Thursday, August 03, 2006

Menapaki Kejayaan (Ditulis dalam Kemarahan terhadap Krisis di Timur Tengah)


Pada suatu masa, seorang Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, pernah mengeluarkan sebuah pepatah bijak. Katanya kira-kira begini, “Hampir semua orang bisa tahan penderitaan. Apabila kita ingin benar-benar menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan.”

Akan tetapi, sangat disayangkan, ternyata bangsa yang melahirkan seorang Lincoln ternyata menjadi bangsa yang termakan oleh kata-kata Lincoln tersebut.

Pada salah satu tulisan saya dulu yang berjudul ”Masa-masa Jaya”, saya menarik sebuah kesimpulan bahwa masa-masa kejayaan seseorang sesungguhnya tidak terletak ketika ia sudah sampai di puncak cita-citanya, akan tetapi justru pada saat ia sedang menapaki tanjakan untuk menuju ke puncak itu. Mengapa? Karena saat kita sudah di puncak, maka satu-satunya jalan bagi kita adalah ke bawah. Itulah sebabnya, kejayaan adalah sebuah kondisi dimana kepala kita masih mendongak untuk mencapai puncak. Ketika kita menolak untuk terus terpuruk, dan berkata bahwa kita harus maju.

Analisis saya itu sebenarnya bermuara pada pemikiran Ibnu Khaldun mengenai bangsa-bangsa yang memimpin peradaban. Bangsa-bangsa yang memimpin peradaban adalah bangsa yang telah ditempa oleh suatu kondisi, apakah itu perang, kondisi alam, dan sebagainya, yang membuat bangsa itu ingin berontak dan mencurahkan segenap upaya mereka untuk maju. Dan berkebalikan dengan itu, peradaban yang kemudian runtuh adalah peradaban yang diisi dengan pemuda-pemuda yang mulai ”melemah” mentalitasnya.

Para pemikir Amerika sepertinya memahami betul kedahsyatan pemikiran Ibnu Khaldun ini (sama seperti ketika para pemikir ”barat” mencatut karya-karya Ibnu Sina dan Ibnu Rushdi). Mereka memahami betul bahwa kejayaan harus dijaga. Momentum patriotisme sebuah bangsa perlu terus dipertahankan. Dan salah satu jalan untuk itu adalah dengan perang, karena perasaan ”memiliki musuh” merupakan sebuah alasan yang paling sederhana bagi sebuah bangsa untuk mempertahankan patriotisme mereka, yang secara otomatis akan menjaga para pemuda mereka supaya tidak ”melemah”.

Maka dari pemikiran itu, kita bisa melihat sekarang, bahwa Amerika Serikat (AS) adalah sebuah negara yang hidup dari perang. Secara periodik, AS mengikuti, atau memulai perang terhadap negara lain. Setelah Perang Dunia I pada permulaan tahun 1910-1920an, AS langsung berperan signifikan dalam Perang Dunia II pada tahun 1940-an. Setelah itu, mereka memulai perang melawan Vietnam tahun 1960-an dan perang teluk melawan Irak tahun 1980-an. Setelah itu, yang baru saja dimulai, adalah perang melawan ”terorisme” yang disimbolkan dengan perang di Afganistan dan Irak tahun 2001-sekarang.

Kita bisa melihat, dalam 100 tahun terakhir ini, periode perang AS adalah setiap kurang lebih 20 tahun sekali.

Selain berfungsi untuk mengembalikan (re-charge) patriotisme bangsa melalui slogan-slogan kejayaan demokrasi, perang juga merupakan alat paling efisien untuk meningkatkan perekonomian AS. Adalah melalui Perang Dunia I AS melalui Marshall Plan-nya mampu menguasai perekonomian dunia, terutama perekonomian negara-negara yang kalah perang. Dari Marshall Plan ini sebenarnya pola gurita hutang negara-negara lain ke AS mulai muncul, meskipun dalam perkembangannya lalu menjelma dalam bermacam bentuk. Dan melalui hutang, AS menguasai kebijakan ekonomi di banyak negara (termasuk Indonesia, tentunya).

