Wamena, Papua, Akhir Maret 2005
Saya dan teman-teman yang sedang survey untuk penyusunan Rencana Tata Ruang Kabupaten Yahukimo dan Rencana Detil Tata Ruang Kota Dekai terpaksa memperpanjang waktu menginap kami di Wamena karena cuaca tidak mendukung kami untuk pergi ke Dekai, Yahukimo, pada hari itu. Awalnya, kami hanya berencana mampir di Wamena selama 4 hari. Akan tetapi, waktu kunjungan itu terpaksa kami perpanjang selama 2 hari.
Sewaktu kami berjalan ke bandara pada pagi hari yang semestinya menjadi waktu pemberangkatan kami, kami melihat seorang bule, seorang asing yang sepertinya dari ras kaukasia, lengkap dengan tubuh jangkung, kulit putih pucat dan rambut pirangnya. Seorang pria yang dalam taksiran kami sudah mendekati umur 40 tahun, berjalan membawa kopor trolinya sendirian, dan sepertinya mengarah ke hotel yang sama dengan yang kami tempati.
Ketika kami memperoleh kabar bahwa penerbangan ditunda 2 hari, kami memutuskan untuk kembali ke hotel yang sama. Dengan bersemangat, pegawai hotel –seorang wanita muda bugis berkulit putih yang kecantikannya cukup menjadi buah bibir di kalangan pemuda Wamena- bercerita bahwa seorang bule telah check-in tadi pagi, ketika kami pergi ke bandara. Keriangan si pegawai hotel itu cukup beralasan, karena sangat jarang (atau selama kami disana, tidak ada) orang asing (luar negeri) yang bertandang ke Wamena. Wamena memang belum terkenal seperti Jakarta, Bali atau Yogyakarta sebagai sasaran wisata. Maka turis asing menjadi sesuatu yang langka (walau tetap ada rombongan2 turis asing yang memang mencari sensasi dari pendalaman terhadap kebudayaan dan tata cara suku Dani yang masih berkeliaran di jalan-jalan Wamena dengan berkoteka saja). Tapi toh kami tidak terlalu memusingkan keberadaan si bule itu.
Hari pertama dalam 2 hari penantian pesawat itu dijalani tanpa listrik di siang hari. Hari ini memang giliran listrik mati. Listrik di Wamena memang terbatas, sehingga penduduk hanya bisa bergiliran menikmatinya. Bila pada suatu hari listrik di Wamena sebelah utara dimatikan, maka listrik di sebelah selatan dinyalakan, dan sebaliknya. Demikian bergiliran setiap harinya. Hotel kami ini memiliki generator sendiri sehingga pada hari-hari dimana listrik mati, setidaknya kami tidak perlu bersenjatakan lilin di malam hari.
Sang penghuni baru, si bule itu, terdengar sedang berbicara dengan seorang pegawai hotel. Awalnya dengan suara ramah, tapi lama-lama terdengar nadanya agak meninggi. Saya yang sedang berjalan menuju kamar saya tak sengaja mendengar percakapan mereka. Percakapan yang bisa dibilang bertepuk sebelah tangan. Si bule dengan bahasa Inggrisnya, dan perempuan pegawai hotel dengan bahasa Indonesia berlogat papuanya. Satu sama lain nampaknya tidak saling mengerti, dan lebih banyak bicara dalam bahasa isyarat.
Melihat kelucuan itu (yang tentu oleh kedua orang itu tidak dianggap lucu), saya ikut nimbrung sebagai penerjemah antara keduanya. Keduanya terlihat luar biasa lega setelah mendengar bahasa Inggris keluar dari mulut saya. Ternyata, si bule menanyakan mengapa air tidak mengalir dari kran di kamar mandi (meskipun di bak mandinya air masih agak penuh). Ia biasa mandi dengan air tetap mengucur. Si pegawai hotel mengerti bahwa yang dipermasalahkan adalah aliran air (dari isyarat tangan si bule), tapi kesulitan menjelaskan alasannya. Ternyata, air pun di Wamena ini hukumnya sama dengan listrik, bergiliran. Dan kalaupun pada satu hari air mengalir tetapi listriknya mati, maka hotel harus menghemat bahan bakar generator sehingga pompa air tidak selalu dinyalakan. Saya jelaskan itu ke si bule, dan si bule keheranan bukan karena tidak mengerti ucapan saya, tapi karena ia bingung di Indonesia yang katanya alamnya subur ini ternyata kondisi ”kota”nya masih seperti itu. Urusan selesai, si bule mengalah, karena pindah ke hotel lain juga tidak menjanjikan kondisi yang lebih baik (bahkan, sepertinya inilah hotel ”terbaik” di Wamena).
Pada malam harinya, keheranan (dan kedongkolan) si bule nampaknya bertambah. Hujan turun dengan derasnya, dan tanpa disangka tanpa dinyana, hotel kebanjiran. Atap-atapnya yang tua tidak mampu menahan gempuran air hujan. Pegawai hotel yang hanya bertenagakan 3 orang itu bekerja keras meletakkan ember di tempat-tempat jatuhnya air, menggeser-geser perabotan, sampai mengepel lantai yang terus-menerus tergenang oleh air hujan yang mulai masuk sampai kamar-kamar. Si bule yang sedang tertidur menjadi terjaga dan keluar kamar, hendak bertanya mengapa karpet kamarnya mulai basah dan air menetes diatas mukanya. Ia kembali masuk kamar dan menggeleng-gelengkan kepalanya penuh tanda tanya ketika melihat semua pegawai sedang bekerja keras, dan saya beserta kawan-kawan saya sedang membantu mereka (saking sudah akrabnya, dan karena kami juga tidak ada kerjaan di kamar).
Pagi harinya, kondisi hotel sudah kembali normal. Seperti biasa, saya dan teman-teman berkumpul di ruang makan hotel untuk sarapan dan membicarakan rencana-rencana survey. Pukul setengah 8, teman-teman saya memutuskan untuk berjalan-jalan berkeliling kota. Saya tidak ikut karena sedang mempelajari beberapa peta dan literatur-literatur mengenai kebudayaan suku Dani. Malas kembali ke kamar, saya tetap tinggal seorang diri di ruang makan.
Si bule baru keluar kamar dan masuk ke ruang makan. Celingukan sebentar, membuat roti dan teh, si bule makan sendirian. Tidak tahan dengan kesunyian yang mencekam di ruang makan, si bule mendatangi meja saya dan bertanya apakah mengganggu apabila ia hendak bercakap-cakap sebentar dengan saya. Saya tidak berkeberatan, tetapi mohon maklum karena bahasa Inggris saya mungkin masih belum lebih baik dari Tarzan ketika pertama kali bertemu Jane di belantara Amazon. Dia juga tidak berkeberatan, berhubung sepengetahuan dia, hanya sayalah yang setidaknya mengenal bahasa inggris di Wamena ini.
Berbincang basa-basi mengenai kondisi hotel sebentar, lalu membicarakan budaya suku Dani yang mendominasi Wamena dan Yahukimo, diskusi mulai mengarah ke hal-hal yang lebih serius. Dimulai dari pekerjaan saya, untuk apa ke Wamena, interest, dan sebagainya. Dan saya pun balik bertanya padanya. Jawaban yang saya dapatkan cukup mengejutkan (terlepas dari apakah memang begitu adanya atau hanya sekedar karangan dia, saya tidak tahu. Tapi, saya berprasangka baik bahwa ia berkata jujur). Perbincangan kami dalam bahasa Inggris, tapi saya sarikan dalam bahasa Indonesia saja.
Namanya Jerry, usia 42 tahun, belum menikah, asalnya dari Kanada. Mr. Jerry ternyata pernah menjadi seorang guru SMA di Kanada, menjadi dosen di Kanada, lalu di Jerman, dan lalu di Singapore, juga sebagai dosen. Sempat ditawari dimana-mana sebagai dosen ilmu sosial menandakan bahwa ia bukan orang sembarangan. Dan diapun memakai parameter jumlah honor yang ditawarkan dalam memutuskan tempat dimana dia mengajar. Maka, kondisi ekonominya pun lebih dari cukup untuk hidup sejahtera di negara manapun.
Dia terus bercerita (nampaknya memang dia sudah mencari-cari orang yang bersedia mendengarkan kisahnya itu). Dan cerita menjadi klimaks ketika ia pada satu titik dalam kehidupannya itu memutuskan untuk berhenti menjadi seorang pengajar. Bahkan, ia memutuskan untuk mencari kehidupan baru.
”saya memutuskan untuk meninggalkan peradaban barat (western civilization),” katanya.
Saya tak kuasa untuk menahan mulut untuk bertanya ”mengapa.” Dia membalas dengan panjang lebar dan diselingi pertanyaan. Katanya, “Di Kanada, semua orang ingin jadi orang Amerika. Di Jerman, semua orang ingin jadi orang Amerika. Di Singapore, semua orang juga ingin jadi orang Amerika. Tidak ada lagi kebudayaan Kanada, atau ciri asia di Singapore. Semua ingin sama, dan meninggalkan akarnya.” Ternyata, setelah memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen, dia menghabiskan waktu pergi ke berbagai negara untuk mempelajari budaya dan kehidupan masyarakat setempat. Indonesia adalah salah satu sasarannya. Karena dia mengetahui Jakarta atau kota-kota besar lain di Indonesia tidak akan mampu memuaskan dahaganya, maka ia pergi ke Wamena. Ia datang ke Wamena berbekal sedikit rupiah (karena banyak dollar yang belum ia tukarkan ke rupiah), tanpa kemampuan berbahasa Indonesia (apalagi bahasa Dani), dan tanpa kenalan seorangpun. Pilihan yang berani, pikir saya, kalau tidak mau dibilang ceroboh atau gila.
”Tapi itu tidak menjawab mengapa anda begitu ingin meninggalkan barat,” balas saya. Dan dibalas dengan, ”anda tahu, kalau Amerika begitu bernafsu menyerang Afganistan dan Irak hanya karena minyak? Karena uang?” yang kemudian saya jawab ”ya, saya tahu, atau minimal, saya pun mencurigai seperti itu”. Dia kemudian, dengan didahului kata ”maaf”, bertanya apakah saya seorang muslim. Dan saya jawab ya. Pertanyaan turunannya membuat saya tertohok dalam, ”lalu, mengapa anda diam saja melihat fenomena itu? Padahal kaum muslim jelas dirugikan!” Saya tak kuasa menjawab, karena jawaban apapun atas pertanyaan itu bisa jadi tak lebih dari kebohongan terhadap diri sendiri.
Dia melanjutkan. Banyak teori-teori konspirasi menyangkut Amerika maupun sekutu-sekutunya yang dia ungkapkan sejak perang dunia ke-II, entah itu di Kuba, Venezuela, timur tengah, bahkan Indonesia sendiri. Tentu, teori-teori itu sebenarnya sudah menyebar luas ke seluruh dunia sejak dulu. Maka kemudian saya menyatakan keheranan saya akan kalangan muda di barat sendiri, bagaimana mereka menyikapi teori-teori itu, atau apakah mereka menyadari kebohongan-kebohongan yang dilontarkan oleh pemerintah mereka sendiri. Dan jawaban dari Mr Jerry kembali membuat saya terkejut. ”Itulah mengapa saya berhenti menjadi dosen,” katanya.
”Maksud anda?”
”Orang-orang di peradaban barat pemikirannya tidak seterbuka yang anda kira. Terlalu lama kami dibuai oleh mimpi indah demokrasi, humanisme, dan paham-paham lain yang selama ini dianggap indah bagi kemanusiaan. Sekarang bayangkan bagaimana reaksi anak-anak muda di barat kalau tiba-tiba mengetahui kalau sikap bangsa mereka selama ini justru bertentangan dengan paham-paham itu. Bahwa kepentingan ekonomi telah menjauhkan bangsa-bangsa mereka dari nilai-nilai itu. Mereka tidak akan mampu menerimanya. Dan kami, kalangan pengajar, harus selalu membohongi mereka. Saya lelah selalu berbohong. Saya sedih karena mulut saya mengajarkan kebohongan. Dan kesedihan itu tidak hanya dirasakan oleh saya sendiri. Kolega-kolega saya pun demikian, tetapi masih memilih bertahan dalam kehidupan itu. Sebagian kalangan pengajar lain memang masih terlalu lugu untuk mengakui kebenarannya. Yang lugu itu jumlahnya tetap lebih banyak, karena setiap hari media mencekoki kami dengan kebohongan itu, sehingga seolah menjadi sebuah kebenaran. Anda tahu betapa berkuasanya media dalam merumuskan kebenaran di dunia dewasa ini?”
Pergulatan batin yang dibicarakannya itu nampak jelas dari binar matanya yang mendadak sayu saat mengeluarkan beban yang nampaknya telah membatu di dadanya itu. Meski begitu, saya pun tidak tahu, mengapa dia –yang baru pertama kali saya temui itu- bisa begitu terbuka dengan saya. Perbincangan terus berlanjut. Dan menjadi lebih menarik, menyangkut hal-hal fundamental dalam hidup. Agama.
No comments:
Post a Comment