Wednesday, December 06, 2006

Paradoks Mental

Sebuah siang yang cerah...

Saya dan wanita yang satu ini sedang melintas Taman Maluku (saya lupa nama jalannya, tapi itu di sekitar Taman Maluku, Bandung). Cukup sering saya melewati jalan ini di Bandung, dan pemandangan maupun pengalaman di jalan ini belum berubah.

Anda tahu coet?

Ini nama resmi dari apa yang mungkin kita kenal sebagai... “ulekan”. Wadah (dan alat) untuk mengulek dan menghaluskan bumbu-bumbu seperti bawang, cabai, dan sebagainya secara manual. Biasanya terbuat dari batu. Akan tetapi, di dapur-dapur “modern” , fungsi alat ini mungkin sudah banyak digantikan oleh blender listrik. Untuk saya (kalau sedang memasak), rasa masakan akan jauh berbeda kalau bumbu dihaluskan dengan coet, dibandingkan kalau dihaluskan dengan blender.

Tapi sudahlah, saya tidak sedang ingin berbagi resep maupun tips masak-memasak di postingan ini...

Jadi mau cerita apa?

Setiap melewati jalan ini, ada kemungkinan besar anda akan didekati oleh anak-anak yang menjual coet.

Anak-anak?

Ya. Anak-anak. Jangan berkomentar tentang hak perlindungan anak atau usia kerja. Toh saya rasa itu tidak akan terlalu berpengaruh juga untuk mereka.

Anak-anak ini, saya rasa banyak yang masih berusia dibawah 10 tahun, menggunakan pikulan untuk membawa coet-coet dari batu itu di bahunya. Kalau anda pikir satu buah coet itu ringan, maka anda tentu akan berpikir lain kalau mengangkat sebuah pikulan yang di setiap sisinya berisi banyak coet yang bertumpuk-tumpuk.

Pikiran pertama yang melintas dalam otak saya ketika melihat mereka hanya satu... ”badan mereka tambah kecil nggak ya kalo bawa gituan tiap hari?” (pertanyaan bodoh yang saya rasa tidak akan membantu siapa-siapa).

Anak-anak ini biasanya menjual coet buatan orang tua mereka, walaupun sepertinya banyak juga yang menjual bikinan orang lain. Terlepas dari bikinan siapa coet-coet itu, pemandangan semacam tadi (anak-anak penjual coet) cukup membuat dada bergemuruh.

Kenapa mereka harus bekerja seperti itu?

Ya, saya rasa pertanyaan seperti ini agak basi ya? Jadi tidak perlu kita bahas lagi sepertinya.

Yang mau saya bahas adalah sesuatu yang bahkan membuat dada ini semakin ingin meledak, dan tangan saya berteriak ingin bergerak untuk melempar sendal. Mengapa?

Karena beberapa saat setelah didekati anak-anak tadi (yang menawarkan dagangannya dengan teriakan melengking, ”coeeeeeeeeeeet !!!”), kami (saya dan wanita yang satu ini) didekati oleh seorang pria. Masih muda (yaaah, pertengahan 30an lah, atau mungkin malah kurang), sepertinya sehat tidak kurang satu apapun, badan lumayan tegap. Dan pria muda itu... mengemis!

Luar biasa! Dengan bermodal baju lusuh, kotor, topi buluk, wajah yang sepertinya jarang dicuci, serta tatapan sendu, dia mengemis.

Sementara anak-anak kecil tadi mengangkat dagangannya yang berat, berkeliling dari satu mobil ke mobil lain tanpa hasil, para pengemis muda ini cukup mengangkat tangan ke jendela mobil untuk mendapat uang sekitar 500 sampai 1000 rupiah.

EDAN!

Dunia macam apa ini?

Seandainya tidak ada anjuran untuk bersabar dan menahan amarah, sendal saya mungkin sudah melayang.

Yah, mungkin semua memang hanya masalah mental. Mentalitas yang memuakkan!

No comments: