Friday, September 01, 2006

Sampah-Sampah Peradaban

Gemericing uang receh dalam kantong-kantong lusuh membelah malam. Entah apakah ada carikan-carikan uang kertas diantaranya. Tapi yang jelas, tangannya sekedar ingin meyakinkan jiwa bahwa dia punya, walau tak seberapa.

Perut.

Apakah hanya itu yang mendorong manusia-manusia modern masa kini dalam melangkah? Kalaupun ada yang lain, tidakkah itu cuma obsesi untuk menguasai?

Menguasai apa yang secara hakikat mungkin nanti tidak akan lagi berarti. Tapi toh tetap dicari.

Getaran-getaran mesin berpacu memutar tiga roda, menerobos jalan-jalan kecil menuju stasiun kereta. Didalamnya dua manusia saling bertutur tanpa berpandang mata. Kepulan asap rokok menjadi teman, teman yang menyatukan dua jiwa yang saling asing, tapi sekaligus ingin saling mendekat. Basa-basi memang apa yang diucapkan, tapi getaran suara tak akan mampu menyembunyikan nilai kedalaman sebuah cerita. Cerita tentang kehidupan.

”Manusia... selamanya tentang manusia. Bukan tentang kebahagiaannya, Nak. Bukan tentang tawanya. Tapi tentang kesulitannya, kekuatannya, ketabahannya dalam mengatasi rintangan...” (*)


Selamanya tentang manusia tak akan pernah habis...

Maka berbagi rokok hanyalah sebuah jalan untuk berbagi cerita, meresapi kedalaman samudra jiwa satu sama lain. Tentang istri, tentang anak, tentang kawan-kawan yang terlupa, tentang saudara, tentang harta, tentang dunia.

Rasa malunya seolah menghujam telinga ini. Lebih-lebih, membuat ciut jiwa juga. Bagaimana seorang anak manusia, yang ditempa oleh hitamnya asap knalpot, terik mentari dan asamnya hujan Jakarta, merasa malu saat menerima uang yang bukan hasil keringatnya.

”Saya bukan pengemis”, katanya. ”Malu saya terima uang, walau dari saudara. Lebih baik menghindar. Tapi kalau kaya gini, saya ga malu. Setidaknya saya masih bisa bekerja”, lanjutnya.

Maka lantas siapa yang lebih miskin?

Seorang penarik bajaj, atau mereka yang sok kuasa dengan uang yang bukan hak mereka?

Tidak lagi pertanyaan itu patut dicari jawabannya.

Karena kalaupun ditemukan, mungkin tak lebih sebagai sebuah tikaman terhadap hati sendiri.

Kesulitan-kesulitan hidup yang terasa saat ini, mau tak mau, lantas diiringi dengan penyesalan akan masa-masa yang telah lalu. Mengapa dulu tidak begitu, sehingga hari ini jadi begini, tidak seperti kawan-kawan, yang sudah bermegah dengan jabatan. Senyum kecut lalu menyungging sendiri, seperti jendela otomatis di pintu mobil yang akan turun naik setiap tombol ditekan.

Semuanya kemudian bermuara pada keikhlasan yang seolah dipaksakan. Seperti tempat pelarian terakhir, ”memang sudah nasib” atau ”sudah jalan hidupnya begini” menjadi simbol kesadaran akan takdir. Tapi selalu terlintas pikiran, apakah ini sebuah pengakuan akan kekalahan?

Lantas pembicaraan mengalir pada perkara modal.

Tentu, sebagaimana air semua sungai mengalir ke laut... segala hal yang terkait dengan keduniawian hidup manusia saat ini memang mengarah ke modal. (*)

Begitupun kawan yang satu ini...

Menarik bajaj demi kepentingan sang pemilik modal, supaya sesuatu yang bernama investasi itu tidak sampai merugi. Kalaulah ada sedikit yang tersisa dari kekejaman sistem setoran, nyatanya itulah yang dicukup-cukupkan untuk makan. Sekedar membuat dapur mengebul, dan menyuburkan pemilik modal yang semakin gembul.

Lalu seolah bercermin...

Bukankah diri ini sendiri juga bekerja demi modal?

Tak disangka tak dinyana... semua curahan kasih sayang orang tua, semua perjuangan menggali ilmu-ilmu semesta, semua peluh yang tertumpah untuk sekolah, semua air mata yang mengalir atas nama kompetisi... ternyata hanya untuk membuat modal lancar mengalir. Modal yang bukan juga miliknya sendiri. Milik tangan-tangan tak dikenal yang tahupun tidak adanya dimana.

Perkaranya...

Manusia sering tidak sadar, kalau sebenarnya dia hanya sebuah sekrup dalam mesin besar yang bekerja demi modal.

Aset!

Tak lebih dari itu nilai manusia!

Aset untuk memutar modal, diperas tenaga dan pikirannya agar modal tetap hidup dan disembah-disembah, dialihkan pandangannya agar tak melihat apapun selain demi kepentingan modal...tidak juga untuk melihat Tuhan.

Setelah habis seperti sapi perahan... manusia tinggal ampas! Teronggok dalam renta, menunggu Tuhan yang dicari-carinya. Modal tak lagi meliriknya, karena yang namanya ampas tak lagi ada gunanya. Sekedar ucapan terima kasih perlu diberikan pada sang ampas. Bukan apa-apa. Sekedar supaya orang-orang muda tertarik pada sang modal. Sekedar supaya kembali berputar.

Di depan kami, seorang tukang sapu... seorang ibu-ibu... bekerja dalam sunyi tanpa ada seorangpun yang mau tau.

Sama... demi modal juga...

Jalanan kota harus tetap bersih... supaya penduduk mau tetap membayar pajak... supaya pemilik modal mau melirik kota ini, menganggapnya layak, untuk diberi suntikan modal.

Pernahkah tuan memikirkan...

Bagaimana hidup mereka?

Pernahkah tuan memikirkan...

Berapa harga keringat mereka?

Stasiun Manggarai berdiri tegak di tengah keramaian.

Persahabatan akan dilanjutkan lain hari. Kali ini cukup sampai disini.

Uang enam ribu dengan cepat melayang, dari tangan yang satu ke kantong yang lain. Senyum tersungging pada saya dan dia, dalam hiasan asap dua batang rokok dari bungkus yang sama. Belum habis. Tapi, seperti apapun di dunia, suatu saat akan. Habis.

Berpisah di hadapan puluhan pasang mata yang sebenarnya tak peduli.

Merenungkan bincang pendek yang seolah menjelaskan segala.

Asap rokok yang mengepul kemudian larut bersama jelaga dalam asap ibukota. Yang tadinya ada, lebur menjadi seolah tak pernah ada. Yang terlihat hanyalah udara.

Begitupun manusia, sebagian besarnya.

Akan hilang ditelan rakusnya waktu.

Karena masing-masing manusia,

Hanyalah satu titik kecil di belantika semesta. Satu partikel cahaya di tengah guyuran cahaya mentari. Satu sel air di tengah deburan ombak samudra.

Betapa luar biasanya,

Sejuta impian dalam pikiran satu insan, begitu tak terlihat di tengah hiruk pikuk gemerlap keriuhan jakarta. Belum lagi Indonesia. Belum lagi Asia, dunia, bima sakti, semesta raya.

Lantas siapakah kita?

Akankah kita nanti ditanam di dalam bumi, dalam guratan nama yang tetap abadi?

Ataukah kita hanya akan dimuntahkan zaman, sebagai sampah-sampah peradaban?





NB :
(*) Baris-baris yang berdekatan dengan tanda ini terinspirasi, atau mengutip seingatnya, dari Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa

No comments: