Lepas dari Samarinda, saya melanjutkan perjalanan ke Makassar.
Kesan pertama mengenai Makassar, apalagi kalau bukan panas. Tiba pada malam hari, sekitar pukul 21.00 WITA, saya segera kegerahan. Dalam bayangan saya, matahari pun terbit di kota ini pada malam hari. Tetapi, mengingat lokasi Makassar yang terletak di tepi pantai, saya rasa ini kondisi yang wajar. Angin berhembus membawa aroma amis sepanjang jalan.
Perjalanan dengan angkutan kota di Makassar benar-benar menyiksa. Anda kegerahan tanpa bisa berbuat apa-apa. Dari hotel saya yang terletak di daerah pelabuhan, menuju ke kompleks kantor gubernuran di Jalan Urip Sumoharjo tidak sedekat yang saya kira. Saya agak menyesal sudah berpenampilan rapi sejak dari hotel, karena ternyata semua sia-sia ketika saya tiba di tujuan.
Karena tidak tahu jalan, saya duduk di depan, dan duduk santai bersandar di kursi sebelah pak supir yang sedang mengendali angkot (yang ternyata tak terlalu baik juga jalannya). Ternyata posisi ini adalah posisi yang salah. Matahari Makassar di pagi hari menyerang saya dari kaca depan, membuat saya mengucurkan keringat tanpa henti dari sekujur tubuh. Lemas.
Setibanya di tujuan, saya merasakan angin berhembus dari belakang, dan punggung saya terasa sejuk. Curiga dengan kondisi itu, tangan saya bergerak meraba punggung. Apa mau dikata, ternyata pakaian saya telah basah kuyup oleh keringat di bagian punggung, hampir seluruhnya. Sebelumnya, saya kira kondisi seperti ini hanya bisa terjadi di kereta ekonomi jabotabek. Ternyata, angkot-angkot Makassar pun menimbulkan kondisi serupa.
Selesai urusan di kantor gubernuran, darah petualang saya bergejolak, dan saya pun menolak tawaran menumpang taxi bersama seorang kawan sampai ke hotel. Inilah pertama kali saya berada di Makassar, setelah sebelumnya hanya sempat dua kali singgah di Makassar hanya bisa menginjak bandaranya untuk transit. Angkot kembali menjadi pilihan saya.
Tertarik dengan tulisan ”Unhas” pada angkot-angkot yang melintas, saya pun tergerak untuk mengunjungi perguruan tinggi yang satu ini. Ketika dulu masih kuliah, kampus saya beberapa kali kedatangan kunjungan dari mahasiswa Unhas, dan beberapa kali saya berjanji pada mereka untuk ganti mengunjungi Unhas. Saya rasa, janji itu baru bisa terlunasi saat ini.
Kampus yang cukup besar, dan saya rasa memang akan cukup melelahkan untuk mengelilinginya dengan berjalan kaki. Berkeliling Unhas dengan angkot cukup menyenangkan, dan mengingatkan nostalgia akan masa-masa kuliah dulu. Tapi tentu, kawan-kawan yang dulu mengunjungi saya di Bandung juga sudah lulus dan entah dimana rimbanya.
Cukup banyak mall dan pusat perbelanjaan modern di Makassar. Tipikal kota besar yang sedikit membuat saya miris, karena saya tidak bisa melihat kultur atau budaya yang berbeda dengan kota-kota besar di Jawa. Tak disangka, ketika berjalan di depan Panakukang Trade Center, saya bertemu seorang pegawai bappeda yang saya kunjungi pagi itu di kantornya. Ajakan makan tak bisa saya tolak, meskipun dengan keterpaksaan karena ternyata lokasi makan yang dipilihnya adalah KFC (yang di hampir kota manapun bisa saya temui). Saya tanyakan padanya, mengapa dengan kondisi sepanas ini, makanan khas Makassar adalah coto. Bukankah itu akan membuat badan lebih panas bila dimakan pada siang hari? Dan ia hanya tertawa. ”Tidak juga”, katanya, ”kalau sudah terbiasa.” Jelas, saya belum terbiasa. Panas ini, saya rasa hampir sebanding dengan Yahukimo di Papua, walaupun tetap, Yahukimo lebih panas dan kering tanpa ada angin.
”Sebelum jam 10, sinar matahari di sini itu obat, tapi diatas jam 10, itu penyakit” katanya. Dan saya setuju. Saya rasa saya sakit.
Lelah dan mulai pusing karena terik matahari, saya putuskan untuk beristirahat di Mesjid Raya Makassar, atau setidaknya, ketika saya tanyakan pada supir angkot, Mesjid berwarna hijau inilah yang dikenal sebagai Mesjid Raya. Lucu juga, nuansa hijaunya sangat terasa karena cat eksterior dan interiornya didominasi warna hijau muda, diselingi sedikit hijau tua. Warna yang meneduhkan. Dan saya rasa, inilah tempat terteduh yang saya kunjungi di Makassar. Keteduhan dan angin sepoi-sepoi yang membuat saya enggan beranjak, dan terlelap sejenak.
Selepas Ashar di Mesjid Raya, saya memutuskan untuk kembali ke hotel. Awalnya, sebenarnya saya berencana untuk mengunjungi Pantai Losari yang sudah tersohor itu. Akan tetapi, mengingat teriknya matahari dan panasnya udara, saya rasa pergi ke pantai pada saat-saat seperti ini sama saja mencari masalah. Saya rasa lebih baik saya ke pantai di malam hari.
Kembali menumpang angkot secara spekulatif (karena sebenarnya saya tidak tahu dimana letak hotel saya itu. Orientasi peta saya sedang agak kacau), saya kembali ke hotel, mandi, dan tertidur sampai jam 8 malam (mungkin karena terlalu pening). Saya rasa sudah terlalu malam untuk berkelana ke pantai, maka saya putuskan untuk sekedar mencari makan di luar saja.
Diluar perkiraan, Makassar ternyata cukup sepi pada malam hari. Biasaya, kota-kota dengan iklim sepanas ini punya kehidupan malam yang cukup ramai di seluruh sudut kota. Makassar justru sebaliknya (atau mungkin saya saja yang tidak tahu dimana titik-titik keramaiannya di malam hari). Berdasarkan info dari beberapa orang yang saya ajak berbincang, tempat yang ramai di malam hari, ya di Pantai Losari. Di tempat lain? Jarang.
Keesokan harinya, setelah sholat Jum’at dan menyelesaikan urusan-urusan pekerjaan di kantor Bappeda Sulsel, saya terpaksa ke Bandara Makassar untuk menyelesaikan beberapa permasalahan terkait dengan tiket saya kembali ke Jakarta.
Jalan menuju bandara dari Makassar yang hanya satu-satunya ini tidak dilengkapi dengan lampu jalan barang satu pun. Di kanan-kirinya banyak terdapat pabrik-pabrik besar. Saya pikir, jalan yang resminya hanya terdiri dari 2 jalur mobil ini (berupa 2 lajur bolak-balik) ini tentu mengalami kemacetan rutin di pagi dan sore hari (waktu-waktu kedatangan dan kepulangan para pekerja), dan rawan perampokan di malam hari. Jalan ini perlu lampu.
Malam itu, saya putuskan untuk mengunjungi Losari, karena saya harus pulang ke Jakarta keesokan harinya. Maka dari bandara, taksi langsung saya minta meluncur ke Losari.
Sopir taksi yang ramah. Banyak bercerita tentang kehidupan di Makassar, selain cerita tentang perjuangan hidup sebagai supir taksi tentunya. Taksi itu menghidupi dua keluarga, yaitu keluarga sopir saya itu dan keluarga adiknya. Ia dan adiknya bergantian dalam bekerja. Adiknya biasanya menarik taksi di siang hari.
Cukup untuk makan seadanya, katanya. Sebenarnya cukup untuk makan mewah, tapi tentu harus mengorbankan anak-anak tidak sekolah. Tentu, pendidikan untuk anak-anak nomor satu. Makan masih bisa menunggu. Beginilah katanya, nasib hidup di kota besar tanpa korupsi. Harus banyak-banyak mengurut dada, menyabarkan hati. Toh, bukan berarti kebahagiaan tidak bisa dimiliki.
Losari...
Sejujurnya, saya kecewa.
Tujuan saya mengunjungi pantai sebenarnya adalah untuk mencari angin. Maksud saya, benar-benar mencari angin. Bukan sekedar perumpamaan. Saya ingin merasakan angin laut menerpa wajah saya, sambil merasakan pasir di kaki saya, dan sesekali merasakan hangatnya air laut. Suasana yang menenangkan, sambil mendengarkan deburan ombak. Setidaknya, kalaupun saya mau ke pantai (biasanya saya lebih suka gunung), suasana itulah yang saya cari.
Tapi ternyata, Losari jauh dari harapan saya. Alih-alih merasakan pasir dan ombak, saya harus puas melihat bahwa tepian laut rupanya telah ditembok/dibendung dan langsung berbatasan dengan jalan raya. Maka, tidak ada pasir yang tersisa. ”Pantai” secara denotatif sebenarnya sudah tidak ada. Dan yang menjadi obyek hiburan di sana ternyata adalah : CAFE. Cafe, cafe, dan cafe lagi sepanjang jalan. Ada juga kapal mengapung agak ke tengah laut, dan untuk mencapainya perlu menyewa perahu atau sepeda air. Kapal itu pun, tak lain, adalah cafe juga. Ada juga kawasan wisatanya (yang katanya disinilah pusat keramaian muda-mudi di waktu malam itu), yang ternyata juga berupa kumpulan cafe-cafe. Dan cafe lagi.
Yap, ternyata gaya hidup ala metropolitan Jakarta memang tak bisa ditahan penyebarannya. Saya rasa, tidak perlu jauh-jauh ke Makassar dan tidak perlu juga jauh-jauh ke pantai untuk sekedar makan atau minum di cafe. Apalagi, kawula mudanya pun ternyata sama saja (atau minimal, sepertinya ingin dipersamakan) dengan saudara-saudaranya di Bandung atau Jakarta. Yang jelas, sebagian diatara mereka, yang saya perhatikan, nampaknya begitu senang dan bangga ketika oleh teman-temannya diberi predikat sebagai ”anak gaul”. Mendengar istilah ini, seorang remaja putri kemudian tertawa dan berkata ”iya dong. Gue gituloh. Ngapain juga jadi kuper? Gaul dong! Hahahahaha.”
Dan akhirnya, saya memilih warung rokok di tempat paling sepi yang saya temukan di kawasan itu, mencari posisi di pinggir laut, membeli teh botol, dan menikmati rokok sambil menikmati angin laut dan obrolan ringan dengan pemilik warung. Seorang ibu dengan anak-anaknya yang nakal. Anak-anaknya itu, bekerja juga, mengamankan motor yang diparkir di kawasan itu. Lumayan untuk menambah pemasukan warung. Hingar bingar musik di cafe sebelah, dengan terpaksa, harus saya dengar juga.
Gaul ya? Entah kenapa, saya tidak suka istilah itu, tidak suka pada gaya hidup yang diasosiasikan dibelakangnya. Mungkin saya lebih suka seperti ini, sepi, diam, sendiri. Kuper mungkin?
Keesokan harinya, dalam perjalanan menuju bandara untuk pulang ke Jakarta, saya masih terheran-heran pada bagaimana matahari bisa secara intens dan konstan memberikan panas yang sedemikian ini selama 3 hari 3 malam saya berada di Makassar. Panas yang membuat lemas. Saya terigat pada analisis Ibnu Khaldun dalam buku Muqodimah mengenai pengaruh iklim suatu daerah terhadap karakter penduduk daerah tersebut. Dikatakan bahwa, daerah-daerah yang panas biasanya membuat roh manusia juga cepat kegerahan, dan karenanya, menjadi lebih ekspresif. Dalam kondisi bahagia atau senang, karakter mereka adalah cepat tertawa, bahkan menari, berteriak-teriak, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau sedih atau marah, temperamennya juga bisa naik dengan sangat cepat. Cepat menangis, dan cepat juga beringas. Yah, semoga saja, yang banyak kita dengar nanti dari Makassar adalah suara tawa, bukan suara kemarahan.
Meninggalkan Makassar, saya cukup menyesal karena tidak sempat mengunjungi Fort Rotterdam, benteng peninggalan Belanda di Makassar ini. Ah, semoga bisa lain waktu. Dan ketika pesawat mulai tinggal landas, saya berusaha melihat keluar jendela. Penasaran, ada berapa matahari yang menyinari kota ini....
No comments:
Post a Comment