Wah... lebih dari sebulan blog ini ga keurus ya...
Ada yang penasaran menunggu update-nya?
Demi ego saya yang tengah memuncak ini, tolonglah, setidaknya satu orang saja, tolong katakan “YA” (haiyah! dibuka dengan narsisme yang kambuh).
Oke, yang tadi sama sekali tidak penting.
Yah, beberapa bulan terakhir ini saya kebetulan memang disibukkan oleh berbagai perjalanan dinas. Yang terakhir (yang membuat blog ini lama tidak terurus), adalah ke Bandung, Palembang, Samarinda (2 kali), dan Kendari. Yaaah, tapi, ini sekedar alasan saja sih. Alasan “malas” sebenarnya cukup dominan juga =D
Alasan lain (yang akan menjadi topik tulisan kali ini), adalah tergusurnya saya dari ruangan kantor yang telah saya tempati selama lebih dari 2 tahun terakhir ini. Sekretariat ILGR. Karena alasan yang kalau saya kemukakan disini juga sepertinya akan sulit dimengerti, ruangan itu memang dibongkar dan karenanya para penghuninya (termasuk saya) harus pindah ke tempat lain. Akhirnya saya tahu juga rasanya jadi korban penggusuran.
Nah, dalam pemindahan itulah, sampai sekarang saya belum menemukan tempat yang tetap untuk meletakkan komputer kerja saya. Jangankan tempat menaruh komputer, meja pun masih belum jelas dimana.
Selama beberapa hari (atau minggu) setelah penggusuran itu, saya tahu bahwa kondisi emosional saya akan sedikit terganggu. Lha? Mengapa?
Teman-teman yang telah mengenal saya dengan cukup baik sebelumnya mungkin akan mengetahui salah satu keanehan dalam diri saya ini. Saya orang yang cukup sentimentil dengan dimensi ruang. Dengan kata lain, sentimentil dengan “tempat”.
Maksudnya bagaimana?
Maksud saya, seandainya saya ke Bandung dan mengunjungi kampus lalu melewati Gerbang Ganesha misalnya, maka tanpa dapat dicegah, ingatan saya akan mengenang kapan pertama kali saya memasuki gerbang ini, kapan terakhir kali saya keluar dari gerbang ini dengan status “mahasiswa”, peristiwa-peristiwa apa saja yang pernah saya lalui disini, dan sebagainya. Selain gerbang ganesha, tempat lain yang akan menimbulkan kesan sentimentil itu mungkin adalah ruang himpunan mahasiswa, gedung campus center (yang dulu masih bernama student center dan menjadi tempat kos kedua saya di Bandung), lapangan basket, dan sebagainya. Jangankan ruangan-ruangan itu, bahkan pohon besar yang berdiri tegak di depan gerbang timur Mesjid Salman saja masih membuat saya tersenyum setiap kali melewatinya (jangan tanya memori apa yang pernah terjadi di bawah pohon itu ya! =P ).
Aneh kan? Tapi memang begitulah adanya.
Apakah Anda juga begitu? Maksud saya, apakah ketika Anda memasuki sebuah tempat baru, Anda berjalan dengan lambat dan memasukkan semua aspek dalam dimensi ruang itu kedalam memori anda? Dan ketika meninggalkan tempat itu, apakah Anda juga meninggalkan sebagian emosi Anda didalamnya?
Begitulah yang terjadi dengan ruang ILGR yang tadi kita singgung di awal tulisan ini.
Bagi sebagian orang, pindah ruangan kerja mungkin menjadi sesuatu yang jamak. Bagi saya juga. Tapi emosi dan memori yang menyertainya bukan sesuatu yang mudah untuk dijinakkan.
Masih teringat dengan jelas, ketika saya memasuki ruangan itu untuk pertama kali, saya langsung memilih tempat didepan pintu kaca yang bisa dibuka, agar saya bisa mendapat udara segar kapanpun saya butuhkan. Yang duduk di sebelah kiri saya adalah Amel, meja di depan saya ditempati oleh Deyla dan Eji. Meja di sebelah kanan saya ditempati oleh Mas Mahendra, di sebelah kanannya lagi ditempati Mas Perdana, dan di pojok paling kanan di tempati oleh Pak Aris. Mas Hasan biasa memakai komputer yang berada di tengah ruangan, walau hanya sesekali.
Satu bulan setelah saya masuk, Pak Aris keluar karena berselisih dengan atasan. Ia digantikan oleh Mas Tauhid, meskipun sangat jarang beliau masuk kantor dan lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya di tempat lain. Mas Perdana dan Mahendra kemudian juga ditempatkan di sekretariat lain, dan hanya sesekali datang ke ruangan. Kemudian, masuklah Petty, menempati komputer yang sebelumnya biasa digunakan Mas Hasan. Mas Hasan mengungsi ke tempat yang ditinggalkan Pak Aris.
Tak lama kemudian, Eji dan Amel juga pergi karena masa Kerja Praktek mereka sudah berakhir. Petty kemudian menempati meja yang ditinggalkan Amel, di sebelah kiri saya. Maka praktis yang tinggal di ruangan tinggal berempat (Saya, Petty, Deyla, dan Mas Hasan). Setengah tahun kemudian, Deyla pergi karena mendapat kerja di tempat lain. Ia digantikan oleh Nissa, yang tiga bulan setelah itu keluar karena menjadi PNS di tempat lain. Nissa digantikan oleh Griya, yang juga hanya bertahan tiga bulan, kemudian pergi karena menerima tawaran kerja dari tempat lain. Petty kemudian juga berpindah ruangan, walaupun masih di gedung yang sama. Griya digantikan oleh Ika, dan tak lama setelah itu, masuk orang baru bernama Mas Kholid yang menempati tempat yang dulu ditinggalkan oleh Mas Perdana. Tak lama kemudian, masuklah Ervin yang menggantikan Petty. Meski begitu, Ervin hanya bertahan kira-kira 3 bulan di ruangan itu, kemudian dipindahkan ke tempat lain, meski masih sering bulak-balik ke ruangan kalau ada keperluan.
Setelah itu, masuklah Mbak A’yun, ketika itu dalam status magang, dan menempati tempat di sebelah kanan saya yang dulu ditempati Mas Mahendra. Penghuni ruangan mulai mapan lagi (Ika, Kholid, A’yun, Mas Hasan, dan saya). Kemudian, masuklah Imas, menempati meja di tengah. Setelah itu, masuklah Nissa (Nissa yang lain lagi dengan Nissa yang pertama), menempati meja yang dulu ditempati Eji. Nissa hanya bertahan 2 bulan, kemudian keluar karena menerima tawaran di tempat lain, dan digantikan oleh Dwi.
Maka, itulah dia formasi terakhir ruangan ILGR! (Ika, Dwi, Imas, A’yun, Kholid, Mas Hasan, saya sendiri, dan ditambah Pak Ucen yang masuk kantor 2-3 kali seminggu). Saya yakin, 4 paragraf terakhir terasa membosankan bagi Anda semua, karena Anda TIDAK TAHU SAMA SEKALI SIAPA ATAU APA YANG SAYA OMONGKAN =)). Maaf ya =P.
Tapi, kalau Anda mungkin sedikit memperhatikan 4 paragraf itu, akan Anda temukan bahwa saya dan Mas Hasan adalah 2 orang yang sejak saya pertama kali masuk ruangan itu (2 tahun yang lalu) MASIH TETAP =D. Yang lain sudah datang dan pergi semua. Fiuuh... kenyataan yang aneh kalau mengingat bahwa sejak awal sebenarnya saya tidak berniat untuk berlama-lama di instansi ini.
Dan, karena keanehan yang tidak terjelaskan seperti yang saya utarakan di awal tadi, beberapa hari setelah penggusuran, saya masih membawa-bawa kunci ruangan ILGR di saku celana saya, karena reflek setiap pagi untuk menyambar HP, dompet, dan kunci ruangan ketika akan meninggalkan rumah ke tempat kerja masih belum berubah. Demikian juga, bahkan sampai sekarang ini, setiap kali melihat puing-puing ruangan ILGR yang sudah rata dengan tanah, saya seolah masih melihat dengan jelas apa-apa yang dulu pernah ada disana. Semua komputer, meja kursi, semua permainan kartu, canda tawa, diskusi, tangis (lha? Tangis?), kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, perenungan, dan semua emosi yang pernah terlepas disana.
Bukan hanya pada ruangan ILGR saja. Semua tempat lain yang pernah saya kunjungi pun akan mendapat perlakuan sama. Seolah, semua memori dan emosi yang pernah tertumpah di satu tempat selalu menyapa saya ketika kembali ke tempat itu. Dan ketika itu terjadi, maka langkah saya akan melambat, mata saya akan terpejam untuk beberapa saat, dan menunggu angin membisikkan beberapa patah kata di telinga saya : “selamat datang kembali”.
No comments:
Post a Comment