karena kalau tobat hanya dilakukan setelah bencana, jangan-jangan kebejatan bakal muncul lagi setelah bencana tidak ada. Toh pertobatan itu lebih baik bertujuan untuk mempersiapkan diri kita sendiri, karena dengan atau tanpa bencana, maut memang bisa datang kapan saja.

Wallahu’alam bish-showab...


Keterangan:
Gambar dari www.safecom.org.au/images/tsunami-aceh.jpg