Beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan. Maksud saya, ada beberapa hal yang mungkin kita inginkan, atau tidak kita inginkan, tapi kadang ada sebagian dari diri kita yang berkata bahwa... kita tidak bisa... saat ini.
Demikian juga dengan menulis. Memang lucu kalau dipikir-pikir. Dulu, ketika saya tidak punya banyak waktu untuk menulis, ide-ide dan inspirasi seperti datang berlompatan dalam pikiran, dan semua mengatakan bahwa saya harus menuliskannya sekarang juga. Terkadang saya mencuri-curi waktu untuk menuangkan ide-ide itu menjadi sebuah tulisan, dan tak jarang juga kesedihan muncul ketika akhirnya ada beberapa ide yang tidak sempat terolah.
Tapi sekarang, ketika saya punya banyak waktu (khususnya di malam hari), dan ada fasilitas komputer serta internet untuk menulis... justru ide dan inspirasi tak kunjung datang. Apalagi mood, entah kemana perginya. Pada masa-masa seperti ini, sebagaimanapun saya paksakan untuk menulis, tulisan itu tak kunjung datang. Kalaupun akhirnya saya paksakan, ternyata hasilnya mengecewakan. Saking mengecewakannya, saya sendiri yang menulisnya sampai malas membacanya.
Beberapa buku yang mencoba mengajarkan tentang dunia tulis menulis biasanya berkata bahwa pada masa-masa latihan, kita harus membiasakan diri untuk menulis setiap hari. Apapun itu, pokoknya tiap hari harus membuat satu tulisan. Tapi untuk saya, ternyata mood itu sangat berpengaruh. Semenarik apapun topiknya, kalau mood itu tidak datang, sama saja. Beberapa topik malah saya hindari untuk dijadikan sebuah tulisan, dengan berbagai alasan yang sebenarnya hanya dibuat-buat.
Apakah itu juga berlaku pada berbagai hal lain?
Yah... mungkin juga. Walaupun mungkin alasannya tidak selalu perkara mood.
Beberapa kawan yang mungkin pernah mengunjungi blog ini sejak 2 tahun lalu mungkin ingat beberapa tulisan serial saya mengenai “cerita-cerita dari kereta”. Serial ini sudah mencapai 14 episode, dengan berbagai topik yang semuanya berkaitan dengan kehidupan di seputar kereta ekonomi Jakarta-Bogor. Tapi sekitar satu tahun terakhir ini, serial itu tidak lagi berlanjut, dan sekuat apapun saya memaksakan diri untuk melanjutkan serial itu, ternyata tidak bisa. Alasannya sederhana saja, karena saya memang tidak lagi sering naik kereta ekonomi itu.
Sejak setahun lalu, saya memang lebih sering naik kereta ekspres. Awalnya, sering ada rapat atau acara lain di kantor yang menuntut saya datang pagi plus berpakaian rapi. Tentu saja, kerapihan pakaian dan kondisi kereta ekonomi seringkali tidak berteman baik, sehingga saya memilih kereta ekspres. Apalagi saat itu saya memang diberi ongkos harian yang cukup besar sehingga menjatuhkan pilihan pada kereta ekspres adalah pilihan yang logis.
Selanjutnya, seperti yang pernah dikatakan seseorang pada saya, kemewahan itu seperti candu. Apalagi dengan adanya peningkatan kesejahteraan (penghasilan) plus tambahan beban kerja yang membuat stamina saya memang habis untuk pekerjaan di kantor dan saya seringkali merasa malas untuk menghabiskan sisa energi yang ada untuk berdesakan di kereta ekonomi. Tanpa disadari, kemanjaan itu datang. Pertama-tama tubuh saya jadi manja, dan kemudian semangat itu juga menjadi manja. Memalukan. Tapi memang itulah yang terjadi.
Bukan berarti bahwa saya tidak lagi mengikuti perkembangan kereta ekonomi. Saya tetap mengikuti melalui media massa atau cerita-cerita teman mengenai bagaimana kondisi kereta sekarang atau kebijakan-kebijakan yang diambil Daop I PT Kereta Api (yang mengurus wilayah Jabodetabek) mengenai kereta ekonomi. Tapi toh saya tetap tidak mau menuliskannya, karena saya tidak mengalaminya sendiri.
Selain itu, saya tidak lagi sering naik kereta Jakarta-Bogor karena sejak sekitar 2 bulan yang lalu, saya juga berpindah domisili. Saya tidak lagi tinggal di Bogor, dan memilih untuk “menumpang” di Jakarta. Tempat tumpangan saya adalah sebuah rumah di kawasan Menteng yang telah disulap menjadi sekretariat sebuah proyek hasil kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan salah satu lembaga donor yang kalau ada kesempatan ingin saya hancurkan dan usir dari republik ini. Di sekre ini, saya bisa menumpang dengan gratis, plus fasilitas-fasilitas seperti internet 24 jam (kalau sedang tidak error, yang mana sebenarnya ini lebih sering terjadi), mandi air panas, AC, meja pingpon, Play Station II, dan kadang-kadang dapat makan malam kalau ada bos yang sedang berbaik hati untuk mensedekahi kami kaum penunggu sekre.
Luar biasa nyaman bukan? Bersama para satpam, Office Boy, Supir, dan rekan seprofesi yang sama-sama kekurangan modal untuk cari kos-kosan, saya menghabiskan malam-malam saya di tempat ini. Kekurangannya cuma satu, dan itu sebenarnya cukup vital : tidak ada kasur. Jangan tanya dimana saya tidur. Meski begitu, sekitar sebulan terakhir akhirnya saya bisa tidur di sebuah kasur lipat bekas peninggalan seorang rekan penunggu sekre yang sekarang sudah tidak lagi tinggal di sini.
Lantas mengapa saya pindah dari Bogor?
Alasannya sederhana saja. Untuk mengejar mimpi.
Ketika saya pertama lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di sebuah institusi pemerintahan di Jakarta, saya tetap memaksakan untuk tinggal di Bogor karena permintaan ibu saya tercinta. Maklum, mungkin rindu karena terlalu lama saya tinggal ke Bandung dan sangat jarang pulang ke Bogor, ibu meminta saya untuk tinggal di rumah lagi. Saya penuhi.
Tapi beberapa hal ternyata memang tidak bisa dipaksakan. Sebuah pilihan dilontarkan oleh orang tua saya mengenai jalan hidup saya. Satu hal yang sampai sekarang gagal saya mengerti adalah mengapa keberhasilan dan stabilitas ekonomi dianggap hanya dapat terjadi apabila saya menjadi PNS atau mendapat “kerja tetap”. Ketika itu pilihannya adalah menjadi PNS kalau masih mau tinggal di rumah atau sebaliknya. Dan akhirnya saya memilih sebaliknya. Sejak dulu impian saya bukan menjadi seorang PNS atau mendapat “kerja tetap” di suatu perusahaan. Saya mengerti kalau banyak orang yang begitu berhasrat untuk mengabdi pada negara melalui jalur PNS atau mengejar stabilitas ekonomi dengan bekerja tetap di satu perusahaan (kalau bisa yang besar), dan saya juga tahu bahwa banyak orang yang ingin di jalur yang lain. PNS, Karyawan, Wiraswasta, seniman, artis, dokter, tentara, politisi, penulis, atau apapun jalur itu, saya rasa tidak ada yang benar atau salah. Itu sebuah pilihan. Dan saya ingin memilih.
Pernah ada suatu masa ketika saya membiarkan waktu yang memilihkan suatu jalan hidup untuk saya. Pernah ada suatu masa ketika saya beranggapan bahwa berpasrah pada Allah berarti bahwa pada suatu saat nanti Allah akan memutuskan yang terbaik untuk saya secara mutlak. Tapi akhirnya saya belajar (dalam kegetiran) bahwa sikap seperti itu mungkin tidak sepenuhnya benar. Kali ini, saya tidak lagi mau berpikir seperti itu. Saya tetap harus memilih. Saya tetap harus mengambil resiko. Kalau ternyata ada pihak-pihak yang kecewa atau tersakiti dengan pilihan saya, semestinya saya tetap berusaha. Toh, saya sebenarnya tidak pernah berniat untuk menyakiti orang lain itu. Saya harus membuat takdir saya sendiri, semampu saya. Kalau ternyata Allah memutuskan yang lain, saya tahu setidaknya saya telah berusaha semampu saya dan bisa berkata bahwa setidaknya saya tidak mengecewakan diri saya sendiri.
Terdengar egois? Mungkin saja. Mungkin saja saya telah mengecewakan orang tua saya dengan pilihan ini. Tapi kali ini, harus saya coba. Toh kalaupun memang takdir berkata lain, pada akhirnya Allah akan menunjukkannya, dan kita hanya bisa menerima. Saya hanya ingin bahwa sebelum ketetapan akhir itu tiba, saya bisa berkata pada diri saya sendiri bahwa saya telah berusaha yang terbaik untuk mengejar impian itu. Selama saya yakin bahwa impian itu adalah sesuatu yang baik, saya harus tetap maju.
Meski begitu, karena standar nilai itu merupakan sesuatu yang sangat subyektif, maka membuat justifikasi benar-salah atau baik-buruk untuk impian orang lain adalah sesuatu yang absurd. Kita hanya bisa menjalani pilihan masing-masing, dan mengejar mimpi kita masing-masing. Kalaupun kita tidak sependapat dengan orang lain, yang bisa kita lakukan hanyalah memberi pandangan. Mungkin nasihat kalau memang diminta. Tapi kita tidak berhak untuk menentukan pilihan hidup seseorang itu salah atau benar. Dan dengan itu, maka di sini saya juga tidak akan menuliskan MENGAPA saya tidak mau menjadi PNS, karena bisa ada tendensi bahwa saya memandang pilihan seperti itu tidak sebaik pilihan saya. Tidak saudara sekalian. Saya TIDAK memandang seperti itu. Setiap orang berhak memilih, dan berhak memiliki alasannya masing-masing. Kecuali kalau memang kita sudah kehabisan pilihan, salah langkah, dan satu-satunya jalan yang tersisa adalah menunggu, maka menunggu itu pun adalah sebuah usaha.
Beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan. Bahkan sebuah “kenyataan” atau “realitas” kadang juga menjadi sesuatu yang tidak bisa dipaksakan untuk diterima. Itu menjelaskan kenapa penyakit “kegilaan” kemudian muncul, meskipun kita harus berdebat panjang mengenai apakah “kegilaan” itu sebenarnya adalah suatu penyakit atau justru sebuah pencerahan yang tidak bisa diterima oleh sebagian besar orang yang merasa dirinya “waras”. Sebagian orang tidak bisa dipaksa menerima kebohongan atau sesuatu yang bersifat samar, dan lebih bisa menelan bulat-bulat kenyataan, sepahit atau semanis apapun itu. Sebagian lagi kadang justru tidak mampu menerima kenyataan yang tidak dia mengerti, dan lebih menyambut baik sebuah kebohongan atau kepura-puraan, selama hal itu merupakan sesuatu yang bisa dia terima, atau minimal bisa dia mengerti. Mungkin “realitas” itu juga merupakan sebuah pilihan. Pilihan mengenai “apa yang mau kita percayai terjadi”.
Benarkah demikian? Atau mungkin kita hanya tidak memaksakan diri dengan lebih keras?
Bagaimana menurut Anda?
NB : Sayang... Apa lagi pilihan yang tersisa untukku?
Keterangan : Foto dari (lagi-lagi ga ijin dulu) www.nyc-photo-gallery.com,
No comments:
Post a Comment