Thursday, January 26, 2006

Bukan milik saya lagi...

Sudah agak lama ga berpikir...
Sejak meninggalkan kampus, sepertinya otak ini tidak terbiasa lagi berlari. Ya Allah, maafkan hambaMu yang bodoh ini...

Tapi memang, fenomena umum yang aktual selalu menarik perhatian saya, dalam hubungannya dengan bagaimana itu kemudian terkait dengan kehidupan pribadi saya sendiri, meski bila pada awalnya saya tidak ingin terlibat. Selain itu, ketertarikan saya terhadap fenomena publik juga adalah terhadap bagaimana tingkah polah masyarakat luas menyikapinya atau meresponnya.

Fenomena umum dalam hal ini saya artikan sebagai sebuah momentum atau kejadian yang direspon secara massif oleh banyak orang di masyarakat, sehingga menjadi sebuah isu publik pada tingkat lokal, regional, atau bahkan nasional.

Fenomena formalin, baso tikus, SUTET, dsb. sebenarnya cukup menarik untuk diikuti. Dari sini bisa kita lihat bagaimana masyarakat modern begitu mudah untuk paranoid terhadap sesuatu yang digembar-gemborkan oleh media. Okelah, formalin memang berbahaya. Tapi yang menarik adalah bagaimana kemudian masyarakat menjadi begitu ketakutan dengan zat yang sebenarnya telah lama mereka konsumsi ini, lantas menyangkut-pautkannya dengan segala hal. Kalau asalnya adalah tahu dan ikan asin, kemudian berkembang ke mie basah, lalu ke odol, lalu shampo dan sabun dengan merek2 ternama. Artinya, masyarakat mungkin berpikiran untuk tidak lagi makan tahu, anti makan ikan asin, membuang semua mie basah, tidak sikat gigi lagi, menggunakan abu gosok untuk keramas, dan mencukupkan mandi tanpa menggunakan sabun (kemungkinan yang jelas berlebihan).

Demikian juga dengan fenomena bakso tikus pasca garapan Trans TV, dengan riuh rendah semua masyarakat menentang penggunaan borax dan tikus dalam baso, sampai akhirnya minggu lalu sebagian masyarakat berdemo di depan gedung MPR/DPR soal ini sambil membawa spanduk dan banner yang lucu-lucu bertuliskan “TIKUS : NO !!!, SAPI : YES !!!. Luar biasa, dukungan terhadap sapi pun disuarakan sambil berdemo di depan gedung rakyat, sementara para penjual baso nampaknya bertindak lebih cerdas dengan mendemo Trans TV yang telah membawa stigma buruk plus penurunan omzet harian terhadap SEMUA pedagang baso dan mie ayam (tidak hanya yang menggunakan tikus, wong ga jelas juga mana yang pakai tikus dan mana yang pakai kebo, sapi, kelelawar, kuda, ato daging anak ayam).

Isu mengenai makanan ini secara ajaib ternyata hampir tidak menyentuh keluarga saya. Tentu saja, ada kehati-hatian yang lebih dari ibu saya dalam membeli bahan makanan. Tetapi sampai sekarang ternyata isu ini sama sekali tidak menghentikan kami untuk mengkonsumsi tahu, mulai dari tahu sumedang di kereta sampai semur tahu bikinan ibu. Ikan asin dengan sambal terasi pun masih kami nikmati tanpa ragu. Baso? Agak2 ga enak kalo ninggalin langganan yang lewat depan rumah tiap jam 10 siang pada hari sabtu atau minggu. Dan ya, kami masih mandi dengan sabun dan shampo yang sama, dan sikat gigi dengan odol yang itu-itu juga. Formalin?? Ya sudahlah... mampunya hidup dengan standar begini, apa boleh buat... mau mengganti semua tahu itu dengan daging kambing, mmm... kayanya harus beternak kambing sendiri dulu baru bisa mampu deh...

Isu SUTET jadi lebih absurd lagi. Bisa jadi karena ketidak-tahuan masyarakat awam akan istilah SUTET yang sebenarnya istilah kuno dalam pelistrikan (namun tergolong baru dalam bidang teror terhadap masyarakat), sedikit percikan provokatif entah dari mana dan ditambah penggelontoran bertubi-tubi dari media sudah cukup untuk membuat satu kalangan menjahit mulut mereka dan melakukan aksi mogok makan meminta ganti rugi. Kalau kemudian PLN tidak menghiraukan...saya rasa cukup masuk akal. Perkaranya, SUTET bukanlah barang baru. Benar bahwa itu menimbulkan radiasi, tapi bukan berarti radiasi itu yang menyebabkan semua kengerian yang digelar di media massa.

Baru baca sebuah e-mail di komputer teman saya, saya sepakat bahwa radiasi SUTET tidak lebih berbahaya dari radiasi televisi yang ditongkrongi masyarakat setiap hari, tidak juga lebih berbahaya dari radiasi komputer atau HP yang digunakan setiap hari oleh masyarakat urban. Maksud saya, menonton tipi setiap hari bisa jadi lebih berbahaya dibanding punya rumah di dekat Sutet. Yang bikin tambah bingung, lantas si Sutetnya sendiri mau diapakan? Mau dihilangkan? Silahkan, tapi resiko kehilangan daya listrik satu kecamatan atau satu kabupaten nanti siapa yang mau tanggung? PLN lagi yang didemo toh? Dan yang bikin PLN tambah cenat-cenut adalah tidak semua masyarakat yang mengaku sengsara karena Sutet itu sebenarnya tidak ikut andil (dalam menyebabkan kesengsaraan itu). Sekarang bisa kita tanyakan, mana duluan yang hadir, perumahannya atau sutetnya? Ada perumahan lalu ujug-ujug dibangun sutet dekat situ, atau ada sutet lalu masyarakat bangun rumah di sekitarnya tanpa bertanya dulu boleh ato nggak bikin rumah disitu? Nah?
Mungkin ada anak elektro yang bisa jawab ini? Yang jelas, teori planningnya sih bilang radius beberapa ratus meter dari Sutet memang ga boleh ada perumahan...

Oke, semua isu itu cuma pengantar...

.......

Ya.. ya.. saya tau, pasti pada ingin ngomong gini kan : “SEBANYAK ITU CUMA PENGANTAR ? GAK SERIUS LU WAN !!”

Ya sebenarnya fenomena publik yang ingin saya bahas (karena ternyata fenomena publik yang satu inilah yang kemudian, sayangnya, mempengaruhi diri saya) adalah mengenai... mengenai... (apa hayo???)... mengenai... itu tuh... pembukaan lowongan CPNS !!!

Awalnya sih, saya asyik saja mengamati bagaimana para pemuda-pemudi harapan bangsa Indonesia berduyun-duyun berkompetisi menjadi pegawai negeri yang nampaknya begitu diminati itu. Alasannya? Banyak lah... ada yang ingin “mapan”, ada yang bingung (panik) karena semua teman-temannya ikut seleksi sementara dia nyantai-nyantai aja, ada yang ga tau ada apa tapi ikut aja ama keramaian, ada yang ingin korupsi karena putus asa ga bisa cepat kaya, ada yang ingin enak dapat gaji tiap bulan dan kerja nyantai tapi naik golongan tiap 4 taun (ini mitos yang salah dan menyesatkan sodara-sodara!), dan tentunya, ada juga yang dengan idealisme tinggi ingin memperbaiki kondisi bangsa dari dalam struktur. Terserah deh, alasan dan konsekuensinya ditanggung masing-masing individu, dunia dan akhirat.

Tapi yang menarik disini adalah memperhatikan bagaimana kecenderungan orang-orang dalam mempersiapkan masa depan mereka.

Dibalik semua kerusuhan dalam pendaftaran dan seleksi CPNS itu, sebenarnya kita bisa menyaksikan bagaimana binar-binar penuh harapan dari umat manusia dalam mempersiapkan masa depan mereka. Tentunya, semua itu dilakukan demi masa depan bukan? Entah, itu sesuai dengan cita-cita mereka atau tidak, tapi yang jelas, status PNS dianggap mewakili gambaran masa depan yang... mmm.... apa ya... kaya nggak, tapi miskin juga nggak. Untuk mereka yang bermotifkan ekonomi, gambaran masa depan seperti itu nampaknya cukup menarik. Sementara untuk mereka yang bermotifkan lebih jauh, seperti bidang keilmuan, politik, kekuasaan dan lain-lain, status PNS juga nampaknya dianggap cukup ideal untuk meraih mimpi mereka.

Persoalannya sekarang adalah, ketidak-terlibatan saya dalam fenomena publik yang satu ini ternyata mendapat gugatan dari orang-orang yang terdekat dengan saya.

Sepertinya adalah aneh untuk tidak memiliki impian yang sama dengan banyak orang lain yang sepertinya indah...

Oke, mimpi menjadi PNS yang secara ekonomi mapan kemudian mampu berbakti bagi nusa dan bangsa secara struktural dan memperbaiki sistem birokrasi di Indonesia dari dalam adalah mimpi yang mulia...
Tapi bukan berarti mimpi saya menjadi seorang pengusaha bubur kacang hijau pun layak dicerca kan? Bukan berarti mimpi saya itu adalah sesuatu yang tidak boleh dijalankan bukan?

Hmmm... jadi curhat gini ya???
Oke, kita ubah cara penulisannya...

Bagi saya, masa depan seseorang adalah milik orang itu bersama Allah yang menganugerahkannya. Dengan kata lain, pilihan mengenai bagaimana seseorang merencanakan masa depannya terletak pada dirinya sendiri. Tentu, arahan atau nasihat dari berbagai pihak perlu didengar dan dihormati. Akan tetapi intervensi berlebihan dan pengarahan yang memaksakan untuk saya sangatlah memberatkan...

Untuk orang-orang yang terdekat dengan saya... keputusan untuk TIDAK menjadi PNS ternyata adalah sebuah kebodohan. Dan ternyata saya harus rela disebut bodoh setiap hari untuk bisa konsisten dengan mimpi saya. Biarlah, toh saya pun belum bisa menjanjikan apa-apa dari impian berdagang bubur kacang ijo itu...

Tentu saja, hati ini penuh perdebatan setiap kali pilihan hidup saya dipertanyakan...
Pertanyaan-pertanyaan seperti : ”kamu pengen miskin ya?” atau ”kenapa sih nggak kayak orang lain? Orang lain itu jutaan lo yang pengen jadi pegawai negeri” selalu membuat kuping saya gatal. Dan biasanya saya memilih diam, karena saya tau, pertanyaan seperti itu tidak mengharapkan jawaban, dan jawaban apapun yang diberikan akan selalu ditertawakan, atau bahkan menimbulkan kemarahan karena dianggap melawan. Maka diam mungkin menjadi pilihan yang paling rasional.

Tentu saya memiliki jawaban2 dari pertanyaan2 itu. Tapi saya tau, jawaban2 yang keluar dari mulut saya, kepada siapapun itu, selalu berpotensi untuk menjadi provokasi. Jawaban untuk pertanyaan ”ingin miskin” misalnya, bisa jadi adalah sebuah pertanyaan balasan seperti : ”pegawai negeri mana sih yang kaya tanpa korupsi ?” atau ”setelah kaya, lalu mau apa?” atau ”sebutkan 200 orang terkaya di Indonesia, dan sebutkan satu saja dari mereka yang statusnya pegawai!”. Dan memang, pertanyaan seperti ini kemudian biasanya dijawab lagi dengan pernyataan ”gaji PNS memang kecil, tapi kan lain-lainnya banyak...”. Nah, ini dia... apa seluruh hidup dan pendidikan yang saya peroleh sampai saat ini hanya untuk menggiring saya menjadi sebuah koruptor? HINA!!

Pertanyaan ”mengapa tidak seperti orang lain” tentu juga bisa dijawab dengan ”kenapa harus menjadi seperti orang lain”, tapi ini tentu menjadi tanda pembantahan yang luar biasa.

Meski begitu, saya harus mengakui, kemapanan ekonomi dalam status PNS adalah sesuatu yang layak dikejar. Adalah wajar apabila seseorang mengharapkan kemapanan ini agar dapat memberi kepastian untuk menafkahi keluarganya. Menafkahi keluarga pun adalah sebuah jihad, dan karenanya harapan ini pun tentu saya hormati sungguh-sungguh. Demikian juga, impian untuk mengabdi pada negara atau bermain dalam politik dan membereskan strutur birokrasi yang korup di Indonesia dari dalam juga adalah sebuah perjuangan yang mulia, dan karenanya, mimpi-mimpi semacam ini pun saya hormati sungguh-sungguh. Ini adalah sebuah pilihan jalan perjuangan, dan saya lebih memilih untuk berjuang dari luar. Insya Allah, suatu saat saya pun akan masuk, kalau saya sudah cukup kuat. Tunggulah saya teman-teman...

Tapi memang, satu hal yang bisa saya ambil dari sini adalah... ternyata... masa depan bukanlah milik saya semata. Masa depan saya ternyata adalah milik orang tua saya, milik teman-teman saya, milik orang-orang yang merasa menjadi atasan saya, milik tetangga saya, milik... milik...

Pesimisme dan pandangan-pandangan yang meragukan saya begitu menghujam seperti badai setiap hari...

Ternyata... begitu sulit untuk mewujudkan mimpi yang sederhana...

Ternyata... memang bukan milik saya lagi...

.........

TIDAK!! Mimpi itu terlalu indah untuk dilepaskan... Dan saya hanya ingin mati saat saya sedang menjalaninya... Tentu ada jalan yang akan ditunjukkan olehNya.

Ya Allah... kuatkanlah hambaMu yang lemah ini... dan jagalah niatan hamba untuk bisa berjuang untukMu... dan seandainya hamba boleh memilih, tolong matikan hamba saat diri ini masih sedang berjuang...

No comments: