(Oke, untuk postingan yang ini, kalau memang berminat anda baca, maka saya sarankan mengambil kopi dan cemilan, karena akan sangat puanjang :p dan pastikan bahwa anda memang punya waktu sekitar 10 menit untuk membacanya :p)
Bagi anda, bilakah yang anda anggap masa-masa jaya anda??
....
Muncul perasaan yang aneh dalam diri saya ketika saya beberapa kali terakhir berkunjung ke kampus. Entah itu sekedar untuk janjian dengan teman, atau sekedar main, atau sekedar lewat, perasaan aneh itu tetap muncul kalau saya sedang di kampus. Apalagi kalau kemudian melihat para mahasiswanya, dosen-dosennya, satpam-satpamnya, kantin-kantinnya, pedagang-pedagang asongannya, ruang-ruang kelasnya, dapur-dapur, para tukang sapunya, pengemis-pengemisnya, anak2 jalanan di sekitarnya ... perasaan aneh itu semakin kuat.
Tentu, perasaan aneh itu dengan mudah lalu saya identifikasi sebagai perasaan “rindu”. Ya, saya rindu menjadi mahasiswa. Bukan karena statusnya, tapi karena kehidupan didalamnya.
Sebuah paradoks yang kontardiktif saya temui saat ini, setelah saya keluar kampus. Paradoks inilah yang menjadi sebuah ironi kerinduan akan masa lalu. Masa-masa jaya.
Tahun kedua kuliah adalah masa-masa dimana saya mulai terlibat aktif dengan cukup intens dalam kegiatan-kegiatan kampus. Sebenarnya mulai pertama kuliah pun saya sudah tertarik pada kehidupan kampus, akan tetapi pada tahun kedua inilah saya mulai menghabiskan lebih banyak waktu di kampus dibanding di kosan saya, termasuk (atau malah terutama ya...) pada malam hari. Adalah Panitia Pemilu yang waktu itu dipimpin Erfan yang pertama-tama membuat saya sering menginap di kampus. Maklumlah, pada waktu itu meskipun jumlah panitia yang terdaftar cukup BUANYAK, tapi pada masa-masa kritis, terhitung yang dapat diandalkan mungkin hanya sekitar 7 orangan gitu... dan kami menyebut diri “the magnificent seven” (norak! :p). Sehingga, frekuensi saya menginap di kampus jadi meningkat tajam, dan mulai terkenal sebagai salah satu makhluk malam kampus, dan makhluk yang suka gerayangan subuh-subuh mencari WC di kampus yang cukup bersih untuk mandi :p
Eniwey.... (berhubung udah mulai ngelantur, maka... mari kita lanjutkan lanturannya :p )
Pada suatu malam di tingkat 2 itu, tanpa disangka tanpa dinyana, ayah saya menelpon ke kosan saya... dan tentu jawaban dari teman kos saya yang polos nan lugu adalah : “wah, Awannya belom pulang tuh oom, tau tuh dari kemaren belom ke kosan lagi...” (NICE answer guys!). Dan yang memperburuk situasi, ternyata ayah saya pun menelpon esok malamnya, dan keesokan malamnya lagi, dan memperoleh jawaban yang SAMA! (padahal saya pulang ke kosan tuh paginya, ganti baju, mandi , terus cabut lagi :p ). FYI, saya waktu itu belom punya HP (tilpun yang bisa dipegang dan dibawa-bawa kemana-mana itu loh...), dan baru punya HP (merk siemens model jadul (jaman dulu) yang masih ada antenanya, segede walkie talkie ukuran kecil) waktu semester 6 akhir.