Selain itu, tidak bisa dipungkiri, AS merupakan sebuah negara industri yang sangat besar. Terlalu besar, sehingga mereka bingung siapa pasar dari produk-produk mereka itu, dan darimana harus memperoleh bahan baku untuk semua produksinya. Untuk itulah, perang merupakan alat untuk memperluas pasar di negara-negara yang menolak untuk dimasuki oleh industri Amerika. Vietnam adalah salah satu contohnya. Perang Teluk pun merupakan sebuah wujud keinginan AS untuk memiliki minyak. Bukan berarti AS tidak punya minyak, karena cadangan minyak mereka juga besar. Akan tetapi, AS menyadari betul kebutuhan akan minyak di masa depan apabila mereka tidak menghematnya. Untuk itulah, mereka mendorong eksploitasi minyak di berbagai negara (agar cepat habis), sehingga suatu saat nanti, hanya merekalah yang memiliki sumber minyak (untuk dijual dengan harga tinggi). Dan dalam perdagangan minyak ini, negara-negara di jazirah Arab adalah saingan utama, karena belum banyak perusahaan AS yang menyedot minyak disana.

Kepentingan-kepentingan ekonomi seringkali memang sejalan (atau diselaraskan) dengan kepentingan politis. Bagaimanapun, akar bangsa Amerika terletak di Eropa ketika mereka menjadi ”pilgrims” yang mendatangi benua baru di seberang atlantik dan menyingkirkan penduduk aslinya, dan kemudian mengklaimnya dalam bentuk sebuah negara (AS). Maka mau tidak mau, slogan yang digunakan bangsa eropa dalam penjelajahan samudra pasca revolusi industri di Inggris juga terpatri dalam dada bangsa Amerika. Slogan itu, seperti anda semua tentu tahu, adalah Gold-Glory-Gospel (Emas-Kejayaan-Agama).

Hitung-hitungan ekonomi adalah penafsiran kontemporer atas ”gold”. Lantas bagaimana dengan dua yang lain?

”Glory” (kejayaan) bagi saya sebenarnya bisa ditafsirkan sebagai usaha AS untuk menjaga patriotisme bangsanya tadi. Melalui perang. Karena kemenangan dalam perang adalah sebuah kejayaan yang nyata bagi mata orang-orang yang paling lugu sekalipun. Tapi ada dua hal yang diperlukan untuk mengabsahkan sebuah ”glory”. Pertama, nilai-nilai (values) yang diperjuangkan. Kedua, musuh yang ditaklukkan. Bagaimana AS memiliki kedua hal ini?

Bisa anda perhatikan, alasan/retorika apakah yang dimunculkan AS dalam setiap perang yang dijalaninya? Benar, value yang menjadi retorika AS adalah ”demokrasi”. Setiap peperangan mendapat justifikasi sebagai ”usaha mempertahankan demokrasi” atau ”menyebarluaskan nilai-nilai luhur bangsa”. Inilah retorika umum yang disuapkan ke dunia, terutama ke generasi muda mereka. Retorika semacam ini memang diperlukan, karena siapapun (terutama para pemuda mereka sendiri) tentu akan muak apabila menyadari bahwa AS membantai penduduk sipil di Irak hanya demi minyak misalnya.

Lalu siapa musuhnya?

Musuh itu tentu harus sejalan dengan value yang dipertahankan. Maka, tentu saja Uni Soviet dan sekutu-sekutunya (termasuk Vietnam) menjadi sasaran empuk untuk diklaim sebagai musuh. Selama sekitar 30 tahun, pola ini sebenarnya terhitung ”stabil” dengan adanya perang dingin antara AS-Soviet. Selama 30 tahun, AS tidak perlu ”mencari” musuh. Akan tetapi, setelah keruntuhan Uni Soviet dan unifikasi Jerman pada awal 1990-an, AS terlihat limbung karena tidak ada orientasi siapa yang harus ”dijadikan” musuh. Perkaranya, musuh ini tentu harus dipandang ”seimbang” supaya menimbulkan perasaan waspada di kalangan warga negaranya. Negara-negara semacam Kuba, Peru, Bolivia atau Kolombia sebenarnya bisa dijadikan musuh, tapi mereka terlalu miskin dan sebenarnya tidak sebanding dengan kekuatan AS, kecuali mereka secara luar biasa dapat bersatu padu menyerang AS (yang diperkirakan akan sulit terjadi).

Maka, sejalan dengan kebutuhan ekonomi untuk menguasai sumber-sumber minyak, negara-negara di jazirah Arablah yang dijadikan musuh. Justifikasi untuk memulai permusuhan dengan negara Arab mendapat dukungan yang sempurna dari sisi ”gospel”.

Pasca masa renaissance (pencerahan) di eropa, sebenarnya peradaban barat memiliki sebuah barrier psikologis untuk mencampur-adukkan agama dengan politik dan pemerintahan, karena justru pemisahan antara keduanya itulah yang menjadi salah satu hal prinsip dalam proses renaissance tersebut. Meski begitu, membangun permusuhan dengan negara-negara Islam ternyata jauh lebih mudah untuk disulut dengan menggunakan agama sebagai justifikasi.

Secara tradisional, penganut nasrani di peradaban ”barat” memang telah membangun permusuhan secara kultural dan dogmatik dengan Islam. Ini didasarkan pada sebuah dogma di kalangan katolik ortodoks mengenai sebuah ramalan bahwa pada akhir zaman akan muncul seorang penipu ulung (great pretender) yang akan memutar-balikkan semua ajaran nasrani dan yahudi secara logis! Kemunculan Rasulullah SAW dianggap merupakan perwujudan dari ramalan itu. Itulah mengapa nama Muhammad SAW pada masa perang salib sering diplesetkan sebagai mahound yang kira-kira diartikan sebagai ”penipu” atau ”ahli nujum”. Konsekuensi dari semua ini, tentu adalah kecurigaan yang berurat-berakar pada umat Islam. Maka, hanya butuh satu pemicu kecil untuk memulai kembali peperangan (terutama setelah perang salib).

Begitupun dengan ummat Islam, secara tradisional telah memiliki kewaspadaan serupa terhadap Yahudi maupun Nasrani, terutama dalam konsepsinya yang paling mendasar, Trinitas.

Atas dasar kecurigaan yang terus-menerus inilah, AS merasa perlu memiliki sekutu di tengah jazirah arab. Kecurigaan ini pada awalnya bermula pada alasan politis, keamanan, dan keagamaan, yang sejak lama muncul (alasan ekonomi muncul belakangan). Meski begitu, sangat beresiko untuk AS memulai penyerangan pertama. Oleh karena itulah, AS sejak dulu sangat berhati-hati terhadap dunia arab. AS tidak mungkin gegabah untuk menyebut mereka sebagai ”musuh” secara terbuka tanpa alasan yang jelas. Meski begitu, sejak dulu, bahkan sebelum munculnya perang dingin, hubungan antara AS dengan negara-negara Arab tidak bisa dibilang ”erat”, kecuali dalam hal kerjasama-kerjasama ekonomi yang menguntungkan AS. AS hanya butuh sekutu untuk mengawasi dunia arab dan memainkan kepentingan mereka di kawasan timur tengah.

Untuk itulah, AS mendukung gerakan zionisme dan pembentukan negara Israel. Hanya saja, mungkin AS tidak menyadari, mereka sedang membesarkan macan.

Secara ideologis, AS mungkin memandang bangsa yahudi memiliki kesamaan dengan mereka. Bahkan mungkin kebencian yahudi terhadap ummat Islam mungkin lebih besar, karena Islam dianggap sebagai agama yang pada masa-masa awal kemunculannya langsung menyingkirkan yahudi dan menghancurkan simbol-simbolnya, termasuk sinagoga haikal (Masjidil Aqsho mereka klaim dibangun diatas puing-puing sinagoga ini).

Maka kemudian, AS secara membabi buta mendukung israel (dan secara otomatis, gerakan zionisme). Meski begitu, dalam perkembangannya, alih-alih menjadi ”peliharaan” AS, justru AS yang seolah menjadi ”peliharaan” Israel. Sebuah blunder bagi AS.

Israel, dengan mengeksploitasi kisah sedih holocaust, membangun justifikasi untuk gerakan zionisme. Palestina menjadi negara yang paling dirugikan dengan gerakan ini, karena zionisme secara utuh menghendaki keseluruhan wilayah yang pada mulanya dikuasai oleh Palestina. Secara kultural, seluruh negara Arab dan dunia Islam pun merasa terancam karena keberadaan tempat-tempat bersejarah yang menjadi simbol bagi umat muslim di wilayah itu. Peperangan tak terelakkan.

Perang Arab-Israel terjadi pada tahun 1948 dan 1957. Kedua perang itu tidak menghancurkan Israel. Meski begitu, negara-negara Arab tetap tidak bersedia mengakui keberadaan negara Israel dan menyerukan penghancuran negara Yahudi tersebut dan mengusir penduduknya ke laut. Selama bertahun-tahun, terjadi perang kecil-kecilan di perbatasan antara pasukan Mesir, Suriah, dan Yordania dengan Israel. Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.

Pada tahun 1967, dengan didahului provokasi oleh Uni Soviet (dengan kepentingan untuk menyingkirkan Israel yang merupakan sekutu AS, rivalnya dalam perang dingin), terjadilah “Perang 6 hari” antara Israel menghadapi Mesir, Suriah dan Yordania yang didukung oleh Irak, Kuwait, Saudi, Sudan dan Aljazair. Bisa dibilang, negara-negara Arab tersebut gagal total. Mesir hanya bertahan 4 hari, Yordania 3 hari, dan hanya di front Suriah terjadi perang selama 6 hari secara penuh. Sinai, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan direbut oleh Israel. Negara-negara Arab mundur mengingat wilayah-wilayah yang dicaplok Israel baru wilayah-wilayah dengan penduduk sedikit atau wilayah yang merupakan rampasan sebelumnya. Selain itu, karena Israel berhasil menempatkan pasukan dengan jarak kurang dari 100 km dari ibukota masing-masing lawannya. Israel berhasi mencapai efisiensi tinggi dalam perang tersebut dengan modernisasi persenjataan yang didukung AS, berhasil memaksa negara-negara Arab yang dibantu persenjataan Soviet untuk mundur.

Setelah perang itu, negara-negara Arab mengubah jalur peperangan ke arah diplomasi, meski perang terbuka tetap dipersiapkan untuk sewaktu-waktu terjadi.

Ketidak-puasan Israel atas wilayah-wilayah yang dicaploknya membuat Israel tidak berhenti untuk berusaha menguasai seluruh wilayah Palestina. AS nampaknya tidak memperkirakan hal itu, tetapi mau tidak mau mendukung Israel karena kepentingan dalam perang dingin dan kepentingan memiliki sekutu di timur tengah. Pada akhirnya, AS menutup mata terhadap kekejaman apapun yang dilakukan Israel di Palestina, dan berusaha menempatkan diri pada posisi netral, meskipun menampakkan kecenderungan keberpihakannya pada Israel dalam isu-isu yang strategis.

Standar ganda nampaknya memang bukan sebuah persoalan bagi AS (maupun negara-negara barat lainnya). Satu yang dipegang teguh oleh AS nampaknya hanyalah kepentingan (yaitu kepentingan politis dan ekonomi). Adapun agama dan moralitas, nampaknya hanya kosmetik untuk menjustifikasi setiap kebijakan mereka.

Bisa kita lihat, pada Perang Dunia II misalnya, betapa AS dan Inggris begitu sejalan dengan Soviet, bahkan menutup mata terhadap imoralitas yang ditunjukkan soviet ketika menganeksasi lahan pertanian jutaan rakyatnya menjadi lahan negara. Lalu setelah itu, menjadikan soviet sebagai musuh ketika hendak memplokamirkan diri sebagai negara adidaya. Begitupun di Afganistan pada akhir tahun 1970-an ketika mensponsori perjuangan Osama bin Ladin dalam memukul mundur pasukan soviet (dalam rangka kepentingan perang dingin), sementara pada saat ini Osama justru menjadi tumbal yang disimbolkan sebagai justifikasi untuk memulai ”perang terhadap terorisme”. Dalam hal moralitas dan nilai-nilai (values), AS memang telah menjelma menjadi banci yang sejati.

Israel (bangsa yahudi) pun tak kalah pintarnya. Mereka tahu betul bahwa sebanci apapun AS, jaringan dan pengaruh AS di dunia tetap sangat kuat. Maka secara kultural, mereka menganeksasi AS melalui sistem ekonomi dan politis. Perusahaan-perusahaan multinasional yang didirikan bangsa yahudi kemudian mencengkeram dunia melalui infrastruktur AS. McD, Coca Cola, Intel, dan sebagainya seolah menjadi trademark AS, meskipun sebenarnya dikuasai Israel. Mereka tahu, ketika menguasai perdagangan AS, AS tidak akan semudah itu menyingkirkan Israel di kemudian hari. Begitu juga, penguasaan ekonomi akan memperlancar akses ke penentuan kebijakan-kebijakan politik, termasuk politik luar negeri. Dengan menguasai politik luar negeri AS, Israel punya akses untuk menguasai politik PBB.

Maka jadilah AS sebagai kerbau yang dicocok hidungnya oleh Israel, sementara PBB hanya bisa termangu ketika kebijakannya diveto oleh AS.

Kondisi ini tentu membuat Israel dalam posisi “aman” dalam meneruskan politik zionisme. Sebrutal apapun, AS di belakang mereka. Maka, ketika Israel menjadi pengecut besar yang melawan batu dengan M-16 di Palestina, mereka tetap tak tersentuh. AS bahkan bertindak lebih jauh dengan melindungi Israel dari potensi ancaman di seluruh dunia, termasuk menghalang-halangi pemilikan nuklir di Iran.

Saat ini, ketika krisis kemanusiaan terjadi di Lebanon dan Palestina, negara-negara Arab nampaknya masih trauma dengan kekalahan mereka di Perang 6 Hari pada tahun 1967. Sejak tahun 1967 sampai saat ini, praktis mungkin hanya Suriah yang diwaspadai oleh Israel. Ini karena rudal-rudal balistik Suriah mampu mencapai tempat-tempat strategis di Israel, termasuk Tel Aviv. Israel bersikap hati-hati terhadap Suriah karena menghindari banyak korban melayang dari rudal-rudal itu. Efisiensi tenaga manusia memang sangat diperhatikan oleh Israel, karena warga negara mereka terhitung sedikit. Itulah sebabnya, mereka tidak merasa malu-malu untuk menghabisi banyak rakyat sipil di negara musuhnya dengan senjata terlarang, karena peperangan terbuka dengan persenjataan yang seimbang tentu sangat merugikan bagi Israel. Inilah sebabnya, ketika AS mendengungkan isu weapon of mass destruction (WMD) sebagai justifikasi untuk menghancurkan Irak, AS juga secara sistematik menutup-nutupi kalau sebenarnya WMD itu hanya dimiliki oleh Israel.

Atas aksi-aksi penuh kepengecutan dari Israel, dan kebancian AS dalam humanisme global, sebenarnya bisa disimpulkan bahwa perdamaian dunia (dan kehidupan yang lebih baik) secara pragmatik hanya akan terjadi bila kedua negara ini... hancur!

Kembali pada pepatah Lincoln yang saya sitir di awal tulisan, dengan kekuasaan yang dimiliki AS sebagai negara adidaya, AS dan Israel memang telah menunjukkan karakternya. Sayangnya, karakter itu ternyata adalah karakter banci dan pengecut sekaligus.

Adapun bagi ummat Islam, satu hal yang perlu diperhatikan adalah nampaknya AS dan Israel melupakan satu hal. Mereka cenderung mengidentikkan, mereduksi Islam kedalam simbol-simbol Arab. Kita tidak boleh terjebak pada simbol dan melupakan apa yang berada di balik simbol-simbol itu.

Sesungguhnya, Islam bukanlah Arab semata. Hakikat Islam berada pada hati sanubari setiap muslim di seluruh dunia. Dan setiap muslim adalah satu tubuh. Maka, peperangan terhadap Israel bukan saja milik dunia Arab. Perang itu adalah milik semua muslim di dunia, dalam bentuknya masing-masing.

Apabila kita merindukan kejayaan Islam, maka masa-masa ini patut dilihat sebagai masa-masa dalam menapaki kejayaan itu. Pada masa inilah ummat muslim harus bersatu, mendongak ke atas dan meyakini bahwa dibawah bimbingan Allah, pada akhirnya nanti, Islam akan menang!


NB : Untuk yang ingin membaca tulisan-tulisan blogger lain mengenai Israel, silahkan klik banner berikut :


1 comment:

de asmara said...

makasih ya dah bantuin cari link-nya :)