Tuesday, June 13, 2006

Yang Klenik-klenik dari Bogor... (episode 2, habizz)

Bogor, dalam menginjak usianya yang ke-524 tahun pada tahun ini, memang merupakan sebuah kota yang memiliki cukup banyak cerita mistik dan legenda kota (urban legend), selain legenda mengenai badai 30 tahun lalu itu.

Pada awal berdirinya, Bogor dikenal dikenal oleh kalangan kumpeni Belanda dengan nama Buitenzorg. Arti kata dalam bahasa Belanda itu kira-kira adalah ”kota yang tenang”. Ketenangan itu memang kemudian mengejawantah dalam rimbunnya pepohonan, kesejukan alam, kesuburan tanah, dan sebagainya.

Konon, Bogor sendiri pada awalnya merupakan sebuah kawasan persinggahan antara Jakarta (Sunda Kelapa/Batavia) dengan Bandung. Jarak antara Bandung dengan Jakarta dulu adalah 3 hari 2 malam perjalanan (dengan berkuda). Nah, pada lokasi-lokasi dimana orang-orang sering bermalam ketika perjalanan Bandung-Jakarta itu, muncullah kawasan-kawasan permukiman. Mungkin awalnya berupa warung makan atau penginapan. Kabar burung camar yang beredar, tempat-tempat bermalam itu kemudian menjelma menjadi Cianjur dan Bogor. Bisa anda perhatikan, jarak antara Jakarta-Bogor, Bogor-Cianjur, dan Cianjur-Bandung sebenarnya kurang lebih adalah sama, yaitu sekitar sehari perjalanan berkuda atau sekitar 70-80 km.


Karena ketenangannya, muncul juga mitos bahwa Bogor merupakan ”dapur” dari nusantara (Indonesia). Orang-orang tua di Bogor nampaknya cukup meyakini mitos ini. Di suatu rumah, salah satu bagian terpenting adalah dapurnya. Kalau satu rumah tidak punya dapur atau hancur dapurnya, maka hancurlah rumah itu dan orang tidak akan dapat lagi tinggal disitu. Begitu juga dengan Bogor. Orang-orang Bogor asli cukup yakin bahwa sebagaimanapun kacaunya Indonesia, Bogor akan tetap tenang. Karena kalau Bogor sudah hancur, maka diyakini, Indonesia juga sudah hancur. Mitos inilah yang katanya (kabar burung merpati juga) menyebabkan Bung Karno punya 2 istana di Bogor, yaitu Istana Bogor dan Istana Batutulis.

Mitos ini sepertinya didukung oleh kultur masyarakat Bogor yang cenderung tenang dan tidak mudah terpancing emosi (walaupun kultur ini nampaknya semakin hilang karena semakin banyak warga pendatang). Ketika zaman kerusuhan waktu tahun 1998 dulu, seingat saya cuma ada satu peristiwa besar, yaitu terbakarnya pasar Bogor. Tapi itu pun cepat dipadamkan, dan tidak meluas karena warga tetap tenang dan cenderung hanya menonton, tidak tertarik ikut jarah-jarahan. Begitupun waktu zaman-zaman kerusuhan bernuansa SARA pada tahun-tahun itu, sebuah mesjid yang lumayan besar di daerah rumah saya pernah disatroni seorang provokator. Si provokator itu melemparkan sebuah tas berisi dua (maaf) kepala babi ke tempat wudhu mesjid. Meski sempat terjadi ketegangan sesaat, masyarakat sekitar mampu menahan diri dan bahkan menutup-nutupi kejadian itu sehingga tidak menyebar ke tempat lain. Ini karena dikhawatirkan bisa menyulut kerusuhan. Satu sikap yang saya rasa cukup istimewa di masa penuh kerusuhan (di tempat lain) itu.

Bogor juga dikenal dengan mitos pasukan Prabu Siliwangi yang punya ilmu harimau jejaden (jadi-jadian). Konon, dimulai pada masa kerajaan Pasundan dulu, secara turun temurun para tentara kerajaan mempelajari ilmu berubah bentuk menjadi harimau/macan (Katanya, inilah sebab mengapa Kodam Siliwangi lambangnya kepala macan). Ilmu ini konon sangat berguna dalam peperangan, karena menambah kekuatan si empunya ilmu, disamping menghilangkan rasa takut (dan tentu menimbulkan ketakutan pada tentara musuh). Ilmu ini jugalah yang kabarnya menyulitkan pihak kompeni Belanda maupun Jepang ketika ingin menguasai Bogor. Dikabarkan, para pasukan harimau jejaden ini menjalankan taktik perang gerilya (dalam wujud harimau) melawan Belanda. Ilmu ini katanya masih dipelajari oleh segelintir orang Bogor. Selain itu, ilmu ini dikabarkan juga bersifat turunan. Jadi, anak atau keturunan dari seseorang yang telah mempelajari ilmu ”pamacan” ini secara otomatis akan juga memilikinya, atau minimal akan memiliki sifat-sifat harimau apabila marah (meskipun kabarnya sudah jarang atau hampir tidak ada lagi yang bisa berubah wujud menjadi harimau).

Mitos ”pamacan” ini cukup kental di masyarakat Bogor. Konon, turunan dari seorang penganut ilmu pamacan ini dapat dilihat dari ciri khasnya, yaitu dua alis mata yang tebal dan memanjang sampai hampir menyatu, ditambah dengan sorot mata yang tajam. Ilmu ini bisa dibilang termasuk ilmu sihir (serupa dengan mitos ilmu sihir babi ngepet lah). Tapi untuk anak/keturunan dari pemilik ilmu ini biasanya tidak bisa mengendalikannya. Lebih mirip dengan incredible hulk kira-kira, ilmu itu akan keluar saat dia marah.


Satu pengalaman seorang kawan saya yang kuliah D3 di Unpad, waktu itu ia sedang menjadi panitia Ospek. Ada satu mahasiswa baru, laki-laki, yang ditekan terus oleh senior-seniornya. Kawan saya bercerita, si anak baru itu terus meminta maaf dan memohon untuk dilepaskan karena dia tidak ingin menjadi marah, tapi para senior itu tidak menanggapi. Akhirnya, walaupun anak baru itu sudah berusaha menahan, kemarahannya terlepas juga. Tiba-tiba matanya memerah dan dia mengerang, lebih mirip seperti mengaum. Ia kemudian berjalan dengan merangkak diatas 2 tangan dan kakinya, lalu mencakar-cakar ke para senior yang mengelilinginya. Singkatnya, berperilaku mirip harimau. Saat itu dia seperti kesurupan.

Untunglah salah seorang dosen pengawas turun tangan. Beliau (kata kawan saya) menggunakan bahasa sunda halus untuk menenangkan anak itu, yang dibalas dengan erangan, auman, serta omongan sunda kasar bernada marah, tapi suaranya jelas bukan suara asli si anak itu. Akhirnya, anak baru itu berhasil ditenangkan, dan dia pingsan. Si dosen itu kemudian berpesan singkat ke panitia ospek, bahwa anak itu mungkin pamacan yang tidak bisa mengendalikan dirinya, sehingga lebih baik dibiarkan dan jangan sekali-sekali dibuat marah besar.

Mitos lain di Bogor adalah seputar kijang-kijang Istana Bogor (tau kan ada banyak kijang di halaman Istana Bogor???). Sewaktu SMP dulu saya sempat mengunjungi Istana Bogor (masuk ke dalem maksudnya, bukan lewat doang), dan berbincang-bincang dengan pengurus Istana. Katanya, di kalangan pegawai Istana tidak ada yang berani membunuh kijang-kijang itu. Dan tidak ada predator alami bagi kijang-kijang itu. Mengingat keberadaan kijang-kijang istana sejak puluhan tahun yang lalu, cukup aneh memang kalau mereka tidak bertambah banyak dan memenuhi halaman istana. Tapi itulah yang terjadi. Pegawai istana mengatakan, entah bagaimana, jumlah kijang-kijang itu kurang lebih selalu tetap sama. Mitosnya memang mengatakan bahwa kijang-kijang itu dianggap ”keramat”.

O iya, ada satu hal yang perlu saya utarakan soal kijang-kijang ini...


Kalau anda mungkin berkesempatan mengunjungi Istana Bogor, atau mungkin sekedar lewat depan pagarnya dan mungkin ada seekor atau beberapa ekor kijang yang mendekati Anda, JANGAN DISENTUH!!!! Ini bukan mitos atau semacamnya. Konon, kijang-kijang selalu hidup berkelompok dan tidak bisa hidup tanpa kelompoknya. Antar sesama anggota kelompok itu saling mengenali melalui bau mereka. Nah, apabila anda menyentuh seekor diantara mereka, maka bau anda akan menempel di kijang itu. Akibatnya, kijang itu tidak akan dikenali lagi oleh kelompoknya (karena baunya sudah beda). Kalau sudah begitu, seringkali si kijang terpaksa hidup sendirian, dan akhirnya mati dalam kesendirian juga (dikatakan, kijang ga bisa cari makan kalo sendirian, dan jadi ga punya rumah karena ditinggalkan kelompoknya). Kalo begini kan kasihan... jadi, kalau mau melihat-lihat kijang istana, jangan dipegang yah...

Mitos lain adalah seputar hantu dan setan.

Bogor memang punya banyak bangunan heritage yang sudah berdiri sejak zaman Belanda dulu. Diantaranya adalah yang sekarang digunakan sebagai sekolah-sekolah swasta, yaitu TK-SD Mardi Yuana II di Jalan Pahlawan (sekarang namanya bukan Mardi Yuana lagi, apa ya?? Saya lupa :p ), SD-SMA Budi Mulya di Jln Kapten Muslihat, TK-SMA Regina Pacis di Jalan Juanda, dan SMUN 1 (kalo ini sih sekolah negeri) di jalan Juanda juga. Budi Mulya dan Regina Pacis menggunakan gedung yang konon dulunya adalah penjara Belanda, dan waktu zaman Jepang juga digunakan untuk menyekap bangsawan-bangsawan Belanda.

Dan sebagaimana lazimnya bangunan-bangunan tua, tentu cerita hantunya juga banyak. Karena saya TK dan SD di Mardi Yuana II, lalu SMP-SMA di Regina Pacis, cerita hantu yang saya dapat kebanyakan berasal dari sini. Dari sekian banyak, saya utarakan yang sudah cukup menasional saja ya. Dialah suster ngesot... Mitos hantu suster ngesot ini pertama kali saya dengar ketika SD di Mardi Yuana. Awalnya, isunya adalah tentang suster berkaki tiga yang diklaim pernah dilihat oleh para penjaga sekolah waktu malam (jadi katanya, bayangan si suster itu waktu jalan kakinya ada 3). Cerita berkembang, katanya suster berkaki 3 itu juga ditemani suster yang berjalannya sambil duduk (lalu disebut suster ngesot). Nah, karena itu, waktu suster ngesot ”go national” dalam film Jelangkung 1 dan 2, saya sudah tidak terlalu terkejut lagi. Bagi saya, suster ngesot di film itu tidak lagi menyeramkan, karena bisa dilihat di layar kaca. Kalau dulu, terasa begitu dekat, sampai-sampai waktu SD saya paling malas ke WC karena takut ada setan itu (norak banget lah sayah...)

Yah, sebenarnya masih cukup banyak mitos-mitos lain di Bogor, mulai dari mitos buah kemang yang konon di seluruh dunia hanya ada di Bogor (hayo... ada yang tau buah ”kemang” ini kaya gimana ga???), mitos harta karun di bawah prasasti batutulis (yang kemarin mau digali sama menteri agama, tapi dilarang sama warga Bogor, dan muncul selebaran-selebaran yang mengatasnamakan Prabu Siliwangi untuk menjaga peninggalan bersejarah), mitos kelelawar Bogor, mitos Kebun Raya (buat muda-mudi yang suka pacaran (duh bahasanya, muda-mudi), konon kalau datang ke Kebun Raya bersama teman lawan jenis, maka setelahnya biasanya lalu jadian. Tapi sebaliknya, kalo ke Kebun Raya sama pacar, biasanya setelahnya malah putus :p ), dan buaaaanyak lagi mitos lain yang kalau dituliskan satu persatu disini beserta kisah-kisahnya bakal jadi 5 episode. Maka mari kita batasi sampai sini :p


Adapun alasan mengapa saya menuliskan mengenai perkara klenik-klenik ini adalah terkait dengan gempa 5,9 SR yang mengguncang Yogya beberapa waktu lalu (lho, kok nyambungnya kesana??). Saya cukup sedih ketika mendengar kabar-kabar bahwa sebagian masyarakat sana (dan juga menjadi bahan pergunjingan sampai kemana-mana, termasuk Jakarta) sedemikian percaya kalau gempa tersebut adalah karena kemarahan Ratu Pantai Selatan.

Memang, beginilah kalau sebuah legenda atau cerita masyarakat secara turun temurun terus disalah persepsikan. ia menjadi sebuah "kepercayaan bawah sadar" karena telah ditanamkan sejak kecil, dan dipercayai kebenarannya oleh banyak orang di daerah itu.

Inilah transformasi yang dikhawatirkan dari sebuah cerita/legenda rakyat. Ketika ia tidak lagi dipahami secara logis, dan tidak dipahami sebatas sebagai bagian dari budaya setempat.

Seperti juga dongeng, cerita rakyat pada awalnya muncul sebagai sebuah sarana pendidikan (seringkali pendidikan akhlak ato etika) anak. Ini metode yang digunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dulu. Dalam bahasa Sunda, ”dongeng” disebut-sebut merupakan singkatan dari ”ngabobodo budak cengeng” (membodohi anak cengeng). Membodohi disini bisa berarti menakut-nakuti, menenangkan, sampai bahkan mendidik.
Contohnya, malin kundang yang mengajarkan supaya tidak durhaka ke orang tua, legenda tangkuban perahu yang mengajarkan supaya kalo jadi orang jangan sombong, dll. Kalo ga salah, ada juga yang pernah nyebut kalo legenda laut selatan itu muncul untuk mengajari kita menghormati (menjaga kelestarian) laut.

Repotnya, setelah dewasa, tidak jarang nilai2 inti dari cerita itu tidak terkomunikasikan dengan baik. Pada akhirnya, yang masuk dalam alam bawah sadar generasi-generasi selanjutnya ya sebatas cerita/legendanya saja, dan nilai-nilai hidup yang dikandungnya sendiri menjadi hilang. Sebagaimana lazimnya cerita-cerita/legenda setempat, dia diyakini kebenarannya, meskipun tak pernah terbuktikan.

Kalaupun ada fenomena-fenomena yang dikatakan merupakan bukti dari kebenaran sebuah legenda, perlu juga dipahami bahwa suatu legenda biasanya bersumber dari beberapa faktor. selain faktor imajinasi penciptanya, legenda juga didukung oleh adanya fenomena (biasanya fenomena alam) yang terlihat. Dengan kata lain, legenda bisa timbul dari imajinasi seseorang setelah memperhatikan sebuah fenomena.

Contohnya, gunung tangkuban perahu. Apakah kita yakin kalau dulu seorang pemuda bernama Sangkuriang benar2 membuat danau dan perahu yang kemudian menelungkup?? Orang yang meyakini kebenaran legenda sangkuriang akan berkata : "ya Bandung ini kan dulunya danau... dan gunung tangkuban perahu itu adalah perahu yang ditendang sangkuriang."
Benarkah demikian??
Atau si pengarang legenda itu dulu sekedar terinspirasi dari bentuk gunung tangkuban perahu yang mirip perahu terbalik??

Demikian juga dengan legenda pantai selatan... yang didukung oleh ganasnya ombak di pantai selatan dan legenda raja-raja pada masa kerajaan sunda, majapahit, dll. Cukup banyak yang mengkaitkan ratu laut selatan dengan legenda kerajaan-kerajaan ini.

Memang lebih mempercayai legenda dibanding agama menunjukkan masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Pada titik yang ekstrim, ia akan menjelma menjadi kemusyrikan massal yang terselubung. Ini yang perlu sekali diwaspadai. Terlebih lagi, pola akulturasi antara adat jawa dengan Islam pada masa wali songo dulu seolah membenarkan kepercayaan klenik semacam ini. Perlu dipahami bahwa pada mulanya, akulturasi adalah sebuah strategi semata, yang dipergunakan untuk mendekatkan/membumikan Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Akan tetapi, seringkali justru bungkus memang lebih terlihat dibanding isinya. Akibatnya, yang terjadi adalah salah kaprah secara massal.

Meski begitu, bagi saya pribadi, tetap menarik untuk mengkaji legenda-legenda atau cerita masyarakat setempat. Bukan untuk mempercayainya, tapi untuk menggali nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Seringkali, kearifan lokal di suatu daerah adalah faktor penting yang menjaga kelestarian alam di daerah itu, dan faktor penting yang menjaga tatanan sosial di daerah itu. Contohnya bisa kita lihat pada masyarakat dayak, bali, jawa, sunda, dan hampir semua suku bangsa di indonesia sebenarnya.

Selain itu, sebuah legenda adalah salah satu sarana untuk melakukan pemetaan sosial, memahami kultur dan struktur sosial masyarakat setempat, dan nilai-nilai apa yang mendasari pola hidup sehari-hari mereka. Indonesia sangat kaya akan itu...

Lalu untuk apa dipelajari???
Bagaimana kita akan hidup di tengah masyarakat kalau kita tidak mengetahui nilai-nilai yang mereka anut??
Dan bagi para aktivis dakwah yang ingin mencegah terjadinya kemusyrikan massal terselubung seperti yang saya ungkapkan tadi, bagaimana akan berperang kalau tidak mengetahui/mengenal musuhnya??

Bahaya dari cerita-cerita rakyat ini memang cukup besar. Akan tetapi sebenarnya nilai-nilai kehidupan yang tersembunyi didalamnya seringkali arif. Bagi saya pribadi, cukup mengasyikkan untuk mempelajari cerita-cerita masyarakat setempat di suatu daerah, mempelajari budaya dan corak berpikir mereka. Dari cerita-cerita itulah sebenarnya, asal mula sebuah tatanan kehidupan dapat dipelajari. Meski begitu, sebagai umat beragama, tentu kita pun perlu berhati-hati dalam menyikapinya. Semua punya proporsinya sendiri-sendiri.


Ket. : gambar diambil dari bogor.net, budpar.go.id, cdsindonesia.org, dan cis.ksu.edur

No comments: