Tuesday, February 28, 2006

Kisah sebulir beras...

Alkisah Sebulir beras dilahirkan di dunia...
Inilah kisahnya...

Bersama saudara-saudara lainnya dalam sebatang padi, lahirlah sebulir beras kecil di daerah Karawang, Jawa Barat. Untuk memudahkan, kita sebut saja nama si bulir beras ini Beka (Beras Karawang).

Si Beka tidak lahir dari kalangan bangsawan (varietas unggul maksudnya) semacam VUTW Fatmawati di Jogja (Varietas Unggul Tipe Baru – Fatmawati) atau VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng), IR-1, IR-64, Bondoyudo, dsb dsb. Dia lahir dari kalangan padi jelata yang, sayangnya, tidak tahan wereng dan isinya agak kopong. Meski begitu, Beka tidak menyesal... ”yaah... daripada ga dilahirin sama sekali,” pikirnya. Beka yakin, meskipun dia tidak termasuk beras bagus yang akan dijual mahal di pasaran dan dibeli oleh orang-orang yang tidak terpengaruh kenaikan harga BBM, PDAM, telepon dan (dalam rencana) TDL, masih tetap ada orang-orang yang membeli dan memakannya. Karena jelas, dari sekitar 220 juta masyarakat Indonesia, mungkin hanya sekitar 20% cukup makmur untuk tetap membeli beras mahal. Sisanya, memakan beras seperti Beka dan saudara-saudaranya, atau makan tiwul, gaplek, sagu, atau tidak makan. Masih ada kesempatan.

Singkat kata, padi yang menaungi Beka tumbuh besar, hingga akhirnya tibalah musim panen.

Pak Tani yang mulai terjepit oleh harga pupuk yang terus merambat naik, rendahnya harga beli yang ditetapkan Bulog, dan sekarang oleh pasokan beras impor, kemudian memanen sawahnya. Beka dan saudara-saudaranya mulai melihat dunia. Dilihatnya mesin penggiling padi dan ibu-ibu petani yang memukul-mukulkan setumpuk padi untuk mengeluarkan beras dari dalamnya.

Beka dan saudara-saudaranya kemudian dimasukkan kedalam karung-karung beras. Sebagian kecil beras berceceran di tanah dan tidak terangkut. ”Gapapa”, ucap Beka, ”dalam setiap perjuangan pasti ada yang berguguran. Ini sebuah keniscayaan. Hanya kehendak Allah yang akan terjadi...” begitu gumamnya.

Sejak lahir, Beka telah menyadari jalan hidup dan tujuan penciptaannya. Ia diciptakan untuk beribadah pada Allah, dan klimaksnya akan terjadi saat ia memenuhi tujuan penciptaannya, dimakan dan menjadi sumber tenaga bagi makhluk hidup yang lain. Maka hanya itulah yang ada dalam pikirannya, ketika ia dan saudara-saudaranya mulai dibawa ke tengkulak, untuk selanjutnya dijual ke kota.

Pak Tani yang telah merawatnya sejak kecil diberi imbalan yang tak seberapa. Beka sedikit bersimpati untuknya... ”semoga uang itu cukup untuk membeli saudara-saudaraku yang lain pak... semoga keluarga bapak bisa sejahtera...”, meski ia tau, bahwa petani bukanlah profesi yang terlindungi di negara ini, meski kemuliaan dan jasanya menjadi salah satu yang utama di dunia.

Singkat kata,
Dan dimulailah perjalanan Beka ke kota...

Sebagai beras yang lahir dari padi jelata, Beka tau jalannya akan berbeda dengan beras lain yang bangsawan. Ia tidak akan masuk supermarket atau restoran-restoran mewah. Tapi semua sama... apapun statusnya, varietas unggul atau bukan, tujuan semua beras hanya satu, beribadah pada Allah dan menyatakan keikhlasan dalam memenuhi tujuan penciptaannya, untuk dimakan. Maka, status itu sama sekali tak mempengaruhi kemuliaan semua bulir beras di dunia.

Seorang bapak gemuk pemilik agen beras membelinya dari tengkulak, dalam karung-karung besar. Si bapak itu membawanya ke Pasar Rumput, sebuah pasar yang terletak di perbatasan antara Jakarta Selatan dengan Jakarta Pusat, tepat disebelah kawasan Menteng dan sedikit diluar kawasan stasiun Manggarai.

Selang beberapa hari dipajang di etalase agen beras di Pasar Rumput itu, Beka mulai gelisah karena saudara-saudaranya sudah laku dibeli orang, sementara ia belum. Sampai akhirnya, seorang ibu-ibu, yang juga gemuk, tetapi bermuka lesu dan terlihat lelah menanggung beban hidup, membelinya. Tawar menawar terjadi, tapi tak lama. Dan kemudian dengan penuh semangat, mata berbinar oleh harapan, Beka menyongsong dunia.

.....

Si ibu ternyata adalah seorang pedagang makanan, pedagang kaki lima yang informal, pemilik kios ilegal yang tetap membayar pada oknum (preman berseragam), yang berjualan di peron stasiun Manggarai. Setiap sore dan pagi, kios sederhana si ibu itu selalu penuh oleh para mujahid yang mencari rizki untuk keluarganya di rumah, untuk sekedar sarapan atau menahan lapar supaya tidak pingsan ketika berdesakan di kereta ekonomi. Beka senang, karena dia berkesempatan besar untuk bisa memenuhi tujuan penciptaannya, cita-citanya sejak baru lahir.

Pada suatu sore, setelah Beka ditanak dan menjadi nasi, tiba-tiba ia merasa diangkat oleh si ibu gemuk pemilik kios, dan dimasukkan kedalam kertas pembungkus. Dia dibeli !!!
Kebetulan, kios sedang penuh, sehingga tidak ada tempat duduk bagi bapak yang membelinya. Si bapak kemudian memilih untuk membungkus makanannya, dan dimakan agak jauh dari kios, sambil menunggu kereta.

”Ya Allah, terima kasih atas kesempatan yang Kau berikan...,” tak henti Beka mengucap syukur dan senandung pujian pada Allah. Dan ketika ia melihat wajah lelah pria yang akan memakannya... ia hanya berkata... ”pak, maafkan Beka, Beka dan kawan2 disini bukan dari varietas unggul. Kami mungkin tidak cukup pulen atau cukup berisi untuk mampu mengenyangkan perut bapak. Tapi alhamdulillah si ibu tadi memasukkan banyak nasi. Semoga bapak terpuaskan oleh kuantitas kami, karena kualitas kami memang dibawah rata-rata. Semoga kuah sayur dan sepotong tempe yang menjadi kawan kami disini, mampu menutupi rasa kami yang pera dan tawar, serta mampu memberi citra kelezatan di lidah bapak, sehingga bapak bisa lahap makan, dan pulang ke keluarga bapak... Semoga Allah meridhoi perjuangan bapak hari ini...”

Tapi malang bagi Beka... nasi belum lagi habis ketika kereta ekonomi mulai menampakkan dirinya dari utara. Sayur dan tempe yang menjadi lauk makan bapak itu telah habis, dan jumlah nasi sudah tinggal sedikit, sehingga si bapak memutuskan untuk membuang Beka dan kawan-kawannya kedalam tempat sampah yang sudah mulai penuh di peron Manggarai.

Beka dan kawan-kawannya menangis... tapi mereka tidak menyesal. Mereka tahu, bahwa hanya Allah yang mengetahui apa-apa yang terbaik untuk umatNya.

Hari berganti...
Gerimis dan panas mentari berganti menyirami Beka dan kawan-kawannnya. Beka melihat, bahwa ternyata ada cukup banyak bungkusan lain di dalam tempat sampah itu. Banyak nasi yang senasib dengannya. Tidak habis, lalu terbuang. Kawan-kawan Beka mulai berasakan tubuh mereka mengeluarkan cairan berbau yang menandakan bahwa mereka mulai basi... ”tak ada yang abadi... semua hanya soal waktu...sebelum kami kembali padaNya,” pikir mereka. Tak ada gentar dalam menghadapinya... Hanya bertanya-tanya apakah tugas mereka sudah paripurna di dunia...

Sampai suatu sore yang panas...
Beka melihat seorang pria muda berkacamata duduk sambil memegang perutnya yang lapar di peron Manggarai... “mungkin ia lapar...oh... seandainya kami masih layak makan dan masih berada di kios ibu gemuk, mungkin kami bisa membantunya...”

Adapun si pria berkacamata nampaknya bukanlah seorang manusia yang pandai bersyukur. Meski telah banyak nikmat yang diterimanya, si pria satu ini masih juga mengutuk dan marah-marah karena lapar dan lelah setelah bekerja, apalagi uang telah habis di kantongnya, meski cukup untuk sekedar sampai ke rumah.

Beka tiba-tiba merasa dirinya kembali diangkat...
Sebuah tangan yang dekil oleh debu dan hitam terbakar matahari mengangkat bungkusan tempat Beka berada. Ia melihat bahwa tangan itu kemudian mengaduk-aduk tempat sampah, mencari bungkusan lain yang mungkin tersembunyi di bawah, tertutup oleh sampah lain.

Beberapa bungkusan yang telah kotor dan tercampur air sampah ditemukannya. Ternyata, tangan-tangan itu adalah milik seorang gelandangan yang kumal dan berpandangan kosong. Pancaran wajahnya tidak lagi menyiratkan harapan. Tapi rasa lapar jelas menghantuinya.

Ia menyatukan nasi-nasi dari bungkusan-bungkusan yang didapatnya, menuangkannya kedalam bungkusan Beka. “JANGAN !!! Jangan makan kami!! Kami telah kotor dan basi... betapa perut bapak akan sakit kalau memakan kami...” teriak Beka sambil menangis. Tapi si bapak tak lagi peduli... rasa lapar telah menguasainya...

Beka dan kawan-kawan hanya pasrah. Mereka sadar, ini adalah kehendak Allah. Mereka memang diciptakan Allah untuk menjadi rizki si gelandangan pada hari itu. Dan dengan keikhlasannya, mereka bergembira karena mampu memenuhi tujuan penciptaan mereka. Untuk dimakan, untuk menjadi rizki bagi makhluk lain...

Dan dengan sebuah senyuman... Beka meninggalkan dunia...

......

Pria muda berkacamata terus mengamati tindak tanduk gelandangan yang memakan Beka. Hatinya tersentak saat melihat tangan-tangan itu mengaduk-aduk tempat sampah, dan menangis saat melihat nasi-nasi yang telah basi dan kotor itu memasuki tenggorokan si gelandangan.

Seketika ia kembali mengutuk... mengutuki dirinya yang selalu lupa untuk mensyukuri nikmat yang didapatnya selama ini...

Tak lama, kereta tiba... dan pria muda berkacamata pulang... membawa jeritan dalam hatinya...
Pria ini, sejak dulu memiliki impian untuk menjadi seorang penjual bubur kacang... impian sederhana yang menjadi semakin menguat dalam hatinya, setelah kejadian itu... "saya harus berhasil !!!" pikirnya...

No comments: