Wednesday, March 08, 2006

Sang Belalang Tempur... (episode 1)

Melihat postingan terbaru dari mbak yati tentang seorang pesepeda yang keliling Indonesia... Jadi teringat sepeda saya...

Ya okelah, sebenernya bukan punya saya, tapi saya pinjam, sehingga seolah-olah punya saya.

Semua dimulai ketika pada tingkat 3 dulu saya mengacak-acak gudang di dekat ruang himpunan (Himpunan Mahasiswa Planologi-Pangripta Loka ITB tercinta). Waktu itu, teronggok kaku lemas sebuah sepeda biru usang berdebu dan dipenuhi jaring laba-laba. Sepeda gunung merek Federal Stray Cat, model maskulin. Model maskulin itu maksudnya plang yang menghubungkan sadel dengan stang sepedanya berbentuk segitiga siku-siku, jadi plang atasnya sejajar dengan tanah. Kalau model yang feminin itu plang atasnya miring ke bawah, membentuk segitiga tumpul (ayolah, susah ngejelasinnya dengan kata-kata, bagusnya pakai gambar. Tapi, semua tau kan maksud sy bagaimana?).

Sepeda itu milik seorang anggota HMP angkatan 99, sepeda pemberian ayahnya. Dulu dipakai untuk perjalanan dari kosan si empunya ke kampus, tapi berhubung si empunya itu sudah malas nyepeda ke kampus, maka sepeda itu jadi teronggok di sana.

Awalnya, saya tidak tertarik pada sepeda kempes itu. Tapi... pada kira-kira awal semester 6, ada beberapa alasan sehingga saya mulai melirik si dia. Pertama, ongkos angkot di Bandung sudah mulai tidak bersahabat, termasuk dari kosan saya ke kampus yang sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi supirnya sudah mulai menuntut pembayaran 700 rupiah, yang mana pada saat itu cukup berat untuk saya, mengingat setiap hari saya ke kampus dan terkadang bulak-balik sampai beberapa kali antara kampus-rumah. Selain itu, waktu saya di kampus tidak tentu. Terkadang sampai malam, terkadang sampai tengah malam, terkadang sampai dini hari/subuh, terkadang tidak pulang tapi di pagi hari perlu pulang sebentar untuk ganti baju dan kembali lagi ke kampus (walaupun sebenarnya, kalau menginap di kampus, saya lebih sering memilih tidak pulang sama sekali, mandi di kampus, dan memakai pakaian yang sama selama 2 atau 3 hari, dan YA, kalau mungkin anda bertanya-tanya, itu juga termasuk pakaian dalam).

Kondisi itu membuat saya perlu memiliki sebuah moda transportasi yang dapat diandalkan setiap waktu, murah, dan cukup cepat/mobilitasnya tinggi. Angkot seringkali harus ditunggu lama kalau tengah malam, dan jarak dari himpunan ke jalan raya, plus jarak dari jalan raya sampai ke kosan saya yang nun jauh didalam jalan (gang) Bangbayang, Dago, membuat saya terkadang malas pulang (karena malas berjalan). Ketiga, saya sadar, saya butuh olah raga yang rutin. Nafas penuh asap rokok ditambah kondisi di tingkat tiga akhir dimana OS sudah selesai dan saya tidak lagi menjadi panitia OS membuat saya jarang berlari. Kalau dulu, waktu tingkat 2, saya setiap 2 hari sekali masih suka lari pagi di Sabuga. Tapi di tingkat 3, olah raga saya praktis hanya ping-pong...
Sebenarnya saya bisa saja berjalan kaki untuk pulang-balik kampus-kosan, tapi saya rasa itu kurang bisa diandalkan, baik dari segi kecepatan, mobilitas, dan tentu saja, rasa malas.

Dan jadilah, tanya sana tanya sini, hubungi si anu dan kontak si itu, akhirnya saya merasa cukup berhak untuk mengklaim pemakaian sepeda biru itu (baca : meminjam sampai diminta lagi sama yang punya). Maka saya keluarkanlah sepeda itu dari gudang, diiringi tatapan mata penasaran dari anak2 himpunan... ”olah raga wan?? Kempes tu sepeda!!”
”iya gw tau. Mau gw pake nih, daripada busuk disini,” jawab saya ringan.

Kondisinya memang kurang bagus. Rem belakang karetnya sudah aus, hanya tersisa setengah, itu pun lebih mendekati setengah menuju habis. Kawat rem belakang juga sudah agak kendor, sehingga rem belakangnya agak blong. Karet rem depan masih lumayan bagus, tapi berbunyi menderit cukup keras. Sadel agak kurang stabil, cukup mudah naik turun karena engselnya sudah agak rusak. Spakboard depan dan belakang semuanya sudah terkelupas, menjadi warna hitam kusam dan berkerak. Warna cat seluruh sepeda sudah kusam terkelupas dan sepertinya tidak mungkin bisa bagus dengan sekedar dicuci, harus dicat ulang. Seluruh engsel agak kaku, termasuk rantai sepedanya, sehingga agak terhambat untuk berputar. Pedalnya sebelah kiri mudah copot, dan ban depan belakang kempes, karena kedua ban dalamnya bocor. Stang agak miring, tidak lurus dengan bannya, dsb dsb yang membuat saya agak cenat-cenut juga melihatnya.

Tapi keputusan sudah dibuat! Harus jadi!

Akhirnya, dengan sisa-sisa uang yang saya miliki, saya korbankan 15 ribu rupiah untuk membeli ban dalam bekas di tukang tambal ban. Alhamdulillah ada yang kondisinya masih cukup baik. Satu masalah urgen (roda) selesai. Meminta sedikit grease untuk melumasi rantai dan engsel-engsel, meminjam alat-alat perbengkelan untuk sekedar kutak-kutik, dan tentu saja, saya mandikan betul-betul.

Usaha memandikan sepeda membawa hasil seperti yang saya perkirakan : TIDAK ADA GUNANYA! Catnya memang sudah terkelupas, sehingga warnanya tetap kusam. Tapi tidak apalah, toh kondisi fisiknya sebenarnya masih cukup bagus. Karet rem depan saya tukar dengan rem belakang, dan kawat rem belakang saya perpendek untuk meningkatkan responsivitasnya. Berhasil ! rem belakang jadi bagus, tapi rem depan praktis hampir tidak ada. Sedikit sentakan keras pada stang untuk meluruskan dengan ban, dan sepeda siap digunakan.

Jadi, praktis sebenarnya saya hanya keluar 15 ribu untuk seluruh perbaikan itu. Investasi yang bagus, saya pikir. Kalau dihitung-hitung misalnya saya satu hari paling minimal saya harus keluar 1400 rupiah untuk pulang balik kampus-kosan, maka dalam 11 hari, saya sudah balik modal, dan pada hari ke-12, saya punya uang lebih 1000 rupiah per hari untuk di tabung. 400 lumayan untuk beli permen atau air minum kemasan gelas plastik untuk bensin sepeda (minum saya maksudnya).

Setelah semua selesai, kami saling berpandangan, dan saya mengusapnya sambil berkata : ”hai sepeda biru, mulai saat ini kita berteman, dan inilah hidup barumu...” yang seolah-olah dibalas olehnya dengan ucapan : ”terima kasih telah memberi saya hidup baru... tapi, apa mas yakin ga ada uang sedikit lagi sekedar buat cat dan karet rem? Saya agak malu nih kalau ketemu sepeda baru, apalagi sepeda motor... Spakbor saya juga kayaknya udah bolong deh... yakin nih gapapa??” Bincang-bincang perkenalan selesai, dan kami sepakat untuk bersahabat.

Keesokan paginya, hari masih sedikit berkabut tipis dengan tetes-tetes embun masih menempel di daun. Segelas besar kopi susu dan sebatang rokok telah habis. Badan segar. Kuliah mulai jam 7. Seperti biasa, saya baru siap berangkat pukul 7 kurang 10. Pada hari-hari biasa, saya hampir selalu terlambat sekitar 15-30 menit. Akibatnya, saya selalu berdoa supaya dosennya juga terlambat... ya minimal 10 menit lah, supaya ga terlalu ketinggalan. Yah, namanya juga udah mendarah daging, hari itu pun saya masih terlambat. Tapi gapapa, justru menjadi waktu yang sangat tepat untuk menguci kehandalan sepeda baru saya.

Seorang kawan satu kosan menawarkan untuk pergi ke kampus bareng, naik motor miliknya. Tawaran menarik... tapi malah jadi lebih menarik ketika saya mengajaknya balapan, siapa duluan yang sampai ke kelas!

Motor selesai dipanaskan, teman saya siap berangkat. Dengan cepat saya menaiki sadel sepeda biru, lalu langsung meluncur keluar kosan. Karena jalan gang yang sempit, teman saya tidak bisa menyalip saya. Balapan menjadi seru ketika memasuki jalan Bangbayang yang cukup besar untuk 4 lajur motor. Saya turunkan gigi sepeda untuk meningkatkan akselerasi, demikian juga teman saya menaikkan persnelingnya untuk meningkatkan kecepatan. Bisa ditebak, saya kalah di jalan itu. Dia lebih dulu keluar dari jalan Bangbayang!

Dari Bangbayang ke Pasar Simpang Dago, seperti yang saya harapkan, macet sodara-sodara! Motor kawan saya sedikit terhambat oleh mobil-mobil yang terhenti. Tapi sepeda saya tetap melaju meskipun lambat. Berhubung sistem rem saya kurang baik, saya jaga kecepatan supaya tetap memungkinkan untuk berhenti mendadak, karena jalannya menurun. Motor tersalip, dan kami sampai di lampu merah Simpang Dago hampir bersamaan. Orang-orang memandang dengan tatapan aneh pada saya. Saya satu-satunya pengemudi sepeda, tanpa helm, memakai tas ransel dan kemeja lusuh yang dikeluarkan, serta sendal jepit karet seharga 5000an yang menjadi ciri khas saya di kampus. Pak pulisi nampaknya cukup kebingungan, apakah akan menilang saya atau tidak, berhubung sepeda bukan kendaraan bermotor, dan tidak ada Perda yang mewajibkan pengemudi sepeda untuk memakai helm. Kalau motor ada. Memang, helm dipakai BUKAN supaya tidak ditilang, tetapi untuk melindungi kepala. Tapi berhubung saya tidak punya uang untuk beli helm, maka saya lebih memilih untuk berhati-hati.

Mata saya dan mata teman saya di atas motor beradu. Tatapan kami sama-sama memancarkan aura persaingan. Tersungging senyum licik meremehkan di bibir kawan saya... ”hehe, ini jalan raya bung! Dimana-mana pasti menang motor! Huahahahahaha”... saya bisa membaca pikirannya. Tapi tidak! Saya bisa menang! (entah bagaimana caranya). Seolah si sepeda biru berkata pada saya... ”jelek-jelek gini saya masih bisa menang bos! Ayo, jangan menyerah!”. Saya mengelus stang si biru sambil menandakan kalau saya takkan menyerah... Seketika seolah-olah saya mendengar theme-song (OST) film Ksatria Baja Hitam menggema di pikiran saya, memacu semangat... dum dum dam dam... tereret!! Dum dum dam dam.... nana nanananaaa nanananaaa dududududuuuu... damdamdamdam nanana... nananananana tararaaat ... dst. (saya ga ngerti, bahasa jepang soalnya)

Lampu Hijau !!!

Teman saya memacu motor, langsung lurus ke Jl. Ir. H. Juanda, dia mau ke gerbang Ganesha, gerbang depan, gedung Plano memang lebih dekat dari sana. Saya langsung mengayuh si biru, banting stang ke kanan, ke arah jalan Sumur Bandung! Saya lewat pintu belakang di Taman Sari. Gigi 2 dipasang, berat memang, tapi di jalan datar yang cenderung turun, ini sangat baik untuk akselerasi dan kecepatan.

Teman saya sampai di tempat parkir depan kampus. Motor tidak bisa masuk, karena kawan saya itu tidak punya stiker parkir didalam. Demikian juga, saya bingung di tempat parkir belakang. ”sepeda boleh masuk ga ya??”. Dengan bodohnya saya bertanya ke penjaga parkiran... ”pak, sepeda parkirna dimana pak?”. Pak parkir bingung juga...”lebetkeun we sep!” (masukin ajalah kasep! – NB: kasep(bhs. Sunda) = ganteng (bhs. Indonesia) ). Berhubung dari parkiran ke jalan dalam kampus cuma dipisahkan sebuah tembok kecil dan rantai, maka saya tenteng si biru ke dalam, saya angkat melewati tembok, dan saya kembali meluncur !!

Pukul 7 lewat 10 ! seluruh proses hanya terjadi dalam 13 menit! Luar biasa !!! dan saya sudah di gedung plano.

Saya titipkan sepeda di Himpunan (HMP tercinta), kembali dengan tatapan terbengong-bengong dari anak-anak himpunan... ”Kamana Oemar Bakri??” kata seorang kawan sambil tertawa... ”kuliah lah...” kata saya sambil tertawa juga.

Adapun kawan saya, sekalipun pakai motor dan berlari dari parkiran ke gedung plano, ternyata tidak bisa menandingi luncuran si biru di jalan kampus. SAYA MENANG !!!!! huahahahahahahahahahahhh.... Ternyata saya dan kawan saya itu baru menyadari keunggulan si biru, dia bebas dibawa masuk sampai ke gedung!! Dan itulah mengapa kawan saya lari dari parkiran, karena dia baru menyadarinya di situ.

Pukul 7 lewat 10... Di depan kelas kawan-kawan saya yang seangkatan berkumpul dan berkerumun dengan wajah-wajah yang tidak jelas ceria atau menyesal... ternyata dosennya tidak masuk sodara-sodara... jam pelajaran kosong...

Meski begitu, saya sudah tau bahwa si biru ini ternyata dapat diandalkan! Bayangkan! Mengalahkan motor Honda Supra-X 110cc produksi th.1999 !!

Saya kembali menaiki sadel si biru, beranjak ke sekre Kabinet KM dan sekitarnya, mencari sesuatu untuk dimakan (sarapan maksudnya)....
”This is a beginning.. of a beautiful friendship...” Kata saya ke si biru sambil mengelus plang sejajarnya. Dan si biru balas melemparkan senyumnya pada saya...

Begitulah, hari pertama saya bersama si biru, atau yang kemudian akan mendapat julukan BELALANG TEMPUR... Bagaimana cerita selanjutnya?? Nantikan episode selanjutnya sodara-sodara...

(bersambung...)

No comments: