Oke, jadi ceritanya begini...
buat teman-teman yang mungkin sudah pernah ngaduk-ngaduk isi blog saya (GR-an), mungkin tau, kalau saya punya 3 blog lain selain blog ini (hehe, banyak banget ya? :p). Salah satunya, adalah blog yang berisi catatan-catatan perjalanan saya ke berbagai tempat yang pernah saya kunjungi. Judul blognya "Perjalanan di Atas Awan" dengan alamat blog (dulu) http://perjalanan-awan.blogspot.com.
Nah... terkait dengan kesibukan saya akhir-akhir ini (sebenernya sih, SOK sibuk...), ternyata mengurus 4 blog bukan suatu pekerjaan yang mudah. Jadi, saya putuskan untuk menghapus salah satu blog saya itu. Dan karena blog "perjalanan di atas awan" itu yang paling tidak terurus (dan isinya paling ga penting), maka blog itulah yang jadi korban.
Tapi sayang juga kalo postingannya kebuang.
Jadi, saya migrasikan dua buah postingan awal saya di blog tersebut. Isinya sebenernya cerita bersambung, tapi (bodohnya), sambungan dari 2 cerita awal ini malah saya posting di blog "pencarian akan makna" ini =P (udah lama banget sih dipostingnya).
Sooo... buat para penggemar blog "perjalanan di atas awan" (cieeeeh, jiga aya weee =P), mohon maap, blognya diapus. Dan postingan yang saya migrasikan kesini ini, mungkin sudah pernah anda baca.
eniwey, selamat menikmati...
-------
Maret, 2005
Pesawat Merpati Nusantara Airlines yang kami tumpangi mulai menembus ke atas awan untuk memulai perjalanan kali ini. Bandara Soekarno Hatta masih seperti dulu, kecuali belakangan ini jumlah penumpang pesawat memang meningkat pesat, menyusul persaingan tidak sehat antar maskapai-maskapai penerbangan yang baru bermunculan. Persaingan tidak sehat yang dengan cepat mengarah pada jatuhnya harga tiket pesawat (dan kemudian dengan cepat juga diikuti dengan jauh menurunnya kualitas pelayanan didalamnya).
Rendahnya harga tiket pesawat ini jugalah yang sebenarnya membahayakan moda-moda transportasi lain seperti kereta api atau bus, karena para pengguna kereta dan bus tentu akan lebih memilih pesawat untuk perjalanan-perjalanan jarak jauh. Wajar saja, harga tiket antara pesawat dengan bus dan kereta belakangan ini tidak terlalu jauh, tapi tentu pesawat jauh lebih unggul dari aspek waktu. (Perkara harga tiket pesawat dan pelayanan ini saat ini sudah mulai disesuaikan kembali oleh dephub, untuk menghindari kejatuhan moda-moda transport lain tersebut…)
Waktu, meskipun begitu, saat ini bukanlah lawan bagi kami.
Belum sampai 2 minggu setelah hari wisuda saya, ketika saya menerima telepon dari seorang teman, menawarkan sebuah pekerjaan (okelah, sebut aja proyek) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk sebuah kabupaten baru di Papua. Kabupaten baru itu adalah Yahukimo, dan proyek yang ditawarkan pada saya adalah RTRW Kabupaten Yahukimo serta RDTR (Rencana Detil Tata Ruang) Kota Dekai yang diproyeksikan untuk menjadi ibukota kabupaten baru itu.
Yaah... mungkin waktu itu memang syahwat bertualang sedang mengalir deras dalam darah saya. Kesumpekan rumah kos dan kejemuan luar biasa setelah menyelesaikan Tugas Akhir memaksa saya untuk segera mengambil keputusan saat itu juga… “Oke, gw ikutan. Kapan berangkatnya ?”… dan teman saya itu menjawab… “3 hari lagi”… “HAAH???!!!?” Dan saya tidak bertanya tentang honor… hanya ingin petualangan…
Dan jadilah…
Sedikit penjelasan mengenai proyek yang akan dikerjakan, sedikit briefing mengenai lokasi yang dituju, dan saya siap berangkat.
Yahukimo, yang saya tuju itu… sekilas namanya mirip dengan nama kota-kota di Jepang, sehingga seorang kawan baru, yang rupanya karyawan tetap di konsultan yang merekrut saya untuk proyek ini, menyangka bahwa daerah ini pernah dijajah oleh Jepang… Oke, analisis yang cukup absurd, tapi cukup untuk membuat kami tertawa.
Dekai, di sisi lain, adalah sebuah nama yang lebih unik lagi. Kami semua menyangka bahwa pelafalannya adalah “dekay”, seperti kita melafalkan “sungay” ketika membaca kata “sungai”. Tapi ternyata tidak. Pak pimpro (pimpinan proyek bo!) mengatakan bahwa pelafalannya yang benar adalah “De-Ka-Yi” atau “De-Ka-I”, agak mirip dengan ketika kita melafalkan DKI Jakarta.
Direncanakan, kami akan berada di papua (untuk seluruh rangkaian survey) selama lebih kurang 2 minggu. Untuk mengoptimalkan waktu, kami merancang perjalanan hari Minggu, sehingga kami punya waktu 1 malam untuk beristirahat sebelum bekerja keesokan harinya. 2 hari di Jayapura untuk data2 berskala propinsi, beberapa hari di Wamena, karena aparat pemda Yahukimo masih banyak bertempat di Wamena, dan sisanya survey langsung ke Yahukimo.
Dan karena itulah, kali ini saya tidak sedang terburu-buru…
Kami pergi berempat.
Sehari sebelumnya, saya sudah berkenalan dengan 2 dari 3 orang kawan baru itu. Seorang wanita jawa (solo) berumur diatas 35 tahunan yang belum menikah bernama Bunga (nama samaran), dan seorang pria berumur kira-kira sama, juga masih bujangan, yang bernama Joko tapi ternyata turunan Batak (lho??! Orang batak ko namanya joko? Ini juga nama samaran, tapi sengaja dipilih joko karena aslinya, nama beliau pun sangat jawa sekali). Aneh bin nyata, orang tua pak Joko ini ternyata tidak ada yang orang Jawa, sehingga menambah simpang siur asal-usul namanya. Tapi tenang, setidaknya dia dulu kuliah di UGM, sehingga cukuplah waktu untuknya belajar bahasa jawa, dan cukuplah semua modal untuk bisa disangka sebagai jatul (jawa tulen). Yang satu orang lagi, baru sempat bertemu dan berkenalan dengan saya sebelum masuk ke pintu pesawat. Richard namanya (juga samaran), juga masih membujang, juga orang batak, dan usut punya usut, ternyata adik dari pak pimpro (yang otomatis batak juga).
Dan jadilah kami, tim yang terdiri dari 2 orang lulusan planologi, 1 orang teknik sipil, dan 1 orang geodesi (pak reinhard), berangkat menuju daerah yang belum kami kenal (karena, cakap punya cakap, ada satu KEBODOHAN besar yang cukup mengkhawatirkan kami semua, ternyata TIDAK ADA SATU ORANG PUN dari kami yang pernah menginjakkan kaki di Papua).
Waktu menunggu terasa sangat menyiksa bagi kami. Karena ternyata pak richard pun baru berkenalan dengan pak joko dan bu bunga, sementara pak joko dan bu bunga sendiri pun sejak dulu tidak terlalu sering berinteraksi. Obrolan-obrolan selama di bandara dan di pesawat terasa hambar dan penuh basa-basi… sekedar ngisi waktu lah…
Tiga jam selepas Bandara Soekarno Hatta, kami mendarat di Makasar untuk transit. Dua jam transit di Makassar belum juga menjadikan kami lebih akrab satu sama lain. Begitupun tiga jam berikutnya yang dibutuhkan untuk terbang dari Makasar ke Jayapura.
Tiba di Jayapura, badan kami terasa begitu lelah dan pegal-pegal, meskipun tidak setara dengan kepegalan karena 1 jam di KRL Jakarta Bogor. Udara panas langsung menyerbu tubuh kami ketika kami turun dari pesawat… Benar-benar gerah. Beda dengan Jakarta. Ini lebih panas, lebih gerah. Dan bagi kami, terlihat begitu asing.
Meski begitu, harus diakui, keasingan itu begitu indah… Alam yang luar biasa indah terlihat ketika pandangan kami berusaha menerawang kesekeliling bandara di jayapura ini. Beberapa pucuk gunung terlihat oleh kami, tidak terlalu jauh, sementara laut dan danau ada di sisi lain.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment