Sunday, September 17, 2006

Di Tepi Sungai Mahakam (tulisan pertama dari 2 tulisan mengenai Mahakam)

Air.

Ketertarikan manusia akan benda yang satu ini nampaknya tak pernah surut. Sejak awal mula terbangunnya peradaban-peradaban besar, air dan sumber air selalu menjadi bagian penting didalamnya. Sebutlah peradaban Mesir dengan Sungai Nil-nya, peradaban Cina dengan Sungai Kuning-nya, atau peradaban Babilon di delta Sungai Eufrat dan Tigris. Betapa sungai-sungai besar telah menjadi andalan manusia dalam membangun kehidupannya.

Manusia selalu kagum akan ketenangannya, kesederhanaannya, dan bagaimana ia begitu bermanfaat dalam kehidupan. Benarlah kiranya apabila dikatakan bahwa kehidupan selalu bermula dari adanya air. Bahkan pencarian akan jejak-jejak kehidupan di Mars salah satunya dilakukan dengan melakukan pencarian akan jejak-jejak keberadaan air (atau zat semacamnya) di masa-masa yang telah lampau. Meski demikian, pada waktu yang bersamaan, manusia juga takut akan kekuatannya. Dalam kilasan-kilasan sejarah, manusia telah belajar lebih dari cukup untuk mengetahui bahwa didalam ketenangannya, air memiliki kemampuan untuk menghanyutkan, dan menghancurkan. Kekuatan yang terkadang diluar khayalan normal. Tapi toh, itu tidak menyurutkan manusia untuk menikmati air, dikala ia sedang bersahabat.

Dan di tepian Sungai Mahakam ini, saya duduk menatap bintang-bintang yang bertebaran bagai manik-manik berlatar langit hitam. Ketenangan sungai mahakam begitu mempesona. Ketenangan yang di masa lalu telah membangun peradaban kerajaan Kutai, dan di masa sekarang menjadi urat nadi pengangkutan barang maupun manusia di Pulau Kalimantan bagian timur ini.

Seandainya saya mengetahui sedikit mengenai ilmu falak, tentu tebaran bintang di malam yang cerah ini akan jauh lebih berarti. Meski begitu, dengan memandang kosong pun, hati setiap manusia tentu akan merasa kecil mengakui karya agung Sang Pencipta yang tengah tersaji ini.

Angin berhembus dengan enggan, tetapi terkadang kencang, membawa bau amis dari air sungai yang seolah tanpa riak. Jagung bakar yang masih mengepul menebarkan aroma pedas di sekitar hidung saya, dan memaksa air liur keluar membasahi lidah di rongga mulut. Menikmati jagung bakar rasa pedas, ditemani segelas kopi susu panas, tepian sungai mahakam di malam hari menyediakan momen yang tepat untuk melupakan penat.

Kapal-kapal tongkang dan kapal peti kemas besar simpang siur berjalan lambat, seolah takut mengganggu ketenangan mahakam. Kapal-kapal kecil bermotor satu maupun yang digerakkan oleh dayung sesekali melintas. Kapal-kapal itu, beberapa diantaranya tak berlampu, dan di kejauhan hanya terlihat saat ia menutupi gemerlap lampu kota di seberang sungai, seperti bayangan.

Pada malam hari, gemerlap lampu di seberang sungai menjadi satu panorama tersendiri. Lampu kota terkadang mendapat pujian yang berlebihan. Padahal, lampu-lampu ini hanya terlihat indah karena disekelilingnya ada kegelapan. Semestinyalah, kegelapan malam pun mendapat kadar pujian yang sama.

------

Oke…
Apa sudah cukup nuansa puitiknya??

Bisa kita mulai kembali pada bahasa sehari-hari?
Saya harap begitu, karena saya sudah mulai kehabisan ide untuk menulis untaian kata-kata seperti tadi (halah, ”untaian kata-kata”...)

Kejadian yang SEBENARNYA di tepian Sungai Mahakam tadi mungkin tidak sepuitis itu. Romansa yang saya ceritakan tadi mungkin hanya berlangsung beberapa menit saja. Sisanya?

Sisanya adalah, saya dan 2 orang kawan saya sibuk menolak pengemis dan peminta-minta yang ternyata cukup banyak juga di sini. Cukup risih juga, mengingat saya memegang jagung bakar di tangan kanan, dan terpaksa memberi isyarat penolakan pada para peminta-minta itu dengan tangan kiri.

Seorang wanita yang cukup gemuk, berpakaian bersih, adalah seorang diantaranya. Metoda yang dia pergunakan cukup efektif. Tanpa kata-kata sedikitpun! Dia hanya melenguh! Ya, melenguh seperti sapi. ”eeeuuuh.... mmmmhhh.... eeeeeuuuhhh... mmmmhhh...” begitu seterusnya, sambil mengulurkan tangannya, meminta uang. Bisu? Mungkin. Hanya saja, saya sempat memperhatikan dia bercakap-cakap dengan temannya sebelum meminta-minta.

”maaf bu...” kata saya sopan.
”eeeeuuuh....mmmmhhh....mmmmh.... aaahhhh...” kata sang pengemis.
”maaf bu, ga ada uang kecil nih...” kata kawan saya, sopan juga
”eeeuuuh...mmmmh.....hhhhhhh.....aaaahhh.....mmmmhhh....” kata sang pengemis.
”........” saya dan kawan-kawan saya, mulai bete.
Dan kejadian itu berlangsung selama sekitar 5 menit! Luar biasa, betapa ia seperti tidak mengerti (atau pura-pura tidak mengerti) bahasa Indonesia.

Akhirnya saya menyerah. Saya merogoh kantung cukup dalam, menyortir lembaran-lembaran di dompet saya, dan menyerahkan selembar uang 5 ribu, pecahan terkecil yang saya miliki saat itu.

Sang pengemis pergi, lalu mendatangi sepasang muda-mudi yang sedang memadu kasih (cihuuuuyyy....), dan menjalankan modus operandi yang sama. ”eeeuuuh.... mmmmhhh...aaahhh.... hhhhh....” dst. Kejadian yang sama berulang. Tapi, pasangan ini menyerah lebih cepat daripada kami.

Tak lama berselang, seorang anak bersepeda mendatangi kami, mengulurkan tangan, lalu berkata memelas... ”oooom, minta uang ooom”. DENGAN SEPEDA!!! Untunglah, anak ini mengerti bahasa Indonesia, dan uang saya yang tinggal 10 ribu selembar bisa selamat. Setelah ditolak, si anak mengayuh sepedanya, lalu kembali bermain bersama teman-temannya. Fiuh... untung tidak ada pengemis yang pakai sepeda motor. Kalau ada, AWAS!

No comments: