Sunday, June 18, 2006

Tetangga yang Baik...

Namanya Hambali. Asalnya dari Banten.
Saya biasa memanggilnya Oom Hambali.

Umurnya lebih muda dari ayah saya, mungkin sekitar 5 tahun lebih muda.

Waktu saya berumur 4 tahun (pokoknya lagi lucu-lucunya deh :p ), saya sekeluarga pindah ke Tajur, Bogor, dan menempati rumah tepat disebelah rumah Oom Hambali. Rumah beliau tidaklah bagus. Kalau rumah itu sekarang masih ada, mungkin sudah masuk acara Bedah Rumah di RCTI. Bahannya dari bilik, pintunya rapuh, dan sumurnya menyeramkan, terutama untuk saya yang waktu itu masih kecil.

Meskipun begitu, saya masih ingat, dulu setiap pulang sekolah (waktu TK sampai SD kelas 6), saya dan kakak saya tidak pernah absen main ke rumah Oom Hambali. Biasanya, siang-siang begitu, Oom Hambali sedang keluar bekerja di bengkel Suzuki dekat rumah. Beliau seorang montir handal, seorang mekanik. Di rumahnya waktu kami berkunjung itu, biasanya selalu ada Bi Enay, istrinya.

Tak banyak yang kami lakukan di rumah Oom Hambali sepulang sekolah itu selain menjarah makanan sederhana milik Bi Enay dan membaca-baca lembaran bergambar koran Poskota di rumahnya. Rumah kami langganannya Kompas. So pasti dong, saya lebih memilih cerita Doyok dan Ali Oncom ketimbang kata-kata berat dan analisis berbobot di Kompas :p

Oom Hambali dan Bi Enay tak pernah marah dengan kelakuan kami itu. Dari belaian sayang mereka, saya rasakan mereka seolah menganggap kami seperti anak mereka sendiri (atau kaminya saja yang ke-GR-an). Waktu itu, Oom Hambali dan Bi Enay memang sudah cukup lama menikah, tapi belum dikaruniai anak. Mereka sangat mendambakan kelahiran seorang buah hati. Tapi waktu itu, katanya ada sedikit masalah pada rahim Bi Enay, sehingga akan sulit untuk punya anak.

Oom Hambali seorang yang rajin. Seorang yang ulet. Kesederhanaannya, kepolosannya, adalah sesuatu yang mengagumkan. Seorang yang bersahaja. Tapi cukup disegani di lingkungan tempat tinggal kami.

Sejak dulu, ayah saya meminta bantuan Oom Hambali untuk mengurus dua mobil milik ayah saya. Sekedar memandikan mobil setiap pagi, membetulkan kalau ada kerusakan di sana sini, sampai menjadi supir dadakan kalau ada keperluan. Saya masih ingat, dulu waktu masih TK, setiap pagi saya dan kakak saya diantar sekolah oleh beliau, mengendarai mobil ayah saya (mulai SD disuruh berangkat sendiri :( yah, gapapalah, udah gede).

Setelah itu, ayah saya mengenalkan beliau ke teman-temannya. Kalau ada temannya yang bermasalah dengan mobil, ayah saya selalu merekomendasikan Oom Hambali. Dan karena kehandalannya, dalam waktu singkat beliau menjadi montir panggilan yang dipercaya oleh kawan-kawan ayah saya.
Hubungan Oom Hambali dan Bi Enay dengan keluarga kami memang sangat dekat (iya lah!! tetangga sebelah banget gituloh!!). Ayah saya tidak pernah memperlakukan Oom Hambali seperti seorang pesuruh. Mereka berteman. Dulu, Bi Enay sering sekali belajar memasak pada ibu saya, belajar membuat kue, dsb. Tetapi, seiring berjalannya waktu, dan mengikuti sifat ulet suaminya, sekarang sepertinya Bi Enay sudah lebih jago (karena gantian, sekarang ibu saya yang sering bertanya masalah masakan dan kue-kue ke Bi Enay).

Demikian juga hubungan Oom Hambali dengan saya dan kakak saya. Tidak sekedar tetangga.

Saya masih ingat senyumnya ketika menyambut saya yang di suatu hari waktu kelas 2 SD pulang dari sekolah dengan tangan kiri yang patah. Oom Hambali menunggu saya sejak dari ujung gang, lalu mengangkat dan menggendong saya sampai rumah sambil menghibur saya. Beliau juga yang bersama ibu saya terus menemani saya ketika tangan saya itu setiap 2 hari sekali harus diurut di daerah Cicurug. Beliau sempat menunggui ayah saya ketika opname di Rumah Sakit PMI, bergantian dengan saya dan ibu saya. Memang bukan sekedar tetangga.

Yang paling saya ingat, waktu rumahnya masih di sebelah rumah saya itu, Oom Hambali adalah imam pertama saya dalam sholat berjama'ah. Waktu kecil dulu, saya sempat masuk madrasah selama sekitar 1 setengah tahun. Diajarkan sholat, tapi tetap tidak ada yang membimbing saya dalam menjalankannya.

Ibu saya lantas menyuruh saya dan kakak saya ke rumah Oom Hambali setiap maghrib. Di sana, kami bermakmum ke Oom Hambali. Saat meng-imam-i kami itu, Oom Hambali selalu membaca dengan keras tapi perlahan, supaya kami bisa mendengar dengan jelas, dan menghafalkannya. Tapi tentu, namanya juga belum mengerti, karena merasa sudah hafal, saya sering mendahului Oom Hambali dalam sholat :p. Yang lain masih berdiri, saya sudah rukuk, yang lain rukuk, saya sudah sujud. Selepas sholat, Oom Hambali selalu menasihati saya sambil tersenyum.
Demikian juga saya sempat merasakan kekecewaan Oom Hambali dan Bi Enay sewaktu tahu bahwa kami tidak lagi sholat setelah beranjak remaja.

Saya rasa ayah saya sangat menyayangi beliau. Ayah saya sangat senang ketika Oom Hambali secara perlahan terus meningkat kesejahteraannya. Pemasukannya dari menjadi montir panggilan teman-teman ayah saya lebih besar ketimbang gajinya di bengkel Suzuki. Manajer bengkel sempat datang secara khusus ke rumah Oom Hambali untuk memintanya tetap bekerja disana ketika Oom Hambali mengajukan pengunduran diri supaya bisa memfokuskan diri menjadi montir panggilan dan membuka bengkel sendiri.

Akhirnya, Oom Hambali mampu membeli sepetak tanah agak jauh dari rumah kami. Hanya beda beberapa RW memang, tapi saya dan kakak saya benar-benar merasa kehilangan. Selain kehilangan kelembutan Bi Enay dan makanan-makanan sederhananya yang enak, kami juga tentu kehilangan Doyok dan Ali Oncom.

Beranjak SMA, kami jarang bermain ke rumah Oom Hambali lagi. Tapi sesekali masih suka main. Beliau akhirnya bisa membangun rumahnya, membuka bengkel sendiri di sebelah rumah, dan membeli mobil tua yang dijual murah pemiliknya karena sering ngadat. Bukan masalah bagi Oom Hambali, bisa diperbaiki setiap saat.

Kebahagiaan meliputi kami semua saat akhirnya Allah mengaruniai Bi Enay dan Oom Hambali dengan seorang anak. Tidak lama kemudian, lahirlah anak kedua dan ketiga mereka.
Tapi meski sudah memiliki usaha sendiri, Oom Hambali setiap pagi masih rajin ke rumah kami untuk mencuci mobil dan memeriksanya. Dari semua pengganti yang pernah dicoba oleh ayah saya, tidak ada yang bisa menyaingi rajinnya Oom Hambali dalam melaksanakan tugas ini. Oom Hambali pernah mengatakan bahwa itulah cara beliau berterima kasih pada ayah saya karena dulu membantu beliau dalam mendapatkan penghasilan tambahan dari menjadi montir panggilan.

Kehidupan beliau di lingkungan barunya berjalan lancar. Beliau menjadi seorang yang disegani di lingkungan barunya, dan menjadi pengurus Mesjid di dekat rumahnya. Tidak ada kesan kesalehan berlebihan yang diperlihatkannya dalam kehidupan sehari-hari, tapi tak ada yang berani meragukan keikhlasan beliau dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba Allah.

Satu hal yang sejak dulu membuat Oom Hambali sering dimarahi oleh Bi Enay adalah, makannya tidak teratur, sehingga cepat sakit. Memang, kalau sudah kutak kutik mobil, Oom Hambali benar-benar bisa lupa makan. Tidak jarang dari pagi sampai sore beliau tidak makan sedikitpun karena asyik membongkar mesin mobil. Maag menjadi penyakit yang akrab dengannya. Satu kebiasaan yang sudah sejak lama tidak berubah.

Yah, akhirnya tubuh Oom Hambali punya keterbatasan. Sejak 2 bulan lalu, maag yang cukup parah menyerangnya, lalu komplikasi dengan radang tenggorokan, dan sedikit bermasalah dengan paru-parunya karena sering terkena angin malam. Dan sejak 2 bulan lalu itulah Oom Hambali mulai sering bulak-balik rumah sakit.

Saya bersama kakak saya sempat menjenguknya di Rumah Sakit PMI Bogor sekitar sebulan lalu. Tidak bisa makan apa-apa, tubuhnya terlihat kecil sekali, sangat kurus. Rambutnya sudah banyak yang putih, dan wajahnya terlihat sangat tua. Saya tidak tega mengajaknya berbicara karena ekspresi wajahnya seperti menahan sakit yang sangat di tenggorokan. Tapi saya juga tidak tega melihat tubuhnya yang kurus itu. Saya hanya memegang tangannya dan berbicara sebisanya untuk menghibur beliau. Saya tidak pernah menjenguknya lagi sejak itu.

Pagi ini, 18 Juni 2006, Oom Hambali meninggal dalam tidurnya. Baru jam 11 saya menerima kabar itu melalui sms dari kakak saya. Selepas dzuhur beliau dikuburkan.

Aneh, tidak ada kesedihan yang saya rasakan saat menerima kabar itu. Seketika hanya kenangan-kenangan indah akan seseorang yang luar biasa. Seorang pekerja keras yang urat-urat tangannya sudah lebih dari cukup untuk melukiskan perjuangan beliau mengarungi hidup. Seorang pria yang keras, ditempa oleh kerasnya kehidupan, tapi lembut terhadap keluarga dan sahabat-sahabatnya. Seorang pria yang begitu menyayangi keluarganya. Seorang pria yang begitu mewarnai masa kecil saya, dan membelai saya seperti anaknya sendiri.


Tulisan ini adalah sesuatu yang saya harapkan bisa mengobati penyesalan saya karena tidak bisa ikut mengusung keranda jenazah beliau ke liang lahat.

Satu hari setelah iedul fitri, setiap tahun, Oom Hambali sekeluarga selalu mengunjungi rumah kami, dengan keceriaan mereka, berkisah tentang kehidupan, menjalin silaturahim yang tidak pernah ingin terputus. Kini, biarlah silaturahim itu terpatri dalam ikatan do'a.

Pada teman-teman yang mungkin membaca tulisan ini, kalau boleh saya meminta tolong, saya minta do'a untuk Oom Hambali, meski mungkin teman-teman tidak mengenal beliau. Terima kasih :)

No comments: