Mungkin kalau amnesia menyerang satu bangsa, beginilah jadinya...
Kita peringati tanggal ini, hari ini, sebagai tonggak sejarah hadirnya sebuah babak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. "Reformasi" lantas menjadi sebuah jargon yang terasa manis di lidah, dan membuat siapapun yang mengucapkannya menjadi merasa agung dihadapan orang lain yang tidak peduli dengan kata itu. Merasa agung dihadapan orang-orang yang dianggap sebagai pihak yang "telah dikalahkan" 8 tahun lalu, ketika tanggal ini memulai perjalanannya sebagai sebuah tanggal yang sakral.
Delapan tahun lalu, istilah reformasi menggema bersama darah 4 orang pemuda yang ikut mengusungnya. Adalah kematian mereka yang membuat ekskalasi isu reformasi itu melejit begitu cepat.
Musuh bersama yang dicari ada di depan mata. Adalah simbol-simbolnya yang berusaha dirubuhkan oleh 4 nyawa itu, sampai peluru tajam menyambar mereka. Martir-martir Trisakti yang kemudian melahirkan martir-martir lain di Semanggi.
Memang, kala itu saya belum turun merasakan hujan peluru. Sebagai seorang bocah yang masih berseragam putih abu-abu, yang bisa saya lakukan kala itu masih sebatas bertanya-tanya apa yang terjadi, dan sibuk dengan urusan saya sendiri. Hanya getar semangatnya yang membulatkan tekad untuk menjadi lebih dari sekedar mahasiswa, pada gilirannya nanti.
Dan media-media massa pun secara emosional menyajikan getaran itu. Mulai dari tangis kawan-kawan seperjuangan para martir, sampai ucapan bangga yang menyisakan ketegaran luar biasa dari para orang tua. Mereka hanya ingin, kematian buah hati mereka tidak sia-sia.
Delapan tahun berlalu, simbol-simbol keangkuhan itu ternyata masih ada, berdiri tegak seperti tak pernah terjadi apa-apa. Dan reformasi tidak lebih dari sekedar mimpi yang terbawa mati oleh angin masa lalu.
Lalu tahun ini, kita mendapat kado istimewa untuk kembali memperingati hari bersejarah ini. Setelah salah satu simbol itu kembali dipercaya (entah oleh siapa) untuk menjadi penguasa pada pemilu lalu, maka kemarin, simbol yang lain mendapat kebebasan untuk lolos dari jerat hukum, satu-satunya senjata yang dipercaya untuk menegakkan keadilan di negeri ini.
Iya, tidak perlu basa-basi lagi. Saya membicarakan tentang Golkar dan Soeharto! Dan segala alasan telah membuai pembenaran bahwa semua fenomena itu adalah sebuah kewajaran.
Kemanusiaan katanya?
Bagaimana kemanusiaan untuk mereka yang dibantai selama 32 tahun kekuasaannya?
Bagaimana untuk korban Malari? Bagaimana kemanusiaan untuk mereka yang ditangkap, diculik dan diasingkan tanpa diadili?
Bagaimana untuk Tanjung Priuk? Bagaimana untuk Aceh? Bagaimana untuk Papua?
Bagaimana untuk 200 juta rakyat Indonesia yang secara sistemik dimiskinkan secara riil di mata dunia!!
Jasa-jasa katanya?
Jasa apa?
Kalaupun dia memegang uang negara sebanyak 1000 rupiah, mungkin 200 rupiah dia makan sendiri, 200 rupiah untuk anak-anaknya, 200 rupiah untuk kroni-kroninya, dan hanya 200 rupiah sisanya yang dia bagikan untuk 200 juta rakyat lain!! INI YANG NAMANYA JASA???!!
Dan saat ini, orang-orang malah berkata "yaah, mending lah, daripada tidak dibagi sama sekali.." Bagus... ternyata bangsa ini sudah mengalami KEBODOHAN yang nyata!
Jasa apa?
Pembangunan? Pembangunan macam apa yang membuat korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai landasannya? Pembangunan macam apa yang membuat korupsi menjadi budaya, dan penyakit yang tak tersembuhkan sampai sekarang? Adalah sistem yang dipimpinnya yang menjadikan mental rakyat sakit, dan birokrasi korup!
INI YANG NAMANYA JASA??!??!?
Jasa membuat gemuk anak-anak dan kroninya, itu yang jelas!
Jasa membuat miskin rakyatnya, itu yang jelas!
Menghargai mantan presiden katanya?
Lalu kenapa nama Bung Karno masih tercoreng moreng sampai sekarang? Nama baik yang dibuat malu oleh anaknya yang kemudian juga menjadi Presiden.
Sakit katanya?
Bah! luar biasa sekali sakitnya itu. Segar bugar ketika menghadiri pernikahan cucunya, ketika menggendong cucu barunya, lalu mendadak sakit (lagi) ketika tersiar kabar akan diperiksa.
Inilah seonggok daging yang sakit karena kekenyangan. Penyakit-penyakit yang timbul karena terlalu banyak makan. Tapi toh, dia masih memiliki semua uang di negara ini untuk berobat ke seluruh dunia. Memiliki semua akses ke rumah sakit-rumah sakit terbaik dan dokter-dokter paling ahli. Dokter-dokter yang bisa membuat surat izin sakit seperti waktu SD dulu. Bedanya, sekarang surat izinnya ke pengadilan. Surat izin bukan seminggu atau sebulan, tapi sampai penyakitnya membuatnya terpaksa mati.
Ingatlah, selama 32 tahun, ia telah membuat sistem negara begitu kejam, sampai-sampai yang miskin bertambah miskin, pengangguran dimana-mana, dan sekolah hanya untuk yang kaya. Lalu yang sakit? Mereka terpaksa mati dalam sakit tanpa terobati, karena terlalu miskin bahkan untuk sesuap nasi.
Lalu sakit membuat orang ini tidak diadili?
Kata orang, dia tidak korupsi... kata orang yang perlu diadili adalah para kroni.
Lalu dengan membebaskan orang ini, apakah membawa kemajuan bagi pengadilan para kroni?
Atau malah melindungi?
Maafkan saja katanya, nanti juga dihukum Yang Kuasa...
Enak sekali?
Kata siapa yang didzolimi di dunia ini sudah mengikhlaskan?
Kalau amarah dan dendam adalah sifat binatang, maka biarlah sang binatang sekali ini mengaum karena kesakitan!
Kalau tidak, maka suatu saat kita akan berkata pada anak-anak kita...
"Nak, dalam hidup, foya-foyalah selagi muda dan korupsilah kalau sudah dewasa. Korupsilah sebanyak-banyaknya, tapi jangan lupa, bagi-bagi dengan kawan lama, supaya mereka tidak mengadukanmu pada orang-orang yang kau ambil haknya. Berikan sedikit pada orang yang banyak, supaya kau dianggap baik, dan kelak dimaafkan saat semua terkuak. Tapi jangan lupa, saat kau tua, tak mungkin semua diam saja. Maka sakitlah. Tak apa, kau sudah punya banyak uang untuk membeli sehat. Yang penting, sakitlah supaya tidak masuk penjara. Jangan lupa pergi haji berkali-kali, siapa tau dianggap layak masuk surga. Tuhan? yah, yang akan masuk neraka toh bukan kamu saja. Maka setidaknya, nikmatilah dunia..."
Beginilah kalau satu bangsa terkena amnesia...
Lambat tapi pasti, Golkar dibuat kembali berkuasa, dan orang tua itu hanya tertawa-tawa, berkata maaf dan terima kasih, kepada rakyat yang diperas uangnya tempo hari. Pada akhirnya, uang memang berkuasa.
Mungkin memang benar...
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan SETAN yang berdiri mengangkang!
(ngutip dari Iwan Fals)
Lupakan saja kata "reformasi"
Ia hanya sebuah kata yang diperingati setiap tahun, padahal jiwanya sudah berkalang tanah.
Lupakan saja kata "reformasi", bangsa ini sudah terlalu amis darah.
No comments:
Post a Comment