Friday, April 07, 2006

Komunitas Gerbong... (Cerita-cerita dari Kereta, episode 7)

Pada pertengahan tahun 1990an akhir (bingung kan? Tengah atau akhir...), Cak Nun (Emha Ainun Najib) pernah mengeluarkan istilah “Komunitas Terminal“. Sejujurnya, Cak Nun bukan salah satu tokoh favorit saya (tapi itu ga penting saya ungkap sebenernya). Meski begitu, istilahnya tetep ingin saya bahas di postingan ini.

Istilah itu sebenarnya keluar dalam penggambaran beliau mengenai kondisi sebuah terminal di Jakarta, yang dia perhatikan sebenarnya orang-orangnya relatif sama dan berhubungan/berinteraksi dengan cukup baik. Misalnya, tukang rokok, satpam, calon penumpang harian yang jam “mangkal“nya di terminal itu relatif selalu sama setiap hari, tukang gorengan, dsb.

Dalam ilmu planning sendiri, suatu komunitas sebenarnya bisa didefinisikan dari interaksi yang terjadi di suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain, apabila dalam suatu kelompok itu tidak terjadi interaksi yang signifikan, maka sebenarnya tidak bisa disebut sebagai sebuah komunitas. Meski begitu, pengertian ini nampaknya secara umum diterima untuk konsep “ruang” yang statis. Lalu apakah konsep mengenai komunitas ini juga bisa berlaku untuk “ruang“ yang dinamis??

---

Setiap pagi, saya biasa naik KRL ekonomi pukul 07.20 WIB yang arahnya ke Tanah Abang, atau kalo terlambat ya naik yang jam 07.44 WIB jurusan ke Stasiun Kota Jakarta.

Dalam 10 bulan pengembaraan saya di kereta, secara instingtif yang sebenarnya aneh, saya biasanya naik di gerbong 3 (dihitung dari belakang). Sebenarnya tidak instingtif juga. Pada awalnya, pilihan untuk naik di gerbong 3 didasarkan pada argumen-argumen yang cukup logis. Alasan pertama, satu rangkaian kereta biasanya terdiri dari 2 atau 3 set (seringnya sih 2 set), yang satu setnya terdiri dari 4 gerbong. Berhubung pembawaan diri saya yang agak sedikit lumayan malas (tetap berusaha ja’im biar dikira rajin....), maka saya pikir cukup melelahkan juga kalau harus ke gerbong-gerbong depan. Jadi, gerbong 3 cukup rasional, karena termasuk yang terdekat dari pintu stasiun Bogor. Kedua, kalau saya naik yang ke Tanah Abang, saya berhenti di Stasiun Sudirman (Dukuh Atas) yang peron stasiunnya tidak terlalu panjang, sehingga penumpang gerbong 1-3 biasanya tidak sampai ke peron, melainkan harus melompat ke pinggiran peron. Untuk saya, itu menguntungkan, karena kalau masuk peron saya tetap harus melompat lagi berhubung saya tidak ke arah Jalan Sudirman, melainkan melanjutkan perjalanan ke arah Menteng. Alasan ketiga, entah kenapa, gerbong 1 dan 2 biasanya penuuuuuh banget (sepertinya karena orang lain juga malas berjalan jauh ke gerbong-gerbong depan). Demikian juga dengan gerbong 4 dan 5 yang berada tepat di tengah yang biasanya padat, karena banyak penumpang yang cenderung memilih gerbong-gerbong tengah. Entah kenapa, gerbong 3 ini biasanya lebih lengang.

Jalan 2 bulan rutin naik kereta, ada satu fenomena yang awalnya unik bagi saya...

Kalau diperhatikan, ternyata orang-orang yang mengisi gerbong 3 kereta Tanah Abang itu kebanyakan selalu SAMA setiap hari. Tentu, ini wajar kalau konteksnya penumpang yang naik dari Bogor, karena kereta berhenti dan calon penumpang bebas memilih gerbong yang akan dinaikinya. Seperti juga saya, ternyata banyak penumpang yang punya kecenderungan untuk ”mapan” dalam urusan pemilihan gerbong ini. Kalau sudah enak di gerbong 3, ya besok juga di gerbong 3. Demikian seterusnya. Tapi ketika penumpang di stasiun-stasiun lain juga ternyata yang masuk sama, jadi agak aneh, karena kereta hanya berhenti sebentar di stasiun-stasiun itu dan calon penumpang langsung berebutan masuk. Artinya, para calon penumpang di stasiun-stasiun itu SETIAP HARI memiliki spot berdiri (menunggu) yang SAMA, dan mereka selalu bisa memperkirakan bahwa gerbong pilihannya itu akan berhenti TEPAT di satu titik di peron yang menjadi tempat mereka menunggu. Buat saya, ini cukup luar biasa, mengingat panjangnya peron, banyaknya calon penumpang, dan relativitas posisi sebuah gerbong ketika kereta berhenti di satu stasiun (eh, iya ga sih??). Kalau dari segi waktu, mungkin masih agak wajar, mengingat biasanya waktu berangkat orang-orang disesuaikan dengan jam kantor mereka yang relatif stabil, sehingga wajar kalau saya misalnya selalu naik kereta yang jam 7.20 supaya bisa sampai di kantor pukul 9 atau lebih sedikit (yaaah, setengah jam lah :p )

Dan karena setiap hari orangnya selalu sama (baik penumpang individual seperti saya maupun penumpang rombongan yang selalu riuh), tentu saja interaksi lama kelamaan terjalin dan keakraban familiar menjadi sesuatu yang lumrah. Dari yang tadinya tidak kenal bisa jadi kemudian sampai berpacaran dan kemudian menikah misalnya (dan itu memang benar-benar sering terjadi).

Berikut adalah biodata beberapa penumpang di gerbong 3 Kereta Bogor-Tanah Abang jam keberangkatan 7.20 dari Bogor :

Gerombolan Bogor :

- Sepasang suami istri, selalu mendapat tempat duduk, suaminya memakai kacamata, perawakan kurus. Istrinya cantik (memang benar cantik), rambut sebahu, biasa memakai blazer dan rok. Selalu membeli koran Kompas dan membacanya bergiliran.

- Seorang wanita bersama temannya (pria). Berdua biasanya turun di Sudirman bersama saya, lalu melanjutkan perjalanan ke arah Kuningan. Yang pria berperawakan kurus dan lebih pendek dari saya, rambut cepak, kulit agak gelap, memakai kemeja, biasa Jum’atan di Mesjid Sunda Kelapa di sebelah kantor saya. Yang wanita bertubuh sintal proporsional, biasanya memakai celana panjang dan kaus model adek yang lengannya hanya sampai bahu. Keduanya juga SELALU mendapat tempat duduk.

- Bapak-bapak yang gendut cepak, berbaju lusuh bertampang preman tapi selalu senyum dan banyak kawannya di gerbong 3 itu. Sepertinya dia cukup senior di Gerbong 3. Biasanya memakai celana selutut dan sendal jepit karet. Turun di Sudirman, selalu menyalakan rokok sebatang selepas Manggarai.

- Seorang bapak berkumis bertubuh agak besar, hampir selalu dapat tempat duduk. Nanti teman-temannya naik di Bojong.

- Pak Amat, salah seorang bintang gerbong karena banyak kenalannya. Sepertinya berusia diatas setengah abad. Perawakan kurus kecil, kumis dan rambutnya agak memutih karena lelah. Pak Amat ini orang Sukabumi, naik kereta dari Sukabumi ke Bogor jam 6 (atau lebih pagi), lalu melanjutkan perjalanan dengan kereta dari Bogor sampai ke Tebet. Kalau ada orang yang tau perjuangan Pak Amat dari Sukabumi (naik nambo, yaitu KRD semacam yang kemarin atapnya jebol, dan penuh sesak), biasanya langsung merelakan tempat duduknya untuk Pak Amat. Tapi Pak Amat juga cukup gentle. Kalau ada wanita, pasti dia merelakan diri untuk berdiri (lagi).

- Seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan saya atau lebih tua sedikir. Perawakan 160cm proporsional dengan jilbab cekek, biasanya berkemeja dan celana panjang. Perpaduan bibir, mata, hidung, dan seluruh bagian dari penampakan tubuhnya mengundang satu kata untuk mendeskripsikan si wanita itu : CANTIK (dan kalau tertawa manis sekali...). Karena saya belum pernah berkenalan dengannya, kita sebut saja namanya : GCI (Gadis Cantik Itu). Tak pelak, GCI selalu menjadi pusat perhatian dan pusat pandangan mata hampir semua lelaki di gerbong 3, baik yang sudah sering naik maupun anak baru. Maka wajar, disekitar tempat GCI duduk atau berdiri, pasti banyak laki-laki... Biasanya GCI naik kereta bersama kawannya, seorang wanita berambut pendek dicat pirang, atau seorang wanita berperawakan tinggi dengan jilbab non-cekek. GCI dkk turun di Cawang, dengan proses yang selalu diikuti pandangan mata para pria, lalu dilanjutkan dengan desahan nafas panjang karena tak banyak lagi yang bisa menyegarkan mata di kereta.

- Dan lain-lain yang terlalu banyak kalau disebutkan satu persatu disini.
- Saya sendiri... tentu saja.

Gerombolan Bojonggede (sebagai satu sampel, karena postingannya akan terlalu panjang kalau gerombolan dari semua stasiun disebutkan disini) :

- Pak J, dengan perawakan pendek gendut gelap berkumis lebat, dan gaya bicara dengan dialek betawi. Sangat suka sekali bercanda dan mengeluarkan gurauan-gurauan spontan yang membuat penumpang lain menahan tawa atau pura-pura batuk. Lelucon sarkastik ”Rahasia Ilahi” (baca : Cerita Kereta episode 4) yang legendaris sepertinya diciptakan oleh bapak yang satu ini. Kalau Pak J ini dianggap api, maka kompornya biasanya adalah teman-teman segerombolannya. Kawan baiknya adalah seorang bapak yang perawakannya tinggi kurus, juga suka mengobrol dan ternyata baru-baru ini membeli ponsel yang polyphonic.

- Dua ibu-ibu berjilbab, yang satu sekarang sedang hamil dan biasa membawa kursi lipat yang hanya bisa digunakan apabila kereta tidak terlalu penuh dan tidak ada yang merasa tergerak untuk merelakan tempat duduknya untuk wanita hamil.

- Mbak N yang parasnya lucu-lucu manis khas blasteran Jawa-Sunda (seperti saya). Waktu pertama saya naik 10 bulan yang lalu belum punya pacar dan sering digoda oleh gerombolan Bojong yang lain. Selama 10 bulan itu ternyata kemudian mendapat pacar (sesama penumpang kereta dari gerombolan Bojong, seorang PNS), bertunangan, kemudian menikah pada bulan Syawal yang lalu (selamat!). Biasa turun di Tebet bersama Pak Amat. Tetapi setelah menikah, pasutri ini juga sering naik kereta jurusan Kota jam 7.45 (masih suka ketemu saya juga).

- Mbak M yang berjilbab, parasnya juga manis khas jawa. Suaminya berkacamata, berperawakan rata-rata, dan suka sekali mengobrol dengan topik serius dengan orang disebelahnya, siapapun itu. Ketika saya pertama naik kereta di gerbong 3, pasangan ini baru menikah, dan sekarang, Mbak M sedang hamil beberapa bulan.

- dan lain-lain yang juga akan terlalu banyak kalau saya sebutkan satu persatu.

Selain itu tentu saja juga banyak penumpang lain yang selalu sama, termasuk tukang tahu sumedang yang sama yang menumpang ke Manggarai, seorang bapak pengemis yang gemuk dan sedikit terganggu pandangannya, pengemis-pengemis lain, tukang rokok yang sama, bapak tua penjual tissue yang sama, dan lain-lain.

Bentuk interaksi antar penumpang pun cukup beragam. Tapi interaksi ini lebih banyak terjadi pada gerombolan-gerombolan/penumpang yang berkelompok sejak naik. Misalnya gerombolan Bojong tadi. Yang paling lumrah tentu adalah mengobrol, bercanda, saling sepet, sampai diskusi kegiatan RT maupun diskusi wacana filosofis atau agama yang cukup tinggi. Selain itu, bentuk interaksi lain misalnya saling bergiliran duduk, menyindir penumpang yang duduk dengan pura-pura tidur, bertukar koran, sampai bahkan main kartu (domino) kalau kereta tidak terlalu penuh.

Gerombolan pemain kartu yang rutin ada di kereta 7.45 yang ke arah kota, gerbong 3 juga. Untuk kereta 7.45 ini, sebenarnya tidak ada alasan logis yang cukup kuat untuk saya memilih gerbong 3 selain malas dan karena...mmm... GCI juga kalau terlambat naik kereta tanah abang suka naik kereta ini, di gerbong 3, hehehe :p

Sebuah interaksi penuh kehangatan di tengah panas kereta melahirkan komunitas-komunitas di setiap gerbong. Apakah saya telah menjadi bagian dari komunitas itu atau belum, saya tidak tahu. Toh saya rasa tidak ada eksklusifitas didalamnya. Tapi yang jelas, pada hari-hari libur atau pada hari-hari dimana saya tidak naik kereta ekonomi, muncul sebuah kerinduan yang ganjil akan suasana kereta, dan orang-orang didalamnya, komunitas yang telah menjadi keluarga saya selama 1,5 sampai 2 jam setiap hari pada pagi dan sore hari. Sebuah perasaan yang ganjil, mengingat kawan-kawan saya tentu akan heran apabila mengetahui perihal ”kerinduan” itu, terhadap sesuatu yang oleh orang-orang yang tidak pernah mengalaminya akan disebut sebagai sebuah penderitaan. Ya, saya rasa, kondisi dan suasana kereta ekonomi jakarta-bogor pagi dan sore adalah sesuatu yang menakutkan (atau mengejutkan) bagi mereka yang baru melihat, mendengar, tapi belum merasakannya secara langsung. Maka bukankah merindukannya merupakan sesuatu yang lebih mengejutkan lagi???

Dan keganjilan satu lagi pada diri saya adalah, ternyata kerinduan itu tidak muncul terhadap kereta ekspres AC. Suasananya yang nyaman, dingin dan cepat (karena tidak berhenti pada setiap stasiun) tidak pernah merasuk dalam relung kerinduan di otak ini. Bagi saya, dinginnya kereta seolah telah menjelma menjadi dinginnya para penumpang ekspres dalam berinteraksi. Sama saja, penumpang ekspres pun akan berebutan dalam masuk kereta. Tapi setelah itu, hanya kesunyian menjemukan yang akan menemani anda sampai tujuan, kecuali anda pergi bersama teman atau kelompok.Tidak ada tawa, tidak ada canda, tidak ada emosi, tidak ada jiwa, tidak ada yang istimewa.

Keangkuhan kereta ekspres pun seolah diterjemahkan menjadi keangkuhan para penumpangnya. Sangat jarang misalnya, anda melihat seorang pria memberikan tempat duduknya pada seorang wanita, bahkan pada ibu hamil sekalipun! Tentu, ada saja yang bersikap gentle dan melakukan hal itu. Tapi saya jarang melihatnya (bukan berarti tidak pernah). Saya lebih sering melihat orang-orang yang tidur, pura-pura tidur, atau pada sebuah kasus, mengalihkan perhatian dari ibu hamil yang berdiri didepannya dengan mengobrol bersama teman disebelahnya, atau lebih sering lagi, ya sekedar cuek saja, seolah tidak ada kehidupan didepannya. Pada kasus kereta ekspres tanah abang yang saya naiki dari Stasiun Sudirman menuju Bogor misalnya, pada perebutan-perebutan kursi disaat masuk, lebih sering saya melihat semua saling mendorong, termasuk para pria mendorong para wanita, berlari, lalu pada satu kasus, mengambil tempat duduk seorang wanita yang hendak duduk tapi menyimpan tasnya terlebih dahulu di bagian atas (tempat penyimpanan tas). Si pria itu, ketika sang wanita sedang berdiri untuk meletakkan tasnya di atas, tiba-tiba menelusup ke depan si wanita dan langsung duduk di tempat duduk wanita itu. Kecepatan yang luar biasa, yang diiringi dengan tampang pura-pura bodoh dari si pria, dan wajah dongkol si wanita. Penumpang lain, tanpa tawa, tanpa sindiran atau teguran, berlagak seolah semua biasa.

Persis seperti lagak kereta ekspres yang membiarkan kereta ekonomi menunggu lama di Pasar Minggu, Depok atau Manggarai untuk disusul, supaya kereta ekspres tak perlu berhenti sama sekali. Padahal, ketika menunggu itu, suasana dalam kereta ekonomi luar biasa bertambah panas karena tidak ada angin yang lewat. Sebenarnya kalau kereta AC yang berhenti, tentu tidak apa kan? Toh, disana ber-AC, sehingga tidak akan bertambah panas ketika berhenti selama apapun. Tapi tentu para penumpangnya akan bilang : ”kami kan sudah bayar mahal! Kalo mau cepet, mau enak, ya naek ekspres dong! Salah sendiri naek ekonomi!” Dan alasan itu tentu benar. Masuk akal. Memang, ketika kita ”sudah bayar mahal” maka kita akan menerapkan prinsip kuasa uang, yang bahkan berkuasa diatas empati dan persaudaraan.

Tapi tentu adalah salah untuk menimpakan stigma dan tuduhan yang teramat sinis itu pada para penumpang ekspres. Karena itu hanyalah prasangka yang buruk dari saya semata. Sebenarnya apabila para penumpang ekspres dalam kenyataannya tidak berpikiran seperti itu pun (atau bahkan mungkin sebaliknya), maka apalah daya mereka selain melihat keluar jendela kereta? Bukankah kendali kereta berada di tangan masinisnya? Dan apalah daya sang masinis selain mengikuti petunjuk para penjaga stasiun dan tanda-tanda pada persinyalan sepanjang rel??

Maka sesungguhnya, prasangka sinis itu mungkin tak lebih dari kedhaifan saya semata...

Komunitas gerbong... dan kasta kereta...
Lucu juga... kalau mengingat kerinduan yang ganjil itu...

(Ya Allah, di postingan ini, saya sinis sekali ya??? kok bisa sekejam itu tuduhan saya ke penumpang ekspress.... Mohon maaf, lagi berhubung tadi pagi dan kemarin sore saya merasa begitu kesal ketika menunggu kereta saya disusul beberapa kereta ekspres, karena kebetulan saya lagi sakit gigi... harap maklum...)

No comments: