Thursday, February 02, 2006

Hijrah... (episode 1)

Saat saya mulai menulis postingan ini, adalah tanggal 1 Muharam 1427 H, tahun baru...
Pada momen inilah saya terkenang sebuah pengalaman ketika sedang di Papua, dan sebuah hikmah yang terkandung didalamnya.

Tapi... yaaa... buat yang udah kenal saya... tau lah, KAPAN SIH AWAN BISA NULIS PENDEK???

Yup, bener, postingan ini panjaaaaaaaan banget, sehingga terpaksa saya potong menjadi 2 episode. Tulisannya sih udah selesai, tapi dipotong biar ga capek bacanya. Pokonya, postingan ini saya cicil sedikit demi sedikit pada jam makan siang, sampai selesai pada hari ini, tanggal 3 Muharam 1427. Panjang banget kan kesannya??? EMANG!!

So... semoga tidak bosan...
Alkisah....
--------------------


Panaaaaaaaasssss!!!!!!!
Panas banget bo!

Hari ini adalah hari ketiga saya di Dekai, "ibukota" Kabupaten Yahukimo, sebuah kabupaten baru di Papua, pecahan dari apa yang asalnya adalah Kabupaten Jayawijaya yang amat luas.

Saya bersama 2 orang rekan, seorang sarjana geodesi UGM berumur sekitar 35-an, dan seorang dosen muda geologi Universitas Cendrawasih yang mungkin lebih tua sekitar 4 tahunan dari saya...

Jadi ceritanya, saya dan rekan-rekan saya itu sedang survey untuk penyusunan Rencana Tata Ruang Kabupaten Yahukimo (RTRW Yahukimo) dan Rencana Detil Tata Ruang Kota Dekai (RDTRK Dekai). Kami survey pada bulan Maret 2005, jauh sebelum gembar-gembor berita kelaparan di Yahukimo pada akhir tahun 2005 sampai awal 2006. Belum banyak yang mengenal Yahukimo waktu itu, termasuk kami.

Dekai memang sebuah pengalaman baru bagi saya. Wajarlah, ini pertama kali ke papua. Tapi dibandingkan dengan Jayapura dan Wamena pun, Dekai tetaplah sesuatu yang baru.

Perjalanan dari Dekai setelah satu minggu menginap di Wamena pun adalah sebuah pengalaman tersendiri. Inilah pertama kalinya saya naik pesawat model cessna dengan satu baling2 di depan, dan kapasitas penumpangnya paling banyak hanya 5 orang, termasuk pilot. Ia lebih mirip sepeda dibanding pesawat, karena tanpa radar dan alat navigasi lain kecuali kompas. Jadi, seperti menyetir sepeda atau mobil, arah pesawat ditentukan sepenuhnya oleh sang pilot. Beliau ini adalah salah seorang pilot dari lembaga misionaris yang banyak bergerak di daerah ini. Memang lembaga2 misionaris seperti inilah yang sepertinya menguasai penerbangan di papua.

Karena kemampuan terbangnya yang tidak terlalu tinggi... atau lebih tepatnya kita bilang... ”rendah”, pesawat ini juga tidak mampu terbang jauh diatas pegunungan yang kami lewati, karena turbulence dan tekanan udara yang tidak sepenuhnya saya mengerti, yang intinya adalah... ”kalau lebih tinggi dari ini, kita jatuh!” (demikian kata sang pilot dalam bahasa Inggris, berhubung dia orang bule, sepertinya dari Belanda). Dan karena ketidakmampuan terbang tinggi itulah, kami menikmati pengalaman nyaris mati setiap detiknya, karena sang pesawat yang malang itu terpaksa meliuk-liuk diantara bukit-bukit dan jurang-jurang terjal dan cadas, karena morfologi pegunungan Yahukimo memang didominasi oleh batu-batuan cadas dan sedikit tanah yang rawan lonsor diatasnya. Maka dari jendela-jendela pesawat, kami seringkali bergetar karena melihat dedaunan pohon dibawah dan di samping kami yang jaraknya mungkin tidak sampai 20 meter dari pesawat... Daun-daun pohon bisa terlihat begitu jelas.... begitu juga dengan batu-batuan di lereng-lereng yang kami lewati.

Jadi teringat film-film action sekelas Tour of Duty atau McGyver yang dulu suka menampilkan adegan-adegan semacam ini, dari helikopter perang zaman perang Vietnam atau dari pesawat sejenis yang kami tumpangi ini.

Adapun sang pilot, yang memang asli bule, meskipun sedikit mabuk, tapi alhamdulillah tetap waras dan sedikit menenangkan kami... ”tenang, saya tiap hari lewat sini... kalau pilot Indonesia, pasti sudah jatuh.. hahahaha... Bapak2 sudah biasa terbang ??”. Sambil mesem2, kami balas tertawa kecut dan menjawab.. ”aah, sudah pak, terbang begini kami sudah biasa... hahaha”. Kami terpaksa jawab begitu, karena berdasar informasi dari sumber yang dapat dipercaya, kalau kami bilang belum biasa terbang, si pilot akan berputar2 di udara untuk menjaili kami sampai kami muntah dan minta turun. Tentu, kita semua tidak ingin itu terjadi kan???

Yaah, setelah penerbangan yang lebih mirip dengan sebuah tantangan Fear Factor Indonesia, kami mendarat di Dekai, yang dari atas lebih mirip sebuah oase di tengah padang pasir (hanya saja, padang pasir itu diganti menjadi hutan belantara).

Dan ternyata... luar biasa... panasnya...

Ga tau deh, kayaknya disini matahari ada tiga.

Segera saja pesawat kami dikerubungi anak2 dan penduduk asli, sebagian hanya menontoni kami yang pakaiannya berbeda dengan mereka, dan sebagian menawarkan jasa mengangkat barang tanpa kata-kata (langsung angkut!).

Panasnya udara dan malaria sepertinya adalah topik paling menarik di Dekai, karena tidak ada seorangpun yang kami ajak ngobrol di Dekai yang tidak membicarakan 2 hal ini. Tapi memang agak aneh juga, mengingat Dekai sebenarnya bisa dibilang dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan. Daerah semacam ini biasanya banyak angin dan kalau anginnya dari gunung, biasanya dingin. Tapi di Dekai tidak demikian. Hampir tidak ada angin, dan panasnya seperti sedang dibakar diatas kompor. Dengan kata lain, panas ini seperti dari dalam tanah, dan perbedaan tekanan udara karena suhu dari tanah ini membuat angin tidak bergerak ke Dekai, melainkan berputar melewatinya. Cahaya matahari yang sangat terik ditambah hujan yang datangnya tidak tentu dan tidak juga lama, menjadikan iklim daerah ini menjadi pengap, anginnya (kalaupun ada) kering, dan membuat mandi tidak ada gunanya.

Dua hari pertama kami habiskan dengan berkeliling ”kota” (yang sebenarnya tidak lebih dari bangunan2 kayu yang sebagian besar masih dalam tahap konstruksi dan belum berpenghuni, jalan pasir yang hanya dilalui oleh truk2 pasir, karena tidak ada kendaraan lain, dan para pekerja yang tidur di barak di dekat satu-satunya warung yang ada di Dekai ini) dan mengobrol dengan cukup banyak orang. Kami menginap di rumah Pak Guru Takati, seorang guru berdedikasi tinggi dari Timika. Dia ditugaskan di Dekai sejak tahun 1996, dan hampir 10 tahun sudah tinggal di Dekai. Dialah guru pertama di Dekai, dan masih bertahan sampai sekarang, sementara guru2 bantu lain sudah banyak yang datang dan pergi karena tidak tahan. Menurut beliau, guru2 itu tahan lebih dari 1 tahun adalah sebuah keajaiban...

Dari setiap orang yang diajak ngobrol, pasti saja kami dengar mengenai malaria, dan bagaimana virus itu membunuh orang2 yang terdekat dengan mereka. Beberapa mengatakan kawan/saudara mereka mati di tempat tidur dalam kondisi mengenaskan... beberapa mengatakan kawan mereka tidak tahan panasnya tubuh saat mereka demam, kemudian lompat ke sungai Brassa yang besar dan deras, yang mengalir membelah perbatasan antara Dekai dengan Sumohai (hutan belantara yang mengitari Dekai), kemudian mati tenggelam... beberapa mengatakan kawan mereka menjadi gila karena tidak tahan dengan demamnya, kemudian lari-lari tidak jelas ke hutan lalu tidak pernah kembali, atau jatuh ke jurang... Betapa malaria menjadi momok disini.

Tidak heran, mengingat kabarnya 80% orang yang pernah ke Dekai, termasuk bupati dan jajaran aparat Yahukimo, terkena malaria. Itulah sebabnya aparat pemerintahan Yahukimo lebih memilih tinggal di Wamena yang sebenarnya bukan termasuk wilayah Yahukimo. Sarkasmenya, belum ke Yahukimo kalau belum kena malaria...

Dan dalam kedatangan kami pun, kami tidak bisa melapor ke koramil atau kapolsek seperti lazimnya, karena pak koramil sedang dirawat di Wamena, malaria, dan pak kapolsek juga sedang di wamena dalam masa penyembuhan, juga karena malaria. Begitupun satu batalyon tentara yang waktu itu baru satu bulan diterjunkan disini, tiga perempatnya sedang menjalani perawatan, so pasti, malaria juga.

Tapi daerah ini termasuk aman dari OPM, karena OPM merasa tidak ada yang bisa dijarah dari penduduk sini (saking miskinnya), dan juga, takut malaria...(malaria mulu sih!?!?!) Maka saya rasa wajar kalau kami memilih ngemil pil kina sehari sekali untuk jaga kondisi. Tapi penduduk asli Dekai tidak kenal kina. Mereka menggunakan daun gatal (daun yang kalau kena kulit akan menyebabkan kulit gatal-gatal dan panas luar biasa) setiap gejala malaria menyerang. Satu larangan yang tegas di sini juga adalah larangan untuk TIDUR SIANG/SORE!! Mengapa?? Karena, sore adalah waktu bagi nyamuk2 malaria mencari mangsa, sehingga kita harus waspada dan tidak dalam kondisi yang terbuka untuk diserang. Larangan lain adalah : JANGAN SAMPAI PERUT KOSONG! Kalau lapar, apa yang ada di depan mata, MAKAN!!! Ini pun rasional, karena kalau perut kosong, sistem ketahanan tubuh kita sedikit berkurang, dan malaria rawan menyerang.

Oke, singkat cerita... (eeeuuuu, segini... SINGKAT ???!!!???)

Pada hari ketiga kami di Dekai, seorang rekan mengusulkan untuk melihat lokasi perkampungan yang terdekat. Usulan ini sebenarnya wajar, mengingat tidak ada penduduk asli yang tinggal di ”pusat kota” yang belum jadi ini. Mereka tersebar di 9 kampung di sekelilingnya, tapi masih termasuk kecamatan (disini disebut ”distrik”) Dekai. Dan bodohnya... kami sepakat...

”Terdekat” dalam hal ini ternyata, menurut Pak Guru Takati yang kemudian menjadi pemandu kami, adalah 2,5 jam perjalanan menembus hutan di luar lokasi kami, kalau malam sebelumnya tidak hujan (tanahnya kering). Menurut Pak Takati, kalau dia jalan sendiri, mungkin bisalah 1,5 sampai 2 jam, tapi karena kami sekarang berempat, mungkin bisa 2,5 jam. Wajar, dia sudah biasa bulak balik ke kampung itu, yang konon bernama Koropun. Saya agak sangsi dengan kalkulasi ini, karena semalam hujan turun. Tapi Pak Takati meyakinkan saya bahwa hujan tidak terlalu lebat semalam.


Bersambung..... tunggu ya sodara-sodara... ini belum sampai ke inti ceritanya... hehe...
Tenang, cuma 2 episode kok...

No comments: