Thursday, June 22, 2006

Doktrinasi!! (Cerita-cerita dari Kereta, episode 10...)

Anda mungkin tidak percaya, tapi percayalah, bahwa ini masih kisah seputar kehidupan di KRL ekonomi Jakarta-Bogor.

-(Intro) dungprakdungdung jrengjreng
tatatatatatatatatatatatatatatataaaaaa
jreng jreng jreng jreng-

"Bang, sms siapa ini bang??
Bang, kenapa pakai sayang sayang??
Bang, nampaknya dari pacar abang
Bang, hati ini mulai tak tenang..."



Ternyata, saya mulai hafal syair-syair lagu yang saya ga tau judulnya itu.
Kalau teman-teman mungkin pernah membaca postingan cerita kereta episode 5, maka inilah tipe pengamen yang termasuk tipe yang tidak mempedulikan pendengaran penumpang kereta. Si penyanyi (pengamen) membawa sebuah kotak hitam (yang ternyata adalah sebuah radio), memutar kaset lagu ini KERAAAAAASSSS bgt, sehingga bahkan saat si ibu belum masuk gerbong pun, intro lagunya sudah terdengar.
Dan seketika itu juga, anda bisa menghitung berapa desahan nafas panjang dari para penumpang yang terdengar dalam satu gerbong. Desahan nafas yang dapat diartikan kira-kira sebagai berikut : ”ya Allah... tidak lagi... jangan... jangan...”. Sebuah ungkapan kesedihan sekaligus ketabahan dari para penumpang kereta.

Perkaranya bukanlah karena dia (sang pengamen) memutar pengatur volume suara dari radio itu sampai kekuatan maksimal. Bukan juga karena si radio itu nampaknya sudah begitu tua sehingga speakernya terdengar sember tidak karuan. Permasalahan utama sebenarnya terletak pada lagunya (tapi tentu ini bukan masalah kalau anda menyukai lagu itu, yang saya tidak tahu, dan TIDAK MAU TAHU apa judulnya).

Lagu tersebut termasuk dalam salah satu cabang dari jenis musing dangdut. Akan tetapi sama sekali bukan dangdut konvensional.

Anda familiar dengan aliran musik ”SKA”?? Aliran ska ini sempat populer sekitar sewindu yang lalu dengan dansa ”pogo”-nya. Sebagai seorang pemakai putih abu-abu saat ska ini mulai booming, tentu selangkah dua langkah pogo tak luput dari kaki saya.

Eniwey, lagu sms-sms tadi merupakan campuran dari dangdut dan ska. Jadi, kalaupun anda mau berjoget mendengarnya, anda bisa memadukan pogo dengan goyang (maaf) pantat ala Inul. Tapi, bukan itu saja, lagu ini juga mengalami pencampuran ulang (bahasa kerennya, ”remix”) dengan house music. Nah, jenis house music atau jenis-jenis music ”techno” lainnya inilah yang paling tidak saya sukai di jagat permusikan, karena saya selalu menganggap remix house music ini sangat merusak lagu (apapun lagunya). Apalagi kalau lagunya sudah tidak terlalu bagus. Nah, jadi, kembali ke lagu sms-sms tadi, dengan perpaduan antara dangdut-ska-house music, maka gerakan joget yang bisa anda lakukan saat mendengar lagu tadi tentu adalah perpaduan antara pogo, goyang (maaf lagi) pantat, dan gedek-gedek kepala. Silakan anda coba praktekan... PUSING KAN?!??!??!

Tentu harus kita ingat, walaupun kata Inul dangdut tanpa goyang seperti sayur tanpa garam, tapi menurut saya ungkapan itu harus ditambah dengan kalimat : ”tapi awas jangan berlebihan, salah-salah malah jadi haram”

Aliran lagu semacam ini mengalami evolusi dari dangdut menjadi aliran musik yang secara pribadi saya golongkan sebagai ”MUSIK CADAS.” Jangan anda mengira kalau pengusung musik cadas ini hanya nama-nama tenar semacam KORN, Megadeth, Slipknot atau Marilyn Manson. Karena saya mendefinisikan musik ”cadas” sebagai ”musik yang mampu mendoktrinasi pendengarnya”, maka mau tak mau, nama seperti Neneng Anjarwati pun bisa jadi termasuk artis ”cadas”.

Musik dangdut, yang sering sekali dianggap sebagai musik ”asli” Indonesia, sebenarnya merupakan sebuah musik cerapan dari musik India. Adapun musik yang mungkin lebih asli Indonesia adalah dari jenis semacam keroncong, karawitan, dan semacamnya (sejujurnya, saya malah cukup menyukai lagu-lagu semacam ini). Musik India kemudian mengalami akulturasi dengan keroncong dan karawitan ini, sehingga menjadi dangdut ala Indonesia. Tentu kemudian musik ini berkembang secara mandiri, melahirkan artis-artis dangdut yang kemudian menjadi ”icon”nya, seperti Rhoma Irama, Megi Z, Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, Elvi Sukaesih, dan sebagainya. SAYANGNYA, musik dangdut sekarang ini malah berkembang menjadi sangat sulit dinikmati oleh telinga, dan lebih banyak memanjakan mata melalui artis-artis semacam Inul, Annisa Bahar, dan sebagainya.

Lalu kembali ke musik kereta, aliran ”cadas” yang saya sebutkan tadi bisa dibilang mulai populer pada pertengahan tahun 90-an. Awalnya, musik ini dihasilkan oleh remix dangdut dengan hous-music. Kemudian, hadirlah Neneng Anjarwati di TVRI pada waktu itu, dengan sebuah ”brand” untuk musik tersebut, yaitu ”CHADUT”, kabarnya singkatan dari ”chacha-dangdut”. Nama yang agak aneh, karena agak sulit untuk berdansa chacha dengan lagu semacam ini. Adapun lagu yang dibawakan Neneng pada waktu itu adalah Waru Doyong. Tau kan? Itu loh, yang syair awalnya kira-kira berbunyi... ”waru doyoooong (”yooong” dilafalkan dengan cengkok khas dangdut), nenenene...(ga tau), dst.”. Lagu inilah yang pertama kali populer di kereta, untuk jenis chadut tentunya.

Setelah kemunculan Waru Doyong, kemudian ada dua lagu beraliran chadut yang ”booming” di Indonesia, terutama di gerbong-gerbong kereta. Dua lagu tersebut adalah Bang Thoyib dan Kumbang-Kumbang di Taman. Saya rasa anda semua tentu kenal dua lagu ini, terutama Bang Thoyib. Ciri khas lagu semacam ini adalah... judulnya merupakan kata-kata pertama dalam liriknya.

Khususnya bagi saya, kedua lagu ini serriiiiiiiiiiiiiiiiiing sekali saya dengar pada bulan-bulan pertama saya menjadi bagian dari roker (Rombongan Kereta). Dan kenyataan ini dengan tabah saya terima, walaupun sungguh mengganggu telinga. Dan setelah dua lagu tadi mulai pudar popularitasnya, muncullah lagu sms yang kita bicarakan di awal.

Lagu-lagu kereta memang seperti itu. Dan sejak setahun yang lalu, saya perhatikan si pengamennya itu masih sama, seorang ibu-ibu gemuk, nampaknya belum terlalu tua, membawa seorang anak perempuan di depannya. Si anak perempuan itu kadang joget, kadang ikut bernyanyi, kadang sekedar jalan membawa kantung untuk minta uang dari penumpang. Si ibu-ibu itu memegang kepala si anak untuk mengendalikan laju jalannya. Dan yang paling saya ingat adalah ekspresi dari si ibu saat menyanyi (mengamen)... SAMA SEKALI TANPA EKSPRESI. Dingin seperti es batu. Tanpa senyum maupun cemberut. Bingung saya... Tentu, kalau setiap hari anda melakukan hal yang sama, dengan lagu yang sama, saya rasa anda pun lama kelamaan akan menggantungkan ekspresi semacam itu di wajah anda.

Dia juga tidak keberatan kalau begitu dia menyanyikan lagu itu, sebagian penumpang kereta akan mentertawakan atau menggodanya dengan menggedek-gedekkan kepala (ditambah satu jari diacungkan di depan hidung), maupun dengan ikut menyanyikan kata ”Bang...” dalam setiap bait liriknya.

Lebih dari itu, saya rasa, lagu-lagu semacam ini sangat efektif sebagai sarana doktrinasi.

Ketika saya dulu mengikuti Ospek waktu mahasiswa (dan beberapa tahun menjadi panitianya), saya pelajari bahwa metode paling efektif untuk mendoktrinasi seseorang adalah dengan cara membuat orang tersebut berada dalam kondisi ”zero level”. Zero level ini merupakan sebuah kondisi dimana seseorang begitu lelah sampai tidak bisa berpikir dengan jernih, sehingga kalau kita katakan bahwa 2+2=5 disertai sedikit argumentasi yang kita buat sendiri, orang itu akan percaya.

Pada saat saya masuk ITB, dan saya ikuti Ospek, kultur di ITB secara umum masih menganut metode yang sama dengan kaderisasi militeristik, dimana kondisi zero level berusaha dicapai dengan cepat melalui eksploitasi kemampuan fisik manusia. Dengan kata lain, fisik kita dibuat begitu lelah, dan otak kita dibuat begitu bingung dengan berbagai orasi maupun debat yang berputar-putar sehingga akhirnya peserta ospek tidak lagi bisa berpikir dan mudah disusupi doktrin apapun yang diinginkan panitia. Contoh lain metode pencapaian zero level ini misalnya pada training ESQ (yang sempat saya ikuti sekitar setahun lalu). Bedanya, training ESQ menggunakan kekuatan sound system, suara-suara dan gambar-gambar dramatis untuk mempercepat zero level, untuk kemudian diledakkan dengan tangisan peserta. Saat itulah nilai-nilai ditanamkan. Sangat efektif, walaupun sangat mahal (terutama sound systemnya, karena panitia harus yakin sound system itu cukup kuat untuk memberi efek menggetarkan langsung sampai jantung anda).

---Lha, ini ngomongin apaan sih?? Dari Chadut kok jadi doktrinasi??”---

Saya menuliskan ini karena saya rasa saya mulai terasuki doktrin lagu tersebut.

Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa saya mandi sebelum berangkat kerja. Dan seperti biasa juga, saya bergumam atau bernyanyi sedikit-sedikit sambil bernyanyi, untuk membunuh waktu. Tanpa saya sadari, pagi itu yang saya gumamkan adalah nada-nada dari lagu sms tadi…

Seketika, saya merasa bahwa karir saya sebagai penyanyi kamar mandi sedang mencapai titik nadir. Saya siramkan air dingin sebanyak-banyaknya ke kepala saya…. GAGAL!! Nada-nada itu masih bergaung di kepala saya. Dalam kekalutan dan keputus-asaan, saya kemudian menenggelamkan kepala saya di bak mandi yang penuh air dingin itu, sambil berteriak keras-keras di dalam air…”TIDAAAAAAAAAAKKKKKK!!!!!!!!”

Alhasil, saya keluar dari kamar mandi dengan kepala pucat dan mata merah. Ibu saya yang shock melihat keadaan saya menyangka saya masuk angin dan menyarankan untuk tidak masuk kerja. Tapi toh saya tetap masuk kerja, dan kembali naik kereta, dan kembali mendengar lagu itu, dengan intonasi yang sama, suara yang sama, pengamen yang sama, dan kesedihan yang sama.

Saya hanya menunduk… terdiam… berusaha menyanyikan lagu “Aku Seorang Kapiten” untuk menangkal efek doktrinasi lagu sms tadi…

Dan saya tetap gagal…

--- “Kalau bersilat lidah, abang memang jagonya…
Sudah terbukti salah, masih saja berkilah…
Orang salah kirim lah, Orang iseng-iseng lah…
Orang salah kirim lah, Orang iseng-iseng lah…”---

NB : Kemarin saya secara tak sengaja melihat video klip dari lagu itu di sebuah kios yang menjual tivi-tivi bermerek palsu. Ternyata, penyanyinya cantik juga…

No comments: