Friday, July 07, 2006

Secangkir Kopi Hangat... (tulisan panjang...banget...)

Apakah “Gila” itu ?

Lantas, apa itu “waras” ?

Berbicara mengenai kewarasan memang berbahaya. Bahaya terbesar adalah ketika kita akan mempertanyakan kewarasan kita, lantas mulai berpikir bahwa kita ini gila, dan dengan sendirinya, tidak lagi punya pijakan untuk menentukan dimana kenyataan dan yang mana itu ilusi.

Tempo hari, di KRL sore, alhamdulillah akhirnya saya mendapat tempat duduk mulai dari stasiun Bojonggede. Disebelah kiri saya, duduk seorang bapak berbaju lusuh dengan membawa sebuah tas (yang tak kalah lusuhnya). Si bapak itu selalu tertunduk kepalanya dan terkadang bergumam/komat-kamit sendirian. Rupanya bapak ini tergolong orang-orang yang oleh publik disebut “kurang waras”.

Seorang pedagang jeruk bernasib kurang mujur. Ia berhenti tepat di depan si bapak. Karena si bapak itu terus menunduk sambil menunjuk-nunjuk jeruk, si pedagang langsung tak berhenti mengoceh tentang kehebatan jeruk yang dijualnya. Merasa laku, si pedagang membungkuskan sekantung jeruk, lalu menyerahkannya ke si bapak. Meski begitu, uang yang ditunggu tak kunjung datang. Si bapak memegang satu jeruk lalu dikupasnya, dan dimakannya, sambil sesekali tersenyum, tanpa memedulikan si pedagang. Merasa salah sasaran, si pedagang mengambil kembali jeruknya yang sekantung itu, lalu pergi disertai sumpah serasa dan tertawa (menertawakan kesialannya). Jeruk yang sudah dikupas, diikhlaskan.

Peristiwa itu (bertemu orang “gila”) sebenarnya bukan yang pertama kali untuk saya. Tidak sering juga sih. Tapi jelas, itu bukan pengalaman pertama. Mungkin juga bukan yang terakhir...

Akan tetapi, yang kemudian terpikir oleh saya saat itu adalah, benarkah si bapak itu “gila”. Dia yang gila, atau saya yang gila tapi tidak menyadarinya?

Saya tiba-tiba teringat pada sebuah buku, “Mengenal Allah Lewat Akal”, karangan Harun Yahya. Buku ini cukup berkesan untuk saya karena ternyata didalamnya Harun Yahya menuliskan pemikiran yang kurang lebih sama dengan kegelisahan saya.

Saya seringkali bingung, rasa apel itu seperti apa.

Atau, seberapa maniskah gula itu?

Atau, seberapa birukah sebenarnya langit?

Maksud saya begini... (memakai beberapa analogi dari bukunya Harun Yahya tadi supaya lebih bisa dimengerti, insya Allah)

Kalau anda memakan sebuah apel, apa rasanya? Manis?

Lalu kalau misalnya anda sakit dan lidah anda tidak bisa mengecap dengan baik, bagaimana rasa apel itu? Pahit?

Lantas, rasa apel itu sebenarnya bagaimana? Manis atau pahit?

Tentu kita bisa jawab ”manis”, karena kita anggap itulah rasa pada saat kondisi ”normal”.

Tapi, benarkah demikian?

Seberapa normalkah anda?

Apakah anda yakin lidah anda bisa mengecap sama dengan orang lain?

Dengan kata lain, apakah anda yakin rasa apel yang anda rasakan itu sama persis bagi lidah orang lain?

Mengapa si A suka kopi dengan banyak gula, sementara si B suka kopi dengan sedikit gula?

Bisa jadi kita mengatakan bahwa si A suka manis, sementara si B suka pahit. Tapi benarkah demikian? Tidakkah mungkin fenomena itu disebabkan lidah si B lebih sensitif dalam mengecap manis dibanding A? Maka, dengan jumlah gula lebih sedikit, B sudah merasakan kadar kemanisan yang sama dengan A.

Kalau itu kejadiannya, maka kita patut bertanya, seberapa maniskah gula?

Sama dengan perkara kita dalam melihat warna misalnya.

Contoh lagi...

Si A menyukai warna hijau, sementara si B menyukai warna merah. Pernahkah terlintas di pikiran anda bahwa mungkin saja A dan B sebenarnya menyukai warna yang sama? Hanya saja berbeda namanya. Maksud saya begini. ”Hijau” dan ”merah” adalah PENAMAAN spektrum warna tertentu yang dikenal oleh A dan B sejak kecil sampai mereka meninggal. Mungkinkah bahwa sebenarnya B melihat ”merah” sebagai sebuah spektrum warna yang sama dengan A melihat ”hijau”? Dan sebaliknya, B melihat ”hijau” sebagai sebuah spektrum warna yang sama dengan A melihat ”merah”. Akan tetapi bedanya, sejak kecil, A mendapat informasi bahwa spektrum warna itu bernama ”hijau”, sementara B mengenalnya sebagai ”merah”.

Maka bisa saja, A dan B melihat sebuah daun bersama. Lalu A berkata... ”wah, hijaunya bagus ya... daunnya segar.” lalu B berkata ”yap, ijonya bagus banget. Ijo tua.” Tidakkah mungkin bahwa sebenarnya B melihat daun itu berada dalam spektrum warna yang selama ini dikenal oleh A sebagai ”merah”? Hanya saja, selama ini A dan B diberi tahu bahwa kedua spektrum warna itu (warna daun) bernama ”hijau”.

Berarti... sebenarnya kita tidak tahu, ”hijau” itu seperti apa. Kita cuma tau, spektrum warna yang kita lihat itu disepakati oleh semua orang sebagai ”hijau”. Padahal hijaunya saya dengan hijaunya anda belum tentu sama bukan?

Bingung?

Alhamdulillah, berarti saya tidak bingung sendirian...

Dari sini saya cuma mau bilang bahwa...

Sebenarnya kenyataan itu hanyalah suatu keadaan yang tercerap oleh saraf-saraf indera kita.

Perkaranya adalah, kita tidak tahu apakah yang dicerap oleh indera kita itu sama atau tidak dengan orang lain.

Maka, kita tidak tahu apakah kenyataan kita itu sama dengan kenyataan orang lain atau tidak.

Terlebih, seandainya ada satu kondisi dimana seluruh syaraf indera kita tidak berfungsi, maka bukankah seluruh kenyataan itu akan hilang?

Maksud saya begini...

Kasus si bapak tadi yang saya bilang ”gila”...

Saya sebut dia ”gila” karena seolah dia tidak berkorelasi dengan ”kenyataan” yang saya lihat.

Mungkin saya betul. Tapi mungkin juga, adalah saya yang tidak berkorelasi dengan ”kenyataan” yang dia lihat?

Maka mungkin dalam ”kenyataan” yang dia lihat, adalah saya yang ”gila”.

Dan saya akan bertanya-tanya, benarkah yang di depan mata saya itu adalah ”kenyataan”?

Saya sebenarnya tidak tahu, apakah saya saat ini sedang berada di depan komputer sambil mengetik atau tidak.

Saya MERASA sedang mengetik di depan komputer karena : indra penglihatan saya mengatakan bahwa saya melihat ruangan dan komputer di depan saya, indra pendengaran saya mengatakan bahwa saya mendengar suara dari Winamp, dan indra peraba saya meraba tuts keyboard.. Tapi benarkah demikian? Bukankah bisa saja saya sebenarnya sedang berada di tengah sawah, hanya saja indera-indera saya memberikan pencitraan yang berbeda? Dan disekeliling saya, petani-petani yang ”waras” sedang melihat saya sambil tertawa dan berkata : ”ada-ada aja ni orang gila, jongkok di tengah sawah sambil gerak-gerak kaya orang ngetik...hahahaha... dasar orang gila...”

Tidakkah konsep seperti itu akan mempertanyakan kewarasan anda? Lantas, apakah ”kenyataan” itu?

Mari kita melihat proses kerja mata, proses melihat.

Berdasarkan penuturan dari kawan saya, Nova, dikatakan bahwa cahaya membawa bayangan benda melalui pupil, lalu disampaikan ke retina. Dari retina, impuls-impus listrik dihantarkan melalui saraf ke otak. Dan di otaklah terjadi proses interpretasi terhadap gambar. Otak bagian depan yang memiliki fungsi visual. Sistem kerja ini analog dengan kamera. Cahaya dan bayangan ditangkap oleh lensa, lalu disampaikan pada film. Film kemudian dicetak sehingga bisa kita lihat dan kita interpretasikan.

Anda tidak melihat satu kejanggalan disini?

Pada kamera, gambar yang dihasilkan itu diinterpretasi oleh kita. Maka di otak, siapakah yang melakukan peran interpretasi itu?

Mudahnya begini, apabila impuls2 yang dihantarkan syaraf itu memberikan citra gambar (visual) di dalam otak, maka siapa/apa-kah yang kemudian ”melihat dan mengenali” citra visual itu sebagai pohon misalnya?

Dengan sangat baik, Nova kemudian menganalogikannya dengan proses di komputer. File-file di komputer sebenarnya hanya tersimpan dalam data analog 0 dan 1, yang kemudian diolah dengan prosesor di komputer menjadi data dan software yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan otak, otaklah yang kemudian memproses impuls2 syaraf itu menjadi apa yang kita ”lihat”.

Analogi yang pas, tetapi kurang lengkap.

Pada proses komputer, benar bahwa prosesor komputer itulah yang mengubah angka-angka 0 dan 1 menjadi data dan tampilan seperti yang terlihat di layar monitor. Akan tetapi, semua itu HANYA AKAN BERMAKNA apabila ada kita, pengguna komputer, yang melihat layar komputer itu, dan memberikan perintah-perintah pada komputer itu. Apabila kembali dianalogikan dengan tubuh kita, data 0 dan 1 itu adalah impuls2 syaraf, lalu prosesor itu adalah otak. Prosesor yang sangat canggih. Pertanyaannya sekarang adalah, lantas apakah yang membuatnya bermakna? Apakah yang melihat hasil proses dari otak itu dan ”memakai” otak dengan cara yang sama seperti kita memakai komputer?

Dalam buku yang saya singgung di awal, Harun Yahya dan Imam Al-Ghazali dalam kitab ’Ihya menutup kebingungan saya itu dengan sangat cantik, yaitu melalui konsep ruh.

Inilah konsep yang kemudian memberi pencerahan pada saya. Konsep Ruh.

Adalah sangat logis ketika kita menganggap bahwa sebenarnya ”tubuh” kita dan segala perangkat canggih di dalamnya sebenarnya tak lebih dari sebuah alat. Dan penggunanya adalah ruh kita. Tapi akan berbeda apabila kita bertanya, ”jadi, ruh itu halus dan yang nyata itu tubuh?”

Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, sebenarnya kita tidak pernah tahu apakah dunia yang kita tempati ini benar-benar ada atau tidak bukan?

Yang kita tahu hanya, kita melihatnya, mendengarnya, merabanya, mengecapnya, menciumnya, dengan proses impuls-impuls listrik tadi. Maka, bukankah dunia yang kita anggap nyata itu sebenarnya tak lebih dari sekedar impuls-impuls listrik di otak kita? Dengan kata lain, dunia hanya ada dalam bayangan, dalam pencitraan kita saja. Sama seperti orang gila yang saya singgung sebelumnya, kita tidak pernah tahu, sebenarnya dunia kita itu ”nyata” atau tidak. Kita ini waras atau tidak.

Yang saya tau hanyalah bahwa dalam dunia dimana saya hidup ini, ada matahari, ada bulan, ada bumi yang berputar, saya punya orang tua, saya punya teman-teman yang bernama arifin, nova, ahmad, bayu, dll dll. Tapi saya hanya tau mereka karena mereka bisa saya lihat, saya dengar, dll. Entah, sebenarnya mereka itu ada atau tidak. Demikian juga secara ekstrim, saya bahkan tidak tahu apakah tubuh saya ini benar-benar ”ada” atau tidak, ”nyata” atau tidak.

Apakah pemikiran ini menyiratkan penyangkalan saya terhadap dunia? Saya rasa tidak. Saya hanya mencoba melihat dari sisi yang lain.

Sisi lain itu adalah... saya berpikir bahwa ”kenyataan” itu, kalau dengan pola pikir seperti yang telah dijabarkan tadi, berarti hanya ada di alam malakut. Alam ruh. Bukan di alam makhluk seperti yang kita lihat sehari-hari ini. Bukan di ”dunia” seperti yang kita kenali ini. Dengan kata lain. Satu-satunya yang ”nyata” dari diri kita ini hanyalah ruh kita. Hanya ruh itulah yang menandai keberadaan kita. Dan dengan demikian, maka ”kenyataan” itu hanya ada di alam malakut, dan bahwa segala esensi yang nyata hanyalah Allah SWT semata.

Lantas dunia? Apakah Allah tidak menciptakan dunia?

Tentu menciptakan. Tapi kita tidak tahu, apakah memang diciptakan secara nyata, ataukah sebenarnya yang diciptakan itu adalah citra-citra di ruh kita?

Dari pemikiran semacam ini, sebenarnya bagi saya cukup menenangkan, karena banyak yang bisa dihubungkan dengan itu.

Pertama, bahwa Allah begitu dekat dengan manusia, bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri...

Saya rasa, kita sesungguhnya memang tidak pernah ”berpisah” dari Allah. Karena eksistensi kita yang hakiki (ruh) tetap berada di alam malakut. Dengan demikian, kalau tidak terpisah, maka menyatu, maka benarlah adanya sabda itu.

Demikian juga dengan konsep ihsan. Bahwa Allah maha melihat, maha mengetahui isi hati kita, segala gerak-gerik kita, segala niatan kita. Tentu saja itu logis, karena sejatinya, sekali lagi, ruh kita tidak pernah meninggalkan Allah. Adalah otak kita yang mengatakan bahwa saat ini kita sedang berada di dunia, terpisah dari Allah. Kita tertipu oleh indera dan otak kita. Kita tertipu oleh yang semu.

Dari pemikiran itu juga saya mulai bisa memahami istilah ”tabir” yang sering digunakan oleh para sufi. Tabir yang membatasi antara manusia dengan Allah. Tabir itu, saya rasa, tak lebih dari dunia tempat kita hidup ini. Keberadaan dunia secara tak sadar telah “memisahkan” kita dari Allah. Atau bahkan, kita sendiri yang memisahkan diri dari Allah karena begitu terbelenggu dengan dunia. Padahal sejatinya, kita tidak pernah terpisah dariNya. Hanya saja, kita terlalu percaya pada indera kita, dan pada prosesor kita (otak).

Anda pernah mendengar hadist, bahwa “manusia diciptakan sesuai bentuk(yang ditetapkan)Nya”?

Apa yang ada dalam pikiran anda ketika mendengar pernyataan seperti itu?

Tulisan yang didalam tanda kurung bisa berarti fakultatif (bisa dihilangkan). Kalau dihilangkan, maka kalimatnya menjadi ”manusia diciptakan sesuai bentukNya”. Apa yang ada dalam pikiran anda ketika mendengar pernyataan seperti itu?

Apabila kita memahami hadits itu sebagai penciptaan dalam bentuk fisik, bukankah secara tidak langsung kita telah menyerupakan Allah dengan makhlukNya?

Saya mencoba memahami hadits itu sebagai penciptaan dalam pengertian yang lebih hakiki. Dalam pemahaman metafisis. Dalam sifat. Singkatnya, dalam ruh.

Mimpi!

Ya, mimpi adalah analogi yang mungkin bisa mendekati.

Dunia ini ibarat mimpi. Dan ketika kita bermimpi, kita seolah melihat semua itu “nyata”. Kita seolah lupa bahwa dalam kenyataannya, kita sedang tidur, dan apa yang kita cerap dalam dunia mimpi itu tak lebih dari dunia yang semu.

Mungkin semua manusia memang sedang bermimpi. Tapi kita tidak pernah tahu apakah mimpi kita itu sama dengan manusia yang lain. Dengan kata lain, kita tidak tahu apakah manusia lain yang diciptakan Allah itu berada dalam ”alam” yang sama dengan kita, atau tidak.

Satu-satunya yang saya yakini benar-benar nyata secara hakiki, adalah entitas Allah SWT, dan segala sesuatu yang mengarah padaNya, berkisar padaNya.

Sekali lagi...

Anda yakin kalau anda ”waras”?

Pada akhirnya,

Saya rasa saya butuh secangkir kopi hangat.

Susah tidur ketika memikirkan hal ini...

Dan setelah ini, tak akan ada gunanya menyangkal kebesaran Allah...

Wallahu’alam bish-showab...

NB : sepintas seperti film Matrix? Mungkin saja... tapi kekurangannya film Matrix adalah, “kenyataan” yang kemudian ditawarkan oleh film itu bagi saya tetap kurang hakiki, karena masih berkisar di dunia mahluk. Mungkin karena pembuat filmnya tidak mengenal konsep alam malakut...

No comments: