sambungan cerita dari sini...
----
Koneksi kami di Papua semestinya menjemput kami di bandara ini. Beberapa kali pak Joko mengontaknya melalui HP.
Bandara Jayapura sendiri adalah sebuah bandara yang jauh dari kesan “profesional”. Para calo angkat barang begitu aktif dan agresif menawarkan jasanya, terutama melihat muka-muka baru seperti kami. Hampir di seluruh penjuru bandara, di setiap ruangan, di begitu banyak dinding dan pilar, tertempel poster-poster yang isinya baru saya lihat seumur hidup saya… “DILARANG MAKAN PINANG !!” beserta gambar seseorang yang sedang meludah, ludahnya berwarna merah, dan satu tangannya memegang satu buah yang berukuran kecil. Nampaknya, itulah yang dinamakan pinang. Kami semua asing dengan poster itu, dan bertanya-tanya…”apa pula maksudnye nih???”
Pak Iwan Turangan, koneksi kami di Papua, akhirnya menemukan kami. Ia bersama adiknya (karena sudah agak lama, dan saya sangat buruk mengingat nama, maaf, saya lupa namanya, sebut saja Frans). Dan dari Pak Iwan dan adiknya itulah, kami pertama kali mendengar logat khas negeri-negeri di Papua.
“Aah, dari Jakarta kah? Cape toh? Aaa, kita naik taksi saja dari sini toh, lalu kita ke hotel dekat sini…”. Logat-logat ini diucapkan dalam nada khas kawasan timur Indonesia, sementara partikel kah dan toh sering sekali diucapkan, disisipkan dalam kalimat-kalimat, diucapkan dengan nada naik/meninggi seperti orang bertanya, padahal belum tentu dia sedang bertanya. Contohnya, ketika kami sampai hotel, Pak Iwan berkata … “Naah, ini dia hotelnya toh..” yang mana jelas itu bukanlah sebuah pertanyaan. Tapi tenang saja, kalau anda mendengarnya langsung, secara instingtif anda akan dapat membedakan antara kalimat berita, tanya, atau perintah. Jadi, kalau anda ingin cepat akrab dengan masyarakat asli di Papua, sederhana saja, berbicaralah dalam bahasa mereka, kuasai dialeknya, dan jangan lupa, banyak-banyak ucapkan kah dan toh…
“aaah, cape kah, 10 jam perjalanan??”… “ah, tidak pak Iwan, 8 jam saja”… “hahaha, itu jam bapak masih waktu jawa toh? Kalo sudah waktu papua, dihitung jadi sudah 10 jam toh…”… Ya… kami lupa menset waktu menjadi WIT.
Perjalanan dengan taksi pelat hitam berupa Toyota Kijang Inova cukup dapat dinikmati… Keindahan alam Jayapura bukanlah sebuah keindahan yang dapat anda nikmati di Jawa. Tidak… Subhanallah, kalau ada yang pertama kali saya kagumi dari Papua, itu adalah keindahan alamnya… Gunung-gunung yang bermunculan di kejauhan, tapi tanpa kami sadari, ternyata begitu dekat… Laut membentang di sisi kanan jalan yang kami lalui dari bandara ke hotel yang belum kami ketahui pasti letaknya dimana, sementara sisi kiri kami dihadang tebing yang diatasnya pepohonan tumbuh subur, satu bagian dari sebuah gunung yang ternyata terletak di sebelah jalan ini… Dan perjalanan penuh liku itu memang seperti perjalanan melintasi pegunungan, tapi dengan udara panas dan matahari menyengat… sangat eksotis. Selang beberapa lama, nampak sebuah danau yang begitu luas dan jernih di sisi kanan jalan, setelah laut tak lagi terlihat oleh kami…
Hanya ada satu keanehan disana... B-A-B-I. Ya, perasaan kok banyak sekali ya babi-babi besar berseliweran di pinggir jalan, kadang menyeberang jalan sembarangan, kadang jalan bareng pemiliknya... dsb-bsb...
(merhatiin ga ? telah terjadi perubahan gaya bahasa dan gaya menulis di paragraf ini)
Yap, babi besar hitam-hitam, bukan babi2 pink imut2 kaya di film ”babe” atau hampton dalam looney toons. Babi besar hitam jelek kotor dsb.
Terdorong iseng, sy bertanya pada sang supir, ”banyak sekali babi disini toh?”
Sang supir kemudian bercerita panjaaaaang lebar...
”ya, banyak toh. Kitorang (sepertinya singkatan dari ”kita orang” atau ”kami”) disini banyak makan babi. Babi banyak menyebrang sebarangan toh. Tak ada disini berani tabrak itu babi.”
”kenapa kah?” (pikiran saya langsung melayang ke India dimana sapi menjadi binatang keramat, apakah disini babi itu binatang keramat?)
”aah, dulu ada saya punya kawan, tidak sengaja dia tabrak itu babi satu. Betina. Babi mati, yang punya babi turun gunung toh. Dituntutnya kawan saya itu ke pengadilan toh.
Di pengadilan, orang tadi yang punya babi bilang, itu babi dagingnya kalau dijual bisa 7 juta toh, dagingnya besaaar. Kawan saya sudah terima saja kalau harus ganti 7 juta. Tapi orang tadi masih bicara lagi. Maaf (sambil menoleh sebentar ke bu bunga), bapak tau itu babi punya puting susu berapa?”
”aah, babi punya puting 10 pak, 5 kanan, 5 kiri”, saya jawab
”benar toh. Jadi dia bilang, itu babi, punya anak 10, bisa mati semua karena tidak bisa lagi minum susu dari ibunya. Daging anaknya masih kecil2, dimintanya 2 juta untuk 1 ekor anak babi. 20 juta toh? Ditambahnya lagi, kerugian immateriil, karena itu babi dia satu-satunya, sekarang mati, anak2 babinya pun mati, dia minta lagi 5 juta toh. Hakim setuju toh, diminta bayar kawan saya itu 35 juta. Stress kawan saya itu. Selesai sidang dia bilang ke orang yang punya babi tadi... Lain kali kalau saya lihat bapak bersama babi lagi, saya tabrak bapak saja, babi tidak akan minta 35 juta dari saya!” Jadi itu sebabnya banyak babi keliaran di pinggir jalan. Cerita ini nampaknya sudah menjadi legenda di kawasan timur Indonesia, termasuk di Sulawesi.
Mengenai ”dilarang makan pinang” yang sebelumnya kami lihat di bandara, Pak Iwan kemudian menjelaskan bahwa, pinang adalah makanan tradisional yang banyak sekali dinikmati oleh orang2 papua. Disini, mungkin seperti sirih. Bagian dalam buah itu berwarna merah. Masalahnya adalah, orang2 papua biasa makan buah pinang itu, lalu meludah, dan ludahnya jadi berwarna merah darah. Itu sebabnya banyaaaak sekali bercak2 merah di jalanan papua. Dan itu juga sebabnya mengapa di Jayapura, dikeluarkan Perda tentang makan pinang ini, karena banyak yang meludah sembarangan.
Satu lagi kebiasaan orang papua adalah... mabuk... minum sampai mabuk. Pak supir dan pak iwan menjelaskan, bahwa ini adalah kebiasaan orang2 papua yang sudah hidup di kota. Ini juga sebabnya dunia perbankan tidak terlalu berkembang di papua. Bagaimana tidak, pola hidup disini adalah, siang dapat uang, malam habis. Berapapun jumlahnya, uang itu selalu habis untuk minum pada malam harinya. Pak supir pun tertawa-tawa saja, karena dia pun begitu...
Saking sayangnya dengan minuman keras, Pak Iwan bercerita bahwa dulu ketika terjadi kerusuhan dan jarah-menjarah di Jayapura, satu-satunya toko yang selamat dari pembakaran adalah toko minuman keras, karena masyarakat khawatir mereka besok tidak bisa beli minuman lagi.
Pola minum inilah yang juga menyebabkan, penyebab kematian terbesar di Jayapura adalah kecelakaan motor.
Setelah dilihat, memang, orang2 yang bawa motor disini GILA-GILA !!! ngebut sembarangan, kayanya ga pake otak ato perhitungan dalam salip menyalip. Dan ini di siang hari. Malam hari, nyali (dan kebodohan) mereka meningkat karena ditambah alkohol. Minum, ngebut, lalu mati, adalah pola yang umum disini.
Dan seiring dengan kebiasaan minum, tentu free sex juga banyak berkembang. Dari virus yang dibawa oleh orang2 asing yang dilayani oleh pelacur2 lokal, berkembanglah virus HIV di papua, sehingga jumlah penderita AIDS terbesar di Indonesia adalah di Merauke dan Jayapura. Ini yang membuat si supir tidak bosan2nya berpesan pada kami (termasuk bu bunga), untuk selalu menyediakan kondom di dompet kami.
Selama 3 hari kemudian kami tinggal di Jayapura, menikmati keindahan alam dan panasnya kota. Pak Iwan memandu kami mengunjungi tempat2 istimewa di Jayapura, satu teluk yang dari sana terlihat Papua Nugini, dataran tinggi yang menjadi rumah orang-orang kaya, dan tikungan jalan yang menjadi tempat dibunuhnya Theys, seorang tokoh yang cukup berpengaruh bagi masyarakat papua, pada masa perseteruan antara RI dengan OPM sedang gencar-gencarnya.
Soal makanan... kami harus benar2 berhati-hati masalah halal dan haram. Karenanya, kami biasanya makan di tempat yang hanya menjual ikan, dan fast food semacam KFC. Soal harga... ya kira2 sendirilah, di Jayapura sebatang sabun Lux harganya bisa mencapai 5000. KFC pun menjadi pilihan yang terkadang lebih murah dibanding warung pinggir jalan. Itupun, dengan harga yang jauh lebih mahal dibanding di Jawa. Satu hal yang jelas, orang2 papua nampaknya kurang jago dalam memasak ikan. Digoreng atau dibakar biasanya sudah cukup. Tapi dalam hal sambal, sepertinya ini satu daerah yang memiliki sambal terenak (dan terpedas) di Indonesia. Sepertinya disini, enak = pedas, satu filosofi yang cukup memanjakan lidah saya....
Hanya ada 1 mesjid besar di Jayapura. Saya tidak tau bahwa dalam 2 minggu kedepannya, saya akan menyesal tidak memperhatikan mesjid itu dengan sungguh-sungguh...
Bersambung...
No comments:
Post a Comment