Maka jadilah, ketika AKHIRNYA saya ada di kosan dan menerima telpon dari ayah saya, terjadi ledakan kemarahan pada diri ayah saya yang intinya adalah : “Bapak nyari uang susah-susah tu buat kamu kuliah!! Bukan buat maen malem mulu!! Ntar kalo kamu sakit ato apa, kuliah keteteran, gimana coba???” Tentu, saya coba berargumentasi mengenai urgensi aktivitas di kampus, sehingga akhirnya diskusi tidak seimbang itu ditutup dengan ucapan ayah saya : “Ya udalah, terserah, mau ngapain di kampus, asal baik. Yang penting, IP kamu GAK BOLEH dibawah 3 !!”. Yah, mau bagemana lagi... IP memang ukuran (hampir satu-satunya) yang oleh masyarakat secara umum dianggap cukup valid untuk mengevaluasi kecerdasan, intelektualitas, dan bahkan potensi berkembang (maupun potensi untuk menjadi kaya) dari seorang anak manusia. Sehingga, walau secara logika saya menentangnya, tapi saya mahfum bahwa itulah ukuran yang dipahami dan diharapkan oleh ayah saya. Satu poin penting lain dari diskusi itu tentu adalah : bahwa uang ayah saya itu adalah sebentuk amanah untuk satu hal (kuliah), sehingga aktivitas lain hendaknya tidak mengganggu gugat amanah tersebut (bingung ga sih dengan bahasa saya???).
Saya kemudian membuat rumusan bahwa pilihan apapun yang saya ambil harus saya tanggung konsekuensinya. Dan saya memilih untuk tetap menjalankan aktivitas di kampus, dan terus berkembang di kampus. Maka konsekuensinya adalah, satu, itu tidak boleh mengganggu kuliah saya (minimal IP saya), dan dua, saya tidak boleh lagi memberatkan ayah saya dalam hal finansial (karena itu tadi, uang ayah saya hanya untuk kuliah).
Maka sejak saat itu, saya tidak pernah lagi meminta uang dari ayah saya. Tapi kalau ayah saya memberikan uang (tanpa diminta), ya saya terima :p. Termasuk untuk SPP, uang kontrakan, buku dsb, saya kemudian tidak pernah terbuka dengan ayah saya. Mungkin ayah saya cukup heran dan diam-diam mengetahui filosofi saya ini, berhubung SETIAP KALI ditanya masalah SPP atau uang untuk kontrakan/kosan, dsb, saya selalu menjawab : “masih ada kok, masih ada tabungan. Tenang aja”. Demikian juga untuk uang bulanan yang dulu saya minta secara rutin, sekarang tidak saya minta lagi. Kalaupun ditanya ”kamu masih ada uang?”, saya selalu jawab ”masih, tenang aja”. Tapi tentu, setelah 6 bulan selalu mendapat jawaban yang sama, tentu ayah saya pun tau kalau sebenarnya uang itu tidak ada, tapi anaknya ini sudah terlalu gengsi untuk minta. Maka biasanya saya tetap diberi uang setiap bulan, entah saya minta atau tidak, yang jumlahnya tidak tentu. Terkadang juga tidak dikasih. Bahkan untuk SPP, kalau ayah saya bilang ”coba urus penundaan dulu, belum ada nih uangnya”, saya jawab ”gpp kok, saya masih ada tabungan” sampai akhirnya saya jawab ”udah lunas pap” yang tentu membuat ayah saya bingung.
Tapi jawaban-jawaban itu bukan jawaban asal sodara-sodara... Bagaimanapun, dengan pilihan itu, saya memang harus bisa menghidupi diri sendiri bukan?? Maka dimulailah usaha serabutan saya untuk mencari uang, mulai dari pinjam uang ke orang (oke, ini pilihan terakhir!!), bantu-bantu ngerjain tugas orang (bukan ngebikinin, ngebantuin!), sampai ngamen di simpang jalan Dago-Sulanjana (berhubung simpang jalan ini masih sedikit pengamennya, dan premannya nggak galak :p). Mengamen memang pilihan yang paling feasible, karena saya punya gitar, dan saya pelajari teknik mengamen itu waktu dulu OSPEK dan mencari dana untuk acara-acara wisudaan di himpunan. Tidak banyak yang tau memang acara mengamen ini, karena saya lakukan sendiri (biar ga usah dibagi-bagi uangnya :p). Gitar saya taruh di kampus, di sekre Panpel, jadi saya bisa ngamen kapan aja kalau ada waktu luang. Cepat kok, biasanya dalam satu malam, sekitar 3 jam bisa terkumpul 10.000 sampai 20.000 (kalau penumpang angkot pada baik), dan bisa untuk makan sampai 2 hari setelahnya. Dengan pola hidup ini pun saya belajar untuk hemat...mat...mat... irit...rit...rit... sehingga bisa menabung untuk masa depan yang penuh ketidakpastian. Dan memang pada akhirnya, ketidakpastian itu datang juga... GITAR SAYA DICURI ORANG DI KAMPUS!!! Ini terjadi tepat pada acara kampanye hari terakhir pada masa Panpel Pemilu Erfan. Wah... sudah... hancur berantakan.... gitar yang saya sayangin itu, yang menjadi alat saya dalam berikhtiar mengais rezeki... hilang sudah...
Memang, saya ikhlaskan kehilangan itu... (walau saya yakin, kalau bertemu pencurinya, akan saya gelitiki telapak kakinya sampai dia minta ampun!!) Akan tetapi, kehilangan itu terjadi di masa yang sungguh tidak tepat. Waktu itu, setelah pemilu, saya diberi amanah sebagai senator HMP di Kongres KM-ITB, yang membuat waktu-waktu malam saya lebih banyak lagi tersita untuk rapat-rapat dan diskusi, mulai yang penting sampai gak penting, yang jelas sampai mengalor ngidul. Siangnya diisi dengan Studio Proses Perencanaan yang banyak makan waktu juga. Lalu di himpunan ada OS, dimana saya anggota tim materi, kemudian ketika acara lapangan menjadi salah satu Danlap (komandan lapangan). Semua ini membuat saya nyaris tidak ada waktu untuk mencari uang, sementara saya tinggal berpegang pada uang di tabungan saya yang tinggal 1,5 juta lagi. Sebenarnya bisa saja saya ikut proyek-proyek dosen, lumayanlah dapat uang bantu. Tapi, tenaga perbantuan seperti itu menyita banyak waktu. Ditambah ketika itu, belum banyak mahasiswa yang mroyek, apalagi angkatan saya.
Dan yang membuat otak semakin mumet, ditambah lagi dengan habisnya kontrakan rumah kos, dan harus bayar lagi untuk setahun kedepan, 1,6 juta. Panik deh. Alhamdulillah, bulan itu ayah mengirim 300 ribu, tanpa tau bahwa waktu itu kontrakan saya habis.
Setelah pembayaran rumah selesai, maka tiba2 uang saya tinggal 150 ribu lagi, tanpa waktu untuk mencari uang, dan kalau mengharapkan ayah saya memberi uang lagi, tentu baru bulan depan. Itupun belum jelas kapan dan berapanya... Minta? Gengsi !! (duuh, pikirannya kekanak-kanakkan bgt ya...:p). Maka saya putuskan, saya harus bisa hidup dengan 5000 sehari !!! (keputusan dibuat sambil mengucap sumpah serapah untuk maling garong yang mengambil gitar sayah!!)
Jadilah, dibantu dengan sebungkus kopi kapal api ukuran 250gr dan 1 kg gula pasir yang saya rampas dari rumah ketika terakhir pulang ke Bogor, pola hidup itu saya jalani. Sarapan dengan roti seharga 500 rupiah ditambah segelas kopi, makan siang dengan bubur kacang hijau Pak Jajuli di dekat himpunan seharga 1000 rupiah, lalu makan malam nasi goreng atau apapun yang seharga 3500 rupiah. Pulang-pergi kampus cukup berjalan kaki, dan yang paling penting, kalau mau rokok, MINTA!! (hueheheheh, makasih rekan2 himpunan yang suka nongkrong di himpunan pada masa-masa itu, yang rela memberikan rokoknya pada sayah :p). Rokok pada masa-masa itu menjadi cukup vital, dan frekuensi merokok saya memang meninggi pada masa-masa ini, dengan satu alasan : rokok menghilangkan nafsu makan, dan menahan lapar!
Masalahnya adalah kalau saya harus pergi ke tempat-tempat lain yang butuh ongkos. Akibatnya, kalau tidak ada teman yang membayari ongkos itu, maka saya harus ambil dari pos lain, dan paling sering adalah pos makan malam yang 3500 itu. Tenang, masih ada Indomie-telor yang bisa didapat dengan 1500 rupiah, atau indomie seharga 1000 rupiah, atau... roti seharga 500 rupiah, atau... tidur untuk melupakan lapar. Yap, tidur adalah langkah yang paling logis.
Tidak jarang juga saya berjudi (ya Allah, maafkan hambaMu ini...) di himpunan, yaitu di meja karambol!!. Yap, pada kasus-kasus tertentu, saya menerima tantangan atau menantang teman di himpunan untuk bermain karambol, yang kalah traktir teh botol, rokok, atau makan siang, atau apapun yang disepakati. Bagi saya taruhannya waktu itu jelas, kalau menang saya makan, kalau kalah saya ngutang! Dan karena itu, saya juga pilih2 lawan, kalau yang jelas-jelas lebih jago dari saya, ya saya mundur, ga pake tarohan. Tapi kalo lawan kayak Odhenx (sori denx! :P ) ato siapa aja yang kira-kira kemungkinan menang saya besar, saya maju (taruhannya perut bung!). Halah, sisi gelap hidup di meja judi (karambol) nih... Eh, btw, pada tau karambol kan???
Tapi untunglah, hari2 itu tak berlangsung lama... hanya sekitar 3 bulan, sampai akhirnya datang acara akhir pada OS angkatan 2001, dan setelah itu seorang dosen menawari saya untuk membantu desertasinya, dan tugasnya tidak terlalu menyita banyak waktu, memimpin survey ke perumahan di Margahayu. Saya memobilisasi 30 orang untuk survey (termasuk saya sendiri), lalu bersama seorang kawan saya melakukan input data dan analisis sederhana. Di akhir proyek, saya pribadi mendapat sekitar 750 ribu rupiah. Tentu, ini jumlah yang cukup besar ketika itu. Dan alhamdulillah, disusul dengan proyek-proyek berikutnya. Memang, hasilnya tak sebesar yang pertama, tapi cukuplah untuk hidup stabil setiap bulannya, menaikkan standar hidup dari 5000 sehari menjadi mencapai 10 ribu sehari. Selain itu, alhamdulillah akhirnya saya pun bisa membeli gitar bekas seharga 450 ribu, untuk menggantikan posisi gitar saya yang lama.
Sejak itu kondisi keuangan saya relatif stabil memang. Saya hanya mencari uang ketika sudah mendesak kebutuhannya, berhubung frekuensi kegiatan saya di kampus terus meningkat sampai saya lulus. Memang, pada masa-masa pembayaran SPP, habis kontrakan, dsb, kembali fluktuatif, tapi alhamdulillah, dapat dilalui. Terima kasih untuk semua (banyak) yang dulu membantu saya melalui masa-masa kuliah ini, termasuk Risma yang dulu sempat saya pinjam uangnya 750 ribu untuk pembayaran SPP terakhir saya (makasih Ris, udah lunas kan?? :p).
Memang, yang saya sayangkan adalah, tercatat saya satu kali gagal memenuhi janji saya pada ayah saya untuk tetap menjaga IP saya diatas 3. Pada semester 4, IP saya 2,8. Meski saya bisa menjaga IP diatas 3 pada semester-semester berikutnya, tetap ini adalah sebuah kecacatan...
Tapi memang, masa-masa itu saya lalui dengan ketenangan dan kebebasan. Seberat apapun, saya tetap merasa tenteram. Apalagi, pada masa-masa itulah saya mendapat banyak guru baru, termasuk Erfan dan Delik yang menjadi guru mengaji saya (saya sama sekali buta huruf sampai bertemu orang-orang ini di kampus :p), dan semua kawan di kampus yang menjadi inspirasi saya.
Yap, adalah kebebasan yang membuat saya merindukan masa-masa ini. Kebebasan dengan batasan yang jelas untuk beraktivitas. Kebebasan untuk membuat pilihan. Kebebasan untuk beradu argumentasi di kampus. Kebebasan untuk mengemukakan pemikiran. Kebebasan untuk bergerak.
Adalah sebuah ironi apabila kemudian pada masa-masa sekarang ini justru saya merasakan kebebasan itu perlahan mulai terikat. Padahal justru sekarang, permasalahan sumber daya materi saya tidaklah seberat dulu.
Dulu, adalah mudah bagi saya untuk mengumpulkan uang dan disumbangkan secara rutin untuk Yayasan Bocah Garis (sebuah rumah singgah untuk anak2 jalanan di Dago dan sekitarnya), atau bahkan menyumbangkan uang saya sendiri (yang seringkali merupakan satu-satunya jumlah uang yang saya miliki) untuk anak2 itu. Mudah bagi saya untuk berkunjung kesana kalau saya mau. Dulu, beradu argumentasi dengan rektor atau seorang calon presiden RI pun bukan sesuatu yang menakutkan bagi saya, bahkan ketika perdebatan itu sampai menegangkan urat syaraf. Dulu, wacana-wacana akademik mengalir lancar di ruang-ruang kuliah atau forum-forum yang melibatkan para pengambil kebijakan publik.
Tapi sekarang, ketika saya tidak lagi perlu untuk mencari sumbangan kemana-mana untuk memberi ke Bocah Garis dengan jumlah yang sama seperti dulu, saya malah berpikir sampai 7 kali sebelum memberi. Memikirkan dulu untuk cicilan2, untuk hidup sehari2, untuk modal usaha, untuk nonton di bioskop, untuk blablabla... Bah! Uang ini menjadikan saya egois! Sekarang, ketika saya sudah berada didalam sebuah institusi perencanaan terbesar di negri ini, wacana-wacana akademik justru lebih banyak dikalahkan oleh argumen semacam ”ya kondisinya gitu kok, gimana??” atau ”nanti anggaran untuk pos ini berkurang dong?” atau blablabla lain yang dulu dapat ditangkal dengan ”kalau itu salah, ya perbaiki!”. Yap, sekarang justru saya harus menahan diri melihat absurdnya sistem perencanaan di negeri ini. Absurd memang...Dan sekarang, ketika saya seharusnya sudah mulai memutuskan sendiri jalan hidup saya, justru saya membiarkan diri terikat oleh orang lain dan keadaan yang mengarahkan saya...
Saya rindu keikhlasan, karena uang justru membuat keikhlasan saya berkurang. Saya rindu kebebasan, karena terlalu banyak yang menjauhkan saya dari cita-cita. Saya rindu kejujuran, karena itu jarang saya lihat lagi. Saya rindu menjadi ekstrim, karena saya mulai lemah. Saya rindu angin malam dan mentari fajar, karena mengingatkan saya akan Allah. Saya rindu tidur dengan perut lapar, karena itu mendekatkan saya dengan mereka yang tertindas oleh zaman. Saya rindu turun ke jalan, saya rindu rapat, debat dan adu argumentasi, dan saya rindu aksi nyata untuk saudara-saudara sesama manusia. Saya rindu idealisme, karena itulah kemewahan masa muda yang sekarang terasa jauh. Saya rindu... saya rindu...
Itulah sebabnya, meskipun saya saat ini (ya, minimal sampai akhir taun ini :p) insya Allah mampu untuk naik kereta ekspres AC, saya tetap lebih sering memilih kereta ekonomi jakarta-bogor, karena minimal beberapa kerinduan saya terobati... (nggak nyambung ya?? :p)
Masa-masa jaya... ternyata terletak bukan di puncak, tetapi di bukit terjal menuju puncak. Seperti dulu pernah saya tulis, ketika kita di bawah, maka satu-satunya jalan adalah menuju ke atas. Itulah masa jaya, ketika kita sedang merangkak ke atas. Yang saya takutkan adalah ketika di puncak, dimana satu-satunya jalan adalah ke bawah. Saya takut tidak bisa bertahan melayang.
Tapi tentu, masa lalu adalah masa lalu. Kerinduan tidak ada artinya. Dan saya akan jatuh apabila menganggap kondisi sekarang adalah puncak. Bukan! Selamanya, masa kini bukanlah sebuah puncak! Ini pun adalah bukit terjal yang sedang saya daki. Puncak adalah ketika saya mati! Maka, walau bagaimanapun, saya harus kembali menyusun langkah, menentukan arah dan tujuan, sehingga saya bisa kembali pada pemahaman, bahwa SEKARANG DAN SELAMANYA, saya sedang menapaki jalan menuju kejayaan. Kejayaan yang betapa ingin saya peroleh dalam kematian saya...
Ya Allah, tuntunlah hambaMu ini...
(untuk semua cita-cita, untuk mimpi-mimpi, untukMu...)
No comments:
Post a Comment