Monday, February 06, 2006

Hijrah... (episode 2)

Sambungan dari postingan sebelumnya... semoga tidak bosan membacanya :p

------

Pada hari ketiga kami di Dekai, seorang rekan mengusulkan untuk melihat lokasi perkampungan yang terdekat. Usulan ini sebenarnya wajar, mengingat tidak ada penduduk asli yang tinggal di ”pusat kota” yang belum jadi ini. Mereka tersebar di 9 kampung di sekelilingnya, tapi masih termasuk kecamatan (disini disebut ”distrik”) Dekai. Dan bodohnya... kami sepakat...

”Terdekat” dalam hal ini ternyata, menurut Pak Guru Takati yang kemudian menjadi pemandu kami, adalah 2,5 jam perjalanan menembus hutan di luar lokasi kami, kalau malam sebelumnya tidak hujan (tanahnya kering). Menurut Pak Takati, kalau dia jalan sendiri, mungkin bisalah 1,5 sampai 2 jam, tapi karena kami sekarang berempat, mungkin bisa 2,5 jam. Wajar, dia sudah biasa bulak balik ke kampung itu, yang konon bernama Koropun. Saya agak sangsi dengan kalkulasi ini, karena semalam hujan turun. Tapi Pak Takati meyakinkan saya bahwa hujan tidak terlalu lebat semalam.

Dan pukul 9 tepat, kami memasuki hutan, dengan hanya bersenjatakan parang dan sepatu boot setinggi betis.

Beberapa ratus meter memasuki hutan... mimpi buruk kami menjadi kenyataan. Langkah kami memberat... Tanah yang biasanya menjadi jalan setapak ke Koropun telah melunak akibat hujan sehingga menjadi seperti lumpur. Sialnya, ketika kaki kami masuk, kaki kami itu tertanam sampai selutut. Seorang kawan saya bahkan saking naasnya memasuki lumpur tanah yang tingginya sampai paha. Mohon diperhatikan, lumpur ini tidak cair, tapi padat seperti tanah yang lunak. Otomatis, kami tidak bisa bergerak. Dengan susah payah kami mengeluarkan kaki kami, lalu naik ke akar pohon atau batang-batang pohon yang sudah mulai ditebang untuk pembangunan. Dalam beberapa bulan kedepan, memang direncanakan pembangunan jalan dari Dekai melalui Koropun sampai ke Logpond, pelabuhan sungai di salah satu sudut Sungai Brassa (saat ini, mungkin jalan pasir itu sudah jadi, dan kisah ini menjadi tidak lagi relevan dengan kondisi di sana sekarang).

Pak Takati mengajak 2 orang muridnya yang umurnya sebenarnya hampir 17 tahun tapi masih kelas 4 SD, dan seorang pria tua yang ternyata mantan kepala kampung di Koropun. Pakaian mereka sederhana, hanya kaus robek yang lusuh dengan celana pendek sampai pangkal paha yang warnanya juga sudah pudar digerus tanah dan keringat. Mereka hampir tidak bisa berbahasa Indonesia, tapi mengerti apa yang kami ucapkan, bila berbicara dengan lambat, jelas, dan dibumbui aksen khas papua...

Pak Takati menjelaskan bahwa penduduk asli sini telah mengembangkan sebuah metode berjalan yang efektif untuk kondisi semacam ini. Intinya adalah meringankan tubuh, kejelian dan ketepatan memilih pijakan yang cukup keras, dan kecepatan langkah, hampir seperti berjalan cepat yang dipadukan dengan ilmu ginkang dari daratan Cina (kalau suka baca Ko Ping Ho pasti tau... atau minimal novel Wiro Sableng lah). Mereka menamakannya ”Langkah Kasuari”. Nama yang bagus... mengingat kasuari tidak menggunakan sepatu boot. Dan ternyata, seperti anda semua mungkin telah mengira, orang-orang sini juga tidak menggunakan alas kaki dalam berjalan. Tapi itu efektif saudara-saudara!

Oke, kami tidak bisa mengikuti langkah mereka, dan mereka senyum-senyum saja karenanya. Pak Takati bisa mengimbangi mereka, karena sudah 1 dekade mempelajari teknik ini, meskipun lebih lambat karena Pak Takati tetap mengenakan sepatunya. Tapi mereka sangat baik, mereka bersabar dan menolong kami.

Sebenarnya bukan rasa lapar, panas matahari, atau lamanya berjalan yang membuat kami menderita... Melainkan rasa pegal karena merasa perjalanan ini tidak berujung, dan berulang kali harus berusaha mengangkat kaki yang tertanam didalam tanah, sesekali sampai menggali dengan tangan kami untuk mengambil sepatu yang tertinggal di dalam tanah.
Selain itu, karena kami tidak mempersiapkan diri untuk perjalanan semacam ini, bekal kami habis sebelum kami mencapai ¾ jalan ke Koropun. Bekal minum dan makanan sama habisnya.

Dalam perjalanan kami banyak melintasi sungai-sungai kecil, anak-anak sungai Brassa.

Setelah 3 jam berjalan dan kelelahan... kami semua berisitirahat di sebuah anak sungai yang lumayan besar. Satu batang pohon yang besar melintang diatasnya, menjadi sebuah jembatan yang dapat kami gunakan untuk melintasi si anak sungai yang cukup deras itu.

Dalam peristirahatan itu kami merasakan nikmatnya meminum air sungai di Yahukimo yang memang jernih, dingin dan menyegarkan itu. Bapak tua mantan kepala kampung yang ikut memandu kami memang baru mengizinkan kami minum dari sungai itu, setelah sebelumnya kami bertanya bolehkah kami minum di sungai-sungai yang kami lalui sebelumnya. Baru di sungai yang ini dia mengizinkan.

Seorang rekan saya kemudian menyerah kalah... Rasa nyeri karena otot pahanya tertarik dalam perjalanan tadi memaksanya untuk beristirahat lebih lama. Dia memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan, berisitirahat di tempat itu, dan kembali pulang saat merasa sudah cukup kuat. Kami tidak bisa memaksa, karena Pak Takati pun tidak bisa memperkirakan medan di depan kami setelah hujan semalam (biasanya memang Pak Takati lebih memilih tidak pergi dalam kondisi seperti ini, kalau malam sebelumnya hujan). Pak Mantan Kepala Kampung memutuskan untuk menemani rekan saya itu, untuk mengantarnya pulang. Kami kemudian meninggalkan keduanya dan melanjutkan perjalanan ke Koropun. Pak Takati berkata bahwa kami sudah dekat.

Dalam perjalanan, kami memasuki jalan yang lebih lebat, hutan yang lebih rimbun. Lebih teduh memang, tapi kewaspadaan kami diuji.

Tiba-tiba, dengan satu gerakan isyarat, Pak Takati menyuruh kami untuk diam, dan menunjuk ke arah 2 ekor babi hutan yang besar... Kami bergerak perlahan, berusaha tidak membuat gerakan yang bisa membuat mereka merasa terancam, karena kalau tidak, bisa-bisa mereka yang akan mengancam kami...

Setelah dirasa cukup aman, kami kembali duduk. Sebuah batang pohon besar yang nampaknya telah lama tumbang menjadi pilihan kami. Dibawahnya melintang panjang sesuatu yang sekilas menyerupai batang pohon kecil yang berlumut... Seorang rekan saya iseng menancapkan parangnya di situ. Tapi, kontan kami terkejut ketika batang pohon itu mengeluarkan cairan seperti darah ketika si parang menancap. Satu kata dari Pak Takati : LARI !!!

Kami ternyata telah menancapkan parang pada seekor ular besar yang sepertinya sedang dalam masa pertapaan. Lamanya si ular bertapa (semedi kalau kata orang jawa), menyebabkan lumut-lumut tumbuh di tubuhnya, dan berkurangnya refleks si ular, sehingga kami berhasil melarikan diri.

Tapi kejutan tidak berhenti di situ... Pak Takati kembali berteriak keras seperti babi hutan yang terkena anak panah, diikuti umpatan kasar yang oleh rekan saya diteriakkan sambil tertawa karena kembali terlibat kekonyolan yang membahayakan jiwa raga. Dalam kondisi lari tunggang langgang karena takut ular, kepala Pak Takati ternyata secara tidak sengaja (tentunya) telah menabrak sebuah sarang lebah. Satu kata dalam kepala saya... ALAMAAAAAKKKK !!!!!

Kami kembali berlari...

Untunglah, entah karena tubuh kami telah bau keringat atau para lebah memaklumi kami yang tidak sengaja mengganggu mereka karena takut ular, tidak banyak dari mereka yang mengejar kami. Mereka berhenti setelah memastikan kami tidak lagi mengancam mereka...

Setelah beberapa kali meregang nyawa melewati anak2 sungai berbatu cadas yang deras airnya, dengan batang pohon kecil yang menjadi jembatannya, kami akhirnya mencapai Koropun...

Setelah terbiasa dengan tatapan2 aneh dari penduduk Koropun terhadap saya dan rekan saya, kami mulai mengamati keadaan, mengambil beberapa foto...

Pak Takati yang nampaknya telah akrab dengan penduduk kampung, yang sebagian besar adalah murid-murid, atau mantan muridnya, bercengkerama dengan santainya, sambil menikmati jamuan seadanya. Sebagai gantinya, kami memberi mereka CDR... iya, bener, CDR, Calcium D Redoxon, tablet effervescent...

Tentu, mereka tidak tau cara mengkonsumsinya... Dan ketika kami contohkan, beberapa diantara mereka melompat ke belakang karena terkejut saat melihat tablet itu ”meledak” dalam air... Dengan ragu-ragu, beberapa dari mereka meminumnya... kemudian tertawa, sambil berkata... ”aaa, bagus.... suka!!” Mereka meminumnya dengan perlahaaaaaaan sekali, karena sayang kalau cepat habis...

Penduduk Koropun tinggal di rumah-rumah sederhana, berbentuk panggung. Terlihat juga beberapa rumah pohon yang sangat sederhana. Menurut kepala kampung, mereka punya dua kampung. Kampung satunya adalah di dekat ladang mereka di tengah hutan, yang semuanya berbentuk rumah-rumah pohon. Mereka memang tinggal di atas pohon saat berladang, karena di darat banyak binatang buas... Cukup rasional, tapi cukup menyulitkan buat saya yang setelah kembali ke Jakarta harus memikirkan bentuk ”kota” apa yang harus direncanakan untuk daerah yang penduduknya semacam ini...

Memang, seorang planner atau secara umum ”orang pusat” seringkali terjebak pada pola bahwa pengembangan sebuah kota seolah berarti wajib menjadikan sebuah kota itu sebagai ”metropolitan”, tanpa melihat apakah sebenarnya masyarakat disana membutuhkan itu, atau kearifan-kearifaan lokal yang terkandung didalamnya.

Tak lama, kami teringat pada rekan kami yang cedera dan kami tinggalkan di titik peristirahatan tadi. Kami juga memikirkan bekal kami yang habis, sehingga kami ragu apakah kami bisa kuat untuk kembali ke rumah pak takati. Kami sepakat bahwa salah satu dari kami bertiga harus pulang terlebih dahulu untuk menuntun rekan kami yang cedera itu,pulang ke rumah pak takati, membawa bekal dan kina (hari ini kami belum makan kina,sementara kondisi tubuh kami saat ini sangat lemah), lalu kembali ke jalur perjalanan tadi lagi untuk menyambut pak takati dan rekan saya satu lagi itu dalam perjalanan, memberi bekal agar kami tidak kelaparan. Akhirnya diputuskan, sayalah yang akan pulang duluan. Pak takati dan rekan saya beristirahat di Koropun untuk menerima jamuan dari penduduk. Meski miskin dan hampir tidak ada makanan, adat penduduk koropun memang begitu. Mereka merasa wajib menjamu tamu, dan adalah tidak sopan untuk menolak jamuan itu.

1 jam perjalanan, saya kembali bertemu dengan rekan saya yang cedera itu, masih ditemani dengan pak tua mantan kepala kampung koropun. Karena kami semua kelelahan, tongkat2 kayu menjadi sangat membantu dalam perjalanan itu.

Akhirnya kami sampai pada jalur yang agak terbuka. Meskipun panas terik luar biasa, tapi ternyata belum cukup lama untuk membuat tanah lumpur ini cukup mengeras untuk bisa kami lalui dengan nyaman. Terlebih, inilah jalur satu2nya yang paling aman, baik dari ancaman binatang buas maupun resiko tersesat. Maka, walau panas membara, kami lalui juga jalur itu...

Dan ternyata, inilah momen yang sampai saat ini saya anggap adalah saat2 dimana saya merasa paaaaling dekat dengan kematian...
--------

matahari bersinar sangat terik... membuat saya tak kuasa membayangkan bagaimana panasnya neraka nanti...
makanan terakhir yang kami makan adalah biskuit kering, tanpa minum, yang membuat dinding2 mulut kami begitu kering dan cadasnya. Mulut dan kerongkongan kami telah begitu kering dan sakit sehingga kami menyesal telah memakan biskuit itu. Selang 1 jam kemudian, saya merasakan darah menetes dari langit2 atas mulut saya, menandakan kekeringan mulut saya telah membuat luka kecil...

selang beberapa lama... saya merasakan kaki ini tak kuat lagi melangkah. Urat2 kaki saya tak mampu lagi menahan beban. Tubuh saya butuh istirahat. Dan perut saya lapar luar biasa... saya putus asa... Pak tua yang saya harapkan bisa menjaga semangat saya pun berkali2 terduduk karena kelelahan. Dan saya pun lebih memilih menanggalkan sepatu saya, lalu membawanya, dengan harapan membuat langkah saya lebih ringan... tapi ternyata tidak banyak membantu.

Dalam teriknya matahari, entah khayalan atau nyata, saya melihat tubuh teman2 perjalanan saya itu seperti berasap... tidak, itu bukan asap, itu adalah uap dari bulir2 keringat kami yang langsung terbakar cahaya mentari begitu keluar dari tubuh... dan saya pun baru menyadari kalau bagian tubuh saya yang tidak tertutup pakaian ternyata selama ini memang kering dari keringat. Ini mempercepat dehidrasi di tubuh kami...
Berulang kali saya berpikir bahwa mungkin saya akan pingsan atau tewas di tempat ini... tapi saya selalu berusaha menepisnya dengan keyakinan bahwa saya sudah dekat...

Dalam kondisi itulah, kami melintasi sebuah sungai kecil yang airnya mengalir dengan cukup baik.... dan disebelahnya ada sebuah kubangan besar yang menyerupai kolam. Sejak tadi pun sebenarnya kami melintasi sungai2 kecil semacam ini, namun tidak ada yang airnya bisa mengalir dengan cukup baik, entah karena tebalnya lumpur,atau terhalang batang2 kayu.

Tiba2, tanpa tedeng aling2, pak tua yang sedari tadi menemani kami itu membuka kausnya, dan celananya, melipatnya dengan rapiiiih sekali. Ia berbalik ke arah kami tanpa malu, sambil telanjang bulat, lalu berkata... ”mandi dulu”, sambil menunjuk dadanya. Dan seketika ia menceburkan dirinya dalam sungai kecil itu, sementara kami masih terperangah karena adegan semacam itu memang termasuk baru bagi kami yang nampaknya berbeda budaya dengannya ini.

Saya dan rekan saya pun akhirnya menyempatkan diri memuaskan dahaga kami, mengambil air dari sungai itu, dan minum secukupnya.

Setelah pak tua itu selesai mandi, saya menanyakan padanya, mengapa ia tidak mandi sedari tadi (saat kami melewati sungai2 sebelumnya), mengapa ia memilih mandi disini dan tidak di kolam sebelahnya, dan mengapa ia tidak mengizinkan kami mengambil minum pada sungai2 sebelumnya...

Jawaban pak tua cukup membuat saya tercenung cukup lama... ”ini air bergerak, alir, bersih. Itu air diam. Kotor. (sambil menunjuk kolam disebelahnya).” Dan saya ingat juga, bahwa sungai2 sebelum ini memang tidak mengalir dengan cukup baik. Kotor juga?

Kami kembali melanjutkan perjalanan... masih dalam suasana panas menyengat kulit.

Rekan saya yang cedera akhirnya menyerah. Ia keluar jalur, masuk ke hutan, dan lebih memilih untuk beristirahat sambil menunggu pak takati dan rekan saya satu lagi kembali dari koropun, karena mereka pasti melewati jalur itu juga. Saya tidak bisa menyalahkannya, karena saya pun tidak akan mampu membopongnya sampai rumah. Saya yakinkan ia bahwa saya akan kembali secepatnya dan membawa minum.

Sepanjang jalan kemudian, saya berusaha bercengkrama dengan pak tua untuk mengusir pikiran2 negatif saya yang sudah cenderung putus asa... dan ia pun menanggapinya dengan cukup antusias, nampaknya karena motif yang sama. Tak jarang kami membantu menggali satu sama lain apabila salah satu dari kami berada dalam kondisi kaki tertanam di tanah lumpur.

----

Suara truk pasir yang sedang bongkar muat kemudian menjadi suara yang paling indah yang kami dengar pada hari itu (dan saat itu, mungkin suara terindah seumur hidup saya). Kami sudah dekat, dan saya kembali berpikir bahwa...”saya akan hidup!”

Truk pasir memang menjadi ”angkutan umum” bagi kami selama di dekai, karena memang tidak ada lagi mesin yang melalui jalan2 di dekai. Orang2 sini menyebutnya ”blakos”, singkatan dari ”belakang kosong”, karena mereka biasanya menumpang di bagian belakan truk, tempat pasir, kalau sedang kosong. Tapi kalau kursi depan sedang kosong, biasanya sang supir mengizinkan kami duduk di depan untuk menemaninya dalam perjalanan.

Betapa bahagianya saya ketika kami mencapai truk itu. Truknya sedang bermuatan pasir, penuh, tapi saya tetap bersikeras menumpang. Si supir dan temannya nampaknya cukup terkejut melihat kondisi kami yang seperti habis pulang dari perang vietnam, dan lebih terkejut lagi ketika mendengar kami dari koropun... ”jalan becek, kalian kesana?” kata si supir. Ia memberi kami teh manis bekalnya, yang membuat saya tak berhenti mengucapkan hamdalah dan terima kasih. Teh manis itu cukup untuk mengembalikan tenaga dan semangat saya.

Pak tua memandang saya dengan aneh ketika saya akan naik ke truk. Sepertinya, ia merasa dikhianati karena saya seperti akan meninggalkannya berjalan sendirian, setelah apa yang kami lalui. Saya jelaskan sebisanya,dan secepatnya, bahwa saya harus bergegas ke rumah pak takati, membawa bekal, lalu kembali ke jalur tadi untuk membawa bekal itu ke teman2 dibelakang. Sepertinya pak tua tidak terlalu mengerti, dan tetap memandang saya dengan kecewa...

Saya naik ke truk, dan segera mengambil posisi terlentang diatas pasir...menatap matahari...

Ibu Takati cukup histeris melihat kondisi saya, tapi mengerti apa yang harus dilakukan. Segera ia mengambil botol2 air, makanan yang ada, dan menyerahkannya ke saya. Saya pun segera menyambar sekantung pil kina, CDR, dan roti yang ada di tas saya, menyatukannya dalam satu plastik, dan bergegas kembali ke bibir hutan.

Pak tua masih disana, beristirahat...
Ia nampak terkejut, dan akhirnya tersenyum, ketika melihat saya kembali dengan bekal. Sepertinya ia baru mengerti apa yang saya lakukan tadi. Setelah memberi minuman dan roti ke pak tua, saya katakan padanya... ”saya ke hutan lagi, bawa bekal ke pak guru”, dan ia menyemangati saya...”ya, cepat, pak guru butuh minum!!”

Tak jauh saya masuk ke hutan, ternyata pak takati dan 2 orang teman saya sudah terlihat dari kejauhan. Rekan2 saya nampak sangat lelah, dan hampir terbungkuk2 dalam berjalan... Pak Takati, dengan sisa2 kekuatan dan ketegarannya, masih berusaha tegap berjalan, namun tatapan matanya menunjukkan kelelahan yang teramat sangat.

Makanan dalam kantung yang saya bawa itu kami nikmati dengan tertawa-tawa seperti kami sedang dalam sebuah pesta besar... kami tau, petualangan kami hari itu sudah cukup.

Tak lama, kami bersama2 naik blakos, membicarakan pengalaman hari itu, sambil bersyukur karena kami tidak kehilangan sesuatu apapun... tapi kami belum bisa beristirahat dengan tenang, kami tidak boleh tidur, karena malaria rawan menyerang pada waktu2 ini. Pukul 5.30. Ternyata, semua itu hanya terjadi dalam selang waktu 8 setengah jam. Mandi,kopi dan rokok menjadi teman kami melawan kantuk,sampai tiba waktu yang cukup aman untuk tidur.
----

malamnya, ketika saya merasa bahwa inilah saat dimana akhirnya kami bisa beristirahat, ternyata kami semua tidak bisa tidur, termasuk pak takati. Saya dan rekan2 saya berulang kali terjaga dalam tidur, karena kami bermimpi buruk. Setiap saya memejamkan mata, saya seperti melihat bahwa kaki dan setengah tubuh saya masih terjebak dalam lumpur, sementara matahari hanya beberapa meter di atas saya, dengan panasnya yang membara... Ternyata, trauma itu menghantui kami semua. Pak takati yang telah satu dekade hidup di dekai pun ternyata mengalami mimpi yang sama... dan dia lebih memilih bertukang pada jam 2 pagi, karena tidak bisa tidur. Ia membetulkan lemari di dapurnya yang tadi siang nampaknya rusak akibat anak2nya terlalu aktif ketika bermain di dapur.

-----

Satu hari kemudian, pesawat Cessna membawa saya dan 2 orang rekan saya kembali ke Wamena. Kami telah melewati mimpi2 itu, dan mengingatnya dalam tawa.
Pak Takati hanya menitipkan satu hal pada kami. Ia titip 2 ekor ayam dari wamena untuk dikirim ke dekai, karena ia ingin mengadakan pesta ulang tahun anaknya. Lucu, saya baru sadar kalau 4 hari di Dekai saya lalui tanpa melihat satu ekor ayam sekalipun... Dan kami mengirimkan 2 ekor ayam yang dipesan itu dengan pesawat satu hari kemudian.

2 hari di Wamena, kami kemudian kembali ke Jayapura, dan esoknya menaiki pesawat yang akan membawa kami kembali ke Jakarta...

-----

Di atas awan, saya melihat lautan Papua yang kami tinggalkan beserta segala kenangannya di Yahukimo... Dan dalam ketermenungan saya itu, kembali terngiang kata2 pak tua mantan kepala kampung yang menjadi teman saya tempo hari...

Hanya air yang mengalirlah yang bisa jernih. Sementara air yang terlalu lama diam akan berlumut dan berlumpur. Hilanglah kejernihannya.
Saya teringat betapa Rasulullah SAW pernah menekankan pentingnya suatu proses ”hijrah”. Kearifan pak tua membuat saya mengingat kembali ajaran ini.

Hijrah sebenarnya adalah sebuah proses dimana seorang manusia ”mengalir”. Tidak hanya secara fisik, hijrah secara hakiki justru dimaksudkan pada pergerakan jiwa, pergerakan menuju sesuatu yang dituju, pergerakan menuju Allah. Kalau ada orang mengatakan bahwa perjalanan itu menjernihkan jiwa, maka tidaklah salah perkataan itu.

Dan momentum 1 muharam, tahun baru kita, selalu mempertanyakan, sudah sejauh mana hijrah kita... sudah sejauh mana kita memperbaiki diri saat ini, sehingga kita tidak termasuk dalam orang2 yang merugi?

Mengalirlah... agar kita tetap jernih...

Selamat tahun baru !!!

No comments: