Wednesday, May 10, 2006

Mr. Jerry (Bagian Kedua, semoga tamat :p )

Pergulatan batin yang dibicarakannya terlihat jelas dari binar matanya yang mendadak sayu saat mengeluarkan beban yang nampaknya telah membatu di dadanya itu. Meski begitu, saya pun tidak tahu, mengapa dia –yang baru pertama kali saya temui itu- bisa begitu terbuka dengan saya. Perbincangan terus berlanjut. Dan menjadi lebih menarik, menyangkut hal-hal fundamental dalam hidup. Agama.

”Saya selalu tertarik dengan kebudayaan timur. Itulah mengapa terakhir kali saya mengajar di Singapore. Tapi singapore pun sebenarnya telah menjadi barat. Saya tertarik dengan timur bukan tanpa alasan. Alasan terkuat, saya ingin mengetahui kebenaran dari ucapan-ucapan saya tadi. Saya ingin tahu, apakah budaya timur memang seburuk yang kami (barat) ketahui selama ini.”

Saya katakan padanya, bahwa pilihan untuk pergi ke Indonesia pun mungkin bisa menjadi kesalahan. Tidak seperti China atau Jepang yang dalam arus globalisasi masih bangga memegang budayanya, budaya Indonesia sudah tergerus zaman dan dilecehkan bahkan oleh anak-anak bangsanya sendiri. Dia tidak mengamini, tapi juga tidak menolak opini itu. Saya katakan lagi, bahwa mungkin, kalau ingin mengalami suasana kehidupan dimana ”budaya global” belum banyak bermain, dia harus datang ke timur tengah. Iran misalnya, bisa menjadi pilihan. Tapi saya ragu, budaya-budaya yang ingin dia pelajari itu, apakah termasuk kehidupan kaum muslimin.

”ESPECIALLY, Islam, muslims and their way of life,” jawabnya. Mr. Jerry sebenarnya sudah sejak lama ingin ke dataran Arab. Entah itu ke Iran atau Arab Saudi, atau manapun. Namun kondisi keamanan dan perpolitikan dunia waktu itu (tahun lalu) membuatnya ragu. Dan dia memang berharap bisa menemukan corak Islam itu di Indonesia, negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Mendengar penjelasan saya dan buku-buku yang dia baca mengenai corak kehidupan di Indonesia dewasa ini, dia kecewa, dan merasa tidak akan menemukan apa yang dia cari di negeri ini. Kekecewaan itu juga merasuk lebih dalam pada diri saya sendiri, sebenarnya. Saya lalu bertanya, apakah ia seorang Kristen.

“Saya sudah meninggalkan kristen sejak lama. Entah, saya tidak punya agama saat ini.”

Dan lagi-lagi pertanyaan ”mengapa” keluar dari mulut saya.

Tapi kali ini, tidak ada jawaban. Justru dibalas dengan permintaan izin dari Mr. Jerry untuk bertanya pada saya, dan saya izinkan.

”Mengapa Islam begitu ketat mengenai sex diluar nikah??”

”Lha, kok nanyanya tiba-tiba begitu??”

”Hanya penasaran. Tapi ini bukan pertanyaan terakhir”

Karena saya agak bingung menjawabnya dengan bahasa Inggris (berhubung vocabulary saya tidak sebagus itu), maka saya ambil perumpamaan. Saya ambil 2 buah gelas yang saya isi dengan air putih. Saya sodorkan keduanya kedepan Mr. Jerry, lalu saya ambil debu dan kotoran dari lantai dan saya masukkan ke salah satu gelas itu.

”Kalau anda akan minum, anda pilih yang mana?” tanya saya.

Dia mengangguk tanda mengerti maksud perumpamaan itu. Diskusi kemudian kami teruskan. Saya jelaskan kalau ”kekotoran” itu tidak bukan selalu berarti secara fisik. Dan tidak juga hanya menyangkut wanita. Pria pun jauh lebih wajib menjaga ”kebersihan” diluar nikah. Dari situ diskusi beranjak pada bagaimana Islam begitu memandang luhur sebuah institusi pernikahan, meskipun berbeda dengan Kristen, Islam mengizinkan perceraian. Topik yang kemudian ditanyakannya (seperti yang sudah saya duga sebelumnya) adalah mengenai poligami. Poligami menjadi bahasan yang cukup pelik diantara kami waktu itu. Tapi kami bersepakat bahwa sebenarnya, syarat-syarat untuk bisa berpoligami itu sesungguhnya sangat atau terlalu sulit bagi pria kebanyakan (tapi ini tidak akan saya bahas disini).

Tanpa kami sadari, diskusi terus beranjak ke masalah sistem politik dan ekonomi Islam, kewajiban sholat, Al-Qur’an, dan lain-lain. Dan tentu saja, semua itu tentu tidak lengkap tanpa membicarakan isu-isu aktual seperti terorisme atau secara lebih umum, benturan antar peradaban (serasa Huntington gini ya ???).

”Mengapa Islam saat ini identik dengan teroris?” adalah pertanyaan yang tidak terlewatkan.

”Kalau memang benar Islam identik dengan teroris, tentu saat ini anda tidak akan bisa berdiskusi sebebas ini dengan saya kan?”

Dan memang, keterkejutan nampak jelas di air mukanya saat saya mengatakan bahwa sesungguhnya kaum muslim tidak diperbolehkan untuk pergi berperang kecuali atas dasar untuk mempertahankan diri atau mempertahankan agamanya. Dan saya katakan bahwa saat ini, Islam memang sedang mempertahankan diri. Pertanyaan selanjutnya tentu adalah ”jadi siapa yang sebenarnya memulai perang?” Sebuah pertanyaan yang kemudian dijawab sendiri oleh Mr.Jerry dengan pengetahuannya yang kuat mengenai sejarah dunia. Mengenai apa yang terjadi di Afganistan pada era perang dingin, mengenai perang salib, mengenai Palestina, mengenai amerika selatan, mengenai perang teluk, dan sebagainya. Islam sejak dulu sedang diserang. Dan pemahaman bahwa seluruh muslim sesungguhnya adalah satu tubuh tidak terlalu sulit untuk dipahami. Maka tidak relevan untuk mempertanyakan mengapa tekanan di Palestina akan mendapat respon perlawanan di seluruh pelosok dunia. Kalau Mr.Jerry dulunya adalah seorang Kristen, tentu ia pun memahami konsep ini, karena Kristen pun memiliki konsep yang sama dimana jemaat kristiani pun pada hakekatnya adalah satu tubuh (yang dalam ajaran mereka disebutkan : ”satu tubuh dalam Kristus”).

Diskusi berkepanjangan itu pada satu titik menimbulkan selintas pertanyaan pada benak saya. Diskusi itu tidak melulu mengenai Mr.Jerry bertanya dan saya menjawab. Tidak jarang juga pertanyaan-pertanyaan itu seolah bernada mencari konfirmasi. Kadang, dia bahkan memberi ralat atas jawaban saya, atau bahkan saya yang bertanya.

”Untuk seseorang yang bertanya, anda tau terlalu banyak. Sebenarnya, anda ini sedang mencari tau, atau sedang menguji saya?”

Dan dia tertawa.

”Saya tidak bisa membohongi anda. Saya memang sedang menguji anda. Tentu anda sekarang menyadari kalau saya sudah mempelajari Islam. Ya, sudah lama saya tertarik dengan agama anda ini. Bukan hanya agamanya, tapi juga cara hidupnya.”

Dia melanjutkan...

”Anda ingat pertanyaan anda tadi, mengapa saya bukan lagi seorang Kristen?”

Saya mengangguk... (ternyata semua ini hanya untuk menjawab pertanyaan awal saya tadi)

”Ketahuilah, perbedaan utama yang saya pelajari dari seorang muslim dan seorang kristen adalah pada bagaimana mereka hidup. Secara luar biasa, kaum muslim tau persis bagaimana mereka harus hidup. Bagaimana mereka harus berpolitik, bagaimana berdagang, bagaimana sistem ekonomi yang baik untuk mereka, bahkan sampai bagaimana mereka harus menjalani kehidupan keluarga dan sampai detil-detil yang terkecil dalam kehidupan. Orang Kristen tidak begitu. Saya bingung ketika ditanya, sistem ekonomi apa yang baik menurut agama saya. Bagaimana berpolitik? Dan lain-lain.

Ada satu paradoks yang cukup mendasar dalam kehidupan bangsa barat. Secara umum, pikiran barat begitu menggilai rasionalitas. Mereka ingin menjadi rasional dalam segala hal.

Di sisi lain, agama barat yang didominasi paham Kristen justru menjadi satu aspek yang lebih banyak menyodorkan irasinalitas dihadapan mereka. Faith (keyakinan) menjadi sesuatu yang dipaksakan karena seringkali berlawanan dengan hasrat rasional mereka. Tapi sebenarnya, aspek-aspek metafisik dan takhyul (superstition) pun merupakan satu aspek pemikiran yang eksis di barat. Hantu, drakula, dsb, lahir karena aspek metafisik itu.

Jadi kalaupun bangsa barat bisa memeluk sebuah agama. Agama itu tentu harus bisa merangkul semua aspek itu. Rasionalitas dalam kehidupan sehari-hari maupun metafisik yang kadang diluar rasionalitas tapi dibutuhkan jiwa.

Entah apakah karena dulu saya bukan seorang Kristen yang baik, atau karena memang Kristen tidak mengakomodir itu, maka saya berpikir agama saya waktu itu tidak banyak bermanfaat bagi saya. Dan ketahuilah, saat ini, bangsa barat begitu kehilangan nilai-nilai spiritualnya (bahasa Mr. Jerry kira-kira : “had lost their spiritual values”) karena paradoks itu. Bagi mereka, beragama adalah hubungan dengan Tuhan yang bisa saja irasional. Tapi diluar hubungan pribadi dengan Tuhan itu, agama tidak lagi relevan (kok kaya pernah denger kaya ginian di Indonesia ya??). Akan tetapi, paradigma itu bisa tidak berlaku kalau mereka kehilangan kepercayaan bahwa Tuhan itu ada. Maksud saya, kalau beragama adalah hubungan dengan Tuhan, maka buat apa beragama kalau anda tidak yakin kalau Tuhan itu ada. Sulitnya, Kristen tidak menyediakan rasionalitas untuk meyakini kalau Tuhan itu memang ada.”

Saya masih diam...

“Hard to imagine?” Katanya sambil tertawa.

Kalau anda sulit untuk membayangkannya, saya tidak heran. Anda tentu tidak pernah mengalami pergulatan itu, karena agama Anda (Islam) adalah agama yang rasional. Setidaknya dari apa yang sudah saya pelajari.”

Sebuah kebetulan yang teramat ganjil...

Malam sebelum percakapan itu, saya baru saja menamatkan buku ke-2 ”Road to Mecca” karangan Mohammad Assad, seorang mualaf dari Austria. Dan dari buku itu, sebenarnya saya bisa membayangkan apa yang diungkapkan oleh Mr Jerry secara panjang lebar itu. Kurang lebih, itu jugalah yang dirasakan oleh Leopold Weiss ketika memutuskan untuk masuk Islam.

Mr. Jerry melanjutkan pertanyaannya...

”kalau boleh saya bertanya (lagi), dalam diskusi kita tadi, beberapa kali anda juga membandingkan antara ajaran Islam dan Kristen dengan cukup obyektif. Saya rasa sebelum ini juga anda sudah mempelajari Kristen. Apakah dulu anda juga seorang Kristen?”

Dan saya jawab...

”Ternyata saya juga tidak bisa membohongi anda. Seperti anda sekarang, dulu saya tidak merasa beragama. Saya di sekolah Katholik selama 13 tahun, sejak TK sampai SMA, dan pada kurun waktu itu mempelajari agama Katholik setidaknya 5 jam selama satu minggu. Memang banyak perbedaan dengan Kristen, yang cukup fundamental. Saya hanya tau sedikit tentang Kristen. Sampai sekarang pun, teman-teman saya banyak yang Katholik maupun Kristen. Sebagian keluarga besar saya pun ada yang Kristen. Begitulah. Saya rasa, pengetahuan keislaman anda justru lebih baik dari saya. Mungkin anda sudah mempelajarinya lebih lama dari saya.”

”Lucu”, kata Mr. Jerry. ”Saya mulai dari beragama Kristen, dan mempelajari Islam. Anda mulai dari Islam, tapi lebih tau tentang Katholik. Apakah kita semua memang harus mencari?”

”Kalau tidak untuk mencari, buat apa kita dihilangkan ke dunia ini? Bukankah bisa saja Tuhan menciptakan semua kehidupan ini di surga? Tapi tentu, seperti kata anda, itupun kalau memang Tuhan itu ada...”

Dan kami tersenyum. Sepertinya, tidak ada kesimpulan bagi kami.

”lalu, setelah ini semua, apa yang akan anda lakukan?” Tanya saya.

”Entah. Yang saya tau, rumah saya di Kanada. Tapi Kanada sepertinya sudah bukan menjadi ”rumah” bagi bangsa Kanada sendiri. Saya tidak tau bagaimana nantinya. Mungkin saya akan memeluk Islam, menjadi seorang muslim, atau hidup di tengah-tengah kaum muslim. Antara dua pilihan itu. Yang jelas, saya tidak mau kembali ke barat.”

”Semoga Allah membimbing anda,” jawab saya untuk menutup diskusi itu.

Teman-teman saya memanggil. Kami lupa waktu. Tanpa sadar, matahari Wamena sudah tinggi dan jarum jam dinding di ruang makan itu menunjukkan pukul 11 lewat 40 menit. Kami berbincang hampir 4 jam.

”Maaf, saya sudah menghabiskan waktu anda. Saya harus pergi, saya ingin melihat Wamena. Mungkin kita tidak akan berjumpa lagi, karena besok anda sudah ke Yahukimo, dan saya ingin segera melanjutkan perjalanan. Terima kasih atas diskusinya. Kalau suatu saat anda ke Kanada, mampirlah ke rumah saya. Itupun kalau saya tidak memutuskan untuk tinggal di Iran misalnya...”

Kami tertawa.

Dan memang setelah itu, kami tidak pernah jumpa lagi. Sehari setelah perbincangan itu, ia langsung pergi entah kemana, dan kami ke Yahukimo.

Bodohnya, kalaupun saya suatu saat mengunjungi Kanada, saya tidak bertanya alamatnya dimana. Apalagi nomor telponnya =P

Semua itu hanya menyisakan satu tanda tanya besar... sudah Islamkah saya ini??

(tamat)


NB : berhubung perbincangan sebenarnya sudah terlewat hampir 1 tahun yang lalu, dan tentu tidak ada notulensinya, maka yang saya tuliskan di atas adalah intisari diskusi kami yang saya ingat. Ucapan-ucapan yang sesungguhnya keluar dari mulut kami waktu itu, saat ini tentu hanya Allah yang tahu. Yang tersisa di otak saya, dan yang saya tuliskan disini, hanyalah serpihan-serpihan memori yang membekas dari kejadian sebenarnya. Harap maklum.

No comments: