Tuesday, May 30, 2006

Kereta Meleduk!! (Cerita-cerita dari kereta, episode 9)


Manggarai, larut sore di pertengahan bulan Februari 2006 (atau Maret ya?? Januari?? Ya pokoknya bulan-bulan itu deh).

Kegelapan mulai menyelimuti Jakarta. Temaram Manggarai menjadi satu keseharian yang menjemukan bagi kami, kasta pekerja upahan. Kepenatan menjadi bekal sehari-hari yang menghiasi perjuangan hidup atas dasar cinta. Bukan cinta yang murah. Tapi cinta yang mulia.

Terkadang angin memilinkan jemarinya, menggelitik tubuh-tubuh yang basah oleh keringat, membuatnya ternsenyum.

---- stop press ----

Sebelum diteruskan, mari kita bertanya...

Aduh wan, bahasamu... bahasamu... sudahkah virus-virus merah jambu mengeluarkan mantranya di jari-jarimu? Dan mengapa pertanyaan ini juga menggunakan kosa kata yang hanya layak bagi para pujangga?

(Dalam bahasa sunda, ada satu kata yang dapat menjelaskan fenomena kata-kata semacam ini, yaitu : GEULEUH. Kalau ditambah dengan dua kata lagi, maka mereka adalah : HAYANG UTAH. Tentu diakhiri dengan sebuah tanda seru)

Tapi tak apa. Dalam cerita kereta kali ini, mari kita ber-romatis-puitik-ria, tanpa meninggalkan ciri khasnya untuk mengundang perenungan dan tawa, dua hal yang menjadikan kita... manusia. (Tah! Tingali pin! Kirang romantis kumaha deui sok?!?)

Eniwey... mari kita teruskan... dengan bahasa yang sekenanya aja...

Sampai dimana tadi??

O iya, temaram bla bla bla, angin kitik-kitik bla bla bla tadi ya??

----- end of “stop press” ----

Beberapa kereta ekspres ke Bogor dan Depok melintas. Kereta ekonomi terlambat (lagi). Sedikit keluhan terdengar di sana-sini. Walau akhirnya semua luluh atas nama kewajaran. Wajar memang kalau kereta ekonomi terlambat. Dalam dunia perkereta-apian, KRL ekonomi memang menduduki kasta terendah dalam giliran melintasi rel. Harus selalu mendahulukan kereta ekspres AC maupun kereta-kereta jarak jauh.

Meski begitu, alasan keterlambatan KRL ekonomi tidak hanya didominasi oleh sistem pergiliran lintas rel tadi. Alasan lain yang cukup signifikan dalam mengacak-acak jadwal kereta adalah kerusakan mesin. Sederhananya, mogok.

Selang habis sebatang dji sam soe bapak-bapak di sebelah saya, tanda-tanda kemunculan kereta ekonomi baru terlihat. Sebuah kereta gelap gulita terlihat merayap lambat dari arah utara. Lampu depannya tampak buram, tertatih berusaha melawan kegelapan malam yang masih remaja.

Beberapa calon penumpang di sekitar saya ragu untuk naik...

“Wah, odong-odong nih... mati semua lampunya... ntar tengah jalan mogok nih kayanya”

“udeeeh, kagak ada lagi, masih lama masuk kereta lagi. Udah naek ini ajalah. Bismillah.”

Karena kereta terlambat, calon penumpang sudah menumpuk cukup banyak di Manggarai. Saya sempat mengalami kecurigaan yang sama dengan dua calon penumpang di sebelah saya tadi. ”Odong-odong” adalah sebutan akrab untuk kereta yang nampaknya sudah butut seperti kaleng kerupuk, dan dikhawatirkan sering mogok. Asalnya, istilah ini sebenarnya merujuk pada gerobak zaman lawas yang ditarik seekor sapi.

Kecurigaan itu timbul karena tidak ada satupun gerbong yang nampak terang. Semuanya gelap, atau dengan kata lain, tidak ada satupun lampu didalam kereta yang menyala. Ini kondisi yang paling didam-idamkan oleh copet. Dan lebih jauh dari itu, menunjukkan kalau kereta itu memang sudah bobrok. Meski begitu akhirnya saya tetap memaksakan masuk. Maklum, sudah lewat isya.

Kereta melaju lambat...

Terlalu lambat...

Dan panasnya...

Lain dari biasanya.

Kali ini, jumlah penumpang terlalu padat, bahkan bagi kami yang sudah terbiasa. Kalau pada hari lain kami bisa berlindung pada angin yang masuk melalui sela-sela jendela, kali ini lambatnya laju kereta membuat angin tak bersuara. Keringat tak tertahankan untuk mengucur, sementara tubuh ditekan (dan menekan) dari (dan ke) segala sisi.

Tak tahan dengan kondisi, sebagian penumpang memilih untuk menyerah dan berguguran di Pasar Minggu. Kondisi yang kami syukuri, tentu saja, walau tak cukup signifikan untuk mengurangi kepadatan.

Kereta kembali melaju lambat... terlalu lambat... dan mulai menimbulkan berbagai spekulasi diantara penumpang. Tanjung Barat...

”mogok nih kayanya...”
”Bisa jadi, udah ngok-ngokan gini jalannya...”

”paling ampe Depok nih umurnya kereta”

”ah, semoga aja bisa nyampe bogor”

Seiring jalannya kereta yang makin melambat, disertai bunyi-bunyi yang menunjukkan bahwa lokomotif tengah bekerja terlalu berat, perbincangan dalam kereta semakin sepi. Semua menunggu, semua berharap, semua termenung sendiri (atau tidur karena bosan). Pada saat-saat begini, berharap kereta tidak mogok adalah sesuatu yang naif. Do’a yang sebaiknya dipanjatkan mungkin adalah ”semoga kalo mogok setidaknya di stasiun, bukan di middle of nowhere begini...”

Dan suasana semakin mencekam. Gelap gulita dan sunyi senyap dari candaan-candaan khas kereta. Hanya bunyi roda-roda kereta yang seolah dipaksa berputar terlalu keras, dan bunyi karet-karet diantara gerbong yang mulai terdengar seperti engsel pintu rusak. Keringat mulai mengucur lagi, karena gugup memikirkan apa yang akan terjadi.

(plis deh, paling juga mogok, takut amat sih??)

Dan celetukan-celetukan yang ada mulai berubah menjadi...

”SEMOGA umurnya ni kereta bisa nyampe Depok ...”

Lenteng Agung... Universitas Pancasila... terasa begitu lama terlewati...

Universitas Indonesia... akhirnya tiba juga. Tapi tetap terlalu lama dibanding biasanya. Tentu banyak kereta lain di belakang yang juga terpaksa melambat karena kereta yang saya naiki ini.

Sepintas saya mencium bau karet terbakar dan saya merasakan udara menjadi lebih pekat... asap. Ada yang merokok di tengah kepadatan seperti ini? Gila!

Tapi ini bukan bau asap rokok. Ini bau seperti karet terbakar. Cuma saya saja, atau semua juga mencium bau ini?

Pondok Cina... bau itu semakin tercium. Bunyi kereta semakin keras, dan laju kereta semakin melambat. Setelah ini Depok Baru, dan kami yakin kereta akan diistirahatkan disana (kalau sampai). Kereta berhenti terlalu lama di Pondok Cina, seolah tidak yakin untuk melanjutkan perjalanan satu stasiun lagi. Tapi akhirnya berangkat juga. Sempat mati sebentar selepas Pondok Cina, yang membuat orang-orang panik, tapi kemudian berjalan lagi.

Hening... semua berharap... ketika tiba-tiba, kesunyian itu dipecahkan oleh...

”HEH!! Kentut lu ya??”

”Set dah! Kagak! Sumpe deh gw kagak kentut. Lu kali!”

”Ni bau apaan ya?? Ngerokok lu??”

”Kalo ngerokok ya pasti keliatan apinya dong!”

”Iya ya... Ni bau banget nih...”

Dan udara semakin pekat. Asap. Tidak terlihat karena gelap, tapi terasa sesak di hidung. Asap yang kental, tanpa diketahui sumbernya dari mana. Kereta semakin lambat (lagi, dan hampir-hampir berhenti). Saya bertanya-tanya dalam hati, ”hanya perasaan saya saja, atau memang malam semakin gelap ya?”

Para penumpang, entah atas dorongan apa, semua melihat ke jendela dan pintu sebelah barat gerbong. Rumah-rumah penduduk terlihat sangat dekat. Aneh, orang-orang berdiri di depan rumah mereka, menonton kereta kami. Kami ditonton. Mengapa??

Akhirnya semua terjawab ketika seorang ibu-ibu di depan rumahnya yang berada di pinggir rel, hanya memakai sarung untuk menutupi bagian tubuhnya mulai dari dada sampai lutut, tiba-tiba berteriak pada kami.

”KEBAKARAAAAAN!!! KEBAKARAAAAN!!!! KERETANYA KEBAKAR!!! KELUAR SEMUA WOY!!”

Hening, satu detik...

Senyap, satu detik lagi berlalu...

..... dan satu detik lagi berlalu....

sebelum kemudian...

“WAAAAAAAA!!!!! WAAAA!!!! Keluar!! Ayo keluar!! Loncat semua!! Tolooong!!! Tolllooooonnnggg!!!! Turun cepetan pak!!!”

Teriakan penuh kepanikan menggema, sahut menyahut dari para wanita di gerbong. Histeria!! Terlalu berlebihan menurut saya. Para pria tetap cool dan tidak terlalu menunjukkan gejala panik. Tapi tetap saja panik..

Beberapa orang berusaha menenangkan yang lain...

“tenang bu, jangan loncat sekarang, tunggu keretanya berenti dulu, ntar jatoh...”

“tenang-tenang, ga kenapa-kenapa kok...”

“NGAAAAK PAAKK!! SAYA GA MAU MATIIII !!!!” Oke, buat saya, si ibu ini jelas-jelas terlalu berlebihan. Panik histeris seperti ini tidak menyelesaikan masalah. Tapi cukup lucu untuk disimak.

Sebenarnya kepanikan seperti itu cukup wajar, mengingat mulai banyak orang-orang yang berdiri di depan rumah-rumah mereka yang memang terletak di pinggir rel, berteriak-teriak soal kebakaran itu, yang entah di bagian sebelah mana kereta. Selain itu, kami semua mulai sadar kalau asap hitam ternyata sudah sejak tadi mengungkung kereta. Ternyata apa yang saya kira sebagai ”malam bertambah gelap” itu tak lain karena asap hitam tadi sudah memenuhi pandangan saya sejak tadi. Kontan saja penumpang bertambah panik, apalagi nafas semakin sesak. Ditambah lagi, waktu itu belum terlalu lama berlalu dari bayang-bayang insiden rubuhnya atap kereta yang menghebohkan itu.

Kereta akhirnya berhenti. Beberapa ibu-ibu melompat paksa keluar kereta, dan terjatuh. Melihat itu, proses turun kereta berusaha diatur oleh beberapa penumpang. Aturannya, beberapa pria turun duluan, lalu membantu yang wanita untuk turun. Sekelompok penumpang lain, tanpa mempedulikan asap yang semakin pekat, bercanda ria dan menyatakan untuk menunggu perbaikan kereta, tidak akan turun dari kereta itu. Akan tetapi, ketika salah seorang diantara mereka melihat ke gerbong sebelah, semua panik. Pasalnya, gerbong sebelah sudah kosong melompong. Seberkas cahaya entah dari mana menembus kepekatan asap di gerbong kosong itu, menghiasi suasana yang semakin mencekam. Hanya gerbong kami yang masih berisi penumpang!!!

Saya termasuk penumpang yang melompat turun terakhir.

Ternyata asap berasal dari lokomotif bagian depan. Asap mengebul dan beberapa percikan api masih terlihat. Masinis dan para pegawai kereta api yang lain sambil tertawa-tawa mencoba memperbaiki kereta, diiringi tatapan penasaran dari para penumpang yang sudah turun, sesekali diselingi umpatan kekesalan. Mereka tetap tersenyum-senyum saja. Dan sebagian besar penumpang memang lebih memilih untuk tersenyum.

Pada kondisi seperti ini, senyum memang tidak berfungsi sebagai penghibur. Ia lebih berfungsi sebagai alternatif. Alternatif ini biasanya akan diikuti dengan ungkapan kepasrahan semacam...”yaaah, namanya juga ekonomi... ya begini...”

Stasiun Pondok Cina sudah terlalu jauh. Depok Baru lebih menjanjikan.

Maka berjalanlah kami, para penumpang yang sudah kelelahan, tapi kehabisan pilihan, menyusuri rel sampai ke Depok Baru.

Beberapa menyebar ke perumahan penduduk, beberapa memilih berjalan menyusuri rel.

Mungkin rombongan kami berkisar beberapa ratus jiwa. Berjalan bersama.

Dalam keremangan malam, saya teringat film Tour of Duty yang dulu suka saya tonton di tivi. Di soundtrack awal dan akhirnya, disajikan video klip yang menggambarkan para tentara amerika berjalan berbaris, bersikap waspada, dengan latar belakang matahari yang tenggelam.

Kira-kira, penampakan kami seperti video klip Tour of Duty itu, dalam jumlah besar tentunya.

30 menit berlalu, gedung stasiun Depok Baru terlihat.

Kembali menunggu, dan kereta ekonomi berikutnya tiba. Kembali memaksakan diri untuk berdesakan didalam gerbong, karena penumpang sekarang adalah pasukan dari dua kereta, kami menuju pulang. Diselingi obrolan seru dari penumpang kereta yang mogok, dan pertanyaan-pertanyaan dari penumpang kereta yang kami kudeta ini, suasana mencair. Muka-muka tegang berubah mengendur. Setidaknya, malam ini, kami punya cerita.



NB : Gambar diambil dari http://www.tempointeraktif.com/hg/photostock/2005/04/05/s_K1a09407.jpg tapi mohon maaf, tanpa izin.

Monday, May 22, 2006

"Kebenaran" dalam Oprah?? Sebuah Strategi Konspirasi?? Or simply, business as ussual??

Sejak beberapa bulan yang lalu, e-mail saya (yang kebetulan mengikuti mailing list lebih dari satu) banyak sekali menerima forward-an email mengenai telah disampaikannya "kebenaran" dalam acara talkshow Oprah di Amerika sana (Di Indonesia disiarkan di Metro TV). Mungkin sebagian dari kita telah terlanjur berbesar-besar hati mendengar kabar disampaikannya "kebenaran" dalam acara Oprah di amerika itu, tentang bagaimana berubahnya pandangan seseorang terhadap keluarga muslim setelah dia hidup didalamnya...
objektifitas dan keberanian yang cukup menjadi oase ditengah pandangan rasis masyarakat sana terhadap Islam.

E-mail itu sendiri, pada mulanya ternyata adalah tulisan dari seorang kawan saya yang diposting di multiply-nya, kemudian diforward oleh banyak orang. Bahkan ada sebuah organisasi yang lantas menyebarkannya tanpa menyebutkan asal tulisan itu, dan seolah "meng-klaim" bahwa tulisan itu adalah hasil karya dari mereka. wallahualam...


tetapi...

yah, mungkin cuma perasaan saya aja...

di episode Oprah hari sabtu lalu (ato minggu ya? lupa saya. tapi emang saya kebetulan nonton), saya jadi lumayan kecewa dengan acara itu.

episode itu sebenernya ga mengenai Islam (lagi), tapi mengenai orang-orang yang terlibat dengan beberapa kejadian penting. yang pertama dihadirkan adalah petugas check-in bandara yang bertugas saat terjadinya peristiwa 9/11, yang kedua adalah orang yang pertama kali datang ke TKP dan memberi pertolongan pertama pada Putri Diana dari Inggris saat Putri Diana kemudian meninggal karena kecelakaan di tahun 97, dan tamu ketiga adalah sepasang suami istri, entrepreneur yang menciptakan Banana Republik. Sesi 2 dan 3 ga saya bahas. saya mau bahas yang sesi 1 saja, yang menghadirkan si petugas check-in bandara saat 9/11.

tamu itu, seorang pria yang sepertinya sudah mendekati umur 60, atau minimal pertengahan 50an, mengalami depresi berkepanjangan yang cukup traumatik, karena dialah yang melakukan proses check-in terhadap 2 orang penumpang yang kemudian ternyata menjadi pembajak pesawat yang mereka tumpangi. pesawat itu adalah salah satu pesawat yang kemudian menghancurkan WTC. Meskipun dia mengaku sudah menjalankan semua prosedur dengan benar, dia tetap merasa menyesal dan mengaku tidak bisa lagi tidur dengan nyenyak, Apalagi setelah mengetahui bahwa seorang rekan kerjanya yang melakukan validasi akhir boarding pass pada 2 penumpang itu kemudian melakukan bunuh diri karena depresi.

Meskipun Oprah kemudian menenangkan dia dengan mengatakan bahwa dia sudah melakukan prosedur yang benar (sehingga kejadian itu bukan kesalahan dia), tapi pria itu tetap menyesal. Mengapa?

Dia menerangkan panjang lebar. dia menyesal karena tidak melakukan pemeriksaan secara lebih teliti pada 2 penumpang itu, sementara saat kejadian, dia sudah mempunyai "feeling" (firasat) yang kuat bahwa "those looks" (tampang-tampang seperti itu) adalah "the looks of terorists" (tampang-tampang teroris). dia menegaskan lagi, kira-kira "if those looks aren't the looks of terrorist, then I don't know which are" (kalau tampang-tampang kaya begitu bukan tampang teroris, maka saya ga tau tampang seperti apalagi (yang merupakan tampang teroris) ). "When I look into his eyes, I see evil, the darkest eyes that still haunts me, even untill now" (waktu saya ngeliat matanya, saya ngeliat kejahatan (setan), mata tergelap yang masih menghantui saya, bahkan sampai sekarang). Mata itulah yang dia akui menjadi penyebab ketidaknyenyakan tidurnya sampai sekarang, dan trauma paranoik setiap melihat orang bertampang seperti itu.

Maksud dia, yang dijelaskan berulang-ulang kemudian, adalah, dia punya firasat kalau orang2 dengan tampang seperti itu kemungkinan besar teroris, sehingga lain kali kalau bertemu dengan orang2 bertampang seperti itu, dia akan menganggap atau memperlakukannya seperti calon teroris. ini supaya kejadian serupa tidak terulang lagi.

Oprah tidak banyak menyangkal, tapi juga tidak mengamini/menyetujui ucapan2nya. diluar biasanya, Oprah tidak banyak beropini pada sesi ini. Sepertinya, oprah tidak mau menyinggung tamunya yang sedang bercerita dengan penuh perasaan. Bisa dipahami kalau perasaan maupun stigma terhadap "orang2 bertampang demikian" bisa timbul dalam benak si tamu karena penyesalan terhadap kejadian 9/11 itu. bagaimanapun, dia telah memvalidasi tiket dari orang2 yang kemudian ternyata membajak pesawat dan menghancurkan WTC. Meski begitu, tentu Oprah juga mengetahui kalau sikap seperti itu adalah sangat rasis. Ya, sikap rasis murni, menilai atau menjudge seseorang atau satu kelompok berdasarkan "tampang". Dan memang, ditampilkan berulang-ulang foto kedua penumpang yang kemudian diidentifikasi sebagai pembajak itu. seperti sudah bisa ditebak, tampang orang2 yang sepertinya dari jazirah arab. tanpa kumis dan jenggot memang, tapi tetap saja tampang arab (yang kemudian menimbulkan "firasat" buruk si petugas check-in bandara itu). Mata gelap yang banyak diulang itu tentu merujuk pada warna bola mata etnis arab (dan juga melayu) yang memang berwarna gelap (hitam atau coklat tua). Alasan lain oprah tidak banyak beropini, kemungkinan karena waktu terbatas, berhubung acara itu dibagi 3 sesi. Pun penonton tidak terlalu banyak bereaksi.

Oprah kemudian mengungkapkan bukti2 dari bandara yang kemudian mengkaitkan kedua penumpang itu sebagai "tersangka" teroris yang membajak pesawat dan menghancurkan WTC. Salah satu tas dari kedua orang itu ternyata tertinggal di bandara. didalamnya, ditemukan software flight simulator untuk pesawat boeing dan secarik kertas yang sepertinya adalah sebuah surat dan tulisannya berjudul "God Allmighty in Arabic language" (sepertinya tulisan itu adalah tulisan basmalah atau takbir, sy ga tau yang dimaksud) di bagian atasnya.


Usai menontonnya, saya kecewa. betapa satu kejadian dan satu "sharing" dari seorang saksi hidup bisa menimbulkan aura rasis yang terasa kental terhadap satu bangsa (dalam hal ini, Arab) dan nilai-nilai yang sering dikaitkan dengannya (dalam hal ini, Islam).
Saya rasa, Oprah, sebagai seorang afro-amerika yang rasnya juga banyak merasakan rasisme di dunia barat (udah pernah nonton film "Crash"? film hollywood yang bercerita tentang rasisme di Amerika), sedikit banyak juga agak resisten dengan itu (yang saya perkirakan dari perilaku Oprah selama sesi itu)...


hmmm...


bagaimana pendapat teman-teman??

Friday, May 12, 2006

Sebuah hari yang menjadi biasa...

Mungkin kalau amnesia menyerang satu bangsa, beginilah jadinya...

Kita peringati tanggal ini, hari ini, sebagai tonggak sejarah hadirnya sebuah babak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. "Reformasi" lantas menjadi sebuah jargon yang terasa manis di lidah, dan membuat siapapun yang mengucapkannya menjadi merasa agung dihadapan orang lain yang tidak peduli dengan kata itu. Merasa agung dihadapan orang-orang yang dianggap sebagai pihak yang "telah dikalahkan" 8 tahun lalu, ketika tanggal ini memulai perjalanannya sebagai sebuah tanggal yang sakral.

Delapan tahun lalu, istilah reformasi menggema bersama darah 4 orang pemuda yang ikut mengusungnya. Adalah kematian mereka yang membuat ekskalasi isu reformasi itu melejit begitu cepat.
Musuh bersama yang dicari ada di depan mata. Adalah simbol-simbolnya yang berusaha dirubuhkan oleh 4 nyawa itu, sampai peluru tajam menyambar mereka. Martir-martir Trisakti yang kemudian melahirkan martir-martir lain di Semanggi.

Memang, kala itu saya belum turun merasakan hujan peluru. Sebagai seorang bocah yang masih berseragam putih abu-abu, yang bisa saya lakukan kala itu masih sebatas bertanya-tanya apa yang terjadi, dan sibuk dengan urusan saya sendiri. Hanya getar semangatnya yang membulatkan tekad untuk menjadi lebih dari sekedar mahasiswa, pada gilirannya nanti.

Dan media-media massa pun secara emosional menyajikan getaran itu. Mulai dari tangis kawan-kawan seperjuangan para martir, sampai ucapan bangga yang menyisakan ketegaran luar biasa dari para orang tua. Mereka hanya ingin, kematian buah hati mereka tidak sia-sia.

Delapan tahun berlalu, simbol-simbol keangkuhan itu ternyata masih ada, berdiri tegak seperti tak pernah terjadi apa-apa. Dan reformasi tidak lebih dari sekedar mimpi yang terbawa mati oleh angin masa lalu.

Lalu tahun ini, kita mendapat kado istimewa untuk kembali memperingati hari bersejarah ini. Setelah salah satu simbol itu kembali dipercaya (entah oleh siapa) untuk menjadi penguasa pada pemilu lalu, maka kemarin, simbol yang lain mendapat kebebasan untuk lolos dari jerat hukum, satu-satunya senjata yang dipercaya untuk menegakkan keadilan di negeri ini.

Iya, tidak perlu basa-basi lagi. Saya membicarakan tentang Golkar dan Soeharto! Dan segala alasan telah membuai pembenaran bahwa semua fenomena itu adalah sebuah kewajaran.

Kemanusiaan katanya?
Bagaimana kemanusiaan untuk mereka yang dibantai selama 32 tahun kekuasaannya?
Bagaimana untuk korban Malari? Bagaimana kemanusiaan untuk mereka yang ditangkap, diculik dan diasingkan tanpa diadili?
Bagaimana untuk Tanjung Priuk? Bagaimana untuk Aceh? Bagaimana untuk Papua?
Bagaimana untuk 200 juta rakyat Indonesia yang secara sistemik dimiskinkan secara riil di mata dunia!!

Jasa-jasa katanya?
Jasa apa?
Kalaupun dia memegang uang negara sebanyak 1000 rupiah, mungkin 200 rupiah dia makan sendiri, 200 rupiah untuk anak-anaknya, 200 rupiah untuk kroni-kroninya, dan hanya 200 rupiah sisanya yang dia bagikan untuk 200 juta rakyat lain!! INI YANG NAMANYA JASA???!!
Dan saat ini, orang-orang malah berkata "yaah, mending lah, daripada tidak dibagi sama sekali.." Bagus... ternyata bangsa ini sudah mengalami KEBODOHAN yang nyata!

Jasa apa?
Pembangunan? Pembangunan macam apa yang membuat korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai landasannya? Pembangunan macam apa yang membuat korupsi menjadi budaya, dan penyakit yang tak tersembuhkan sampai sekarang? Adalah sistem yang dipimpinnya yang menjadikan mental rakyat sakit, dan birokrasi korup!
INI YANG NAMANYA JASA??!??!?
Jasa membuat gemuk anak-anak dan kroninya, itu yang jelas!
Jasa membuat miskin rakyatnya, itu yang jelas!

Menghargai mantan presiden katanya?
Lalu kenapa nama Bung Karno masih tercoreng moreng sampai sekarang? Nama baik yang dibuat malu oleh anaknya yang kemudian juga menjadi Presiden.

Sakit katanya?
Bah! luar biasa sekali sakitnya itu. Segar bugar ketika menghadiri pernikahan cucunya, ketika menggendong cucu barunya, lalu mendadak sakit (lagi) ketika tersiar kabar akan diperiksa.
Inilah seonggok daging yang sakit karena kekenyangan. Penyakit-penyakit yang timbul karena terlalu banyak makan. Tapi toh, dia masih memiliki semua uang di negara ini untuk berobat ke seluruh dunia. Memiliki semua akses ke rumah sakit-rumah sakit terbaik dan dokter-dokter paling ahli. Dokter-dokter yang bisa membuat surat izin sakit seperti waktu SD dulu. Bedanya, sekarang surat izinnya ke pengadilan. Surat izin bukan seminggu atau sebulan, tapi sampai penyakitnya membuatnya terpaksa mati.
Ingatlah, selama 32 tahun, ia telah membuat sistem negara begitu kejam, sampai-sampai yang miskin bertambah miskin, pengangguran dimana-mana, dan sekolah hanya untuk yang kaya. Lalu yang sakit? Mereka terpaksa mati dalam sakit tanpa terobati, karena terlalu miskin bahkan untuk sesuap nasi.
Lalu sakit membuat orang ini tidak diadili?

Kata orang, dia tidak korupsi... kata orang yang perlu diadili adalah para kroni.
Lalu dengan membebaskan orang ini, apakah membawa kemajuan bagi pengadilan para kroni?
Atau malah melindungi?

Maafkan saja katanya, nanti juga dihukum Yang Kuasa...
Enak sekali?
Kata siapa yang didzolimi di dunia ini sudah mengikhlaskan?
Kalau amarah dan dendam adalah sifat binatang, maka biarlah sang binatang sekali ini mengaum karena kesakitan!

Kalau tidak, maka suatu saat kita akan berkata pada anak-anak kita...
"Nak, dalam hidup, foya-foyalah selagi muda dan korupsilah kalau sudah dewasa. Korupsilah sebanyak-banyaknya, tapi jangan lupa, bagi-bagi dengan kawan lama, supaya mereka tidak mengadukanmu pada orang-orang yang kau ambil haknya. Berikan sedikit pada orang yang banyak, supaya kau dianggap baik, dan kelak dimaafkan saat semua terkuak. Tapi jangan lupa, saat kau tua, tak mungkin semua diam saja. Maka sakitlah. Tak apa, kau sudah punya banyak uang untuk membeli sehat. Yang penting, sakitlah supaya tidak masuk penjara. Jangan lupa pergi haji berkali-kali, siapa tau dianggap layak masuk surga. Tuhan? yah, yang akan masuk neraka toh bukan kamu saja. Maka setidaknya, nikmatilah dunia..."


Beginilah kalau satu bangsa terkena amnesia...
Lambat tapi pasti, Golkar dibuat kembali berkuasa, dan orang tua itu hanya tertawa-tawa, berkata maaf dan terima kasih, kepada rakyat yang diperas uangnya tempo hari. Pada akhirnya, uang memang berkuasa.

Mungkin memang benar...
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan SETAN yang berdiri mengangkang!
(ngutip dari Iwan Fals)


Lupakan saja kata "reformasi"
Ia hanya sebuah kata yang diperingati setiap tahun, padahal jiwanya sudah berkalang tanah.
Lupakan saja kata "reformasi", bangsa ini sudah terlalu amis darah.

Wednesday, May 10, 2006

Mr. Jerry (Bagian Kedua, semoga tamat :p )

Pergulatan batin yang dibicarakannya terlihat jelas dari binar matanya yang mendadak sayu saat mengeluarkan beban yang nampaknya telah membatu di dadanya itu. Meski begitu, saya pun tidak tahu, mengapa dia –yang baru pertama kali saya temui itu- bisa begitu terbuka dengan saya. Perbincangan terus berlanjut. Dan menjadi lebih menarik, menyangkut hal-hal fundamental dalam hidup. Agama.

”Saya selalu tertarik dengan kebudayaan timur. Itulah mengapa terakhir kali saya mengajar di Singapore. Tapi singapore pun sebenarnya telah menjadi barat. Saya tertarik dengan timur bukan tanpa alasan. Alasan terkuat, saya ingin mengetahui kebenaran dari ucapan-ucapan saya tadi. Saya ingin tahu, apakah budaya timur memang seburuk yang kami (barat) ketahui selama ini.”

Saya katakan padanya, bahwa pilihan untuk pergi ke Indonesia pun mungkin bisa menjadi kesalahan. Tidak seperti China atau Jepang yang dalam arus globalisasi masih bangga memegang budayanya, budaya Indonesia sudah tergerus zaman dan dilecehkan bahkan oleh anak-anak bangsanya sendiri. Dia tidak mengamini, tapi juga tidak menolak opini itu. Saya katakan lagi, bahwa mungkin, kalau ingin mengalami suasana kehidupan dimana ”budaya global” belum banyak bermain, dia harus datang ke timur tengah. Iran misalnya, bisa menjadi pilihan. Tapi saya ragu, budaya-budaya yang ingin dia pelajari itu, apakah termasuk kehidupan kaum muslimin.

”ESPECIALLY, Islam, muslims and their way of life,” jawabnya. Mr. Jerry sebenarnya sudah sejak lama ingin ke dataran Arab. Entah itu ke Iran atau Arab Saudi, atau manapun. Namun kondisi keamanan dan perpolitikan dunia waktu itu (tahun lalu) membuatnya ragu. Dan dia memang berharap bisa menemukan corak Islam itu di Indonesia, negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Mendengar penjelasan saya dan buku-buku yang dia baca mengenai corak kehidupan di Indonesia dewasa ini, dia kecewa, dan merasa tidak akan menemukan apa yang dia cari di negeri ini. Kekecewaan itu juga merasuk lebih dalam pada diri saya sendiri, sebenarnya. Saya lalu bertanya, apakah ia seorang Kristen.

“Saya sudah meninggalkan kristen sejak lama. Entah, saya tidak punya agama saat ini.”

Dan lagi-lagi pertanyaan ”mengapa” keluar dari mulut saya.

Tapi kali ini, tidak ada jawaban. Justru dibalas dengan permintaan izin dari Mr. Jerry untuk bertanya pada saya, dan saya izinkan.

”Mengapa Islam begitu ketat mengenai sex diluar nikah??”

”Lha, kok nanyanya tiba-tiba begitu??”

”Hanya penasaran. Tapi ini bukan pertanyaan terakhir”

Karena saya agak bingung menjawabnya dengan bahasa Inggris (berhubung vocabulary saya tidak sebagus itu), maka saya ambil perumpamaan. Saya ambil 2 buah gelas yang saya isi dengan air putih. Saya sodorkan keduanya kedepan Mr. Jerry, lalu saya ambil debu dan kotoran dari lantai dan saya masukkan ke salah satu gelas itu.

”Kalau anda akan minum, anda pilih yang mana?” tanya saya.

Dia mengangguk tanda mengerti maksud perumpamaan itu. Diskusi kemudian kami teruskan. Saya jelaskan kalau ”kekotoran” itu tidak bukan selalu berarti secara fisik. Dan tidak juga hanya menyangkut wanita. Pria pun jauh lebih wajib menjaga ”kebersihan” diluar nikah. Dari situ diskusi beranjak pada bagaimana Islam begitu memandang luhur sebuah institusi pernikahan, meskipun berbeda dengan Kristen, Islam mengizinkan perceraian. Topik yang kemudian ditanyakannya (seperti yang sudah saya duga sebelumnya) adalah mengenai poligami. Poligami menjadi bahasan yang cukup pelik diantara kami waktu itu. Tapi kami bersepakat bahwa sebenarnya, syarat-syarat untuk bisa berpoligami itu sesungguhnya sangat atau terlalu sulit bagi pria kebanyakan (tapi ini tidak akan saya bahas disini).

Tanpa kami sadari, diskusi terus beranjak ke masalah sistem politik dan ekonomi Islam, kewajiban sholat, Al-Qur’an, dan lain-lain. Dan tentu saja, semua itu tentu tidak lengkap tanpa membicarakan isu-isu aktual seperti terorisme atau secara lebih umum, benturan antar peradaban (serasa Huntington gini ya ???).

”Mengapa Islam saat ini identik dengan teroris?” adalah pertanyaan yang tidak terlewatkan.

”Kalau memang benar Islam identik dengan teroris, tentu saat ini anda tidak akan bisa berdiskusi sebebas ini dengan saya kan?”

Dan memang, keterkejutan nampak jelas di air mukanya saat saya mengatakan bahwa sesungguhnya kaum muslim tidak diperbolehkan untuk pergi berperang kecuali atas dasar untuk mempertahankan diri atau mempertahankan agamanya. Dan saya katakan bahwa saat ini, Islam memang sedang mempertahankan diri. Pertanyaan selanjutnya tentu adalah ”jadi siapa yang sebenarnya memulai perang?” Sebuah pertanyaan yang kemudian dijawab sendiri oleh Mr.Jerry dengan pengetahuannya yang kuat mengenai sejarah dunia. Mengenai apa yang terjadi di Afganistan pada era perang dingin, mengenai perang salib, mengenai Palestina, mengenai amerika selatan, mengenai perang teluk, dan sebagainya. Islam sejak dulu sedang diserang. Dan pemahaman bahwa seluruh muslim sesungguhnya adalah satu tubuh tidak terlalu sulit untuk dipahami. Maka tidak relevan untuk mempertanyakan mengapa tekanan di Palestina akan mendapat respon perlawanan di seluruh pelosok dunia. Kalau Mr.Jerry dulunya adalah seorang Kristen, tentu ia pun memahami konsep ini, karena Kristen pun memiliki konsep yang sama dimana jemaat kristiani pun pada hakekatnya adalah satu tubuh (yang dalam ajaran mereka disebutkan : ”satu tubuh dalam Kristus”).

Diskusi berkepanjangan itu pada satu titik menimbulkan selintas pertanyaan pada benak saya. Diskusi itu tidak melulu mengenai Mr.Jerry bertanya dan saya menjawab. Tidak jarang juga pertanyaan-pertanyaan itu seolah bernada mencari konfirmasi. Kadang, dia bahkan memberi ralat atas jawaban saya, atau bahkan saya yang bertanya.

”Untuk seseorang yang bertanya, anda tau terlalu banyak. Sebenarnya, anda ini sedang mencari tau, atau sedang menguji saya?”

Dan dia tertawa.

”Saya tidak bisa membohongi anda. Saya memang sedang menguji anda. Tentu anda sekarang menyadari kalau saya sudah mempelajari Islam. Ya, sudah lama saya tertarik dengan agama anda ini. Bukan hanya agamanya, tapi juga cara hidupnya.”

Dia melanjutkan...

”Anda ingat pertanyaan anda tadi, mengapa saya bukan lagi seorang Kristen?”

Saya mengangguk... (ternyata semua ini hanya untuk menjawab pertanyaan awal saya tadi)

”Ketahuilah, perbedaan utama yang saya pelajari dari seorang muslim dan seorang kristen adalah pada bagaimana mereka hidup. Secara luar biasa, kaum muslim tau persis bagaimana mereka harus hidup. Bagaimana mereka harus berpolitik, bagaimana berdagang, bagaimana sistem ekonomi yang baik untuk mereka, bahkan sampai bagaimana mereka harus menjalani kehidupan keluarga dan sampai detil-detil yang terkecil dalam kehidupan. Orang Kristen tidak begitu. Saya bingung ketika ditanya, sistem ekonomi apa yang baik menurut agama saya. Bagaimana berpolitik? Dan lain-lain.

Ada satu paradoks yang cukup mendasar dalam kehidupan bangsa barat. Secara umum, pikiran barat begitu menggilai rasionalitas. Mereka ingin menjadi rasional dalam segala hal.

Di sisi lain, agama barat yang didominasi paham Kristen justru menjadi satu aspek yang lebih banyak menyodorkan irasinalitas dihadapan mereka. Faith (keyakinan) menjadi sesuatu yang dipaksakan karena seringkali berlawanan dengan hasrat rasional mereka. Tapi sebenarnya, aspek-aspek metafisik dan takhyul (superstition) pun merupakan satu aspek pemikiran yang eksis di barat. Hantu, drakula, dsb, lahir karena aspek metafisik itu.

Jadi kalaupun bangsa barat bisa memeluk sebuah agama. Agama itu tentu harus bisa merangkul semua aspek itu. Rasionalitas dalam kehidupan sehari-hari maupun metafisik yang kadang diluar rasionalitas tapi dibutuhkan jiwa.

Entah apakah karena dulu saya bukan seorang Kristen yang baik, atau karena memang Kristen tidak mengakomodir itu, maka saya berpikir agama saya waktu itu tidak banyak bermanfaat bagi saya. Dan ketahuilah, saat ini, bangsa barat begitu kehilangan nilai-nilai spiritualnya (bahasa Mr. Jerry kira-kira : “had lost their spiritual values”) karena paradoks itu. Bagi mereka, beragama adalah hubungan dengan Tuhan yang bisa saja irasional. Tapi diluar hubungan pribadi dengan Tuhan itu, agama tidak lagi relevan (kok kaya pernah denger kaya ginian di Indonesia ya??). Akan tetapi, paradigma itu bisa tidak berlaku kalau mereka kehilangan kepercayaan bahwa Tuhan itu ada. Maksud saya, kalau beragama adalah hubungan dengan Tuhan, maka buat apa beragama kalau anda tidak yakin kalau Tuhan itu ada. Sulitnya, Kristen tidak menyediakan rasionalitas untuk meyakini kalau Tuhan itu memang ada.”

Saya masih diam...

“Hard to imagine?” Katanya sambil tertawa.

Kalau anda sulit untuk membayangkannya, saya tidak heran. Anda tentu tidak pernah mengalami pergulatan itu, karena agama Anda (Islam) adalah agama yang rasional. Setidaknya dari apa yang sudah saya pelajari.”

Sebuah kebetulan yang teramat ganjil...

Malam sebelum percakapan itu, saya baru saja menamatkan buku ke-2 ”Road to Mecca” karangan Mohammad Assad, seorang mualaf dari Austria. Dan dari buku itu, sebenarnya saya bisa membayangkan apa yang diungkapkan oleh Mr Jerry secara panjang lebar itu. Kurang lebih, itu jugalah yang dirasakan oleh Leopold Weiss ketika memutuskan untuk masuk Islam.

Mr. Jerry melanjutkan pertanyaannya...

”kalau boleh saya bertanya (lagi), dalam diskusi kita tadi, beberapa kali anda juga membandingkan antara ajaran Islam dan Kristen dengan cukup obyektif. Saya rasa sebelum ini juga anda sudah mempelajari Kristen. Apakah dulu anda juga seorang Kristen?”

Dan saya jawab...

”Ternyata saya juga tidak bisa membohongi anda. Seperti anda sekarang, dulu saya tidak merasa beragama. Saya di sekolah Katholik selama 13 tahun, sejak TK sampai SMA, dan pada kurun waktu itu mempelajari agama Katholik setidaknya 5 jam selama satu minggu. Memang banyak perbedaan dengan Kristen, yang cukup fundamental. Saya hanya tau sedikit tentang Kristen. Sampai sekarang pun, teman-teman saya banyak yang Katholik maupun Kristen. Sebagian keluarga besar saya pun ada yang Kristen. Begitulah. Saya rasa, pengetahuan keislaman anda justru lebih baik dari saya. Mungkin anda sudah mempelajarinya lebih lama dari saya.”

”Lucu”, kata Mr. Jerry. ”Saya mulai dari beragama Kristen, dan mempelajari Islam. Anda mulai dari Islam, tapi lebih tau tentang Katholik. Apakah kita semua memang harus mencari?”

”Kalau tidak untuk mencari, buat apa kita dihilangkan ke dunia ini? Bukankah bisa saja Tuhan menciptakan semua kehidupan ini di surga? Tapi tentu, seperti kata anda, itupun kalau memang Tuhan itu ada...”

Dan kami tersenyum. Sepertinya, tidak ada kesimpulan bagi kami.

”lalu, setelah ini semua, apa yang akan anda lakukan?” Tanya saya.

”Entah. Yang saya tau, rumah saya di Kanada. Tapi Kanada sepertinya sudah bukan menjadi ”rumah” bagi bangsa Kanada sendiri. Saya tidak tau bagaimana nantinya. Mungkin saya akan memeluk Islam, menjadi seorang muslim, atau hidup di tengah-tengah kaum muslim. Antara dua pilihan itu. Yang jelas, saya tidak mau kembali ke barat.”

”Semoga Allah membimbing anda,” jawab saya untuk menutup diskusi itu.

Teman-teman saya memanggil. Kami lupa waktu. Tanpa sadar, matahari Wamena sudah tinggi dan jarum jam dinding di ruang makan itu menunjukkan pukul 11 lewat 40 menit. Kami berbincang hampir 4 jam.

”Maaf, saya sudah menghabiskan waktu anda. Saya harus pergi, saya ingin melihat Wamena. Mungkin kita tidak akan berjumpa lagi, karena besok anda sudah ke Yahukimo, dan saya ingin segera melanjutkan perjalanan. Terima kasih atas diskusinya. Kalau suatu saat anda ke Kanada, mampirlah ke rumah saya. Itupun kalau saya tidak memutuskan untuk tinggal di Iran misalnya...”

Kami tertawa.

Dan memang setelah itu, kami tidak pernah jumpa lagi. Sehari setelah perbincangan itu, ia langsung pergi entah kemana, dan kami ke Yahukimo.

Bodohnya, kalaupun saya suatu saat mengunjungi Kanada, saya tidak bertanya alamatnya dimana. Apalagi nomor telponnya =P

Semua itu hanya menyisakan satu tanda tanya besar... sudah Islamkah saya ini??

(tamat)


NB : berhubung perbincangan sebenarnya sudah terlewat hampir 1 tahun yang lalu, dan tentu tidak ada notulensinya, maka yang saya tuliskan di atas adalah intisari diskusi kami yang saya ingat. Ucapan-ucapan yang sesungguhnya keluar dari mulut kami waktu itu, saat ini tentu hanya Allah yang tahu. Yang tersisa di otak saya, dan yang saya tuliskan disini, hanyalah serpihan-serpihan memori yang membekas dari kejadian sebenarnya. Harap maklum.

Thursday, May 04, 2006

Mr. Jerry (Bagian Pertama)

Wamena, Papua, Akhir Maret 2005

Saya dan teman-teman yang sedang survey untuk penyusunan Rencana Tata Ruang Kabupaten Yahukimo dan Rencana Detil Tata Ruang Kota Dekai terpaksa memperpanjang waktu menginap kami di Wamena karena cuaca tidak mendukung kami untuk pergi ke Dekai, Yahukimo, pada hari itu. Awalnya, kami hanya berencana mampir di Wamena selama 4 hari. Akan tetapi, waktu kunjungan itu terpaksa kami perpanjang selama 2 hari.

Sewaktu kami berjalan ke bandara pada pagi hari yang semestinya menjadi waktu pemberangkatan kami, kami melihat seorang bule, seorang asing yang sepertinya dari ras kaukasia, lengkap dengan tubuh jangkung, kulit putih pucat dan rambut pirangnya. Seorang pria yang dalam taksiran kami sudah mendekati umur 40 tahun, berjalan membawa kopor trolinya sendirian, dan sepertinya mengarah ke hotel yang sama dengan yang kami tempati.

Ketika kami memperoleh kabar bahwa penerbangan ditunda 2 hari, kami memutuskan untuk kembali ke hotel yang sama. Dengan bersemangat, pegawai hotel –seorang wanita muda bugis berkulit putih yang kecantikannya cukup menjadi buah bibir di kalangan pemuda Wamena- bercerita bahwa seorang bule telah check-in tadi pagi, ketika kami pergi ke bandara. Keriangan si pegawai hotel itu cukup beralasan, karena sangat jarang (atau selama kami disana, tidak ada) orang asing (luar negeri) yang bertandang ke Wamena. Wamena memang belum terkenal seperti Jakarta, Bali atau Yogyakarta sebagai sasaran wisata. Maka turis asing menjadi sesuatu yang langka (walau tetap ada rombongan2 turis asing yang memang mencari sensasi dari pendalaman terhadap kebudayaan dan tata cara suku Dani yang masih berkeliaran di jalan-jalan Wamena dengan berkoteka saja). Tapi toh kami tidak terlalu memusingkan keberadaan si bule itu.

Hari pertama dalam 2 hari penantian pesawat itu dijalani tanpa listrik di siang hari. Hari ini memang giliran listrik mati. Listrik di Wamena memang terbatas, sehingga penduduk hanya bisa bergiliran menikmatinya. Bila pada suatu hari listrik di Wamena sebelah utara dimatikan, maka listrik di sebelah selatan dinyalakan, dan sebaliknya. Demikian bergiliran setiap harinya. Hotel kami ini memiliki generator sendiri sehingga pada hari-hari dimana listrik mati, setidaknya kami tidak perlu bersenjatakan lilin di malam hari.

Sang penghuni baru, si bule itu, terdengar sedang berbicara dengan seorang pegawai hotel. Awalnya dengan suara ramah, tapi lama-lama terdengar nadanya agak meninggi. Saya yang sedang berjalan menuju kamar saya tak sengaja mendengar percakapan mereka. Percakapan yang bisa dibilang bertepuk sebelah tangan. Si bule dengan bahasa Inggrisnya, dan perempuan pegawai hotel dengan bahasa Indonesia berlogat papuanya. Satu sama lain nampaknya tidak saling mengerti, dan lebih banyak bicara dalam bahasa isyarat.

Melihat kelucuan itu (yang tentu oleh kedua orang itu tidak dianggap lucu), saya ikut nimbrung sebagai penerjemah antara keduanya. Keduanya terlihat luar biasa lega setelah mendengar bahasa Inggris keluar dari mulut saya. Ternyata, si bule menanyakan mengapa air tidak mengalir dari kran di kamar mandi (meskipun di bak mandinya air masih agak penuh). Ia biasa mandi dengan air tetap mengucur. Si pegawai hotel mengerti bahwa yang dipermasalahkan adalah aliran air (dari isyarat tangan si bule), tapi kesulitan menjelaskan alasannya. Ternyata, air pun di Wamena ini hukumnya sama dengan listrik, bergiliran. Dan kalaupun pada satu hari air mengalir tetapi listriknya mati, maka hotel harus menghemat bahan bakar generator sehingga pompa air tidak selalu dinyalakan. Saya jelaskan itu ke si bule, dan si bule keheranan bukan karena tidak mengerti ucapan saya, tapi karena ia bingung di Indonesia yang katanya alamnya subur ini ternyata kondisi ”kota”nya masih seperti itu. Urusan selesai, si bule mengalah, karena pindah ke hotel lain juga tidak menjanjikan kondisi yang lebih baik (bahkan, sepertinya inilah hotel ”terbaik” di Wamena).

Pada malam harinya, keheranan (dan kedongkolan) si bule nampaknya bertambah. Hujan turun dengan derasnya, dan tanpa disangka tanpa dinyana, hotel kebanjiran. Atap-atapnya yang tua tidak mampu menahan gempuran air hujan. Pegawai hotel yang hanya bertenagakan 3 orang itu bekerja keras meletakkan ember di tempat-tempat jatuhnya air, menggeser-geser perabotan, sampai mengepel lantai yang terus-menerus tergenang oleh air hujan yang mulai masuk sampai kamar-kamar. Si bule yang sedang tertidur menjadi terjaga dan keluar kamar, hendak bertanya mengapa karpet kamarnya mulai basah dan air menetes diatas mukanya. Ia kembali masuk kamar dan menggeleng-gelengkan kepalanya penuh tanda tanya ketika melihat semua pegawai sedang bekerja keras, dan saya beserta kawan-kawan saya sedang membantu mereka (saking sudah akrabnya, dan karena kami juga tidak ada kerjaan di kamar).

Pagi harinya, kondisi hotel sudah kembali normal. Seperti biasa, saya dan teman-teman berkumpul di ruang makan hotel untuk sarapan dan membicarakan rencana-rencana survey. Pukul setengah 8, teman-teman saya memutuskan untuk berjalan-jalan berkeliling kota. Saya tidak ikut karena sedang mempelajari beberapa peta dan literatur-literatur mengenai kebudayaan suku Dani. Malas kembali ke kamar, saya tetap tinggal seorang diri di ruang makan.

Si bule baru keluar kamar dan masuk ke ruang makan. Celingukan sebentar, membuat roti dan teh, si bule makan sendirian. Tidak tahan dengan kesunyian yang mencekam di ruang makan, si bule mendatangi meja saya dan bertanya apakah mengganggu apabila ia hendak bercakap-cakap sebentar dengan saya. Saya tidak berkeberatan, tetapi mohon maklum karena bahasa Inggris saya mungkin masih belum lebih baik dari Tarzan ketika pertama kali bertemu Jane di belantara Amazon. Dia juga tidak berkeberatan, berhubung sepengetahuan dia, hanya sayalah yang setidaknya mengenal bahasa inggris di Wamena ini.

Berbincang basa-basi mengenai kondisi hotel sebentar, lalu membicarakan budaya suku Dani yang mendominasi Wamena dan Yahukimo, diskusi mulai mengarah ke hal-hal yang lebih serius. Dimulai dari pekerjaan saya, untuk apa ke Wamena, interest, dan sebagainya. Dan saya pun balik bertanya padanya. Jawaban yang saya dapatkan cukup mengejutkan (terlepas dari apakah memang begitu adanya atau hanya sekedar karangan dia, saya tidak tahu. Tapi, saya berprasangka baik bahwa ia berkata jujur). Perbincangan kami dalam bahasa Inggris, tapi saya sarikan dalam bahasa Indonesia saja.

Namanya Jerry, usia 42 tahun, belum menikah, asalnya dari Kanada. Mr. Jerry ternyata pernah menjadi seorang guru SMA di Kanada, menjadi dosen di Kanada, lalu di Jerman, dan lalu di Singapore, juga sebagai dosen. Sempat ditawari dimana-mana sebagai dosen ilmu sosial menandakan bahwa ia bukan orang sembarangan. Dan diapun memakai parameter jumlah honor yang ditawarkan dalam memutuskan tempat dimana dia mengajar. Maka, kondisi ekonominya pun lebih dari cukup untuk hidup sejahtera di negara manapun.

Dia terus bercerita (nampaknya memang dia sudah mencari-cari orang yang bersedia mendengarkan kisahnya itu). Dan cerita menjadi klimaks ketika ia pada satu titik dalam kehidupannya itu memutuskan untuk berhenti menjadi seorang pengajar. Bahkan, ia memutuskan untuk mencari kehidupan baru.

”saya memutuskan untuk meninggalkan peradaban barat (western civilization),” katanya.

Saya tak kuasa untuk menahan mulut untuk bertanya ”mengapa.” Dia membalas dengan panjang lebar dan diselingi pertanyaan. Katanya, “Di Kanada, semua orang ingin jadi orang Amerika. Di Jerman, semua orang ingin jadi orang Amerika. Di Singapore, semua orang juga ingin jadi orang Amerika. Tidak ada lagi kebudayaan Kanada, atau ciri asia di Singapore. Semua ingin sama, dan meninggalkan akarnya.” Ternyata, setelah memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen, dia menghabiskan waktu pergi ke berbagai negara untuk mempelajari budaya dan kehidupan masyarakat setempat. Indonesia adalah salah satu sasarannya. Karena dia mengetahui Jakarta atau kota-kota besar lain di Indonesia tidak akan mampu memuaskan dahaganya, maka ia pergi ke Wamena. Ia datang ke Wamena berbekal sedikit rupiah (karena banyak dollar yang belum ia tukarkan ke rupiah), tanpa kemampuan berbahasa Indonesia (apalagi bahasa Dani), dan tanpa kenalan seorangpun. Pilihan yang berani, pikir saya, kalau tidak mau dibilang ceroboh atau gila.

”Tapi itu tidak menjawab mengapa anda begitu ingin meninggalkan barat,” balas saya. Dan dibalas dengan, ”anda tahu, kalau Amerika begitu bernafsu menyerang Afganistan dan Irak hanya karena minyak? Karena uang?” yang kemudian saya jawab ”ya, saya tahu, atau minimal, saya pun mencurigai seperti itu”. Dia kemudian, dengan didahului kata ”maaf”, bertanya apakah saya seorang muslim. Dan saya jawab ya. Pertanyaan turunannya membuat saya tertohok dalam, ”lalu, mengapa anda diam saja melihat fenomena itu? Padahal kaum muslim jelas dirugikan!” Saya tak kuasa menjawab, karena jawaban apapun atas pertanyaan itu bisa jadi tak lebih dari kebohongan terhadap diri sendiri.

Dia melanjutkan. Banyak teori-teori konspirasi menyangkut Amerika maupun sekutu-sekutunya yang dia ungkapkan sejak perang dunia ke-II, entah itu di Kuba, Venezuela, timur tengah, bahkan Indonesia sendiri. Tentu, teori-teori itu sebenarnya sudah menyebar luas ke seluruh dunia sejak dulu. Maka kemudian saya menyatakan keheranan saya akan kalangan muda di barat sendiri, bagaimana mereka menyikapi teori-teori itu, atau apakah mereka menyadari kebohongan-kebohongan yang dilontarkan oleh pemerintah mereka sendiri. Dan jawaban dari Mr Jerry kembali membuat saya terkejut. ”Itulah mengapa saya berhenti menjadi dosen,” katanya.

”Maksud anda?”

”Orang-orang di peradaban barat pemikirannya tidak seterbuka yang anda kira. Terlalu lama kami dibuai oleh mimpi indah demokrasi, humanisme, dan paham-paham lain yang selama ini dianggap indah bagi kemanusiaan. Sekarang bayangkan bagaimana reaksi anak-anak muda di barat kalau tiba-tiba mengetahui kalau sikap bangsa mereka selama ini justru bertentangan dengan paham-paham itu. Bahwa kepentingan ekonomi telah menjauhkan bangsa-bangsa mereka dari nilai-nilai itu. Mereka tidak akan mampu menerimanya. Dan kami, kalangan pengajar, harus selalu membohongi mereka. Saya lelah selalu berbohong. Saya sedih karena mulut saya mengajarkan kebohongan. Dan kesedihan itu tidak hanya dirasakan oleh saya sendiri. Kolega-kolega saya pun demikian, tetapi masih memilih bertahan dalam kehidupan itu. Sebagian kalangan pengajar lain memang masih terlalu lugu untuk mengakui kebenarannya. Yang lugu itu jumlahnya tetap lebih banyak, karena setiap hari media mencekoki kami dengan kebohongan itu, sehingga seolah menjadi sebuah kebenaran. Anda tahu betapa berkuasanya media dalam merumuskan kebenaran di dunia dewasa ini?”

Pergulatan batin yang dibicarakannya itu nampak jelas dari binar matanya yang mendadak sayu saat mengeluarkan beban yang nampaknya telah membatu di dadanya itu. Meski begitu, saya pun tidak tahu, mengapa dia –yang baru pertama kali saya temui itu- bisa begitu terbuka dengan saya. Perbincangan terus berlanjut. Dan menjadi lebih menarik, menyangkut hal-hal fundamental dalam hidup. Agama.

(bersambung.... -terpaksa dipotong karena terlalu panjang :p nantikan lanjutannya yaaa...)