Wednesday, September 26, 2007

Pecahkan Layar Kaca Anda !!!


Yah, sekali lagi mungkin postingan tentang dunia persinetronan kita ya…

Setelah sebelumnya saya mengupas (tidak tuntas) tentang kecenderungan tiru meniru tema yang (terlihat) sukses dalam belantika sinetron Indonesia, sekarang saya ingin sedikit membahas tentang... mutu.

Ya!

Mutu! Kualitas!

Dan sedikit tentang anggaran (anggaran bikin film) juga mungkin.

Darimana mulainya ya?

O iya, sebelumnya tanya dulu, apakah Anda suka menonton sinetron-sinetron yang bermunculan di layar kaca Anda sekarang-sekarang ini? Sinetron apa kalau boleh tau?

Apakah bertema… cinta? (lebih tepatnya mungkin “keinginan bercinta yang utopis”)

Apakah para pemerannya nampak berumur dibawah 40 tahun? (bisa jadi seorang aktris yang berperan sebagai seorang ibu sebenarnya lebih muda dari aktris yang berperan sebagai anaknya… atau minimal hampir seumuran lah)

Apakah semua pemerannya (apabila diukur dengan standar pasca globalisasi) cantik-cantik dan ganteng-ganteng? “Indo” mungkin?

Apakah tidak ada cerita lain diluar cerita cintanya? Misalnya, apakah tidak ada cerita bagaimana mereka bekerja untuk mendapatkan uang guna membiayai gaya hidupnya? Kalau ada lakon yang ceritanya kaya, apakah tidak ada yang menceritakan apa tepatnya yang mereka kerjakan sehingga bisa dilimpahi kekayaan seperti itu?

Dan yang paling penting… Apakah ceritanya bertele-tele tapi akhirnya bisa ditebak dan mirip-mirip dengan puluhan sinetron yang pernah Anda tonton sebelumnya (walaupun ditambah sedikit variasi di sana-sini)?

Kalau semua pertanyaan itu anda jawab “YA”, maka sepertinya kita bisa bersepakat bahwa dunia sinetron memang hampir pasti mentok pada patron itu. Kalaupun ada satu atau dua sinetron yang tidak mengikuti patron itu, atau bahkan mungkin bertentangan sama sekali, ya sepertinya sifatnya hanya sempalan. Minoritas.

Tentu saja, ini bisa tidak berlaku kalau kita membicarakan sinetron-sinetron dengan genre komedi situasi (semacam Bajaj Bajuri, OB, dan lain sebagainya).

Dalam perkembangannya, kemudian muncul juga sinetron-sinetron yang mengaku Sinetron (sok) Religi(us). Meskipun pada awalnya bisa dibilang sebagai sebuah terobosan ”dakwah”, akan tetapi ujung-ujungnya miris juga kalau ”dakwah” itu kemudian dicitrakan dengan mayat berbelatung, dimakan ular, berdarah-darah, atau ditolak oleh bumi (tidak bisa dikubur). Setelah kurang lebih 2 tahun berjaya, sinetron semacam ini sepertinya mulai membuat mual...

Perkembangan terakhir bisa dibilang lebih membuat mual lagi.

Semenjak adanya kebijakan penyiaran yang mewajibkan stasiun-stasiun televisi untuk memperbanyak proporsi siaran produksi dalam negeri (lokal), sepertinya acara-acara dan sinetron “gak penting” mulai merajalela. Kita sepertinya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan stasiun-stasiun televisi mengenai kecenderungan ini. Mengapa? Karena sepertinya wajar kalau dari segi hitung-hitungan bisnis mereka memprioritaskan membuat sendiri tayangan-tayangan itu dengan anggaran seminim mungkin. Yang penting ada yang nonton, dan ada slot untuk pasang iklan.

Ditambah lagi, mungkin terkait juga dengan tingginya tingkat pengangguran di kalangan muda-mudi kita, tayangan ini membuat banyak sekali lapangan kerja di sektor profesi “selebritas”. Maksudnya, kalau anda muda, menarik (cantik/ganteng, lebih bagus lagi kalau indo), dan percaya diri, daripada mengantri untuk melamar kerja, lebih baik meniti karir sebagai pendatang baru dalam belantika artis Indonesia. Karena tayangan sinetron murah meriah membutuhkan pendatang-pendatang baru yang masih mau dibayar murah meriah juga. Lumayan toh untuk pengentasan pengangguran? Jangan khawatir mengenai kualitas akting. Cukup seadanya. Yang penting, diluar film yang Anda bintangi, Anda cukup laku untuk dijadikan bahan gosip di acara-acara ”infotainment”. Dijadikan bahan gosip dalam acara-acara infotainment adalah pengukuhan Anda sebagai seorang selebritas. Selain itu, semakin populer Anda, semakin besar nilai jual Anda untuk meminta honor lebih kalau ditawari main sinetron atau iklan lagi. Kualitas akting? Siapa peduli? Toh dengan saking banyaknya artis-artis baru dewasa ini, cukup kecil kemungkinan nama Anda akan diingat oleh masyarakat. Jangankan nama, tampang saja sebenarnya mirip-mirip.

Maka lengkaplah sudah semua persyaratan untuk memunculkan sinetron-sinetron atau film singkat dengan cerita alakadarnya.

Mengenai tema, toh seorang produser bisa mengambil novel-novel remaja yang baru terbit. Kalau tidak, ambil saja tema dari sinetron luar negeri. Mau yang lebih mudah, ikuti saja patron yang ada. Yang penting filmnya jadi. Kalau tidak, ambil saja cerita-cerita rakyat lokal maupun luar negeri.

Mengenai anggaran, agak luar biasa melihat kreatifitas para pembuat film untuk melakukan penghematan. Untuk cerita-cerita rakyat zaman dahulu misalnya, jangan khawatir mengenai anggaran membuat setting zaman belanda atau zaman kerajaan Majapahit dulu. Bahkan Sangkuriang dan legenda tangkuban perahunya saja sah untuk digambarkan memakai celana jeans, mobil keluaran terbaru, dan telepon selular. Siapa yang mau protes?

Padahal agak aneh juga melihat orang-orang dengan telepon selular masih minta dibuatkan candi sebagai syarat menikah, atau dibuatkan danau beserta perahunya dalam satu malam, lalu masih tertipu dengan suara kokok ayam yang menandakan datangnya fajar. Satu-satunya yang terlihat wajar justru adalah bangsa jin dan segalam macam makhluk halus yang membantu pembuatan candi atau danau itu. Mereka masih tampil konvensional dengan bertelanjang dada dan bercelana kain tanpa sepatu, lengkap dengan tampang seramnya. Diluar itu, hampir tidak ada yang wajar.

Untuk mereka yang berprasangka baik, tentu ini akan disebut sebagai sebuah kreatifitas dan usaha yang baik untuk “membumikan” kisah-kisah lama dalam konteks kekinian. Akan tetapi, untuk orang seperti saya yang terlahir dengan bakat sinisme yang agak parah (sengaja saya pakai kata “sinisme” karena “prasangka buruk” itu katanya tidak boleh), sepertinya ini sekedar upaya agar dapat memproduksi tayangan dengan cepat dan murah.

Mengenai efek visual, jangan berharap menyaksikan efek visual semacam film Transformers yang beberapa waktu lalu merambah bioskop-bioskop kita. Cukup dengan animasi komputer sederhana yang masih tampak kasar dan tidak menyatu dengan latar belakangnya, efek visual di layar kaca kita ternyata sudah dinilai baik.

Saya ingat beberapa hari lalu terpaksa menemani ibu saya menonton sinetron singkat “Legenda Pelabuhan Ratu”. Cukup menarik menyaksikan bagaimana film itu menggambarkan kepanikan ketika air laut menjelma menjadi tsunami yang menenggelamkan sebuah desa di lokasi yang sekarang disebut Pelabuhan Ratu. Cukup dengan menyuruh beberapa orang berlari-lari tidak karuan sambil teriak-teriak (walaupun masih tampak beberapa orang tersenyum karena tidak tahu harus lari kemana) dan efek ”menggoyang-goyang kamera ke kiri-kanan-atas-bawah”, nuansa kepanikan itu dianggap paripurna. Adapun tsunami digambarkan dengan gambar ombak yang di-crop lalu ditaruh diatas orang-orang yang berlari-lari itu. Luar biasa aneh.

Kemudian dimunculkan gambar rumah-rumahan yang terbuat dari karton lalu disiram air dengan teknik yang terlihat seperti sekedar menyeborkan air dengan menggunakan gayung. Persis mirip dengan film Ultraman di awal tahun 80-an (tahu Ultraman kan?). Benar-benar low-budget bukan?


Lantas bagaimana dengan dunia layar lebar?

Lagi trend horor-horor lucu ya?

Sekitar setengah tahun yang lalu saya pernah bertanya-tanya, bagaimana kalau semua setan dan makhluk halus sudah habis “digarap” oleh dunia perfilman kita. Dan sekarang saya tahu jawabannya… MEREKA MEMBUAT SEKUEL!!!

Pocong 2, kuntilanak 2, jelangkung 3, dan lain sebagainya. Kalau bukan sekuel, ya makhluk yang sama dieksploitasi di film lain. Sejauh ini, sepertinya Kuntilanak dan suster ngesot yang paling laris.

Yaaah… saya rasa inilah periode dimana tayangan-tayangan gak penting merajalela di layar kaca kita. Dan bintang-bintang muda dengan penampakan serupa membuat pusing masyarakat yang masih mencoba-coba mengingat nama-nama mereka.

Mari kita nikmati bersama saja ya…



Keterangan :

Gambar diambil dari www.tpi.tv, www.10kbullets.com, dan www.sinema-indonesia.com

Sekali lagi tanpa izin... maaf ya...

No comments: