Tuesday, February 28, 2006

Kisah sebulir beras...

Alkisah Sebulir beras dilahirkan di dunia...
Inilah kisahnya...

Bersama saudara-saudara lainnya dalam sebatang padi, lahirlah sebulir beras kecil di daerah Karawang, Jawa Barat. Untuk memudahkan, kita sebut saja nama si bulir beras ini Beka (Beras Karawang).

Si Beka tidak lahir dari kalangan bangsawan (varietas unggul maksudnya) semacam VUTW Fatmawati di Jogja (Varietas Unggul Tipe Baru – Fatmawati) atau VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng), IR-1, IR-64, Bondoyudo, dsb dsb. Dia lahir dari kalangan padi jelata yang, sayangnya, tidak tahan wereng dan isinya agak kopong. Meski begitu, Beka tidak menyesal... ”yaah... daripada ga dilahirin sama sekali,” pikirnya. Beka yakin, meskipun dia tidak termasuk beras bagus yang akan dijual mahal di pasaran dan dibeli oleh orang-orang yang tidak terpengaruh kenaikan harga BBM, PDAM, telepon dan (dalam rencana) TDL, masih tetap ada orang-orang yang membeli dan memakannya. Karena jelas, dari sekitar 220 juta masyarakat Indonesia, mungkin hanya sekitar 20% cukup makmur untuk tetap membeli beras mahal. Sisanya, memakan beras seperti Beka dan saudara-saudaranya, atau makan tiwul, gaplek, sagu, atau tidak makan. Masih ada kesempatan.

Singkat kata, padi yang menaungi Beka tumbuh besar, hingga akhirnya tibalah musim panen.

Pak Tani yang mulai terjepit oleh harga pupuk yang terus merambat naik, rendahnya harga beli yang ditetapkan Bulog, dan sekarang oleh pasokan beras impor, kemudian memanen sawahnya. Beka dan saudara-saudaranya mulai melihat dunia. Dilihatnya mesin penggiling padi dan ibu-ibu petani yang memukul-mukulkan setumpuk padi untuk mengeluarkan beras dari dalamnya.

Beka dan saudara-saudaranya kemudian dimasukkan kedalam karung-karung beras. Sebagian kecil beras berceceran di tanah dan tidak terangkut. ”Gapapa”, ucap Beka, ”dalam setiap perjuangan pasti ada yang berguguran. Ini sebuah keniscayaan. Hanya kehendak Allah yang akan terjadi...” begitu gumamnya.

Sejak lahir, Beka telah menyadari jalan hidup dan tujuan penciptaannya. Ia diciptakan untuk beribadah pada Allah, dan klimaksnya akan terjadi saat ia memenuhi tujuan penciptaannya, dimakan dan menjadi sumber tenaga bagi makhluk hidup yang lain. Maka hanya itulah yang ada dalam pikirannya, ketika ia dan saudara-saudaranya mulai dibawa ke tengkulak, untuk selanjutnya dijual ke kota.

Pak Tani yang telah merawatnya sejak kecil diberi imbalan yang tak seberapa. Beka sedikit bersimpati untuknya... ”semoga uang itu cukup untuk membeli saudara-saudaraku yang lain pak... semoga keluarga bapak bisa sejahtera...”, meski ia tau, bahwa petani bukanlah profesi yang terlindungi di negara ini, meski kemuliaan dan jasanya menjadi salah satu yang utama di dunia.

Singkat kata,
Dan dimulailah perjalanan Beka ke kota...

Sebagai beras yang lahir dari padi jelata, Beka tau jalannya akan berbeda dengan beras lain yang bangsawan. Ia tidak akan masuk supermarket atau restoran-restoran mewah. Tapi semua sama... apapun statusnya, varietas unggul atau bukan, tujuan semua beras hanya satu, beribadah pada Allah dan menyatakan keikhlasan dalam memenuhi tujuan penciptaannya, untuk dimakan. Maka, status itu sama sekali tak mempengaruhi kemuliaan semua bulir beras di dunia.

Seorang bapak gemuk pemilik agen beras membelinya dari tengkulak, dalam karung-karung besar. Si bapak itu membawanya ke Pasar Rumput, sebuah pasar yang terletak di perbatasan antara Jakarta Selatan dengan Jakarta Pusat, tepat disebelah kawasan Menteng dan sedikit diluar kawasan stasiun Manggarai.

Selang beberapa hari dipajang di etalase agen beras di Pasar Rumput itu, Beka mulai gelisah karena saudara-saudaranya sudah laku dibeli orang, sementara ia belum. Sampai akhirnya, seorang ibu-ibu, yang juga gemuk, tetapi bermuka lesu dan terlihat lelah menanggung beban hidup, membelinya. Tawar menawar terjadi, tapi tak lama. Dan kemudian dengan penuh semangat, mata berbinar oleh harapan, Beka menyongsong dunia.

.....

Si ibu ternyata adalah seorang pedagang makanan, pedagang kaki lima yang informal, pemilik kios ilegal yang tetap membayar pada oknum (preman berseragam), yang berjualan di peron stasiun Manggarai. Setiap sore dan pagi, kios sederhana si ibu itu selalu penuh oleh para mujahid yang mencari rizki untuk keluarganya di rumah, untuk sekedar sarapan atau menahan lapar supaya tidak pingsan ketika berdesakan di kereta ekonomi. Beka senang, karena dia berkesempatan besar untuk bisa memenuhi tujuan penciptaannya, cita-citanya sejak baru lahir.

Pada suatu sore, setelah Beka ditanak dan menjadi nasi, tiba-tiba ia merasa diangkat oleh si ibu gemuk pemilik kios, dan dimasukkan kedalam kertas pembungkus. Dia dibeli !!!
Kebetulan, kios sedang penuh, sehingga tidak ada tempat duduk bagi bapak yang membelinya. Si bapak kemudian memilih untuk membungkus makanannya, dan dimakan agak jauh dari kios, sambil menunggu kereta.

”Ya Allah, terima kasih atas kesempatan yang Kau berikan...,” tak henti Beka mengucap syukur dan senandung pujian pada Allah. Dan ketika ia melihat wajah lelah pria yang akan memakannya... ia hanya berkata... ”pak, maafkan Beka, Beka dan kawan2 disini bukan dari varietas unggul. Kami mungkin tidak cukup pulen atau cukup berisi untuk mampu mengenyangkan perut bapak. Tapi alhamdulillah si ibu tadi memasukkan banyak nasi. Semoga bapak terpuaskan oleh kuantitas kami, karena kualitas kami memang dibawah rata-rata. Semoga kuah sayur dan sepotong tempe yang menjadi kawan kami disini, mampu menutupi rasa kami yang pera dan tawar, serta mampu memberi citra kelezatan di lidah bapak, sehingga bapak bisa lahap makan, dan pulang ke keluarga bapak... Semoga Allah meridhoi perjuangan bapak hari ini...”

Tapi malang bagi Beka... nasi belum lagi habis ketika kereta ekonomi mulai menampakkan dirinya dari utara. Sayur dan tempe yang menjadi lauk makan bapak itu telah habis, dan jumlah nasi sudah tinggal sedikit, sehingga si bapak memutuskan untuk membuang Beka dan kawan-kawannya kedalam tempat sampah yang sudah mulai penuh di peron Manggarai.

Beka dan kawan-kawannya menangis... tapi mereka tidak menyesal. Mereka tahu, bahwa hanya Allah yang mengetahui apa-apa yang terbaik untuk umatNya.

Hari berganti...
Gerimis dan panas mentari berganti menyirami Beka dan kawan-kawannnya. Beka melihat, bahwa ternyata ada cukup banyak bungkusan lain di dalam tempat sampah itu. Banyak nasi yang senasib dengannya. Tidak habis, lalu terbuang. Kawan-kawan Beka mulai berasakan tubuh mereka mengeluarkan cairan berbau yang menandakan bahwa mereka mulai basi... ”tak ada yang abadi... semua hanya soal waktu...sebelum kami kembali padaNya,” pikir mereka. Tak ada gentar dalam menghadapinya... Hanya bertanya-tanya apakah tugas mereka sudah paripurna di dunia...

Sampai suatu sore yang panas...
Beka melihat seorang pria muda berkacamata duduk sambil memegang perutnya yang lapar di peron Manggarai... “mungkin ia lapar...oh... seandainya kami masih layak makan dan masih berada di kios ibu gemuk, mungkin kami bisa membantunya...”

Adapun si pria berkacamata nampaknya bukanlah seorang manusia yang pandai bersyukur. Meski telah banyak nikmat yang diterimanya, si pria satu ini masih juga mengutuk dan marah-marah karena lapar dan lelah setelah bekerja, apalagi uang telah habis di kantongnya, meski cukup untuk sekedar sampai ke rumah.

Beka tiba-tiba merasa dirinya kembali diangkat...
Sebuah tangan yang dekil oleh debu dan hitam terbakar matahari mengangkat bungkusan tempat Beka berada. Ia melihat bahwa tangan itu kemudian mengaduk-aduk tempat sampah, mencari bungkusan lain yang mungkin tersembunyi di bawah, tertutup oleh sampah lain.

Beberapa bungkusan yang telah kotor dan tercampur air sampah ditemukannya. Ternyata, tangan-tangan itu adalah milik seorang gelandangan yang kumal dan berpandangan kosong. Pancaran wajahnya tidak lagi menyiratkan harapan. Tapi rasa lapar jelas menghantuinya.

Ia menyatukan nasi-nasi dari bungkusan-bungkusan yang didapatnya, menuangkannya kedalam bungkusan Beka. “JANGAN !!! Jangan makan kami!! Kami telah kotor dan basi... betapa perut bapak akan sakit kalau memakan kami...” teriak Beka sambil menangis. Tapi si bapak tak lagi peduli... rasa lapar telah menguasainya...

Beka dan kawan-kawan hanya pasrah. Mereka sadar, ini adalah kehendak Allah. Mereka memang diciptakan Allah untuk menjadi rizki si gelandangan pada hari itu. Dan dengan keikhlasannya, mereka bergembira karena mampu memenuhi tujuan penciptaan mereka. Untuk dimakan, untuk menjadi rizki bagi makhluk lain...

Dan dengan sebuah senyuman... Beka meninggalkan dunia...

......

Pria muda berkacamata terus mengamati tindak tanduk gelandangan yang memakan Beka. Hatinya tersentak saat melihat tangan-tangan itu mengaduk-aduk tempat sampah, dan menangis saat melihat nasi-nasi yang telah basi dan kotor itu memasuki tenggorokan si gelandangan.

Seketika ia kembali mengutuk... mengutuki dirinya yang selalu lupa untuk mensyukuri nikmat yang didapatnya selama ini...

Tak lama, kereta tiba... dan pria muda berkacamata pulang... membawa jeritan dalam hatinya...
Pria ini, sejak dulu memiliki impian untuk menjadi seorang penjual bubur kacang... impian sederhana yang menjadi semakin menguat dalam hatinya, setelah kejadian itu... "saya harus berhasil !!!" pikirnya...

Tuesday, February 21, 2006

Absolutely The Best Place to Shop (Cerita-cerita dari Kereta, Episode 6)

Satu hal yang jelas, karena ini termasuk seri cerita-cerita dari kereta, jadi yang saya maksudkan dengan “absolutely the best place to shop” itu ya… kereta… atau lebih spesifik, tentunya, KRL Ekonomi Jakarta-Bogor.

Tidak, kita tidak bicara standar belanja kapitalis seperti di Orchard Road, Singapore, atau mungkin butik-butik di Milan. Kita bicara mengenai harga, tawar menawar, dan perjuangan hidup.

Kereta ekonomi sebenarnya bisa kita anggap sebagai sebuah toko serba-ada berjalan. Dan ketika saya bilang “serba ada”, maka saya maksudkan benar-benar SERBA ada.

Berikut adalah daftar beberapa barang yang bisa dijumpai di kereta berikut harganya. O iya, masalah harga ini, sebenarnya cukup fleksibel dan kontekstual, terutama dalam konteks waktu. Pada pagi hari, biasanya, harga-harga masih cukup wajar (sesuai harga pasar pada umumnya). Tapi semakin sore, atau malam, harga mulai terjun bebas,

1. Tahu sumedang.
Ini merupakan salah satu jajanan favorit penumpang kereta. Memang tidak terlalu bergizi, mengingat tahu ini bagian dalamnya “kopong” (ciri khas tahu sumedang memang begitu). Mengenai formalin yang bisa saja menjadi salah satu bahan bakunya...mmm...yaa... kalau sudah lapar dan tidak punya uang, formalin pun gapapa lah buat ganjal perut. Tapi belum pernah ada berita kalo tahu ini berformalin sih.... Mengenyangkan??? Sebenarnya tidak juga... lho? Katanya buat ganjal perut? Kok gak mengenyangkan? Ya sebenarnya kenyang juga kok, kalau makannya 5 atau 10 biji. Memang tidak akan sampai sendawa, tapi lumayanlah untuk bertahan sampai rumah.

Harganya tidak terlalu mahal. Yang besar-besar, pada pagi hari dijual dengan harga 1000 untuk 4 atau 5 tahu. Kalau mau untung, sebenarnya bisa pakai taktik begini, beli 500 perak dapat 3 biji, lalu tunggu penjual tahu lain yang biasanya muncul setiap 5-10 menit, beli lagi 500 perak, dapat 3 biji juga. Jadi dengan 1000 rupiah, sebenarnya bisa dapat 6 tahu. Menjelang malam, biasanya harga mulai disesuaikan, seiring dengan mulai basinya si tahu. Pada kereta malam diatas jam 7, terutama setelah kereta melalui stasiun Depok Baru, biasanya dengan 1000 rupiah, kita bisa dapat 7 biji. Semakin malam, biasanya semua tukang tahu sepakat untuk bertransaksi dengan standar harga MINIMAL 10 biji untuk 1000 perak. Yaa... tapi kalau rasanya agak asam-asam sepet sedikit, ya maklum lah, tahunya dari pagi belum diganti. Pernah juga ada beberapa tukang tahu yang frustasi karena dagangannya belum laku, sehingga bertransaksi dengan standar 15-20 biji untuk 1000 perak. Asem?? Tentu saja... Biasanya banyak juga bapak2 yang membeli tahu asam ini cukup banyak (borongan), misalnya 5000 perak (dapat minimal 50 biji), untuk dibawa ke rumahnya sebagai oleh-oleh buat anaknya, dan sebelum dihidangkan dikukus lagi untuk mengurangi keasamannya. Selain dikukus, bisa juga di rumah digoreng lagi, tapi kalau digoreng ini kulit tahunya akan jadi keras. Ah sudahlah, murah kok minta enak...

Tapi kalau anda tidak mau makan yang agak asam, walau sudah malam sekalipun, tips dalam memilih adalah, cari pedagang yang plastik penutup tahunya masih seperti berembun. Ini adalah tanda kalau si tahu itu baru, atau minimal baru dihangatkan. Tidak asam, tapi harganya tentu juga bukan standar harga frustasi. Supaya lebih menarik, cukup banyak yang meneriakkan slogan “BELI TAHU HADIAH CABE NIH!”

2. Rokok, korek api, tisu, aneka permen, tolak angin cair, dll.
Ini adalah penjualan terlaku kedua di kereta. Harga relatif stabil, karena barang-barang yang dijual tidak cepat busuk, dan setiap waktu ada pembelinya. Dijual dengan harga pasar seperti di luar kereta, dan untuk rokok, biasanya untuk semua merek dijual ketengan (per batang), mengingat cukup jarang pembeli bungkusan. Pembelian rokok ketengan mulai ramai, lagi-lagi, setelah kereta sore memasuki stasiun Depok Baru.

Ada beberapa alasan mengapa rokok paling laku setelah Depok. Pertama, mulai berlakunya perda larangan merokok di Jakarta, sehingga menghisap rokok di kereta beresiko masuk bui atau minimal berurusan dengan pak pulisi. Mengingat status larangan itu adalah Perda DKI Jakarta, maka hanya mengikat di Jakarta. Depok kan sudah bukan Jakarta, jadi tidak perlu masuk bui kalau berasap di Depok sampai Bogor. Kedua, kereta sudah mulai kosong, mengingat hampir setengah kereta turun di Depok. Pusingnya kepala karena berkeringat ga jelas sebelum Depok mendorong para lelaki di kereta untuk berasap. Sebenarnya rokok tidak mengurangi pusing, tapi setidaknya memberi ketenangan semu dan perasaan santai.

Adapun untuk korek api, tersedia berbagai macam dan bentuk, dengan harga bervariasi dan biasanya tidak bisa ditawar, mulai dari merek tidak jelas seharga 500 rupiah sampai model zippo yang tentu saja palsu seharga 5000 rupiah. Tersedia juga korek api gas yang disertai senter kecil di bagian bawahnya, seharga 3000 rupiah, yang biasanya dibeli oleh para pemulung di kereta yang mencari botol atau gelas plastik bekas air mineral. Senter kecil itu sangat berguna kalau lampu kereta mati, mengingat tentu sulit untuk mencari gelas plastik dalam kegelapan.

Karena banyaknya penjual rokok ini, cukup banyak yang mengembangkan metode alternatif untuk menarik perhatian. Salah satunya adalah seorang tukang rokok yang biasa naik kereta dari bogor jam setengah 8 atau 8 kurang 15 pagi. Si abang ini biasanya begitu masuk satu gerbong langsung berjalan cepat ke sisi lain gerbong sambil berteriak-teriak.. “YA, JANGAN BEREBUT, JANGAN BEREBUT!! Semua pasti kebagian, masih banyak, jangan berebut, yang belom dapet, ngacung!!” Setelah semua orang menengok, barulah dia berkeliling di gerbong, menjajakan rokok. Ya, tidak perlu berebut membelinya, pasti kebagian...

3. Jepit rambut, bando, sisir, aksesoris rambut lain, cotton bud, korek kuping berbahan logam, gunting kuku, sabut cuci piring, gunting, washlap untuk mandi, sikat WC, lem tikus, gantungan kunci, racun tikus, kamper, kapur ajaib, gemuk (grease), dan sebagainya yang cukup banyak macamnya, dibawa sekaligus.
Harga biasanya bervariasi dari 1000 rupiah sampai 5000 rupiah. Meski begitu, orang-orang yang tertarik biasanya menawar barang APAPUN dengan 1000 rupiah, tak peduli barangnya apa dan berapa harga yang disebutkan si pedagang, teteeep aja ditawar 1000 perak. Akhir dari peristiwa tawar-menawar ini bisa dua kemungkinan. Pertama, karena si pedagang frustasi, dari pagi sudah berat-berat bawa barang dan sedikit yang laku tanpa ditawar, akhirnya si barang dilepas dengan harga 1000 atau 1500, ditambah muka asam dan kurang bergairah. Kedua, barang tidak jadi dibeli karena si calon pembeli tak mau mengalah, dan si pedagang pergi, sama juga, dengan muka asam dan kurang bergairah. Intinya, ini bisnis yang kurang menggairahkan.

4. Buah-buahan.
Jeruk medan, jeruk mandarin lokam, jeruk bali yang gede-gede, alpukat, salak, lengkeng, sukun, rambutan, duku, apel malang, apel puji (fuji, red.), pir, nangka, dan buah-buahan lain, dijual dengan harga yang miring, dibanding swalayan. Selain harga yang ditawarkan sudah miring, semakin malam masih bisa semakin murah.

Jeruk medan sebesar kepalan tangan anak kecil pada waktu normal biasa dijual 10 per 5000 rupiah, semakin sore mulai 15 per 5000 rupiah, lalu pada kereta malam biasanya sampai depok si penjual masih bertahan pada level 15 per 5000, tapi memasuki citayam dan bojong gede, nampaknya si pedagang mulai ketar-ketir tidak laku dan buahnya busuk, sehingga mulai memasuki level 15-20 buah per 5000 rupiah, tergantung kekuatan kita dalam tawar menawar dan tergantung apakah kita merasa iba ke si pedagang atau tidak. Kalau anda beruntung, anda bisa menemukan pedagang-pedagang yang sudah kelelahan, frustasi, jeruknya masih tersisa sekitar 30-an biji, dan tiba-tiba mengeluarkan kebijakan fenomenal...”NGABISIN...NGABISIN, 5000 DAPET 17 DEH! KAGAK MAU? 18 DAH! 20 DEH, NGABISIN NIH!!.....” penumpang masih belum bereaksi sampai akhirnya si abang berteriak “AMBIL SEMUA DAH!!! 5000 DAPET SEMUA!!” Karena melihat jumlah jeruknya yang masih ada sekitar 25-30an, kontan para ibu2 dan bapak2 berebut beli... si Abang tampak menyesal mengeluarkan kebijakan itu... tapi daripada berat-berat dibawa pulang, dimakan sendiri juga bosan (karena tentu dia tiap hari makan jeruk), kebijakan itu nampaknya cukup logis. Biasanya tiap hari ada saja yang seperti ini, baik jeruk, salak maupun duku.

Kalau jeruk mandarin lokam yang biasa saya beli, sebesar kepalan tangan anak remaja, rasanya manis, tapi harganya memang lebih mahal. Normalnya, 5000 dapat 5. Tapi biasanya saya baru beli kalau harganya sudah mencapai 7 biji untuk 5000 rupiah, saya beli 10.000, dapat 14. Percayalah, untuk jenis jeruk serupa, di swalayan manapun lebih mahal!

Salak lumayan murah. Pedagang frustasi bisa jual sampai 100 perak per salak. Yap, benar, dengan 10 ribu pada malam hari anda bisa mabuk salak, karena bisa dapat 100 biji! Cara jualnya pun cukup menarik... “SALAK NIH, CEPEK-AN (100an) !! beli sekarung dapet karungnya!!” Tapi tenang, “karung” disini maksudnya kantung kresek. Meskipun kalau anda beli 10 ribu rupiah, kresek anda tentu akan sebesar karung. Duku atau lengkeng pun biasa dijual dengan metode yang kurang lebih sama

Mangga, apel, pir, alpukat lumayan mahal. Standarnya, 5000 dapat 5. Tapi tetap, masih bisa bermetamorfosis, mangga manalagi bisa 7 untuk 5000, apel fuji juga bisa 10 biji untuk 5000. Tentu ini diiringi dengan ucapan2 memohon iba dari si pedagang. Seorang tukang apel pernah kecewa karena apel fuji dibanting harganya sampai 10 per 5000 pernah mengeluh... “set dah, 5000 dapet 10 aja masih kagak ada yang mau?? Kalo mau dapet 20 mah apel malang bu, KECIL-KECIL RASANYA KAYAK UBI! Ni apel manis nih!! Pusing ntar kalo makan apel ginian tapi murah sih!!”

Persaingan antar tukang mangga pun cukup keras. Seorang tukang mangga pernah berhenti di depan saya dengan tampang sudah ingin menangis, dengan mengatakan “7 pak! Lima rebu! Udah malem nih, ngabisin, semua juga segini pak harganya”, ketika tiba-tiba di ujung gerbong seorang pedagang lain masuk dan meneriakkan harga kompetitif.. “5000 DAPET 10 NIH !! DIMANA LAGI (kata tanya) ADA MANALAGI (jenis mangga) GOPEK-AN (500 rupiah) nih BU???!!!”. Spontan, tukang mangga yang didepan saya bergumam keras.. “SETAN!!” Berikut perbincangan diantara mereka yang terjadi setelahnya...

TM (Tukang Mangga) 1 : “Woy, lu kalo prustasi jangan deket2 gua dong! Banting harga seenaknya aja lu! Kagak dapet untung g**lok!!
TM 2 : “set dah, udah malem ini, lu masih nyari untung aje! Udah obral aja daripada lu bawa pulang, bini lu juga udah bosen ma mangga!!”
TM 1 : (akhirnya menyerah) “ya udalah, ni juga 5000 dapet 10 dah!! Ni siapa yang mau nih!! Gila, segini juga masih kagak ada yang mau!!”
TM 2 : (berkata pada para penumpang sambil membungkusi mangga yang dibeli) “Ini mah jarang-jarang bu.. berhubung saya mau kondangan (ke ondangan/pesta) aja nih ntar malem, butuh pulang cepet ama duit buat diamplopin!”
TM 1 : “Eh, iya, tadi lu dicariin istri lu di Bogor, disuruh pulang cepet!”
TM 2 : “Tuh, kan! Emang saya mau kondangan bu! (ke ibu2 yang membeli mangganya). Mangkanya nih siapa lagi ni yang mau, cepetan!!”

Apapun buahnya... para pedagang frustasi dan ucapan “5000 ambil SEMUA dah!!” memang selalu ditunggu...

5. Koran dan media massa lain
Dijual dengan selisih harga 500 dibanding di kios koran biasa, tentu lebih murah di kereta. Koran dan majalahnya cukup banyak jenisnya, mulai dari kompas sampai koran2 murah yang kebenaran beritanya tidak terjamin (dan headlinenya selalu tentang perkosaan atau minimal sesuatu yang berhubungan dengan wanita), tabloid bola, tabloid pulsa (isinya tentang HP semua), griya (perumahan di jabodetabek), dsb. Tentu dengan metode pemasaran yang juga inovatif. Griya misalnya, biasa dijual dengan teriakan ..”ya GRIYAnya nih, yang pengen tau harga2 rumah, siapa tau ibunya anak2 lagi pengen beli rumah, bisa diliat disini!! GRIYA GRIYA!!!” Teriakan ini malah membuat kisut kaum bapak yang tadinya berniat membeli...berhubung kalo bener ibunya anak2 jadi pengen beli rumah gara-gara GRIYA, bisa repot...

6. Minuman Ringan
Seperti biasa, menjual air mineral gelas, prutang (frutang), kopi, teh botol, temulawak, coca cola, dsb. Menarik diperhatikan fenomena pada bulan Ramadhan dimana semua pedagang seperti beralih dagangan ke sektor minuman ini, sehingga di satu gerbong bisa sampai ada 5 pedagang minuman yang lalu lalang menjajakan dagangan yang persis sama.

7. Lain-lain : pupuk tanaman, daster, kaos kaki, peci, sejadah, anak kodok bernyanyi, jangkrik yang bisa bunyi (tenang, semua dari plastik), bajaj, bus trans jakarta, helikopter, pesawat jet, truk, sedan (semua miniatur tentunya), buku mewarnai Dora dan Spongbob (Dora the Explorer dan Spongebob Squarepants), TTS, dan sebagainya yang dijual dengan satu prinsip : “diatas 5 rebu, ga akan ada yang beli!”. Sempat juga ada yang menjual satu set peralatan minum teh (teko, cangkir dsb) yang berwarna emas sepuhan. 10 ribu satu set, dan karena tidak ada yang beli dia bertanya dengan sedikit sarkastik pada semua penumpang... “ni kagak ada yang mau nih? Kenapa? Belom pada gajian ya? Kapan gajian? Besok? Ni 10 rebu doang nih, buat bini di rumah!!”.. tetap ga ada yang beli...

Dunia memang seolah terbagi 2. Dunia mimpi, biasa diisi dengan sinetron-sinetron yang menampilkan kekayaan dan masalah-masalah ecek-ecek seperti putus cinta, perebutan kekuasaan, berebut cowok, perselisihan antar cowok yang berebut cewek, dsb. Adapun dunia perjuangan hidup diisi dengan frustasi dan hikmah yang didapat darinya. Semua hanya untuk mengantarkan diri pada sebuah kondisi yang mengingatkan para pejuang untuk berkata...”alhamdulillah”

Bagaimanapun, kita hidup di sebuah sistem perekonomian yang aneh. Sebuah sistem dimana orang-orang yang bekerja paling keras, berkeringat hingga paling lelah, adalah orang-orang yang mendapat penghasilan terendah. Sementara orang-orang yang mengandalkan kapasitas relasional, menjilat dan menyerah pada kemunafikan, adalah mereka yang paling berpotensi untuk menjadi penguasa.

Shopping, everyone??

Tuesday, February 14, 2006

Kepribadian Ganda...

Sebuah keseharian di lingkungan birokrasi Indonesia…

Awan : “Wah, ada duit nganggur nih... uhuy!!! Mantap!!”
Ajat : “Wah, bener nih wan... Lumayan buat bayar cicilan-cicilan 4 bulan... Bisa tuh kayanya“
Awan : “Bener juga ya... asiiik, lumayan, bisa ngasih ke ibu lebih bulan ini“
Ajat : “Naah... kan... bagus tuh!!“
Asad : “Lu yakin ntu duit lu wan?“
Awan : ”Eh, Asad, dari mana aja lu?? Ya yakin lah, insya Allah, semua juga ngambil kan?”
Ajat : ”Iye lu Sad, tau-tau dateng maen langsung nimbrung aja! Ya iyalah ntu duitnya si Awan...”
Asad : ”Lho?? Bukannya itu duit operasional?? Kalo ga dipake operasional, mestinya dibalikin dong?”
Awan : ”...”
Ajat : ”ah, ya kagak! Sejak batu pondasi bangunan ini didiriin, kagak pernah ada yang namanya orang ngebalikin duit dinas!
Lagian, pos pengembaliannya juga ga ada kan?”
Awan : ”mmmm... iya sih jat, tapi.... kok... emang agak aneh sih...”
Ajat : ”aneh bagemana?”
Asad : ”Aneh karena yang lu tau, hak lu di perjalanan dinas itu sampe sebatas lumpsump kan? Namanya juga duit operasional, jadi lu pake buat operasional dinas lu! Ya sebatas itu!”
Ajat : ”ya tapi kan sisa! Emang disananya aja lu berhemat kan?? Jadi sisa. Jadi wajar dong kalo uang itu lu ambil, kan mestinya juga emang lu pake?”
Asad : ”Tapi perkaranya, ternyata nggak lu pake kan?? Lagian, mestinya setiap pengeluaran dari uang operasional itu ada kuitansinya kan? Emang tu uang sisa ada kuitansinya?
Awan : ”ya nggak sih sad, namanya juga sisa, mana ada kuitansinya.... Tapi kata bos, disuruh bikin kuitansi sendiri aja, gedein pengeluaran2 yang riil, sampe nominal uangnya abis, terus uangnya gw ambil aja. Gitu.”
Ajat : ”Nah, masalah terpecahkan kan?”
Asad : ”Lah?? Lho??? Jadi lu manipulasi kuitansi dong!”
Awan : ”ya nggak gitu.... eh... iya ya??”
Ajat : ”nggak... kan disuruh bos lu, jadi dosanya ke dia dong..”
Asad : ”Palalu ke dia???!!! Yang ngelakuin kan tetep elu wan! Dan uangnya juga jatohnya ke elu! Kalo emang itu manipulasi kuitansi, haram dong tu duit.”
Awan : ”Taptap...tap...tapi... jadi gw nolaknya bagemana? Eh, jadi harusnya gw tolak ya?”
Ajat : ”YA KAGAK! LU AMBIL LAH!”
Asad : ”Ngawur! Ya tinggalin! Bilang aja apa adanya, lu ngomong yang bener ke bos lu!”
Awan : ”Tapi...”
Asad : ”Tapi apa lagi? Kebutuhan lu? Takut ntar lu kelaparan? Takut ga ada tabungan? Takut ga bisa bayar cicilan? Takut ga bisa ngasih ke emak lu? Takut?? Takut lu??”
Awan : ”mmmm.... ya... iya sih... hehe...”
Asad : ”CUPU amat lu kayak gitu aja takut? Kagak yakin amat ama Allah?”
Ajat : ”lah, ini rejeki men! Kagak boleh lu nolak rejeki!”
Awan : ”tapi kan, ni kagak jelas statusnya jat... ya jadi belom jelas dong ini rejeki ato musibah”
Ajat : ”terserah lu aja dah! Pokonya gw udah ngasi tau lu ya...”
Asad : ”nah, gitu dong... ngarti juga lu ahirnya...”
Ajat : ”tapi, terus duit2 laen yang kagak jelas statusnya gimana?”
Awan : ”maksud lu jat?”
Ajat : ”ya, honor2 waktu rapat di hotel, honor2 kagak jelas waktu lu lembur, dsb?”
Awan : ”eh, iya ya... tapi kan itu gw emang kerja jat! Jadi wajar dong gw ambil duitnya?”
Ajat : ”tapi kan di anggaran proyek kagak ada tuh pos anggaran buat duit lembur?”
Ajat : ”jadi kagak boleh diambil juga?? Ya elah, jadi apa yang boleh diambil dong? Kagak jelas statusnya itu kan bukan berarti kagak boleh diambil!”
Asad : ”justru, kagak jelas statusnya itu juga bukan berarti boleh lu ambil. Yang pasti boleh lu ambil adalah yang udah jelas hak lu! Gimana ngebedainnya? Yah, gw rasa lu juga bisa tau kan wan... ada yang bikin lu tenang, dan ada yang bikin lu ga bisa tidur.”
Awan : ”hhhh... yaaa... gw rasa emang begitu ’sad. Selama ini yang gw ambil adalah yang menurut gw emang hak gw, atau emang gw layak dapet itu... tapi gw ga mikirin asalnya. Eh, tapi kalo yang di hotel kan emang ada anggarannya kan sad? Maksud gw, udah ada posnya di anggaran acara, dan itu resmi.”
Asad : ”ya kalo gitu berarti mungkin emang hak lu...”
Ajat : ”set dah! Idup tu buat dinikmatin, bukan dibikin susah!”
Awan : ”UDAH! CUKUP! Oke, kali ini lu yang menang sad! Sisa duit operasional itu bakal gw balikin... tau dah, bodo amat bagemana reaksi dari atasan. Lagipula, gw rasa itu ga bakal terlalu mempengaruhi sistem, berhubung gw masih kroco disini.”
Asad : ”Memang itu ga bakal mempengaruhi sistem wan, lu belom cukup kuat untuk itu. Tapi minimal, itu ga nyelakain lu di akhirat. Insya Allah..... Hehe, sori jat, kali ini gw yang menang... huahahahahahahahaha !!!!”
Ajat : ”oke-oke, gw ngaku kalah kali ini... yaaah... mungkin emang harus gitu wan... eh, ada baiknya ini lu tulis di blog lu. Siapa tau bisa jadi sebuah pelajaran, pengingat buat temen2 kita yang ada di kebingungan yang sama, you know lah, temen2 kita juga banyak yang di instansi beginian.”
Awan : ”bener juga lu jat...”
Asad : ”Tumben lu jat, ngusulin begituan... usul lu bagus... tapi... lu yakin ngga sedang menggoda si awan dengan riya’ ?”
Ajat : ”Riya’ gimana maksud lu sad? Itu sih tergantung si Awannya. Iya ga wan?”
Awan : ”mmmm... bener juga lu sad... potensi riya’ kayanya cukup besar kalo gw muat ini di blog... dan itu dosa juga. Tapi..... jadi gimana dong???”

Keterangan :
Ajat = Awan JAhaT
Asad = Awan lagi SADar
Awan = ya Awan, gw sendiri...

Begitulah, percakapan sehari-hari di lingkungan kerja saya... Pada kasus pertama mengenai sisa uang operasional, Asad menang. Tapi di kasus kedua mengenai potensi riya’ dalam pemuatan percakapan ini di Blog, yaaa.... saya tidak tau siapa yang menang, tapi yang jelas, akhirnya percakapan ini saya muat...

Tapi memang begitulah hidup saya, terkadang si Asad yang menang, terkadang si Ajat. Kalau sudah begini, kadang2 saya merasa seperti berkepribadian ganda...

Ibnu Khaldun dalam konstelasi pedagogiknya terkenal dengan konsep fitrah, yaitu konsep bahwa semua anak sebenarnya terlahir baik, lahir dalam Tauhid yang baik. Tetapi kemudian perkembangannya menjadi baik atau tidak juga tergantung pada kondisi eksternalnya. Berarti, potensi untuk baik sekaligus potensi untuk jahat itu memang ada pada manusia. Kebaikan dan kejahatan memang beriringan??

O iya, mengenai postingan ini, kalau ada yang tersinggung, saya mohon maaf. Saya tidak sedang mencela semua PNS secara keseluruhan. Tapi saya tidak bisa memungkiri, hal2 seperti ini memang terjadi di depan mata saya hampir setiap hari, berhubung saya juga bekerja di sebuah instansi pemerintahan, meski berstatus kontrak. Mungkin juga ini hanya terjadi pada saya, atau cuma khayalan saya saja... Tapi, Semoga teman2 yang PNS bisa membawa angin perubahan yang baik di masa depan. Saya yakin Allah akan bersama teman2 yang berjuang.

Tulisan ini juga ditujukan untuk kawan2 yang sama seperti saya, sedang beraktifitas di instansi pemerintahan. Saya yakin, kawan2 masih bisa membedakan mana yang bikin tenang, dan mana yang bikin kita ga bisa tidur.

(ditulis ketika keikhlasan saya sedang dalam titik kulminasi terendah, yaitu ketika saya sedang dalam masa2 sulit dalam hal keuangan, sehingga kembali mempertanyakan keputusan saya mengenai uang operasional itu... Ya Allah... kuatkanlah hambaMu yang lemah ini.... hiks...)

Monday, February 06, 2006

Hijrah... (episode 2)

Sambungan dari postingan sebelumnya... semoga tidak bosan membacanya :p

------

Pada hari ketiga kami di Dekai, seorang rekan mengusulkan untuk melihat lokasi perkampungan yang terdekat. Usulan ini sebenarnya wajar, mengingat tidak ada penduduk asli yang tinggal di ”pusat kota” yang belum jadi ini. Mereka tersebar di 9 kampung di sekelilingnya, tapi masih termasuk kecamatan (disini disebut ”distrik”) Dekai. Dan bodohnya... kami sepakat...

”Terdekat” dalam hal ini ternyata, menurut Pak Guru Takati yang kemudian menjadi pemandu kami, adalah 2,5 jam perjalanan menembus hutan di luar lokasi kami, kalau malam sebelumnya tidak hujan (tanahnya kering). Menurut Pak Takati, kalau dia jalan sendiri, mungkin bisalah 1,5 sampai 2 jam, tapi karena kami sekarang berempat, mungkin bisa 2,5 jam. Wajar, dia sudah biasa bulak balik ke kampung itu, yang konon bernama Koropun. Saya agak sangsi dengan kalkulasi ini, karena semalam hujan turun. Tapi Pak Takati meyakinkan saya bahwa hujan tidak terlalu lebat semalam.

Dan pukul 9 tepat, kami memasuki hutan, dengan hanya bersenjatakan parang dan sepatu boot setinggi betis.

Beberapa ratus meter memasuki hutan... mimpi buruk kami menjadi kenyataan. Langkah kami memberat... Tanah yang biasanya menjadi jalan setapak ke Koropun telah melunak akibat hujan sehingga menjadi seperti lumpur. Sialnya, ketika kaki kami masuk, kaki kami itu tertanam sampai selutut. Seorang kawan saya bahkan saking naasnya memasuki lumpur tanah yang tingginya sampai paha. Mohon diperhatikan, lumpur ini tidak cair, tapi padat seperti tanah yang lunak. Otomatis, kami tidak bisa bergerak. Dengan susah payah kami mengeluarkan kaki kami, lalu naik ke akar pohon atau batang-batang pohon yang sudah mulai ditebang untuk pembangunan. Dalam beberapa bulan kedepan, memang direncanakan pembangunan jalan dari Dekai melalui Koropun sampai ke Logpond, pelabuhan sungai di salah satu sudut Sungai Brassa (saat ini, mungkin jalan pasir itu sudah jadi, dan kisah ini menjadi tidak lagi relevan dengan kondisi di sana sekarang).

Pak Takati mengajak 2 orang muridnya yang umurnya sebenarnya hampir 17 tahun tapi masih kelas 4 SD, dan seorang pria tua yang ternyata mantan kepala kampung di Koropun. Pakaian mereka sederhana, hanya kaus robek yang lusuh dengan celana pendek sampai pangkal paha yang warnanya juga sudah pudar digerus tanah dan keringat. Mereka hampir tidak bisa berbahasa Indonesia, tapi mengerti apa yang kami ucapkan, bila berbicara dengan lambat, jelas, dan dibumbui aksen khas papua...

Pak Takati menjelaskan bahwa penduduk asli sini telah mengembangkan sebuah metode berjalan yang efektif untuk kondisi semacam ini. Intinya adalah meringankan tubuh, kejelian dan ketepatan memilih pijakan yang cukup keras, dan kecepatan langkah, hampir seperti berjalan cepat yang dipadukan dengan ilmu ginkang dari daratan Cina (kalau suka baca Ko Ping Ho pasti tau... atau minimal novel Wiro Sableng lah). Mereka menamakannya ”Langkah Kasuari”. Nama yang bagus... mengingat kasuari tidak menggunakan sepatu boot. Dan ternyata, seperti anda semua mungkin telah mengira, orang-orang sini juga tidak menggunakan alas kaki dalam berjalan. Tapi itu efektif saudara-saudara!

Oke, kami tidak bisa mengikuti langkah mereka, dan mereka senyum-senyum saja karenanya. Pak Takati bisa mengimbangi mereka, karena sudah 1 dekade mempelajari teknik ini, meskipun lebih lambat karena Pak Takati tetap mengenakan sepatunya. Tapi mereka sangat baik, mereka bersabar dan menolong kami.

Sebenarnya bukan rasa lapar, panas matahari, atau lamanya berjalan yang membuat kami menderita... Melainkan rasa pegal karena merasa perjalanan ini tidak berujung, dan berulang kali harus berusaha mengangkat kaki yang tertanam didalam tanah, sesekali sampai menggali dengan tangan kami untuk mengambil sepatu yang tertinggal di dalam tanah.
Selain itu, karena kami tidak mempersiapkan diri untuk perjalanan semacam ini, bekal kami habis sebelum kami mencapai ¾ jalan ke Koropun. Bekal minum dan makanan sama habisnya.

Dalam perjalanan kami banyak melintasi sungai-sungai kecil, anak-anak sungai Brassa.

Setelah 3 jam berjalan dan kelelahan... kami semua berisitirahat di sebuah anak sungai yang lumayan besar. Satu batang pohon yang besar melintang diatasnya, menjadi sebuah jembatan yang dapat kami gunakan untuk melintasi si anak sungai yang cukup deras itu.

Dalam peristirahatan itu kami merasakan nikmatnya meminum air sungai di Yahukimo yang memang jernih, dingin dan menyegarkan itu. Bapak tua mantan kepala kampung yang ikut memandu kami memang baru mengizinkan kami minum dari sungai itu, setelah sebelumnya kami bertanya bolehkah kami minum di sungai-sungai yang kami lalui sebelumnya. Baru di sungai yang ini dia mengizinkan.

Seorang rekan saya kemudian menyerah kalah... Rasa nyeri karena otot pahanya tertarik dalam perjalanan tadi memaksanya untuk beristirahat lebih lama. Dia memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan, berisitirahat di tempat itu, dan kembali pulang saat merasa sudah cukup kuat. Kami tidak bisa memaksa, karena Pak Takati pun tidak bisa memperkirakan medan di depan kami setelah hujan semalam (biasanya memang Pak Takati lebih memilih tidak pergi dalam kondisi seperti ini, kalau malam sebelumnya hujan). Pak Mantan Kepala Kampung memutuskan untuk menemani rekan saya itu, untuk mengantarnya pulang. Kami kemudian meninggalkan keduanya dan melanjutkan perjalanan ke Koropun. Pak Takati berkata bahwa kami sudah dekat.

Dalam perjalanan, kami memasuki jalan yang lebih lebat, hutan yang lebih rimbun. Lebih teduh memang, tapi kewaspadaan kami diuji.

Tiba-tiba, dengan satu gerakan isyarat, Pak Takati menyuruh kami untuk diam, dan menunjuk ke arah 2 ekor babi hutan yang besar... Kami bergerak perlahan, berusaha tidak membuat gerakan yang bisa membuat mereka merasa terancam, karena kalau tidak, bisa-bisa mereka yang akan mengancam kami...

Setelah dirasa cukup aman, kami kembali duduk. Sebuah batang pohon besar yang nampaknya telah lama tumbang menjadi pilihan kami. Dibawahnya melintang panjang sesuatu yang sekilas menyerupai batang pohon kecil yang berlumut... Seorang rekan saya iseng menancapkan parangnya di situ. Tapi, kontan kami terkejut ketika batang pohon itu mengeluarkan cairan seperti darah ketika si parang menancap. Satu kata dari Pak Takati : LARI !!!

Kami ternyata telah menancapkan parang pada seekor ular besar yang sepertinya sedang dalam masa pertapaan. Lamanya si ular bertapa (semedi kalau kata orang jawa), menyebabkan lumut-lumut tumbuh di tubuhnya, dan berkurangnya refleks si ular, sehingga kami berhasil melarikan diri.

Tapi kejutan tidak berhenti di situ... Pak Takati kembali berteriak keras seperti babi hutan yang terkena anak panah, diikuti umpatan kasar yang oleh rekan saya diteriakkan sambil tertawa karena kembali terlibat kekonyolan yang membahayakan jiwa raga. Dalam kondisi lari tunggang langgang karena takut ular, kepala Pak Takati ternyata secara tidak sengaja (tentunya) telah menabrak sebuah sarang lebah. Satu kata dalam kepala saya... ALAMAAAAAKKKK !!!!!

Kami kembali berlari...

Untunglah, entah karena tubuh kami telah bau keringat atau para lebah memaklumi kami yang tidak sengaja mengganggu mereka karena takut ular, tidak banyak dari mereka yang mengejar kami. Mereka berhenti setelah memastikan kami tidak lagi mengancam mereka...

Setelah beberapa kali meregang nyawa melewati anak2 sungai berbatu cadas yang deras airnya, dengan batang pohon kecil yang menjadi jembatannya, kami akhirnya mencapai Koropun...

Setelah terbiasa dengan tatapan2 aneh dari penduduk Koropun terhadap saya dan rekan saya, kami mulai mengamati keadaan, mengambil beberapa foto...

Pak Takati yang nampaknya telah akrab dengan penduduk kampung, yang sebagian besar adalah murid-murid, atau mantan muridnya, bercengkerama dengan santainya, sambil menikmati jamuan seadanya. Sebagai gantinya, kami memberi mereka CDR... iya, bener, CDR, Calcium D Redoxon, tablet effervescent...

Tentu, mereka tidak tau cara mengkonsumsinya... Dan ketika kami contohkan, beberapa diantara mereka melompat ke belakang karena terkejut saat melihat tablet itu ”meledak” dalam air... Dengan ragu-ragu, beberapa dari mereka meminumnya... kemudian tertawa, sambil berkata... ”aaa, bagus.... suka!!” Mereka meminumnya dengan perlahaaaaaaan sekali, karena sayang kalau cepat habis...

Penduduk Koropun tinggal di rumah-rumah sederhana, berbentuk panggung. Terlihat juga beberapa rumah pohon yang sangat sederhana. Menurut kepala kampung, mereka punya dua kampung. Kampung satunya adalah di dekat ladang mereka di tengah hutan, yang semuanya berbentuk rumah-rumah pohon. Mereka memang tinggal di atas pohon saat berladang, karena di darat banyak binatang buas... Cukup rasional, tapi cukup menyulitkan buat saya yang setelah kembali ke Jakarta harus memikirkan bentuk ”kota” apa yang harus direncanakan untuk daerah yang penduduknya semacam ini...

Memang, seorang planner atau secara umum ”orang pusat” seringkali terjebak pada pola bahwa pengembangan sebuah kota seolah berarti wajib menjadikan sebuah kota itu sebagai ”metropolitan”, tanpa melihat apakah sebenarnya masyarakat disana membutuhkan itu, atau kearifan-kearifaan lokal yang terkandung didalamnya.

Tak lama, kami teringat pada rekan kami yang cedera dan kami tinggalkan di titik peristirahatan tadi. Kami juga memikirkan bekal kami yang habis, sehingga kami ragu apakah kami bisa kuat untuk kembali ke rumah pak takati. Kami sepakat bahwa salah satu dari kami bertiga harus pulang terlebih dahulu untuk menuntun rekan kami yang cedera itu,pulang ke rumah pak takati, membawa bekal dan kina (hari ini kami belum makan kina,sementara kondisi tubuh kami saat ini sangat lemah), lalu kembali ke jalur perjalanan tadi lagi untuk menyambut pak takati dan rekan saya satu lagi itu dalam perjalanan, memberi bekal agar kami tidak kelaparan. Akhirnya diputuskan, sayalah yang akan pulang duluan. Pak takati dan rekan saya beristirahat di Koropun untuk menerima jamuan dari penduduk. Meski miskin dan hampir tidak ada makanan, adat penduduk koropun memang begitu. Mereka merasa wajib menjamu tamu, dan adalah tidak sopan untuk menolak jamuan itu.

1 jam perjalanan, saya kembali bertemu dengan rekan saya yang cedera itu, masih ditemani dengan pak tua mantan kepala kampung koropun. Karena kami semua kelelahan, tongkat2 kayu menjadi sangat membantu dalam perjalanan itu.

Akhirnya kami sampai pada jalur yang agak terbuka. Meskipun panas terik luar biasa, tapi ternyata belum cukup lama untuk membuat tanah lumpur ini cukup mengeras untuk bisa kami lalui dengan nyaman. Terlebih, inilah jalur satu2nya yang paling aman, baik dari ancaman binatang buas maupun resiko tersesat. Maka, walau panas membara, kami lalui juga jalur itu...

Dan ternyata, inilah momen yang sampai saat ini saya anggap adalah saat2 dimana saya merasa paaaaling dekat dengan kematian...
--------

matahari bersinar sangat terik... membuat saya tak kuasa membayangkan bagaimana panasnya neraka nanti...
makanan terakhir yang kami makan adalah biskuit kering, tanpa minum, yang membuat dinding2 mulut kami begitu kering dan cadasnya. Mulut dan kerongkongan kami telah begitu kering dan sakit sehingga kami menyesal telah memakan biskuit itu. Selang 1 jam kemudian, saya merasakan darah menetes dari langit2 atas mulut saya, menandakan kekeringan mulut saya telah membuat luka kecil...

selang beberapa lama... saya merasakan kaki ini tak kuat lagi melangkah. Urat2 kaki saya tak mampu lagi menahan beban. Tubuh saya butuh istirahat. Dan perut saya lapar luar biasa... saya putus asa... Pak tua yang saya harapkan bisa menjaga semangat saya pun berkali2 terduduk karena kelelahan. Dan saya pun lebih memilih menanggalkan sepatu saya, lalu membawanya, dengan harapan membuat langkah saya lebih ringan... tapi ternyata tidak banyak membantu.

Dalam teriknya matahari, entah khayalan atau nyata, saya melihat tubuh teman2 perjalanan saya itu seperti berasap... tidak, itu bukan asap, itu adalah uap dari bulir2 keringat kami yang langsung terbakar cahaya mentari begitu keluar dari tubuh... dan saya pun baru menyadari kalau bagian tubuh saya yang tidak tertutup pakaian ternyata selama ini memang kering dari keringat. Ini mempercepat dehidrasi di tubuh kami...
Berulang kali saya berpikir bahwa mungkin saya akan pingsan atau tewas di tempat ini... tapi saya selalu berusaha menepisnya dengan keyakinan bahwa saya sudah dekat...

Dalam kondisi itulah, kami melintasi sebuah sungai kecil yang airnya mengalir dengan cukup baik.... dan disebelahnya ada sebuah kubangan besar yang menyerupai kolam. Sejak tadi pun sebenarnya kami melintasi sungai2 kecil semacam ini, namun tidak ada yang airnya bisa mengalir dengan cukup baik, entah karena tebalnya lumpur,atau terhalang batang2 kayu.

Tiba2, tanpa tedeng aling2, pak tua yang sedari tadi menemani kami itu membuka kausnya, dan celananya, melipatnya dengan rapiiiih sekali. Ia berbalik ke arah kami tanpa malu, sambil telanjang bulat, lalu berkata... ”mandi dulu”, sambil menunjuk dadanya. Dan seketika ia menceburkan dirinya dalam sungai kecil itu, sementara kami masih terperangah karena adegan semacam itu memang termasuk baru bagi kami yang nampaknya berbeda budaya dengannya ini.

Saya dan rekan saya pun akhirnya menyempatkan diri memuaskan dahaga kami, mengambil air dari sungai itu, dan minum secukupnya.

Setelah pak tua itu selesai mandi, saya menanyakan padanya, mengapa ia tidak mandi sedari tadi (saat kami melewati sungai2 sebelumnya), mengapa ia memilih mandi disini dan tidak di kolam sebelahnya, dan mengapa ia tidak mengizinkan kami mengambil minum pada sungai2 sebelumnya...

Jawaban pak tua cukup membuat saya tercenung cukup lama... ”ini air bergerak, alir, bersih. Itu air diam. Kotor. (sambil menunjuk kolam disebelahnya).” Dan saya ingat juga, bahwa sungai2 sebelum ini memang tidak mengalir dengan cukup baik. Kotor juga?

Kami kembali melanjutkan perjalanan... masih dalam suasana panas menyengat kulit.

Rekan saya yang cedera akhirnya menyerah. Ia keluar jalur, masuk ke hutan, dan lebih memilih untuk beristirahat sambil menunggu pak takati dan rekan saya satu lagi kembali dari koropun, karena mereka pasti melewati jalur itu juga. Saya tidak bisa menyalahkannya, karena saya pun tidak akan mampu membopongnya sampai rumah. Saya yakinkan ia bahwa saya akan kembali secepatnya dan membawa minum.

Sepanjang jalan kemudian, saya berusaha bercengkrama dengan pak tua untuk mengusir pikiran2 negatif saya yang sudah cenderung putus asa... dan ia pun menanggapinya dengan cukup antusias, nampaknya karena motif yang sama. Tak jarang kami membantu menggali satu sama lain apabila salah satu dari kami berada dalam kondisi kaki tertanam di tanah lumpur.

----

Suara truk pasir yang sedang bongkar muat kemudian menjadi suara yang paling indah yang kami dengar pada hari itu (dan saat itu, mungkin suara terindah seumur hidup saya). Kami sudah dekat, dan saya kembali berpikir bahwa...”saya akan hidup!”

Truk pasir memang menjadi ”angkutan umum” bagi kami selama di dekai, karena memang tidak ada lagi mesin yang melalui jalan2 di dekai. Orang2 sini menyebutnya ”blakos”, singkatan dari ”belakang kosong”, karena mereka biasanya menumpang di bagian belakan truk, tempat pasir, kalau sedang kosong. Tapi kalau kursi depan sedang kosong, biasanya sang supir mengizinkan kami duduk di depan untuk menemaninya dalam perjalanan.

Betapa bahagianya saya ketika kami mencapai truk itu. Truknya sedang bermuatan pasir, penuh, tapi saya tetap bersikeras menumpang. Si supir dan temannya nampaknya cukup terkejut melihat kondisi kami yang seperti habis pulang dari perang vietnam, dan lebih terkejut lagi ketika mendengar kami dari koropun... ”jalan becek, kalian kesana?” kata si supir. Ia memberi kami teh manis bekalnya, yang membuat saya tak berhenti mengucapkan hamdalah dan terima kasih. Teh manis itu cukup untuk mengembalikan tenaga dan semangat saya.

Pak tua memandang saya dengan aneh ketika saya akan naik ke truk. Sepertinya, ia merasa dikhianati karena saya seperti akan meninggalkannya berjalan sendirian, setelah apa yang kami lalui. Saya jelaskan sebisanya,dan secepatnya, bahwa saya harus bergegas ke rumah pak takati, membawa bekal, lalu kembali ke jalur tadi untuk membawa bekal itu ke teman2 dibelakang. Sepertinya pak tua tidak terlalu mengerti, dan tetap memandang saya dengan kecewa...

Saya naik ke truk, dan segera mengambil posisi terlentang diatas pasir...menatap matahari...

Ibu Takati cukup histeris melihat kondisi saya, tapi mengerti apa yang harus dilakukan. Segera ia mengambil botol2 air, makanan yang ada, dan menyerahkannya ke saya. Saya pun segera menyambar sekantung pil kina, CDR, dan roti yang ada di tas saya, menyatukannya dalam satu plastik, dan bergegas kembali ke bibir hutan.

Pak tua masih disana, beristirahat...
Ia nampak terkejut, dan akhirnya tersenyum, ketika melihat saya kembali dengan bekal. Sepertinya ia baru mengerti apa yang saya lakukan tadi. Setelah memberi minuman dan roti ke pak tua, saya katakan padanya... ”saya ke hutan lagi, bawa bekal ke pak guru”, dan ia menyemangati saya...”ya, cepat, pak guru butuh minum!!”

Tak jauh saya masuk ke hutan, ternyata pak takati dan 2 orang teman saya sudah terlihat dari kejauhan. Rekan2 saya nampak sangat lelah, dan hampir terbungkuk2 dalam berjalan... Pak Takati, dengan sisa2 kekuatan dan ketegarannya, masih berusaha tegap berjalan, namun tatapan matanya menunjukkan kelelahan yang teramat sangat.

Makanan dalam kantung yang saya bawa itu kami nikmati dengan tertawa-tawa seperti kami sedang dalam sebuah pesta besar... kami tau, petualangan kami hari itu sudah cukup.

Tak lama, kami bersama2 naik blakos, membicarakan pengalaman hari itu, sambil bersyukur karena kami tidak kehilangan sesuatu apapun... tapi kami belum bisa beristirahat dengan tenang, kami tidak boleh tidur, karena malaria rawan menyerang pada waktu2 ini. Pukul 5.30. Ternyata, semua itu hanya terjadi dalam selang waktu 8 setengah jam. Mandi,kopi dan rokok menjadi teman kami melawan kantuk,sampai tiba waktu yang cukup aman untuk tidur.
----

malamnya, ketika saya merasa bahwa inilah saat dimana akhirnya kami bisa beristirahat, ternyata kami semua tidak bisa tidur, termasuk pak takati. Saya dan rekan2 saya berulang kali terjaga dalam tidur, karena kami bermimpi buruk. Setiap saya memejamkan mata, saya seperti melihat bahwa kaki dan setengah tubuh saya masih terjebak dalam lumpur, sementara matahari hanya beberapa meter di atas saya, dengan panasnya yang membara... Ternyata, trauma itu menghantui kami semua. Pak takati yang telah satu dekade hidup di dekai pun ternyata mengalami mimpi yang sama... dan dia lebih memilih bertukang pada jam 2 pagi, karena tidak bisa tidur. Ia membetulkan lemari di dapurnya yang tadi siang nampaknya rusak akibat anak2nya terlalu aktif ketika bermain di dapur.

-----

Satu hari kemudian, pesawat Cessna membawa saya dan 2 orang rekan saya kembali ke Wamena. Kami telah melewati mimpi2 itu, dan mengingatnya dalam tawa.
Pak Takati hanya menitipkan satu hal pada kami. Ia titip 2 ekor ayam dari wamena untuk dikirim ke dekai, karena ia ingin mengadakan pesta ulang tahun anaknya. Lucu, saya baru sadar kalau 4 hari di Dekai saya lalui tanpa melihat satu ekor ayam sekalipun... Dan kami mengirimkan 2 ekor ayam yang dipesan itu dengan pesawat satu hari kemudian.

2 hari di Wamena, kami kemudian kembali ke Jayapura, dan esoknya menaiki pesawat yang akan membawa kami kembali ke Jakarta...

-----

Di atas awan, saya melihat lautan Papua yang kami tinggalkan beserta segala kenangannya di Yahukimo... Dan dalam ketermenungan saya itu, kembali terngiang kata2 pak tua mantan kepala kampung yang menjadi teman saya tempo hari...

Hanya air yang mengalirlah yang bisa jernih. Sementara air yang terlalu lama diam akan berlumut dan berlumpur. Hilanglah kejernihannya.
Saya teringat betapa Rasulullah SAW pernah menekankan pentingnya suatu proses ”hijrah”. Kearifan pak tua membuat saya mengingat kembali ajaran ini.

Hijrah sebenarnya adalah sebuah proses dimana seorang manusia ”mengalir”. Tidak hanya secara fisik, hijrah secara hakiki justru dimaksudkan pada pergerakan jiwa, pergerakan menuju sesuatu yang dituju, pergerakan menuju Allah. Kalau ada orang mengatakan bahwa perjalanan itu menjernihkan jiwa, maka tidaklah salah perkataan itu.

Dan momentum 1 muharam, tahun baru kita, selalu mempertanyakan, sudah sejauh mana hijrah kita... sudah sejauh mana kita memperbaiki diri saat ini, sehingga kita tidak termasuk dalam orang2 yang merugi?

Mengalirlah... agar kita tetap jernih...

Selamat tahun baru !!!

Thursday, February 02, 2006

Hijrah... (episode 1)

Saat saya mulai menulis postingan ini, adalah tanggal 1 Muharam 1427 H, tahun baru...
Pada momen inilah saya terkenang sebuah pengalaman ketika sedang di Papua, dan sebuah hikmah yang terkandung didalamnya.

Tapi... yaaa... buat yang udah kenal saya... tau lah, KAPAN SIH AWAN BISA NULIS PENDEK???

Yup, bener, postingan ini panjaaaaaaaan banget, sehingga terpaksa saya potong menjadi 2 episode. Tulisannya sih udah selesai, tapi dipotong biar ga capek bacanya. Pokonya, postingan ini saya cicil sedikit demi sedikit pada jam makan siang, sampai selesai pada hari ini, tanggal 3 Muharam 1427. Panjang banget kan kesannya??? EMANG!!

So... semoga tidak bosan...
Alkisah....
--------------------


Panaaaaaaaasssss!!!!!!!
Panas banget bo!

Hari ini adalah hari ketiga saya di Dekai, "ibukota" Kabupaten Yahukimo, sebuah kabupaten baru di Papua, pecahan dari apa yang asalnya adalah Kabupaten Jayawijaya yang amat luas.

Saya bersama 2 orang rekan, seorang sarjana geodesi UGM berumur sekitar 35-an, dan seorang dosen muda geologi Universitas Cendrawasih yang mungkin lebih tua sekitar 4 tahunan dari saya...

Jadi ceritanya, saya dan rekan-rekan saya itu sedang survey untuk penyusunan Rencana Tata Ruang Kabupaten Yahukimo (RTRW Yahukimo) dan Rencana Detil Tata Ruang Kota Dekai (RDTRK Dekai). Kami survey pada bulan Maret 2005, jauh sebelum gembar-gembor berita kelaparan di Yahukimo pada akhir tahun 2005 sampai awal 2006. Belum banyak yang mengenal Yahukimo waktu itu, termasuk kami.

Dekai memang sebuah pengalaman baru bagi saya. Wajarlah, ini pertama kali ke papua. Tapi dibandingkan dengan Jayapura dan Wamena pun, Dekai tetaplah sesuatu yang baru.

Perjalanan dari Dekai setelah satu minggu menginap di Wamena pun adalah sebuah pengalaman tersendiri. Inilah pertama kalinya saya naik pesawat model cessna dengan satu baling2 di depan, dan kapasitas penumpangnya paling banyak hanya 5 orang, termasuk pilot. Ia lebih mirip sepeda dibanding pesawat, karena tanpa radar dan alat navigasi lain kecuali kompas. Jadi, seperti menyetir sepeda atau mobil, arah pesawat ditentukan sepenuhnya oleh sang pilot. Beliau ini adalah salah seorang pilot dari lembaga misionaris yang banyak bergerak di daerah ini. Memang lembaga2 misionaris seperti inilah yang sepertinya menguasai penerbangan di papua.

Karena kemampuan terbangnya yang tidak terlalu tinggi... atau lebih tepatnya kita bilang... ”rendah”, pesawat ini juga tidak mampu terbang jauh diatas pegunungan yang kami lewati, karena turbulence dan tekanan udara yang tidak sepenuhnya saya mengerti, yang intinya adalah... ”kalau lebih tinggi dari ini, kita jatuh!” (demikian kata sang pilot dalam bahasa Inggris, berhubung dia orang bule, sepertinya dari Belanda). Dan karena ketidakmampuan terbang tinggi itulah, kami menikmati pengalaman nyaris mati setiap detiknya, karena sang pesawat yang malang itu terpaksa meliuk-liuk diantara bukit-bukit dan jurang-jurang terjal dan cadas, karena morfologi pegunungan Yahukimo memang didominasi oleh batu-batuan cadas dan sedikit tanah yang rawan lonsor diatasnya. Maka dari jendela-jendela pesawat, kami seringkali bergetar karena melihat dedaunan pohon dibawah dan di samping kami yang jaraknya mungkin tidak sampai 20 meter dari pesawat... Daun-daun pohon bisa terlihat begitu jelas.... begitu juga dengan batu-batuan di lereng-lereng yang kami lewati.

Jadi teringat film-film action sekelas Tour of Duty atau McGyver yang dulu suka menampilkan adegan-adegan semacam ini, dari helikopter perang zaman perang Vietnam atau dari pesawat sejenis yang kami tumpangi ini.

Adapun sang pilot, yang memang asli bule, meskipun sedikit mabuk, tapi alhamdulillah tetap waras dan sedikit menenangkan kami... ”tenang, saya tiap hari lewat sini... kalau pilot Indonesia, pasti sudah jatuh.. hahahaha... Bapak2 sudah biasa terbang ??”. Sambil mesem2, kami balas tertawa kecut dan menjawab.. ”aah, sudah pak, terbang begini kami sudah biasa... hahaha”. Kami terpaksa jawab begitu, karena berdasar informasi dari sumber yang dapat dipercaya, kalau kami bilang belum biasa terbang, si pilot akan berputar2 di udara untuk menjaili kami sampai kami muntah dan minta turun. Tentu, kita semua tidak ingin itu terjadi kan???

Yaah, setelah penerbangan yang lebih mirip dengan sebuah tantangan Fear Factor Indonesia, kami mendarat di Dekai, yang dari atas lebih mirip sebuah oase di tengah padang pasir (hanya saja, padang pasir itu diganti menjadi hutan belantara).

Dan ternyata... luar biasa... panasnya...

Ga tau deh, kayaknya disini matahari ada tiga.

Segera saja pesawat kami dikerubungi anak2 dan penduduk asli, sebagian hanya menontoni kami yang pakaiannya berbeda dengan mereka, dan sebagian menawarkan jasa mengangkat barang tanpa kata-kata (langsung angkut!).

Panasnya udara dan malaria sepertinya adalah topik paling menarik di Dekai, karena tidak ada seorangpun yang kami ajak ngobrol di Dekai yang tidak membicarakan 2 hal ini. Tapi memang agak aneh juga, mengingat Dekai sebenarnya bisa dibilang dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan. Daerah semacam ini biasanya banyak angin dan kalau anginnya dari gunung, biasanya dingin. Tapi di Dekai tidak demikian. Hampir tidak ada angin, dan panasnya seperti sedang dibakar diatas kompor. Dengan kata lain, panas ini seperti dari dalam tanah, dan perbedaan tekanan udara karena suhu dari tanah ini membuat angin tidak bergerak ke Dekai, melainkan berputar melewatinya. Cahaya matahari yang sangat terik ditambah hujan yang datangnya tidak tentu dan tidak juga lama, menjadikan iklim daerah ini menjadi pengap, anginnya (kalaupun ada) kering, dan membuat mandi tidak ada gunanya.

Dua hari pertama kami habiskan dengan berkeliling ”kota” (yang sebenarnya tidak lebih dari bangunan2 kayu yang sebagian besar masih dalam tahap konstruksi dan belum berpenghuni, jalan pasir yang hanya dilalui oleh truk2 pasir, karena tidak ada kendaraan lain, dan para pekerja yang tidur di barak di dekat satu-satunya warung yang ada di Dekai ini) dan mengobrol dengan cukup banyak orang. Kami menginap di rumah Pak Guru Takati, seorang guru berdedikasi tinggi dari Timika. Dia ditugaskan di Dekai sejak tahun 1996, dan hampir 10 tahun sudah tinggal di Dekai. Dialah guru pertama di Dekai, dan masih bertahan sampai sekarang, sementara guru2 bantu lain sudah banyak yang datang dan pergi karena tidak tahan. Menurut beliau, guru2 itu tahan lebih dari 1 tahun adalah sebuah keajaiban...

Dari setiap orang yang diajak ngobrol, pasti saja kami dengar mengenai malaria, dan bagaimana virus itu membunuh orang2 yang terdekat dengan mereka. Beberapa mengatakan kawan/saudara mereka mati di tempat tidur dalam kondisi mengenaskan... beberapa mengatakan kawan mereka tidak tahan panasnya tubuh saat mereka demam, kemudian lompat ke sungai Brassa yang besar dan deras, yang mengalir membelah perbatasan antara Dekai dengan Sumohai (hutan belantara yang mengitari Dekai), kemudian mati tenggelam... beberapa mengatakan kawan mereka menjadi gila karena tidak tahan dengan demamnya, kemudian lari-lari tidak jelas ke hutan lalu tidak pernah kembali, atau jatuh ke jurang... Betapa malaria menjadi momok disini.

Tidak heran, mengingat kabarnya 80% orang yang pernah ke Dekai, termasuk bupati dan jajaran aparat Yahukimo, terkena malaria. Itulah sebabnya aparat pemerintahan Yahukimo lebih memilih tinggal di Wamena yang sebenarnya bukan termasuk wilayah Yahukimo. Sarkasmenya, belum ke Yahukimo kalau belum kena malaria...

Dan dalam kedatangan kami pun, kami tidak bisa melapor ke koramil atau kapolsek seperti lazimnya, karena pak koramil sedang dirawat di Wamena, malaria, dan pak kapolsek juga sedang di wamena dalam masa penyembuhan, juga karena malaria. Begitupun satu batalyon tentara yang waktu itu baru satu bulan diterjunkan disini, tiga perempatnya sedang menjalani perawatan, so pasti, malaria juga.

Tapi daerah ini termasuk aman dari OPM, karena OPM merasa tidak ada yang bisa dijarah dari penduduk sini (saking miskinnya), dan juga, takut malaria...(malaria mulu sih!?!?!) Maka saya rasa wajar kalau kami memilih ngemil pil kina sehari sekali untuk jaga kondisi. Tapi penduduk asli Dekai tidak kenal kina. Mereka menggunakan daun gatal (daun yang kalau kena kulit akan menyebabkan kulit gatal-gatal dan panas luar biasa) setiap gejala malaria menyerang. Satu larangan yang tegas di sini juga adalah larangan untuk TIDUR SIANG/SORE!! Mengapa?? Karena, sore adalah waktu bagi nyamuk2 malaria mencari mangsa, sehingga kita harus waspada dan tidak dalam kondisi yang terbuka untuk diserang. Larangan lain adalah : JANGAN SAMPAI PERUT KOSONG! Kalau lapar, apa yang ada di depan mata, MAKAN!!! Ini pun rasional, karena kalau perut kosong, sistem ketahanan tubuh kita sedikit berkurang, dan malaria rawan menyerang.

Oke, singkat cerita... (eeeuuuu, segini... SINGKAT ???!!!???)

Pada hari ketiga kami di Dekai, seorang rekan mengusulkan untuk melihat lokasi perkampungan yang terdekat. Usulan ini sebenarnya wajar, mengingat tidak ada penduduk asli yang tinggal di ”pusat kota” yang belum jadi ini. Mereka tersebar di 9 kampung di sekelilingnya, tapi masih termasuk kecamatan (disini disebut ”distrik”) Dekai. Dan bodohnya... kami sepakat...

”Terdekat” dalam hal ini ternyata, menurut Pak Guru Takati yang kemudian menjadi pemandu kami, adalah 2,5 jam perjalanan menembus hutan di luar lokasi kami, kalau malam sebelumnya tidak hujan (tanahnya kering). Menurut Pak Takati, kalau dia jalan sendiri, mungkin bisalah 1,5 sampai 2 jam, tapi karena kami sekarang berempat, mungkin bisa 2,5 jam. Wajar, dia sudah biasa bulak balik ke kampung itu, yang konon bernama Koropun. Saya agak sangsi dengan kalkulasi ini, karena semalam hujan turun. Tapi Pak Takati meyakinkan saya bahwa hujan tidak terlalu lebat semalam.


Bersambung..... tunggu ya sodara-sodara... ini belum sampai ke inti ceritanya... hehe...
Tenang, cuma 2 episode kok...