Mari kita buka dengan kejadian di suatu pagi pada pertengahan bulan Maret 2006. Pada pagi yang cerah dan mencerahkan hati itu, seperti biasa saya berdiri di pinggir jalan di depan gang yang menuju rumah saya, pukul setengah tujuh pagi, menunggu angkot 01 menuju terminal untuk kemudian disambung dengan angkot 03 menuju stasiun. Yap, seperti sodara-sodari ketahui, saya seorang penglaju harian Bogor-Jakarta yang menggunakan moda angkutan murah meriah panas merekah berdiri sampai lelah, kereta api ekonomi.
Dan berdirilah saya bermandikan mentari pagi sambil tercenung memikirkan makna hidup, dan sesekali pikiran agak jorok, menunggu angkot 01 barang beberapa detik (yap, di jalanan Kota Bogor, dalam setiap hitungan beberapa detik, saya jamin, akan ada angkot yang melintas di hadapan anda), ketika sekonyong-konyong sebuah angkot biru 02 berhenti tepat di depan saya.
Karena otak saya masih dalam perenungan (yang tentang hakikat hidup tadi, bukan yang jorok), kontan saya terkejut. Tetapi karena saya tidak merasa telah berdosa menunjukkan jari telunjuk sebagai tanda memberhentikan angkot tersebut, saya acuhkan saja. Keterkejutan saya kemudian bertambah besar ketika si supir angkot tadi berseru pada saya : “Sari Pak!! Sukasari hayu!!” (angkot 02 jurusan sukasari-cisarua). Dalam sepersekian detik pikiran saya melayang ke wanita ini, sebelum kemudian saya sadar kembali bahwa si supir tadi menyuruh saya naik ke angkotnya itu. Agak tergagap karena masih terkejut, saya jawab sopan : “nggak pak, makasih...”
Dan kemudian percakapan singkat itu berkembang menjadi sebagai berikut (kira-kira, berhubung saya tidak bawa perekam suara dan terlalu malas untuk membuat notulensinya) :
Supir Angkot (SA) : “Sukasari pak!!”
Sayah (S) : “nggak pak... makasih” (masih sabar meski harus mengulang pernyataan yang sama)
SA : “lah, emang mau kemana pak??!!”
S : (dalam hati : ha?? Suka-suka gw dong mau kemana!!) “ke terminal pak..”
SA : “ooo... kagak ada pak yang langsung ke terminal mah!! Naek ini dulu sampe pertigaan depan, terus naek 09 aja biar cepet!”
S : (dalam hati : hah?? Mau nipu-nipu gw nih??) “Ada pak, 01, langsung ke terminal” (masih berusaha sabar)
SA : “eeeh, pak, dibilangin kagak percaya, ga ada pak!!”
S : (Lepas sudah kesabaran...) “ya elah bang, saya orang sini! Dah tiap ari (hari) naek 01 dari sinih!!”
SA : “Lagi pada mogok pak 01-nya!!” (padahal selama percakapan itu berlangsung, 2 (DUA !!!) angkot 01 melintas melewati kami, tapi tidak saya stop karena sibuk berdebat dengan SA yang satu ini)
S : diam saking kesalnya, BT!! (yang mana sebenarnya saya kurang jelas juga sampai sekarang, kepanjangan resmi dari singkatan “BT” ini apa ya??)
SA : “jadi mau nungguin 01 nih?? Yakin pak??”
S : (setengah berteriak) “iyah! Noh di depan masih banyak penumpang pak!”
SA : “ya udah kalo gitu! Tungguin aja!!”
S : “YA UDAH !!”
Sang SA menginjak gas dengan penuh nafsu, angkot 02 itu menderu dan meninggalkan saya. Sepuluh detik kemudian, cerita diakhiri dengan adegan saya naik ke sebuah angkot 01.
Cerita tadi sebenarnya hanya untuk menggambarkan bahwa di Bogor, perilaku masyarakat mencari angkot untuk menggunakan jasa angkutan bisa jadi sudah tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah angkot-angkot yang menghalalkan segala cara untuk mencari masyarakat yang mau menggunakan (dan membayar) jasanya. Ini jelas dikarenakan membludaknya jumlah angkot di Bogor. Entah sejak kapan, tapi sejak saya mulai bisa merekam segala sesuatu dalam memori kecil di otak saya, angkot di Bogor memang fenomenal jumlahnya.
Sistem per-angkot-an di Kota Bogor ini juga menganut sistem dwiwarna. Bukan merah putih seperti yang dulu dijahit Ibu Fatmawati, tetapi hijau-biru. Benar, hanya ada dua macam angkot di Bogor, yaitu angkot berwarna hijau untuk seluruh trayek dalam kota, dan warna biru untuk trayek-trayek luar kota atau yang bersinggungan antara dalam dan luar kota. Maka, dalam melihat angkot mana yang sesuai dengan jurusan yang anda kehendaki, jangan lihat warnanya! Lihatlah nomor rutenya (01, 02, 04, 13, dsb), lihat tulisan yang menunjukkan rutenya (kalau ada), dan yang paling penting, dengarkanlah teriakan dari supir/keneknya. Karena sistem dwiwarna ini pula, lalu lintas di kota Bogor, khususnya di beberapa titik (misalnya di daerah Ramayana atau Jembatan Merah), sepintas terlihat seperti “lautan angkot”. Sekarang apa bayangan yang melintas di otak kanan anda saat membaca tulisan “lautan angkot” itu? Nah, kemungkinan besar, fantasi di otak anda itu, seberapa hiperbolik pun, bisa jadi memang seperti itulah adanya. Lautan.
Maka tidaklah heran kalau persaingan antar supir angkot menjadi keras. Kekerasan itu menyebabkan frustasi dan depresi berkepanjangan di kalangan supir (dan juga penumpang), yang kemudian mengejawantah dalam bentuk umpatan-umpatan khas Bogor untuk setiap insiden kecil. Umpatan itu tentu bervariasi sesuai asal daerah si supir (suku Batak misalnya, yang mulai mendominasi dinasti supir 03 dan 02 di dalam kota). Bisa saja nama-nama binatang, dari yang kecil imut-imut seperti (maaf), JANGKRIK!, atau ukuran menengah seperti (niiiit, sensor), GUK GUK!!, GROOK GROOK!!, KAING KAING!!. Kemungkinan ada juga binatang prasejarah seperti buaya, tyrranosaurus, brontosaurus atau biawak dan komodo. Tapi berhubung pelafalannya agak merepotkan, tentu umpatan-umpatan semacam ini hanya bersemayam di hati. Meski begitu, selain nama-nama binatang, umpatan-umpatan khas Sunda non-priangan pun hadir, seperti B*L*GUG! atau KEH*D!, **BLOG!!dsb, ditambah ucapan spontan seperti misalnya “Hayang paeh siah??!!! (apakah anda mau meninggal dunia??!!)” dan lain-lain yang bisa membuat tulisan ini sangat tidak sastrawi kalau dielaborasi semuanya.
Selain itu, efek buruk dari terlalu banyaknya angkot ini adalah mahalnya tarif angkot. Memang, hukum ekonomi mengatakan bahwa semakin tinggi penawaran maka harga akan semakin menurun. Akan tetapi, hukum ini tidak berlaku di sistem per-angkot-an, karena dikalahkan oleh sistem hukum setoran. Memang, sebagian besar supir angkot di Bogor adalah supir cabutan, tidak memiliki angkotnya sendiri, dan setoran harian yang dituntut si pemilik angkot cukup besar. Akibatnya, tidak ada cara lain selain menaikkan harga. Memang, penumpang seluruh Kota Bogor (kadang didukung oleh anjuran dari Pemkot) bisa saja menolak standar harga yang ditetapkan oleh kalangan supir angkot. Akan tetapi, senjata ampuh kalangan supir adalah : MOGOK! Dan terbukti, kartu as ini tidak bisa dilawan, karena mereka ternyata kompak pak pak pak, sementara kalau mereka mogok itu, memang sangat menyusahkan bagi kalangan pengguna angkot. Maka kita harus berpuas diri dengan tarif 2000 untuk jarak dekat-sedang, dan tarif 3000-tak terhingga untuk jarak jauh.
Efek buruk lain adalah strategi pencarian penumpang yang kadang tidak manusiawi. Mulai dari ngetem berlama-lama di sembarang tempat (biasanya waktunya dapat diukur dari mulai si supir menyalakan sebatang rokok kreteknya sampai rokok kretek itu habis, itupun kalau tidak disambung dengan batang rokok kedua) sampai manuver-manuver berbahaya di jalan raya, manuver-manuver yang sepertinya dipelajari dari Fernando Alonso ketika mencoba mendahului Michael Schumacher dan Mika Hakkinen sekaligus di sirkuit Imola. Memang, seperti kata orang bijak di Bogor, “yang tau kapan angkot mau ngebut mendadak, berhenti mendadak, belok ke kiri atau kanan, dan teriak-teriak ga jelas itu hanya 2 pihak. Si supir angkot itu sendiri, dan Tuhan yang memang maha mengetahui segala sesuatu.”
Meski begitu, ternyata persaingan itu pun ada juga efek baiknya (yah, kita memang harus pandai-pandai mencari segi positif dari segala sesuatu). Pertama, adalah kualitas perawatan fisik angkot yang terbilang baik dibanding kota-kota lain. Kedua, batas maksimal kepenuhan angkot yang “hanya” 6 penumpang di kursi panjang, 4 di kursi pendek, 1 di depan, dan 1 di kursi ulang tahun/kursi artis (dekat pintu, menghadap berlawanan arah dengan arah angkot). Bandingkan misalnya dengan angkot Bandung, yang perbandingannya 7-5 ditambah 2 di depan dan 2 di kursi artis.
Tapi toh, kondisi ini tetap bisa dianggap sebagai sebuah inefisiensi. Pasalnya, angkot-angkot di Bogor itu sebagian besar kosong melompong. Mencerminkan jomplangnya tingkat penawaran dan permintaan. Maka calon penumpang bisa memilih angkot mana yang akan dinaikinya. Saya pribadi cenderung memilih yang paling bagus bodinya, atau ada musiknya. Tak perlu takut kehilangan waktu, karena lewat satu angkot yang kita nilai jelek, tak sampai 5 detik pun akan lewat lagi angkot trayek yang sama. Tenang saja.
Lalu mengapa izin angkot di Bogor tetap keluar?? Sepertinya, dynamic duo Mulder dan Scully pun harus memeras otak untuk memecahkan misteri ini, lebih dari misteri lingkaran2 teratur yang dicurigai sebagai pertanda UFO di ladang-ladang jagung di USA sono. Selain itu, mengapa juga banyak perantau (dan juga penduduk asli) yang tetap menganggap bisnis angkot ini prospektif?? Apakah semata karena kurangnya kreatifitas entrepreneurship?? (dimana Robert Kiyosaki saat kita butuhkan??). Lalu, apakah pemerintah Kota Bogor diam saja menyikapi semua efek buruk inefisiensi angkutan ini?? Mari kita jadikan semua ini pertanyaan bernilai 1 milyar dalam kuis Who Wants To Be a Millionaire di RCTI...
Konon, tersebut kisah, bahwa walikota Bogor sebelum yang sekarang ini kehilangan kepercayaan dan simpati dari masyarakat dan DPRD hanya karena satu hal sepele. Kabar burung camar yang pernah tersiar, beliau ini pernah mengeluarkan jawaban emosional saat ada warga yang mengeluhkan permasalahan angkot. Jawabannya adalah : “sampe kiamat juga masalah angkot kagak bakal beres!”. Maka, bisa ditebak berapa banyak masyarakat yang ilfil (kehilangan rasa suka, muak, kecewa) karena sebelumnya berharap akan ada langkah inovatif dan terobosan penuh keberanian dalam penyikapan masalah ini.
Mari kita tutup dengan kisah pengalaman saya yang lain...
Pada suatu malam sepulang kerja, saya naik angkot 03 yang benar-benar kosong. Hanya saya sendiri penumpangnya. Di sebuah lampu merah, angkot berpapasan dengan angkot lain, yang juga kosong. Demikian percakapan (sambil berteriak) antara 2 supir angkot :
SA-2 : “Enya euy, euweuh muatan hiji-hiji acan...” (iya nih, kagak ada muatan satupun)
S : --- pada saat itu, saya merasa tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi sebagai muatan... barang...---
SA-1 : “jiga aquarium kitu angkot teh!! Kaca hungkul nu katingali!!” (kayak akuarium gitu angkot lu, kacanya doang yang keliatan!!)
SA-2 : “hahahehehehihihuhu”
S : --- pada saat itu, kemudian saya merasa tidak lebih dari seekor ikan mas koki...---
NB : Boleh percaya boleh tidak, pada awalnya, saya merencanakan tulisan ini pendek-pendek saja... Kalo percaya tidak berdosa, kalo nggak percaya ya sudah saja
No comments:
Post a Comment