Thursday, June 22, 2006

Doktrinasi!! (Cerita-cerita dari Kereta, episode 10...)

Anda mungkin tidak percaya, tapi percayalah, bahwa ini masih kisah seputar kehidupan di KRL ekonomi Jakarta-Bogor.

-(Intro) dungprakdungdung jrengjreng
tatatatatatatatatatatatatatatataaaaaa
jreng jreng jreng jreng-

"Bang, sms siapa ini bang??
Bang, kenapa pakai sayang sayang??
Bang, nampaknya dari pacar abang
Bang, hati ini mulai tak tenang..."



Ternyata, saya mulai hafal syair-syair lagu yang saya ga tau judulnya itu.
Kalau teman-teman mungkin pernah membaca postingan cerita kereta episode 5, maka inilah tipe pengamen yang termasuk tipe yang tidak mempedulikan pendengaran penumpang kereta. Si penyanyi (pengamen) membawa sebuah kotak hitam (yang ternyata adalah sebuah radio), memutar kaset lagu ini KERAAAAAASSSS bgt, sehingga bahkan saat si ibu belum masuk gerbong pun, intro lagunya sudah terdengar.
Dan seketika itu juga, anda bisa menghitung berapa desahan nafas panjang dari para penumpang yang terdengar dalam satu gerbong. Desahan nafas yang dapat diartikan kira-kira sebagai berikut : ”ya Allah... tidak lagi... jangan... jangan...”. Sebuah ungkapan kesedihan sekaligus ketabahan dari para penumpang kereta.

Perkaranya bukanlah karena dia (sang pengamen) memutar pengatur volume suara dari radio itu sampai kekuatan maksimal. Bukan juga karena si radio itu nampaknya sudah begitu tua sehingga speakernya terdengar sember tidak karuan. Permasalahan utama sebenarnya terletak pada lagunya (tapi tentu ini bukan masalah kalau anda menyukai lagu itu, yang saya tidak tahu, dan TIDAK MAU TAHU apa judulnya).

Lagu tersebut termasuk dalam salah satu cabang dari jenis musing dangdut. Akan tetapi sama sekali bukan dangdut konvensional.

Anda familiar dengan aliran musik ”SKA”?? Aliran ska ini sempat populer sekitar sewindu yang lalu dengan dansa ”pogo”-nya. Sebagai seorang pemakai putih abu-abu saat ska ini mulai booming, tentu selangkah dua langkah pogo tak luput dari kaki saya.

Eniwey, lagu sms-sms tadi merupakan campuran dari dangdut dan ska. Jadi, kalaupun anda mau berjoget mendengarnya, anda bisa memadukan pogo dengan goyang (maaf) pantat ala Inul. Tapi, bukan itu saja, lagu ini juga mengalami pencampuran ulang (bahasa kerennya, ”remix”) dengan house music. Nah, jenis house music atau jenis-jenis music ”techno” lainnya inilah yang paling tidak saya sukai di jagat permusikan, karena saya selalu menganggap remix house music ini sangat merusak lagu (apapun lagunya). Apalagi kalau lagunya sudah tidak terlalu bagus. Nah, jadi, kembali ke lagu sms-sms tadi, dengan perpaduan antara dangdut-ska-house music, maka gerakan joget yang bisa anda lakukan saat mendengar lagu tadi tentu adalah perpaduan antara pogo, goyang (maaf lagi) pantat, dan gedek-gedek kepala. Silakan anda coba praktekan... PUSING KAN?!??!??!

Tentu harus kita ingat, walaupun kata Inul dangdut tanpa goyang seperti sayur tanpa garam, tapi menurut saya ungkapan itu harus ditambah dengan kalimat : ”tapi awas jangan berlebihan, salah-salah malah jadi haram”

Aliran lagu semacam ini mengalami evolusi dari dangdut menjadi aliran musik yang secara pribadi saya golongkan sebagai ”MUSIK CADAS.” Jangan anda mengira kalau pengusung musik cadas ini hanya nama-nama tenar semacam KORN, Megadeth, Slipknot atau Marilyn Manson. Karena saya mendefinisikan musik ”cadas” sebagai ”musik yang mampu mendoktrinasi pendengarnya”, maka mau tak mau, nama seperti Neneng Anjarwati pun bisa jadi termasuk artis ”cadas”.

Musik dangdut, yang sering sekali dianggap sebagai musik ”asli” Indonesia, sebenarnya merupakan sebuah musik cerapan dari musik India. Adapun musik yang mungkin lebih asli Indonesia adalah dari jenis semacam keroncong, karawitan, dan semacamnya (sejujurnya, saya malah cukup menyukai lagu-lagu semacam ini). Musik India kemudian mengalami akulturasi dengan keroncong dan karawitan ini, sehingga menjadi dangdut ala Indonesia. Tentu kemudian musik ini berkembang secara mandiri, melahirkan artis-artis dangdut yang kemudian menjadi ”icon”nya, seperti Rhoma Irama, Megi Z, Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, Elvi Sukaesih, dan sebagainya. SAYANGNYA, musik dangdut sekarang ini malah berkembang menjadi sangat sulit dinikmati oleh telinga, dan lebih banyak memanjakan mata melalui artis-artis semacam Inul, Annisa Bahar, dan sebagainya.

Lalu kembali ke musik kereta, aliran ”cadas” yang saya sebutkan tadi bisa dibilang mulai populer pada pertengahan tahun 90-an. Awalnya, musik ini dihasilkan oleh remix dangdut dengan hous-music. Kemudian, hadirlah Neneng Anjarwati di TVRI pada waktu itu, dengan sebuah ”brand” untuk musik tersebut, yaitu ”CHADUT”, kabarnya singkatan dari ”chacha-dangdut”. Nama yang agak aneh, karena agak sulit untuk berdansa chacha dengan lagu semacam ini. Adapun lagu yang dibawakan Neneng pada waktu itu adalah Waru Doyong. Tau kan? Itu loh, yang syair awalnya kira-kira berbunyi... ”waru doyoooong (”yooong” dilafalkan dengan cengkok khas dangdut), nenenene...(ga tau), dst.”. Lagu inilah yang pertama kali populer di kereta, untuk jenis chadut tentunya.

Setelah kemunculan Waru Doyong, kemudian ada dua lagu beraliran chadut yang ”booming” di Indonesia, terutama di gerbong-gerbong kereta. Dua lagu tersebut adalah Bang Thoyib dan Kumbang-Kumbang di Taman. Saya rasa anda semua tentu kenal dua lagu ini, terutama Bang Thoyib. Ciri khas lagu semacam ini adalah... judulnya merupakan kata-kata pertama dalam liriknya.

Khususnya bagi saya, kedua lagu ini serriiiiiiiiiiiiiiiiiing sekali saya dengar pada bulan-bulan pertama saya menjadi bagian dari roker (Rombongan Kereta). Dan kenyataan ini dengan tabah saya terima, walaupun sungguh mengganggu telinga. Dan setelah dua lagu tadi mulai pudar popularitasnya, muncullah lagu sms yang kita bicarakan di awal.

Lagu-lagu kereta memang seperti itu. Dan sejak setahun yang lalu, saya perhatikan si pengamennya itu masih sama, seorang ibu-ibu gemuk, nampaknya belum terlalu tua, membawa seorang anak perempuan di depannya. Si anak perempuan itu kadang joget, kadang ikut bernyanyi, kadang sekedar jalan membawa kantung untuk minta uang dari penumpang. Si ibu-ibu itu memegang kepala si anak untuk mengendalikan laju jalannya. Dan yang paling saya ingat adalah ekspresi dari si ibu saat menyanyi (mengamen)... SAMA SEKALI TANPA EKSPRESI. Dingin seperti es batu. Tanpa senyum maupun cemberut. Bingung saya... Tentu, kalau setiap hari anda melakukan hal yang sama, dengan lagu yang sama, saya rasa anda pun lama kelamaan akan menggantungkan ekspresi semacam itu di wajah anda.

Dia juga tidak keberatan kalau begitu dia menyanyikan lagu itu, sebagian penumpang kereta akan mentertawakan atau menggodanya dengan menggedek-gedekkan kepala (ditambah satu jari diacungkan di depan hidung), maupun dengan ikut menyanyikan kata ”Bang...” dalam setiap bait liriknya.

Lebih dari itu, saya rasa, lagu-lagu semacam ini sangat efektif sebagai sarana doktrinasi.

Ketika saya dulu mengikuti Ospek waktu mahasiswa (dan beberapa tahun menjadi panitianya), saya pelajari bahwa metode paling efektif untuk mendoktrinasi seseorang adalah dengan cara membuat orang tersebut berada dalam kondisi ”zero level”. Zero level ini merupakan sebuah kondisi dimana seseorang begitu lelah sampai tidak bisa berpikir dengan jernih, sehingga kalau kita katakan bahwa 2+2=5 disertai sedikit argumentasi yang kita buat sendiri, orang itu akan percaya.

Pada saat saya masuk ITB, dan saya ikuti Ospek, kultur di ITB secara umum masih menganut metode yang sama dengan kaderisasi militeristik, dimana kondisi zero level berusaha dicapai dengan cepat melalui eksploitasi kemampuan fisik manusia. Dengan kata lain, fisik kita dibuat begitu lelah, dan otak kita dibuat begitu bingung dengan berbagai orasi maupun debat yang berputar-putar sehingga akhirnya peserta ospek tidak lagi bisa berpikir dan mudah disusupi doktrin apapun yang diinginkan panitia. Contoh lain metode pencapaian zero level ini misalnya pada training ESQ (yang sempat saya ikuti sekitar setahun lalu). Bedanya, training ESQ menggunakan kekuatan sound system, suara-suara dan gambar-gambar dramatis untuk mempercepat zero level, untuk kemudian diledakkan dengan tangisan peserta. Saat itulah nilai-nilai ditanamkan. Sangat efektif, walaupun sangat mahal (terutama sound systemnya, karena panitia harus yakin sound system itu cukup kuat untuk memberi efek menggetarkan langsung sampai jantung anda).

---Lha, ini ngomongin apaan sih?? Dari Chadut kok jadi doktrinasi??”---

Saya menuliskan ini karena saya rasa saya mulai terasuki doktrin lagu tersebut.

Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa saya mandi sebelum berangkat kerja. Dan seperti biasa juga, saya bergumam atau bernyanyi sedikit-sedikit sambil bernyanyi, untuk membunuh waktu. Tanpa saya sadari, pagi itu yang saya gumamkan adalah nada-nada dari lagu sms tadi…

Seketika, saya merasa bahwa karir saya sebagai penyanyi kamar mandi sedang mencapai titik nadir. Saya siramkan air dingin sebanyak-banyaknya ke kepala saya…. GAGAL!! Nada-nada itu masih bergaung di kepala saya. Dalam kekalutan dan keputus-asaan, saya kemudian menenggelamkan kepala saya di bak mandi yang penuh air dingin itu, sambil berteriak keras-keras di dalam air…”TIDAAAAAAAAAAKKKKKK!!!!!!!!”

Alhasil, saya keluar dari kamar mandi dengan kepala pucat dan mata merah. Ibu saya yang shock melihat keadaan saya menyangka saya masuk angin dan menyarankan untuk tidak masuk kerja. Tapi toh saya tetap masuk kerja, dan kembali naik kereta, dan kembali mendengar lagu itu, dengan intonasi yang sama, suara yang sama, pengamen yang sama, dan kesedihan yang sama.

Saya hanya menunduk… terdiam… berusaha menyanyikan lagu “Aku Seorang Kapiten” untuk menangkal efek doktrinasi lagu sms tadi…

Dan saya tetap gagal…

--- “Kalau bersilat lidah, abang memang jagonya…
Sudah terbukti salah, masih saja berkilah…
Orang salah kirim lah, Orang iseng-iseng lah…
Orang salah kirim lah, Orang iseng-iseng lah…”---

NB : Kemarin saya secara tak sengaja melihat video klip dari lagu itu di sebuah kios yang menjual tivi-tivi bermerek palsu. Ternyata, penyanyinya cantik juga…

Sunday, June 18, 2006

Tetangga yang Baik...

Namanya Hambali. Asalnya dari Banten.
Saya biasa memanggilnya Oom Hambali.

Umurnya lebih muda dari ayah saya, mungkin sekitar 5 tahun lebih muda.

Waktu saya berumur 4 tahun (pokoknya lagi lucu-lucunya deh :p ), saya sekeluarga pindah ke Tajur, Bogor, dan menempati rumah tepat disebelah rumah Oom Hambali. Rumah beliau tidaklah bagus. Kalau rumah itu sekarang masih ada, mungkin sudah masuk acara Bedah Rumah di RCTI. Bahannya dari bilik, pintunya rapuh, dan sumurnya menyeramkan, terutama untuk saya yang waktu itu masih kecil.

Meskipun begitu, saya masih ingat, dulu setiap pulang sekolah (waktu TK sampai SD kelas 6), saya dan kakak saya tidak pernah absen main ke rumah Oom Hambali. Biasanya, siang-siang begitu, Oom Hambali sedang keluar bekerja di bengkel Suzuki dekat rumah. Beliau seorang montir handal, seorang mekanik. Di rumahnya waktu kami berkunjung itu, biasanya selalu ada Bi Enay, istrinya.

Tak banyak yang kami lakukan di rumah Oom Hambali sepulang sekolah itu selain menjarah makanan sederhana milik Bi Enay dan membaca-baca lembaran bergambar koran Poskota di rumahnya. Rumah kami langganannya Kompas. So pasti dong, saya lebih memilih cerita Doyok dan Ali Oncom ketimbang kata-kata berat dan analisis berbobot di Kompas :p

Oom Hambali dan Bi Enay tak pernah marah dengan kelakuan kami itu. Dari belaian sayang mereka, saya rasakan mereka seolah menganggap kami seperti anak mereka sendiri (atau kaminya saja yang ke-GR-an). Waktu itu, Oom Hambali dan Bi Enay memang sudah cukup lama menikah, tapi belum dikaruniai anak. Mereka sangat mendambakan kelahiran seorang buah hati. Tapi waktu itu, katanya ada sedikit masalah pada rahim Bi Enay, sehingga akan sulit untuk punya anak.

Oom Hambali seorang yang rajin. Seorang yang ulet. Kesederhanaannya, kepolosannya, adalah sesuatu yang mengagumkan. Seorang yang bersahaja. Tapi cukup disegani di lingkungan tempat tinggal kami.

Sejak dulu, ayah saya meminta bantuan Oom Hambali untuk mengurus dua mobil milik ayah saya. Sekedar memandikan mobil setiap pagi, membetulkan kalau ada kerusakan di sana sini, sampai menjadi supir dadakan kalau ada keperluan. Saya masih ingat, dulu waktu masih TK, setiap pagi saya dan kakak saya diantar sekolah oleh beliau, mengendarai mobil ayah saya (mulai SD disuruh berangkat sendiri :( yah, gapapalah, udah gede).

Setelah itu, ayah saya mengenalkan beliau ke teman-temannya. Kalau ada temannya yang bermasalah dengan mobil, ayah saya selalu merekomendasikan Oom Hambali. Dan karena kehandalannya, dalam waktu singkat beliau menjadi montir panggilan yang dipercaya oleh kawan-kawan ayah saya.
Hubungan Oom Hambali dan Bi Enay dengan keluarga kami memang sangat dekat (iya lah!! tetangga sebelah banget gituloh!!). Ayah saya tidak pernah memperlakukan Oom Hambali seperti seorang pesuruh. Mereka berteman. Dulu, Bi Enay sering sekali belajar memasak pada ibu saya, belajar membuat kue, dsb. Tetapi, seiring berjalannya waktu, dan mengikuti sifat ulet suaminya, sekarang sepertinya Bi Enay sudah lebih jago (karena gantian, sekarang ibu saya yang sering bertanya masalah masakan dan kue-kue ke Bi Enay).

Demikian juga hubungan Oom Hambali dengan saya dan kakak saya. Tidak sekedar tetangga.

Saya masih ingat senyumnya ketika menyambut saya yang di suatu hari waktu kelas 2 SD pulang dari sekolah dengan tangan kiri yang patah. Oom Hambali menunggu saya sejak dari ujung gang, lalu mengangkat dan menggendong saya sampai rumah sambil menghibur saya. Beliau juga yang bersama ibu saya terus menemani saya ketika tangan saya itu setiap 2 hari sekali harus diurut di daerah Cicurug. Beliau sempat menunggui ayah saya ketika opname di Rumah Sakit PMI, bergantian dengan saya dan ibu saya. Memang bukan sekedar tetangga.

Yang paling saya ingat, waktu rumahnya masih di sebelah rumah saya itu, Oom Hambali adalah imam pertama saya dalam sholat berjama'ah. Waktu kecil dulu, saya sempat masuk madrasah selama sekitar 1 setengah tahun. Diajarkan sholat, tapi tetap tidak ada yang membimbing saya dalam menjalankannya.

Ibu saya lantas menyuruh saya dan kakak saya ke rumah Oom Hambali setiap maghrib. Di sana, kami bermakmum ke Oom Hambali. Saat meng-imam-i kami itu, Oom Hambali selalu membaca dengan keras tapi perlahan, supaya kami bisa mendengar dengan jelas, dan menghafalkannya. Tapi tentu, namanya juga belum mengerti, karena merasa sudah hafal, saya sering mendahului Oom Hambali dalam sholat :p. Yang lain masih berdiri, saya sudah rukuk, yang lain rukuk, saya sudah sujud. Selepas sholat, Oom Hambali selalu menasihati saya sambil tersenyum.
Demikian juga saya sempat merasakan kekecewaan Oom Hambali dan Bi Enay sewaktu tahu bahwa kami tidak lagi sholat setelah beranjak remaja.

Saya rasa ayah saya sangat menyayangi beliau. Ayah saya sangat senang ketika Oom Hambali secara perlahan terus meningkat kesejahteraannya. Pemasukannya dari menjadi montir panggilan teman-teman ayah saya lebih besar ketimbang gajinya di bengkel Suzuki. Manajer bengkel sempat datang secara khusus ke rumah Oom Hambali untuk memintanya tetap bekerja disana ketika Oom Hambali mengajukan pengunduran diri supaya bisa memfokuskan diri menjadi montir panggilan dan membuka bengkel sendiri.

Akhirnya, Oom Hambali mampu membeli sepetak tanah agak jauh dari rumah kami. Hanya beda beberapa RW memang, tapi saya dan kakak saya benar-benar merasa kehilangan. Selain kehilangan kelembutan Bi Enay dan makanan-makanan sederhananya yang enak, kami juga tentu kehilangan Doyok dan Ali Oncom.

Beranjak SMA, kami jarang bermain ke rumah Oom Hambali lagi. Tapi sesekali masih suka main. Beliau akhirnya bisa membangun rumahnya, membuka bengkel sendiri di sebelah rumah, dan membeli mobil tua yang dijual murah pemiliknya karena sering ngadat. Bukan masalah bagi Oom Hambali, bisa diperbaiki setiap saat.

Kebahagiaan meliputi kami semua saat akhirnya Allah mengaruniai Bi Enay dan Oom Hambali dengan seorang anak. Tidak lama kemudian, lahirlah anak kedua dan ketiga mereka.
Tapi meski sudah memiliki usaha sendiri, Oom Hambali setiap pagi masih rajin ke rumah kami untuk mencuci mobil dan memeriksanya. Dari semua pengganti yang pernah dicoba oleh ayah saya, tidak ada yang bisa menyaingi rajinnya Oom Hambali dalam melaksanakan tugas ini. Oom Hambali pernah mengatakan bahwa itulah cara beliau berterima kasih pada ayah saya karena dulu membantu beliau dalam mendapatkan penghasilan tambahan dari menjadi montir panggilan.

Kehidupan beliau di lingkungan barunya berjalan lancar. Beliau menjadi seorang yang disegani di lingkungan barunya, dan menjadi pengurus Mesjid di dekat rumahnya. Tidak ada kesan kesalehan berlebihan yang diperlihatkannya dalam kehidupan sehari-hari, tapi tak ada yang berani meragukan keikhlasan beliau dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba Allah.

Satu hal yang sejak dulu membuat Oom Hambali sering dimarahi oleh Bi Enay adalah, makannya tidak teratur, sehingga cepat sakit. Memang, kalau sudah kutak kutik mobil, Oom Hambali benar-benar bisa lupa makan. Tidak jarang dari pagi sampai sore beliau tidak makan sedikitpun karena asyik membongkar mesin mobil. Maag menjadi penyakit yang akrab dengannya. Satu kebiasaan yang sudah sejak lama tidak berubah.

Yah, akhirnya tubuh Oom Hambali punya keterbatasan. Sejak 2 bulan lalu, maag yang cukup parah menyerangnya, lalu komplikasi dengan radang tenggorokan, dan sedikit bermasalah dengan paru-parunya karena sering terkena angin malam. Dan sejak 2 bulan lalu itulah Oom Hambali mulai sering bulak-balik rumah sakit.

Saya bersama kakak saya sempat menjenguknya di Rumah Sakit PMI Bogor sekitar sebulan lalu. Tidak bisa makan apa-apa, tubuhnya terlihat kecil sekali, sangat kurus. Rambutnya sudah banyak yang putih, dan wajahnya terlihat sangat tua. Saya tidak tega mengajaknya berbicara karena ekspresi wajahnya seperti menahan sakit yang sangat di tenggorokan. Tapi saya juga tidak tega melihat tubuhnya yang kurus itu. Saya hanya memegang tangannya dan berbicara sebisanya untuk menghibur beliau. Saya tidak pernah menjenguknya lagi sejak itu.

Pagi ini, 18 Juni 2006, Oom Hambali meninggal dalam tidurnya. Baru jam 11 saya menerima kabar itu melalui sms dari kakak saya. Selepas dzuhur beliau dikuburkan.

Aneh, tidak ada kesedihan yang saya rasakan saat menerima kabar itu. Seketika hanya kenangan-kenangan indah akan seseorang yang luar biasa. Seorang pekerja keras yang urat-urat tangannya sudah lebih dari cukup untuk melukiskan perjuangan beliau mengarungi hidup. Seorang pria yang keras, ditempa oleh kerasnya kehidupan, tapi lembut terhadap keluarga dan sahabat-sahabatnya. Seorang pria yang begitu menyayangi keluarganya. Seorang pria yang begitu mewarnai masa kecil saya, dan membelai saya seperti anaknya sendiri.


Tulisan ini adalah sesuatu yang saya harapkan bisa mengobati penyesalan saya karena tidak bisa ikut mengusung keranda jenazah beliau ke liang lahat.

Satu hari setelah iedul fitri, setiap tahun, Oom Hambali sekeluarga selalu mengunjungi rumah kami, dengan keceriaan mereka, berkisah tentang kehidupan, menjalin silaturahim yang tidak pernah ingin terputus. Kini, biarlah silaturahim itu terpatri dalam ikatan do'a.

Pada teman-teman yang mungkin membaca tulisan ini, kalau boleh saya meminta tolong, saya minta do'a untuk Oom Hambali, meski mungkin teman-teman tidak mengenal beliau. Terima kasih :)

Tuesday, June 13, 2006

Yang Klenik-klenik dari Bogor... (episode 2, habizz)

Bogor, dalam menginjak usianya yang ke-524 tahun pada tahun ini, memang merupakan sebuah kota yang memiliki cukup banyak cerita mistik dan legenda kota (urban legend), selain legenda mengenai badai 30 tahun lalu itu.

Pada awal berdirinya, Bogor dikenal dikenal oleh kalangan kumpeni Belanda dengan nama Buitenzorg. Arti kata dalam bahasa Belanda itu kira-kira adalah ”kota yang tenang”. Ketenangan itu memang kemudian mengejawantah dalam rimbunnya pepohonan, kesejukan alam, kesuburan tanah, dan sebagainya.

Konon, Bogor sendiri pada awalnya merupakan sebuah kawasan persinggahan antara Jakarta (Sunda Kelapa/Batavia) dengan Bandung. Jarak antara Bandung dengan Jakarta dulu adalah 3 hari 2 malam perjalanan (dengan berkuda). Nah, pada lokasi-lokasi dimana orang-orang sering bermalam ketika perjalanan Bandung-Jakarta itu, muncullah kawasan-kawasan permukiman. Mungkin awalnya berupa warung makan atau penginapan. Kabar burung camar yang beredar, tempat-tempat bermalam itu kemudian menjelma menjadi Cianjur dan Bogor. Bisa anda perhatikan, jarak antara Jakarta-Bogor, Bogor-Cianjur, dan Cianjur-Bandung sebenarnya kurang lebih adalah sama, yaitu sekitar sehari perjalanan berkuda atau sekitar 70-80 km.


Karena ketenangannya, muncul juga mitos bahwa Bogor merupakan ”dapur” dari nusantara (Indonesia). Orang-orang tua di Bogor nampaknya cukup meyakini mitos ini. Di suatu rumah, salah satu bagian terpenting adalah dapurnya. Kalau satu rumah tidak punya dapur atau hancur dapurnya, maka hancurlah rumah itu dan orang tidak akan dapat lagi tinggal disitu. Begitu juga dengan Bogor. Orang-orang Bogor asli cukup yakin bahwa sebagaimanapun kacaunya Indonesia, Bogor akan tetap tenang. Karena kalau Bogor sudah hancur, maka diyakini, Indonesia juga sudah hancur. Mitos inilah yang katanya (kabar burung merpati juga) menyebabkan Bung Karno punya 2 istana di Bogor, yaitu Istana Bogor dan Istana Batutulis.

Mitos ini sepertinya didukung oleh kultur masyarakat Bogor yang cenderung tenang dan tidak mudah terpancing emosi (walaupun kultur ini nampaknya semakin hilang karena semakin banyak warga pendatang). Ketika zaman kerusuhan waktu tahun 1998 dulu, seingat saya cuma ada satu peristiwa besar, yaitu terbakarnya pasar Bogor. Tapi itu pun cepat dipadamkan, dan tidak meluas karena warga tetap tenang dan cenderung hanya menonton, tidak tertarik ikut jarah-jarahan. Begitupun waktu zaman-zaman kerusuhan bernuansa SARA pada tahun-tahun itu, sebuah mesjid yang lumayan besar di daerah rumah saya pernah disatroni seorang provokator. Si provokator itu melemparkan sebuah tas berisi dua (maaf) kepala babi ke tempat wudhu mesjid. Meski sempat terjadi ketegangan sesaat, masyarakat sekitar mampu menahan diri dan bahkan menutup-nutupi kejadian itu sehingga tidak menyebar ke tempat lain. Ini karena dikhawatirkan bisa menyulut kerusuhan. Satu sikap yang saya rasa cukup istimewa di masa penuh kerusuhan (di tempat lain) itu.

Bogor juga dikenal dengan mitos pasukan Prabu Siliwangi yang punya ilmu harimau jejaden (jadi-jadian). Konon, dimulai pada masa kerajaan Pasundan dulu, secara turun temurun para tentara kerajaan mempelajari ilmu berubah bentuk menjadi harimau/macan (Katanya, inilah sebab mengapa Kodam Siliwangi lambangnya kepala macan). Ilmu ini konon sangat berguna dalam peperangan, karena menambah kekuatan si empunya ilmu, disamping menghilangkan rasa takut (dan tentu menimbulkan ketakutan pada tentara musuh). Ilmu ini jugalah yang kabarnya menyulitkan pihak kompeni Belanda maupun Jepang ketika ingin menguasai Bogor. Dikabarkan, para pasukan harimau jejaden ini menjalankan taktik perang gerilya (dalam wujud harimau) melawan Belanda. Ilmu ini katanya masih dipelajari oleh segelintir orang Bogor. Selain itu, ilmu ini dikabarkan juga bersifat turunan. Jadi, anak atau keturunan dari seseorang yang telah mempelajari ilmu ”pamacan” ini secara otomatis akan juga memilikinya, atau minimal akan memiliki sifat-sifat harimau apabila marah (meskipun kabarnya sudah jarang atau hampir tidak ada lagi yang bisa berubah wujud menjadi harimau).

Mitos ”pamacan” ini cukup kental di masyarakat Bogor. Konon, turunan dari seorang penganut ilmu pamacan ini dapat dilihat dari ciri khasnya, yaitu dua alis mata yang tebal dan memanjang sampai hampir menyatu, ditambah dengan sorot mata yang tajam. Ilmu ini bisa dibilang termasuk ilmu sihir (serupa dengan mitos ilmu sihir babi ngepet lah). Tapi untuk anak/keturunan dari pemilik ilmu ini biasanya tidak bisa mengendalikannya. Lebih mirip dengan incredible hulk kira-kira, ilmu itu akan keluar saat dia marah.


Satu pengalaman seorang kawan saya yang kuliah D3 di Unpad, waktu itu ia sedang menjadi panitia Ospek. Ada satu mahasiswa baru, laki-laki, yang ditekan terus oleh senior-seniornya. Kawan saya bercerita, si anak baru itu terus meminta maaf dan memohon untuk dilepaskan karena dia tidak ingin menjadi marah, tapi para senior itu tidak menanggapi. Akhirnya, walaupun anak baru itu sudah berusaha menahan, kemarahannya terlepas juga. Tiba-tiba matanya memerah dan dia mengerang, lebih mirip seperti mengaum. Ia kemudian berjalan dengan merangkak diatas 2 tangan dan kakinya, lalu mencakar-cakar ke para senior yang mengelilinginya. Singkatnya, berperilaku mirip harimau. Saat itu dia seperti kesurupan.

Untunglah salah seorang dosen pengawas turun tangan. Beliau (kata kawan saya) menggunakan bahasa sunda halus untuk menenangkan anak itu, yang dibalas dengan erangan, auman, serta omongan sunda kasar bernada marah, tapi suaranya jelas bukan suara asli si anak itu. Akhirnya, anak baru itu berhasil ditenangkan, dan dia pingsan. Si dosen itu kemudian berpesan singkat ke panitia ospek, bahwa anak itu mungkin pamacan yang tidak bisa mengendalikan dirinya, sehingga lebih baik dibiarkan dan jangan sekali-sekali dibuat marah besar.

Mitos lain di Bogor adalah seputar kijang-kijang Istana Bogor (tau kan ada banyak kijang di halaman Istana Bogor???). Sewaktu SMP dulu saya sempat mengunjungi Istana Bogor (masuk ke dalem maksudnya, bukan lewat doang), dan berbincang-bincang dengan pengurus Istana. Katanya, di kalangan pegawai Istana tidak ada yang berani membunuh kijang-kijang itu. Dan tidak ada predator alami bagi kijang-kijang itu. Mengingat keberadaan kijang-kijang istana sejak puluhan tahun yang lalu, cukup aneh memang kalau mereka tidak bertambah banyak dan memenuhi halaman istana. Tapi itulah yang terjadi. Pegawai istana mengatakan, entah bagaimana, jumlah kijang-kijang itu kurang lebih selalu tetap sama. Mitosnya memang mengatakan bahwa kijang-kijang itu dianggap ”keramat”.

O iya, ada satu hal yang perlu saya utarakan soal kijang-kijang ini...


Kalau anda mungkin berkesempatan mengunjungi Istana Bogor, atau mungkin sekedar lewat depan pagarnya dan mungkin ada seekor atau beberapa ekor kijang yang mendekati Anda, JANGAN DISENTUH!!!! Ini bukan mitos atau semacamnya. Konon, kijang-kijang selalu hidup berkelompok dan tidak bisa hidup tanpa kelompoknya. Antar sesama anggota kelompok itu saling mengenali melalui bau mereka. Nah, apabila anda menyentuh seekor diantara mereka, maka bau anda akan menempel di kijang itu. Akibatnya, kijang itu tidak akan dikenali lagi oleh kelompoknya (karena baunya sudah beda). Kalau sudah begitu, seringkali si kijang terpaksa hidup sendirian, dan akhirnya mati dalam kesendirian juga (dikatakan, kijang ga bisa cari makan kalo sendirian, dan jadi ga punya rumah karena ditinggalkan kelompoknya). Kalo begini kan kasihan... jadi, kalau mau melihat-lihat kijang istana, jangan dipegang yah...

Mitos lain adalah seputar hantu dan setan.

Bogor memang punya banyak bangunan heritage yang sudah berdiri sejak zaman Belanda dulu. Diantaranya adalah yang sekarang digunakan sebagai sekolah-sekolah swasta, yaitu TK-SD Mardi Yuana II di Jalan Pahlawan (sekarang namanya bukan Mardi Yuana lagi, apa ya?? Saya lupa :p ), SD-SMA Budi Mulya di Jln Kapten Muslihat, TK-SMA Regina Pacis di Jalan Juanda, dan SMUN 1 (kalo ini sih sekolah negeri) di jalan Juanda juga. Budi Mulya dan Regina Pacis menggunakan gedung yang konon dulunya adalah penjara Belanda, dan waktu zaman Jepang juga digunakan untuk menyekap bangsawan-bangsawan Belanda.

Dan sebagaimana lazimnya bangunan-bangunan tua, tentu cerita hantunya juga banyak. Karena saya TK dan SD di Mardi Yuana II, lalu SMP-SMA di Regina Pacis, cerita hantu yang saya dapat kebanyakan berasal dari sini. Dari sekian banyak, saya utarakan yang sudah cukup menasional saja ya. Dialah suster ngesot... Mitos hantu suster ngesot ini pertama kali saya dengar ketika SD di Mardi Yuana. Awalnya, isunya adalah tentang suster berkaki tiga yang diklaim pernah dilihat oleh para penjaga sekolah waktu malam (jadi katanya, bayangan si suster itu waktu jalan kakinya ada 3). Cerita berkembang, katanya suster berkaki 3 itu juga ditemani suster yang berjalannya sambil duduk (lalu disebut suster ngesot). Nah, karena itu, waktu suster ngesot ”go national” dalam film Jelangkung 1 dan 2, saya sudah tidak terlalu terkejut lagi. Bagi saya, suster ngesot di film itu tidak lagi menyeramkan, karena bisa dilihat di layar kaca. Kalau dulu, terasa begitu dekat, sampai-sampai waktu SD saya paling malas ke WC karena takut ada setan itu (norak banget lah sayah...)

Yah, sebenarnya masih cukup banyak mitos-mitos lain di Bogor, mulai dari mitos buah kemang yang konon di seluruh dunia hanya ada di Bogor (hayo... ada yang tau buah ”kemang” ini kaya gimana ga???), mitos harta karun di bawah prasasti batutulis (yang kemarin mau digali sama menteri agama, tapi dilarang sama warga Bogor, dan muncul selebaran-selebaran yang mengatasnamakan Prabu Siliwangi untuk menjaga peninggalan bersejarah), mitos kelelawar Bogor, mitos Kebun Raya (buat muda-mudi yang suka pacaran (duh bahasanya, muda-mudi), konon kalau datang ke Kebun Raya bersama teman lawan jenis, maka setelahnya biasanya lalu jadian. Tapi sebaliknya, kalo ke Kebun Raya sama pacar, biasanya setelahnya malah putus :p ), dan buaaaanyak lagi mitos lain yang kalau dituliskan satu persatu disini beserta kisah-kisahnya bakal jadi 5 episode. Maka mari kita batasi sampai sini :p


Adapun alasan mengapa saya menuliskan mengenai perkara klenik-klenik ini adalah terkait dengan gempa 5,9 SR yang mengguncang Yogya beberapa waktu lalu (lho, kok nyambungnya kesana??). Saya cukup sedih ketika mendengar kabar-kabar bahwa sebagian masyarakat sana (dan juga menjadi bahan pergunjingan sampai kemana-mana, termasuk Jakarta) sedemikian percaya kalau gempa tersebut adalah karena kemarahan Ratu Pantai Selatan.

Memang, beginilah kalau sebuah legenda atau cerita masyarakat secara turun temurun terus disalah persepsikan. ia menjadi sebuah "kepercayaan bawah sadar" karena telah ditanamkan sejak kecil, dan dipercayai kebenarannya oleh banyak orang di daerah itu.

Inilah transformasi yang dikhawatirkan dari sebuah cerita/legenda rakyat. Ketika ia tidak lagi dipahami secara logis, dan tidak dipahami sebatas sebagai bagian dari budaya setempat.

Seperti juga dongeng, cerita rakyat pada awalnya muncul sebagai sebuah sarana pendidikan (seringkali pendidikan akhlak ato etika) anak. Ini metode yang digunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dulu. Dalam bahasa Sunda, ”dongeng” disebut-sebut merupakan singkatan dari ”ngabobodo budak cengeng” (membodohi anak cengeng). Membodohi disini bisa berarti menakut-nakuti, menenangkan, sampai bahkan mendidik.
Contohnya, malin kundang yang mengajarkan supaya tidak durhaka ke orang tua, legenda tangkuban perahu yang mengajarkan supaya kalo jadi orang jangan sombong, dll. Kalo ga salah, ada juga yang pernah nyebut kalo legenda laut selatan itu muncul untuk mengajari kita menghormati (menjaga kelestarian) laut.

Repotnya, setelah dewasa, tidak jarang nilai2 inti dari cerita itu tidak terkomunikasikan dengan baik. Pada akhirnya, yang masuk dalam alam bawah sadar generasi-generasi selanjutnya ya sebatas cerita/legendanya saja, dan nilai-nilai hidup yang dikandungnya sendiri menjadi hilang. Sebagaimana lazimnya cerita-cerita/legenda setempat, dia diyakini kebenarannya, meskipun tak pernah terbuktikan.

Kalaupun ada fenomena-fenomena yang dikatakan merupakan bukti dari kebenaran sebuah legenda, perlu juga dipahami bahwa suatu legenda biasanya bersumber dari beberapa faktor. selain faktor imajinasi penciptanya, legenda juga didukung oleh adanya fenomena (biasanya fenomena alam) yang terlihat. Dengan kata lain, legenda bisa timbul dari imajinasi seseorang setelah memperhatikan sebuah fenomena.

Contohnya, gunung tangkuban perahu. Apakah kita yakin kalau dulu seorang pemuda bernama Sangkuriang benar2 membuat danau dan perahu yang kemudian menelungkup?? Orang yang meyakini kebenaran legenda sangkuriang akan berkata : "ya Bandung ini kan dulunya danau... dan gunung tangkuban perahu itu adalah perahu yang ditendang sangkuriang."
Benarkah demikian??
Atau si pengarang legenda itu dulu sekedar terinspirasi dari bentuk gunung tangkuban perahu yang mirip perahu terbalik??

Demikian juga dengan legenda pantai selatan... yang didukung oleh ganasnya ombak di pantai selatan dan legenda raja-raja pada masa kerajaan sunda, majapahit, dll. Cukup banyak yang mengkaitkan ratu laut selatan dengan legenda kerajaan-kerajaan ini.

Memang lebih mempercayai legenda dibanding agama menunjukkan masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Pada titik yang ekstrim, ia akan menjelma menjadi kemusyrikan massal yang terselubung. Ini yang perlu sekali diwaspadai. Terlebih lagi, pola akulturasi antara adat jawa dengan Islam pada masa wali songo dulu seolah membenarkan kepercayaan klenik semacam ini. Perlu dipahami bahwa pada mulanya, akulturasi adalah sebuah strategi semata, yang dipergunakan untuk mendekatkan/membumikan Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Akan tetapi, seringkali justru bungkus memang lebih terlihat dibanding isinya. Akibatnya, yang terjadi adalah salah kaprah secara massal.

Meski begitu, bagi saya pribadi, tetap menarik untuk mengkaji legenda-legenda atau cerita masyarakat setempat. Bukan untuk mempercayainya, tapi untuk menggali nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Seringkali, kearifan lokal di suatu daerah adalah faktor penting yang menjaga kelestarian alam di daerah itu, dan faktor penting yang menjaga tatanan sosial di daerah itu. Contohnya bisa kita lihat pada masyarakat dayak, bali, jawa, sunda, dan hampir semua suku bangsa di indonesia sebenarnya.

Selain itu, sebuah legenda adalah salah satu sarana untuk melakukan pemetaan sosial, memahami kultur dan struktur sosial masyarakat setempat, dan nilai-nilai apa yang mendasari pola hidup sehari-hari mereka. Indonesia sangat kaya akan itu...

Lalu untuk apa dipelajari???
Bagaimana kita akan hidup di tengah masyarakat kalau kita tidak mengetahui nilai-nilai yang mereka anut??
Dan bagi para aktivis dakwah yang ingin mencegah terjadinya kemusyrikan massal terselubung seperti yang saya ungkapkan tadi, bagaimana akan berperang kalau tidak mengetahui/mengenal musuhnya??

Bahaya dari cerita-cerita rakyat ini memang cukup besar. Akan tetapi sebenarnya nilai-nilai kehidupan yang tersembunyi didalamnya seringkali arif. Bagi saya pribadi, cukup mengasyikkan untuk mempelajari cerita-cerita masyarakat setempat di suatu daerah, mempelajari budaya dan corak berpikir mereka. Dari cerita-cerita itulah sebenarnya, asal mula sebuah tatanan kehidupan dapat dipelajari. Meski begitu, sebagai umat beragama, tentu kita pun perlu berhati-hati dalam menyikapinya. Semua punya proporsinya sendiri-sendiri.


Ket. : gambar diambil dari bogor.net, budpar.go.id, cdsindonesia.org, dan cis.ksu.edur

Friday, June 09, 2006

Yang Klenik-klenik dari Bogor... (episode 1)


Syahdan....

Bogor, sekitar 30-40an tahun yang lalu (berhubung saya tidak ada data tahun pastinya kapan)....

Para pedagang di sekitar kompleks sekolah Regina Pacis dan Istana Bogor memulai pagi seperti biasa, membuka kios lalu menjajakan dagangannya. Tidak ada yang berbeda pagi itu. Udara cerah seperti biasa, meskipun sejak beberapa hari sebelumnya angin dingin kerap berhembus.

Menjelang siang, beberapa sosok pria berbaju hitam-hitam nampak berjalan kaki beriringan, celingukan kesana kemari, berkata-kata dalam bahasa Sunda khas Banten. Ternyata, mereka orang-orang Badui yang dilihat dari bajunya, sepertinya orang Badui pedalaman. Cukup jarang mereka turun gunung sampai ke pusat kota seperti ini, sehingga menarik perhatian banyak orang.

Ternyata mereka menyebar kepanikan, meskipun nampaknya tidak bermaksud untuk itu. Mereka menyuruh para pedagang di sekitar kawasan itu untuk pulang, tidak berjualan dulu. ”Aya naon kitu??” tanya para pedagang. Tidak ada yang berpikiran buruk, karena orang-orang Badui memang terkenal sebagai orang-orang yang jujur, baik hati, dan tidak pernah bermaksud jahat. ”Bakal aya kajadian... kajadian gede...” jawab mereka dengan bahasa sunda yang tidak halus. Kejadian apa yang dimaksud, tidak ada yang tahu. Yang jelas, sampai ”kejadian” itu datang dan sampai keadaan kembali ”normal”, para pedagang itu diminta untuk tetap di rumah, tidak ada di sekitar lokasi itu.

Sebagian dari para pedagang langsung berhamburan pulang. Sementara sebagian yang lain memilih untuk tetap tinggal berdagang, menunggu yang akan terjadi.

Tetangga kakek saya adalah salah seorang dari pedagang-pedagang itu, yang lantas pulang dan menceritakan kejadian itu pada kakek saya. Tentu, tidak ada yang menanggapi serius peristiwa itu, sampai beberapa hari setelahnya.

Selang beberapa hari setelah turunnya orang-orang Badui pegunungan itu adalah hari istimewa. Di Istana Bogor sedang dilangsungkan pesta pernikahan putri pertama dari Soeharto, yang kala itu belum lama menjadi presiden. Tamu-tamu undangan berdatangan. Para pejabat, tamu kenegaraan, dan tentu saja para pejabat Bogor.

Tapi pesta itu tidak bertahan lama...

Beberapa saksi menyebutkan, sekonyong-konyong langit yang tadinya cerah mendadak gelap. Segumpal besar awan hitam seolah berlari menutupi kawasan kebun raya dan sekitarnya. Lalu, bencana itu datang.... Hujan besar disertai angin badai yang besar mengguyur Bogor. Tapi pusat badai itu seolah hanya menyambangi Kebun Raya dan sekitarnya.

Angin badai segera berubah menjadi angin puting beliung... tornado... dengan kekuatan yang luar biasa.

Tak lama, pohon-pohon bertumbangan... orang-orang berlarian kesana kemari. Angin dan hujan menghancurkan semuanya. Kegelapan melanda seisi kota, yang diperparah dengan padamnya aliran listrik di semua bagian kota. Kilat dan petir terus bersahutan. Genting-genting di rumah-rumah beterbangan, suara genting beradu di udara menambah kengerian. Suasana Bogor sungguh mencekam. Sebagian masyarakat menonton kepanikan yang terjadi di sekitar Kebun Raya, terutama kepanikan di sekitar Istana Bogor yang sedang dijadikan ajang pesta, tanpa dapat berbuat apa-apa selain bertakzim pada Allah. Selanjutnya, semua hanya bisa bercerita dari jejak-jejak yang ditinggalkan oleh badai tersebut.

Ibu saya, ketika itu baru akan menginjak bangku SMU, tinggal di rumah saat badai berlangsung. Semua cemas karena kakek dan nenek saya belum pulang. Khawatir kalau-kalau terjebak badai. Akhirnya kakek dan nenek saya pulang, beserta beberapa orang tetangga. Kakek saya, menurut cerita ibu saya, pulang sambil menangis dan dalam keadaan shock. Tapi kemudian menceritakan apa yang terjadi.

Kakek dan nenek saya ternyata memang terjebak dalam badai. Mereka berlindung di kawasan sekitar Kebun Raya, dan alhamdulillah selamat. Tapi mereka menyaksikan langsung kengerian yang terjadi saat itu. Nenek saya berulang kali bercerita mengenai orang-orang yang tewas tertimpa atau terhimpit pohon. Pohon-pohon yang beterbangan, kilat yang tak berhenti menyambar. Kengerian yang sepertinya menyisakan trauma mendalam. Dan memang, berdasarkan berita-berita di media massa, ternyata kejadian itu menewaskan puluhan orang (jumlah pastinya saya tidak tahu, tapi kabarnya antara 30 sampai 50 orang), sebagian adalah tamu-tamu yang waktu itu menghadiri pesta di Istana Bogor.

Ibu saya, beberapa hari kemudian, mendapat tugas kerja bakti beserta ratusan pelajar SMP dan SMU se-Bogor lainnya, untuk membersihkan Kebun Raya pasca badai. Dan apa yang dilihat oleh ibu saya waktu itu memang cukup mengejutkan.

Tidak terhitung berapa banyak pohon-pohon besar yang bertumbangan, tercerabut sampai akar-akarnya. Perlu diketahui bahwa konon Kebun Raya tidaklah se-”gersang” sekarang. Kebun Raya pada masa itu begitu rimbun dan penuh pohon-pohon besar sehingga di banyak lokasi cahaya matahari tidak bisa menembus sampai tanahnya. Mirip dengan pedalaman hutan Kalimantan. Setiap sore, biasanya segerombolan kelelawar akan beterbangan dari Kebun Raya, membentuk segumpal awan hitam yang bergerak cepat (sampai pertengahan tahun 90-an, fenomena unik ini masih ada, tapi sekarang sudah tidak lagi). Ini adalah satu ciri khas pemandangan sore hari di Kota Bogor, awan kelelawar dari Kebun Raya.

Tetapi setelah badai, Kebun Raya seolah gersang. Para ahli biologi dan kehutanan kala itu menyebutkan bahwa bahkan dalam jangka waktu 20 tahun pun Kebun Raya tidak akan dapat kembali ke keadaan asalnya, disamping banyaknya spesies pohon yang langka menjadi hilang. Dan buktinya, sampai saat ini memang kondisi Kebun Raya konon memang masih sangat jauh berbeda dengan sebelum badai besar tersebut (menurut orang-orang tua di Bogor yang mengetahui kondisi Kebun Raya 30 tahunan lalu).

Fenomena ganjil lainnya adalah rumpun-rumpun bambu yang hancur. Sebagaimana kita ketahui, bambu adalah salah satu tanaman yang dikenal paling mampu menahan gempuran angin karena kelenturannya. Dan perlu diketahui bahwa yang kita sebut “rumpun bambu” di Kebun Raya itu ukurannya sangat besar. Diameter satu rumpun bambu di Kebun Raya bisa mencapai lebih dari 5 meter, kumpulan dari ratusan batang bambu. Dan antar rumpun itu seringkali berdekatan.

Apa yang terjadi dengan rumpun-rumpun bambu itu pasca badai ternyata diluar bayangan semua orang. Kalau kekuatan angin sampai menumbangkan atau menerbangkan bambu-bambu, mungkin masih bisa dinalar. Akan tetapi yang terjadi adalah, rumpun-rumpun bampu itu dalam posisi terbalik. Akarnya di atas, sementara pucuk bambu tertanam di tanah. Seolah angin mengangkat rumpun-rumpun bambu itu sampai akar-akarnya, membaliknya di udara, lalu menancapkannya lagi di tanah... Meski begitu, fenomena itu sebenarnya hanya terjadi di beberapa titik. Di lokasi lain, lebih banyak rumpun bambu yang sekedar hancur berantakan dan bambu bertebaran dimana-mana. Pemandangan yang walaupun luar biasa, tapi masih bisa dimengerti.



Singkat kata... Kebun Raya tidak akan pernah sama lagi...

Tapi yang kemudian berkembang, seperti juga yang akan berkembang pasca kejadian-kejadian menghebohkan di berbagai daerah di Indonesia, tentu juga mitos-mitos dan asumsi mistik dibalik kejadian itu. Diantaranya adalah sebagai berikut...

Banya orang yang heran mengapa badai itu hanya menghancur-leburkan Kebun Raya, sementara wilayah Bogor lain, meskipun sedikit merasakan badai tersebut, tidak mangalami kehancuran yang signifikan. Secara ekstrim, banyak juga yang mengatakan bahwa awan hitam yang membawa badai itu hanya menaungi Kebun Raya. Beberapa mengatakan bahwa awan hitam itu membentuk bayangan seolah sosok manusia yang sangat besar.

Mulai banyak yang menghubungkan kedatangan orang-orang Badui sebelum kejadian itu dengan Kerajaan Pasundan (Sunda) yang berdiri ratusan tahun yang lalu. Mitos mulai berkembang sampai peristiwa Perang Bubat yang melibatkan Pasundan dengan Majapahit. Konon setelah peristiwa itu, para leluhur Kerajaan Pasundan tidak suka apabila tanah-tanah keramat di wilayah Sunda dipergunakan untuk pesta oleh orang Jawa. Dan Soeharto jelas orang Jawa. Asumsi mistik ini kemudian diperkuat lagi dengan kabar burung bahwa beberapa orang saksi menemukan tapak-tapak kaki manusia berukuran raksasa di Kebun Raya, pasca badai. Tapak-tapak kaki itu diklaim sama dengan tapak kaki di prasasti Batutulis, yang konon adalah tapak kaki Prabu Siliwangi, seorang raja Pasundan. Banyak yang mengkaitkan kedatangan orang-orang Badui tadi dengan mitos ini karena orang Badui dikenal ”dekat” dengan ”leluhur”.

Mitos ini, mau tidak mau, berkembang lagi pasca badai tanggal 1 Juni 2006 yang lalu. Dikatakan, kehancuran Kebun Raya (lagi) kali ini karena SBY baru saja menikahkan putranya dengan Annisa Pohan di Istana Bogor beberapa bulan yang lalu. Tapi kenapa badainya tidak pas acaranya ya??? (yah, namanya juga mitos, serius amat mikirnya??)

Mitos lain yang kemudian berkembang adalah mitos yang melibatkan Bung Karno. Konon, beberapa hari sebelum kejadian itu, tersebutlah kisah tentang seorang tukang becak yang malam-malam mengantar penumpang ke depan Istana Bogor. Akan tetapi, setelah membayar jasa becak, si penumpang tiba-tiba menghilang, dan si tukang becak melihat si penumpangnya itu sedang melambaikan tangannya dari dalam halaman istana. Kontan si tukang becak lari terbirit-birit... tapi kabar burung yang berkembang, si tukang becak itu mengatakan bahwa wajah si penumpang itu mirip sekali dengan Bung Karno. Selain itu, mulai bermunculan cerita-cerita penampakan hantu-hantu yang diklai sebagai arwah-arwah orang Belanda yang dimakamkan di Kebun Raya (didalam Kebun Raya memang ada komplek pemakaman Belanda). Nah loh... bingung kan???

Intinya adalah, cukup SEDIKIT orang yang menganggap badai 30 tahun yang lalu itu sebagai sebuah fenomena alam biasa...


(Bersambung...)

NB : Cerita ini bersambung. Dan bagi anda para pembaca yang telah terjebak membaca postingan ini, mohon maaf, terpaksa saya WAJIBKAN untuk membaca sambungannya (pada postingan berikutnya). Sangatlah berbahaya apabila anda hanya membaca postingan ini tanpa sambungannya. Bahaya yang saya maksud bisa sampai pada akidah anda dalam beragama. Saya khawatir tulisan ini, tanpa dilengkapi sambungannya, bisa membuat kita sedemikian percaya dengan mitos dan takhyul yang pada level tertentu bisa menyebabkan apa yang kita sebut ”musyrik”. Oleh sebab itu, bagi yang sudah terlanjur membaca postingan ini, sekali lagi dengan sangat terpaksa saya WAJIBKAN untuk membaca sambungannya (bukan maksud promosi blog loh...)

Adapun episode kedua dari tulisan ini akan memaparkan mitos-mitos lain seputar Kota Bogor, terutama legenda-legenda kotanya (urban legends), dan diakhiri dengan refleksi mengenai bagaimana kita menyikapi hal-hal yang bersifat klenik seperti ini.

Ok??!?! Serius amat sih bacanya?? Ya gw juga nulisnya serius amat ya?? :p

--Lagian ngapain sih dipotong-potong segala tulisannya??---

Ya iyalah... kaya ga tau aja tulisan gw... panjang-panjang... episode pertama aja udah sepanjang ini :p

Friday, June 02, 2006

Kamis, 1 Juni 2006 : Badai besar di Bogor !!!!

Kamis, malam Jum'at (kesannya gimanaaaa gitu ya kalo disebut "malem jum'at"), Bogor mencekam...

Bagi penumpang kereta seperti saya, suasana tidak enak sudah terasa sejak di Cilebut. Kereta kami berhenti hampir satu setengah jam di Citayam. SATU SETENGAH JAM!! Petugas stasiun mengatakan bahwa aliran atas (kabel listrik yang menjadi nyawa KRL) di Bogor tersambar petir. Pada awalnya, berbondong-bondong penumpang kereta memilih untuk pindah moda ke angkot dari Cilebut ke Bogor. Tapi karena hujan cukup deras dan jumlah angkot tidak mampu menampung tumpahan kereta, cukup banyak juga penumpang kereta yang tidak kebagian angkot (termasuk saya, karena malas berebut angkot saat hujan seperti itu). Untunglah, kereta kembali dijalankan, karena perbaikan di Bogor sudah selesai. Saya kembali melanjutkan dengan kereta.

Hujan memang sudah biasa di Bogor. Tapi hujan tadi malam sangat terasa lain. Derasnya tidak seberapa, tapi angin dan petir/kilat yang sambar menyambar itu sangat diluar kebiasaan. Memang hujan angin atau hujan badai kerap terjadi di Bogor. Tapi baru kali ini angin besar itu masih terasa sampai ke Cilebut. Bahkan sejak di Citayam dan Bojonggede, orang-orang sudah terheran-heran dengan angin hujan yang berhembus sangat kencang, tidak seperti biasanya.

Pukul 22.30 WIB, saya akhirnya sampai di stasiun Bogor. Diluar kebiasaan (lagi), suasana diluar stasiun gelap gulita. Tidak terlihat lampu-lampu toko ataupun kemeriahan pedagang kaki lima di sana. Padahal hujan sudah berhenti. "Listrik mati total nih," pikir saya. Demikian juga angkot 03 yang akan saya naiki sangat sedikit, tidak seperti biasanya.

Selama menunggu penuh angkot, saya menguping pembicaraan supir angkot dengan temannya. Ternyata telah terjadi hujan badai besar di Bogor sekitar pukul 19.00-21.30 tadi malam. Dikatakan bahwa hujan tidak terlalu besar, tapi angin badainya sangat besar. Bahkan sempat beredar kabar terjadinya angin puyuh/tornado kecil di Kebun Raya. Pohon-pohon Kebun Raya bertumbangan, gardu-gardu listrik tersambar petir, dan tiang-tiang listrik rubuh. TIANG LISTRIK RUBUH sodara-sodara... Kesannya bombastis banget ya?? Tapi ketika angkot mulai beranjak meninggalkan stasiun, saya pun tertegun dengan kondisi Bogor...

SD-SMU Budi Mulya terletak di jalan Kapten Muslihat, dekat dengan stasiun, di samping Balai Kota dan sangat dekat dengan kompleks Istana Bogor. Di daerah ini, mulai dari Jalan Kapten Muslihat sampai jalan Juanda (sekitar SMU 1, Balai Kota, Kompleks Bank disebelahnya, sampai SD Regina Pacis), adalah daerah yang masih mencirikan Bogor zaman dahulu. Banyak pohon-pohon besar, mulai dari pohon kenari sampai pohon-pohon beringin tua yang akar-akarnya sudah menjulur sampai ke atas aspal jalan. Saking tuanya pohon-pohon ini, saya perkirakan sudah ada sejak zaman penjajahan dulu, dan diameter batang utamanya mencapai 4 meter. Sulur-sulur akarnya sudah menjuntai dari pucuk atas pohon sampai ke tanah, dan sulur-sulur itu begitu banyak dan tebalnya sehingga menimbulkan suasana rimbun di sekitar pohon-pohon itu.

Malam tadi, di kompleks perparkiran Budi Mulya, saya saksikan salah satu dari pohon tua itu tumbang. Akarnya tercabut dari tanah. Semua penumpang angkot terkesima menyaksikan begitu besarnya batang pohon yang tumbang itu (yang diameternya sy perkirakan sampai 3 atau 4 meter tadi, belum termasuk akar-akar serabutnya yang menjulur kemana-mana). Batang pohon itu menimpa 3 atau 4 mobil (saya kurang memperhatikan dengan baik) di komplek parkir itu. Kata supir angkot yang saya naiki, ketika pohon itu tumbang, di mobil itu ada beberapa penumpang, dan berteriak-teriak minta tolong dengan histeris. Saya kurang tahu bagaimana nasib mereka kemudian (berhubung si supir angkot itu nggak nolongin). Di tengah gelapnya kota, pemandangan bangkai pohon itu cukup mengerikan. Daun-daun, ranting dan cabang-cabang pohon bertebaran di mana-mana.

Ternyata tidak sampai disitu.
Melanjutkan perjalanan ke arah lapangan Sempur, saya saksikan pohon-pohon, baik besar maupun kecil, di sepanjang jalan bertumbangan. Beberapa tidak tumbang, tetapi patah. Mungkin karena akar tunjangnya sedemikian kuat, pohon itu tidak tumbang. Tapi ternyata batangnya tidak mampu menahan angin, dan patah. Beberapa rumpun bambu di kompleks istana dan kebun raya juga hancur berantakan. Beberapa bambu tercabut sampai akar-akarnya. Bambu yang kita kenal sebagai tanaman yang paling fleksibel dalam menahan angin, tercabut sampai akar-akarnya. Tak terhitung banyaknya dedaunan, ranting, sampai batang-batang pohon dan cabang-cabang besarnya yang patah berserakan di jalan raya.

Menurut beberapa orang di angkot yang berasal dari daerah Ciampea dan Bubulak, beberapa tiang listrik di sepanjang jalan disana sampai tumbang ke jalan. Untung tidak ada yang tertimpa. Kondisi parah juga kabarnya terjadi di daerah Cimahpar.

Demikian juga dengan di kawasan Sempur dan Taman Kencana yang masih rimbun oleh pohon-pohon besar dan tua. Di sepanjang jalan, terlihat pohon-pohon dari Kebun Raya bertumbangan ke arah jalan raya, tetapi masih tertahan oleh pagar dan tembok pembatas kebun raya. Tak ayal, pagar-pagar itu pun bengkok atau patah diterjang pohon. Sebuah pemandangan yang cukup mengerikan, sebuah batang pohon tertancap di pagar pembatas Kebun Raya. Melihat kondisinya yang sedemikian rupa, dimana jarak antara tempat tertancapnya batang pohon itu dengan tanah yang cukup jauh (pagarnya tinggi) dan batang pohon itu tidak ada akarnya, saya perkirakan pohon itu patah meninggalkan akarnya masih di tanah, kemudian ”terbang” terbawa angin sampai menancap di pagar pembatas itu. Saya ngeri membayangkan kalau pagar itu tidak cukup kuat untuk menahan si batang pohon. Bisa-bisa batang pohon itu terbang menimpa mobil atau pejalan kaki. Tapi lebih mengerikan lagi memperkirakan kekuatan angin yang bisa menerbangkan batang pohon itu.

Untunglah, menurut si sopir angkot, ketika angin sedang kencang-kencangnya itu, kondisi jalan sunyi senyap. Sepertinya banyak yang takut keluar rumah atau melakukan perjalanan ketika itu.

Demikian juga di Taman Kencana terjadi kemacetan karena beberapa batang pohon tumbang melintang di tengah jalan. Tapi ternyata kemacetan di Taman Kencana itu belum seberapa. Sesampainya di Jalan Pajajaran (antara Hotel Pangrango dengan Tugu Kujang), lalu lintas kedua arah berhenti TOTAL! Arus lalu lintas diarahkan ke jalan alternatif di belakan Plaza Pangrango sampai kampus IPB Baranang Siang. Tapi karena jalan alternatif itu terlalu kecil, pengalihan itu tidak terlalu banyak membantu. Saya pun akhirnya memilih untuk meneruskan perjalanan dari Hotel Pangrango sampai Terminal Baranang Siang dengan berjalan kaki, sekalian melihat-lihat apa yang terjadi.

Ternyata, di kawasan depan Rumah Sakit PMI dan Kafe Spektrum, sebatang pohon besar telah tumbang dan menghalangi lalu lintas di kedua ruas jalan. Ukuran pohon cukup besar dan cabang-cabangnya banyak, walaupun tidak sebesar pohon yang tumbang di Budi Mulya tadi. Ketika saya sampai ke TKP (tempat kejadian perkara), petugas pemadam kebakaran dibantu pihak DLLAJR, dengan menggunakan gergaji-gergaji mesin dan alat berat, sedang berusaha memotong-motong batang pohon itu menjadi bagian-bagian kecil agar dapat disingkirkan dari jalan. Sepertinya tidak ada alat yang dapat mengangkat batang pohon itu secara sekaligus. Melihat ukuran pohon, saya perkirakan usaha ini akan berlangsung cukup lama.

Sesampainya di terminal, saya melanjutkan perjalanan dengan angkot 01 menuju rumah. Sepanjang jalan Pajajaran dari Terminal sampai Sukasari ternyata tidak ada hambatan. Tidak ada pohon besar yang tumbang. Kalaupun ada, pohon-pohon kecil yang sepertinya sudah disingkirkan. Tapi sama dengan beberapa bagian kota yang lain, suasana jalan gelap gulita. Lampu-lampu jalan mati, dan sebagian rumah maupun bangunan lain di sepanjang jalan itu pun nampaknya tidak dialiri listrik. Alhamdulillah akhirnya saya sampai di rumah pukul 23.30.

Dan pagi tadi, ketika saya berangkat ke stasiun, kondisi didalam Kebun Raya terlihat lebih jelas. Ternyata tidak lebih baik dari kondisi diluarnya. Didalam kebun raya terlihat pepohonan yang tumbang, lintang melintang tak karuan. Tentu, yang bertahan tidak tumbang juga banyak. Ada juga yang patah, tinggal tersisa bonggolnya saja, ada yang miring-miring ga jelas. Rusuh lah pokoknya...

Kondisi badai seperti ini sebenarnya bukan pertama kali yang terjadi di Kota Bogor. Tapi inilah yang pertama kali dampaknya saya saksikan langsung. Seorang bapak-bapak di angkot yang saya naiki tadi malam sempat berkata, bahwa selama 20 tahun dia tinggal di Bogor, baru kali ini dia merasakan hujan angin seperti itu. Tapi segera dibantah oleh seorang bapak lain yang sudah tua, yang mengingatkan kami semua akan sebuah legenda (urban legend) di Bogor yang terjadi sekitar 30 tahunan yang lalu.

Badai yang terjadi sekitar 30 tahunan yang lalu itu, kabarnya memang JAUH lebih besar dari badai tadi malam. Legenda penuh bumbu-bumbu mistik (terutama terkait dengan mitos Kebun Raya, Bung Karno, Istana Bogor, sampai Prabu Siliwangi). Legenda ini sejak saya kecil seriiing sekali diceritakan oleh nenek saya (yang menjadi saksi hidup peristiwa tersebut), ibu saya (yang waktu itu baru SMP mau SMA, dan dapat tugas kerja bakti membersihkan kebun raya pasca badai, bersama ratusan anak SMP/SMA lainnya), sampai tetangga-tetangga saya (yang tentunya seangkatan dengan ibu dan nenek saya). Kalau anda penasaran dengan badai legendaris penuh mistik yang terjadi 30 tahunan lalu itu, silahkan tanya orang-orang yang sudah hidup di Bogor sejak setidaknya 40 tahun yang lalu.

Kalau anda malas bertanya, silahkan tunggu tulisan saya mengenai urban legends Kota Bogor =P. Ini bukan mau menyebarkan takhyul, klenik atau mitos. Tapi cuma sekedar berbagi cerita saja. Biasanya, semua kota pasti ada ceritanya sendiri-sendiri.

Sementara, ya saya sajikan laporan pandangan mata dari badai semalam saja ya =)

Yang saya heran, KOK GA MASUK KORAN SEEEEH????!??!?! (masuk lintasan berita di Metro TV doang tadi malem). Hehe, apa sayanya aja yang terlalu hiperbolik ya?? =P

NB : Ini tentu tidak seberapa dibandingkan gempa di Yogya atau tsunami di Aceh. Terbayang kepanikan dan trauma yang dirasakan oleh saudara-saudara kita disana... Karena bahkan orang-orang Bogor yang saya temui tadi pagi sudah mengaku cukup trauma melihat pohon-pohon tumbang atau beterbangan tadi malam, padahal kejadiannya tidak terlalu besar ya...

NB lagi : Dari filosofi Cina dan Yunani, sering dikatakan bahwa alam ini terdiri dari 5 unsur, yaitu air, api, tanah, angin, dan hati manusia. Entah kenapa, negeri ini mungkin telah merasakan amukan hampir dari semua unsur itu. Air mengamuk menjadi tsunami di Aceh, Tanah mengamuk menjadi gempa di Alor, Nabire dan Yogya, dan angin badai (yang tidak terlalu besar sebenarnya, sayanya aja yang hiperbolik sepertinya) mengamuk di Bogor semalam, juga angin-angin badai lain yang mungkin terjadi di daerah-daerah lain. Hati manusia? Bukankah membudayanya korupsi, berkurangnya toleransi dan kemerosotan moral serta keadilan merupakan cerminan rusaknya hati sebuah bangsa?? Lalu api??

Wallahu’alam bisshowab...