Monday, December 19, 2005

Kumis = Siksa Kubur ???

Oke, ini sebenernya postingan lama yang sy simpan di SideBlog... tapi, dengan beberapa modifikasi dan pembaharuan, sepertinya udah cukup buat naik pangkat ke halaman blog utama...

Pernah ke Jalan Kendal di Jakarta?
Jalan Kendal ini, letaknya di depan stasiun Sudirman dan berdekatan dengan Kawasan Menteng. Ada sesuatu yang lucu di jalan ini... Ada sekitar 20 kios kaki lima yang menjajakan makanan di tempat ini, dan percaya atau tidak, 12 diantaranya menjajakan jenis masakan yang sama dengan nama yang serupa. Menu favorit disini ternyata adalah masakan khas betawi, yaitu sate kambing, gulai, tongseng, dkk. Nama warungnya pun lucu-lucu. Ada warung H.Soleh Kumis 499, warung H.Tadjudin Kumis 469, H.Saleh Kumis, H.Anduy Kumis, H. Soleh Kumis 299 (mungkin anaknya Soleh Kumis yang pertama), Acang Kumis, Enday Kumis dan lain2 yang tak kalah berkumis... tampilan warung dibuat sama (miriiip bgt) dengan menu yang persis sama.

Kabarnya, dari tukang ojeg setempat, dulu juga pernah ada warung Hj. Siti Kumis, dengan menu serupa, tapi kemudian tutup karena tidak laku (mungkin karena pengunjungnya kecewa lantaran si pemilik warung, Hj Siti Kumis, ternyata tidak benar-benar berkumis...).

Melihat kejanggalan ini, jadi teringat dengan sinetron-sinetron jaman sekarang... Rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, Insyaf, Taubat, Hidayah, dan kawan-kawan sesama penyaji siksa kubur yang lain...

Pola seperti sate kumis tadi sepertinya berlaku juga untuk dunia persinetronan kita...
Menyusul kesuksesan sesaat Hidayah dan Rahasia Ilahi, kemudian muncullah sinetron-sinetron lain yang secara generik mengambil pola sama. Ada orang yang soleh, dan ada orang yang jahat yang kemudian mati dan dikerubungi belatung (dalam film, sebenernya yang ditampilin itu ulat keket, bukan belatung, mungkin karena dilihat lebih menjijikkan, tapi toh tetap disebut belatung...), mayatnya bedarah-darah, atau apapun yang bisa menggambarkan siksa kubur.
Dari segi alur cerita pun tak kalah generiknya... Hampir di tiap episode (di semua sinetron2 itu), pasti ada adegan dimana si orang jahat menolak Sholat, menghina orang Sholat, lalu ada adegan dimana ada seorang pengemis atau orang miskin yang datang meminta sedekah, lalu ditendang oleh si orang jahat. Yaaa, semacam-semacam itulah, kejahatan yang generik...

Dan semakin kesini, sama seperti rasa sate peniru yang makin lama makin jauh dari rasa sate kumis asli, kualitas per episode pun makin tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sinetron Insyaf di T***s T* misalnya, yang mengusung profil "diilhami oleh kisah-kisah nyata", dalam salah satu episodenya menayangkan judul "Si Manis Jembatan Ancol"... Lho?? kok?? berarti secara kasar si pihak produser telah mengambil asumsi bahwa legenda hantu cantik di jembatan ancol itu memang ada, dan kisahnya juga nyata... ini... eeeuuu... gimana ya??? Dan sinetron-sinetron lain pun tak kalah kurang kreatifnya. Cerita APAPUN mereka masukkan, dengan harapan sudah cukup untuk bisa disebut sebagai "sinetron religius" (orang mana yang ngasih ini istilah??) kalau diakhiri dengan pengerubutan mayat si orang jahat oleh belatung...

MUNGKIN, awalnya kemunculan sinetron2 ini adalah seperti yang sempat diutarakan oleh salah seorang teman saya... "dunia sinetron lagi pada insyaf", katanya... Benarkah? Buat saya, fenomena ini tak lebih dari menunjukkan kalau rating masih dianggap sebagai dewa, dan sifat mengekor kesuksesan tayangan yang sudah ada itu adalah sebuah cara pemujaan terhadap rating.
Apa yang dulunya MUNGKIN ingin digunakan sebagai sarana "dakwah" lewat media, sekarang tidak lebih sebagai sebuah lelucon yang biasa terdengar di gerbong-gerbong kereta (baca salah satu postingan saya : "cerita-cerita dari kereta, episode 4").

Ini tambah memuakkan lagi, ketika pada hampir selama prime time (jam 7-10), hampir semua stasiun TV menayangkan sinetron-sinetron semacam ini, yang membuat kita SETIAP memindahkan channel akan berkata... "buset dah, beginian lagi, kagak ada yang laen apa??? lama-lama muak juga nih..."

iya kan??




IYA KAN ???!!!???




NGAKU!!!


Kecenderungannya sepertinya sama saja di bangsa Indonesia ini. Kalau ada satu yang dianggap sukses, yang lain berlomba mengikuti. kalau bisa persis sama selama tidak ada yang protes. Baru-baru ini di Bandung, sepertinya sedang ada trend wiraswasta jualan burger ya? Tapi kalo diperhatikan, trend ini muncul setelah publikasi besar-besaran mengenai suksesnya seorang entrepreneur, yaitu pemilik "Burger EDAM". Betul?
Padahal syarat utama seorang entrepreneur, konon adalah kreatifitas dan berani mencoba sesuatu yang baru... Seiring dengan banyaknya pelatihan kewirausahaan di Bandung belakangan ini, para pesertanya ternyata masih hanya bisa meniru, dan berharap usahanya bisa sesukses burger edam, dengan cara menjual produk yang sama...
(hellllooooo, CRE-A-TI-VI-TY, where are you????)


Dan ternyata juga, kultur ini dimiliki semua kalangan, mulai dari para tukang sate yang mengira bahwa kesuksesan datang dari kumis, sampai kalangan agak elit, para produser sinetron yang mendewakan rating, dan (saat ini) mengira bahwa kesuksesan datang dari eksploitasi jin, tuyul, peri, bidadari, setan, hantu, gendoruwo, dan tentu saja... siksa kubur...
Jadi... bisa kita simpulkan bahwa dalam konteks ini, kumis dan siksa kubur diperlakukan sama, yaitu (diharapkan) menjadi pembawa rezeki...

No comments: