Kanal-kanal kegelisahan...
Adalah sebuah ungkapan yang ketika saya masih menggeluti dinamika kemahasiswaan di kampus tercinta terlontar dari seorang sahabat, Anas Hanafiah, dalam sebuah sambutan penerimaan didepan mahasiswa baru 2005.
Sontak kami yang mendengar mesem-mesem sendiri, tentu sambil saling berkata... "naon siiiiih???!!! bisa aja ni anak..."
Ooo, yaa, apabila kita mencoba menyelami pribadi orang-orang yang berkecimpung dalam sebuah... sebutlah... "pergerakan", entah pergerakan apa saja itu (ataupun yang sebenarnya hanya mencoba "bergerak-gerak" sendiri), kebanyakan diantara mereka sebenarnya cukup berpotensi menjadi pujangga tingkat tinggi, atau kalau dalam bahasa marketing mungkin bisa dibilang, menciptakan sebuah brand. Maksudnya, istilah-istilah yang kalau sampai di telinga orang akan menimbulkan suatu perasaan yang kira-kira berbunyi... "cieeeehhhh....", "uhuuuuy....", "beuh, naon deui yeuh??", "ihiy, kamana atuh kanal?", atau "mmmh, gelisah kieu pujangga teh...", atau sekedar... "aduh maaak... bahasanya... ngga kukuuuuwww...". Kira2 gitu deh. Tapi yang jelas mudah diingat.
Istilah-istilah puitis yang kadang nirlogis sebenarnya tidak hanya itu. Sahabat lain yang juga gemar membuat istilah-istilah serupa misalnya Adi Onggo yang perbendaharaan istilahnya cukup banyak, seperti... "kejutan-kejutan spiritual", atau "kearifan puncak", atau "solusi cerdas", atau "cuplikan-cuplikan dinamika", atau apalah, yang sebaiknya tidak ditanyakan maknanya apa (kecuali sudah siap untuk mendengar penjelasan filosofisnya).
Tapi tentu disini saya tidak ingin berbicara mengenai perbendaharaan istilah. Saya lebih tertarik pada bagaimana relevansi istilah itu dengan realitas yang ada.
Istilah Kanal-kanal Kegelisahan (KKG) saya anggap cukup menarik karena memang apabila konteksnya ditempatkan pada sebuah fenomena pergerakan (yang sebenarnya memang dalam konteks itulah istilah ini pertama kali terlontar), ternyata sejalan dengan perenungan saya mengenai bagaimana simpul-simpul kemarahan seringkali menjadi landasan suatu kelompok/individu untuk bergerak.
Dalam pengamatan saya, secara umum dalam kehidupan ini, ada 3 jenis emosi yang menjadi energi aktivasi seseorang/kelompok untuk bergerak. Tiga emosi itu adalah cinta, takut, dan marah (kemarahan). Apabila tidak ketiganya, maka satu saja dari emosi itu sudah cukup untuk membuat jiwa satu individu meronta. Mungkin inilah 3 jenis emosi yang paling mempengaruhi kehidupan manusia.
Cinta adalah emosi yang paling banyak diomongkan, semata karena ia dianggap paling indah diantara ketiganya (dan manusia mencintai keindahan), sementara ketakutan dan kemarahan adalah dua emosi yang lebih sering berada dibalik penyangkalan.
Memang betul... cinta membuat seorang ibu mampu berjalan puluhan kilo dari atas gunung untuk menjual sayur di pasar demi anaknya, mampu membuat seorang ayah berangkat jam 4 pagi berdiri di kereta dari sukabumi, lalu disambung berdiri di kereta ke jakarta untuk tiba di tempat kerja pukul setengah 10 setiap hari bulak-balik demi keluarganya, mampu membuat seorang hamba melepaskan kenikmatan tidur di malam hari sampai subuh untuk bersujud karena kecintaannya terhadap Sang Khalik... Dan lain-lain, mulai dari cinta hakiki yang agung terhadap Sang Pencipta, sampai cinta picisan anak muda yang dibuai kelenaan mereka akan kepuasan semu (yang sering saya sebut keinginan bercinta yang utopis terhadap sesama makhluk). Tak pelak, inilah emosi yang tak lekang waktu dan menghiasi energi aktivasi manusia dengan keindahan, sehingga mengatakan “atas nama cinta” menjadi sebuah kebanggaan pribadi.
Sementara ketakutan adalah sebuah emosi yang lebih sering disangkal atau tidak dikehendaki, tetapi sebenarnya ada. Memang ketakutan ini lebih banyak bersembunyi dibalik motif-motif lain yang oleh seseorang secara sadar diizinkan untuk terpublish pada publik. Fenomena selalu penuhnya “career days”, putus asanya banyak orang untuk mendapat kerja (atau menjadi pegawai), atau maraknya korupsi misalnya, tentu lebih sering dibungkus oleh motivasi “mengaplikasikan ilmu”, atau “mencari kemapanan”, atau “demi masa depan”, atau “demi keluarga”, atau “cari uang yang haram aja susah, apalagi yang halal”. Tentu motivasi-motivasi ini memang ada dalam diri seseorang, dan dianggap lebih “safe” untuk dipublish ketimbang “ketakutan akan ketidak-mapanan”, “takut untuk memulai usaha sendiri”, “takut miskin”, “takut ga punya uang untuk bayar kontrakan”, dsb. yang sebenarnya mungkin tersembunyi di relung-relung pemikirannya. Menikah misalnya, tentu adalah jawaban implementasi cinta terhadap pasangan dan niatan untuk menggenapkan separuh agama, selain MUNGKIN menjawab ketakutan untuk hidup dalam kesendirian sampai meninggal (tapi tentu alasan ini tidak akan anda tuliskan dalam kartu undangan pernikahan anda bukan?).
Maka dalam beragama pun mungkin kita bisa bertanya sendiri, motivasi mana yang lebih kuat? Kecintaan terhadap Allah? Kecintaan terhadap surga? Atau ketakutan terhadap neraka? Tentu jawaban yang safe adalah keseimbangan diantara ketiganya. Tapi jawaban yang “tidak safe” hanya akan mampu kita jawab dalam perenungan (paling) pribadi kita masing-masing. Harap diperhatikan, pertanyaannya bukan motivasi apa yang kita miliki atau tidak miliki, tapi motivasi mana yang lebih dominan. Dan saat kita menemukan jawabannya, maka mungkin faktor dominan itulah yang sebenarnya menjadi niatan utama kita dalam menemukan Allah. Saya rasa pencarian atas yang satu ini adalah sebuah fitrah, dan jawabannya tidak berhak untuk dihakimi oleh siapapun, kecuali tentu oleh Sang Khalik, karena semua spektrum yang berpotensi untuk menjadi jawabannya pun mungkin adalah sebuah fitrah.
Contoh lain, ketakutan akan ketidakmapanan, menjadi motivasi banyak orang dalam aspek ekonomi. Slogan ”anti-kemapanan” biasanya menjadi slogan yang cukup dibanggakan, tetapi juga secara pribadi ditakuti. Perbincangan bersama seorang kawan, Bayu Syerli, larut malam tadi, diantaranya membahas bagaimana seorang Soros ternyata memiliki sebuah filosofi yang kira-kira serupa dengan anti kemapanan. Untuk Soros, ketidak-mapanan justru adalah faktor utama yang dapat mendorong seseorang untuk maju. Dengan kata lain kemudian kami katakan bahwa ketakutan akan masa depan yang tidak menentu itulah yang mampu mendorong seseorang untuk terus berusaha menghasilkan yang terbaik bagi dirinya. Mari kita lihat satu motivasi ekonomi yang menjadi incaran banyak orang... mmm... uang? Singkatnya mungkin... kekayaan. Sekarang mari kita lihat, sebutkan 50, eh, 100 deh, orang terkaya di dunia, dan 100 orang terkaya di Indonesia. Dari 200 orang itu, sebutkan satu orang aja yang profesinya sebagai ”pegawai” atau ”pencari kemapanan”. Jawabnya? Orang2 yang terkaya justru adalah orang-orang yang tidak mengejar kemapanan, tetapi jsutru orang-orang yang berani menghadapi ketakutan mereka akan ketidakmapanan. Ini satu penyederhanaan yang sebenarnya terlalu sederhana, tetapi mungkin bisa menjadi gambaran kasar...
Bahaya kemapanan bukanlah pada kecilnya kemungkinan untuk berkembang, melainkan kecenderungan ke arah kematian keinginan untuk terus berpikir, keinginan untuk berinovasi. Inilah bahaya utama kemapanan. Tapi sebenarnya, apakah kemapanan itu sebenarnya? Apakah berarti uang banyak, mobil ada, pekerjaan tetap dsb? Ya, ini mungkin bisa disebut sebagai kemapanan. Tapi bukan intinya. Inti kemapanan sebenarnya adalah kenyamanan, dan semua orang tahu, adalah sangat sulit untuk meninggalkan kenyamanan. Dan terkadang, kenyamanan itu terjadi karena terbiasa. Maksud saya begini, seorang mahasiswa misalnya, yang sudah begitu nyaman hidup di kampus, merasakan zona aman kampus, akan berat untuk meninggalkan kampus, karena akan berat untuk meninggalkan kemapanan itu dan menghadapi tantangan di luar kampus yang kondisinya jauh berbeda. Saya sendiri misalnya, rutinitas setiap pagi naik kereta, di depan komputer di kantor mengetik pekerjaan orderan, pulang naik kereta, sampai di rumah malam... setiap hari... maka inipun adalah sebuah kemapanan, suatu kondisi yang tidak memaksa saya untuk berpikir, melainkan kondisi yang mencukupkan saya untuk bangun pagi dan menjalankan aktivitas secara rutin tanpa perlu berinovasi. Inilah inti kemapanan sebenarnya... (Saya harus segera keluar dari sini!)
Contoh lain, saya cukup tersentak ketika mengetahui seorang kenalan saya, seorang alumni ITB yang terbilang sukses, duduk di jajaran komisaris dengan pengaruh cukup kuat di SCM (perusahaan yang memiliki SCTV), kabarnya keluar dari SCM. Ditinggalkannya segala uang dan pengaruh itu dengan satu alasan yang sangat sederhana... ”sudah terlalu mapan di situ”... Sebuah fenomena yang menunjukkan komitmen seseorang untuk terus maju, terus berkembang.
Adapun mengenai kemarahan... meskipun prolognya tadi panjang, sebenarnya emosi inilah yang tadinya ingin saya utamakan dalam tulisan ini (sekali lagi, saya mungkin telah gagal untuk mengikuti kaidah membuat sebuah tulisan yang efektif).
Dalam salah satu rapat malam di Kabinet KM ITB sebelum usainya pemilu 2004, Bayu Syerli pernah membawa sebuah buku yang menceritakan tentang sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia. Sayang sekali saya tidak ingat siapa pengarangnya, tetapi adalah judul bukunya yang waktu itu menarik perhatian saya... “Pemuda-pemuda Pemberang”.
Dalam buku itu, diceritakan bahwa pergerakan mahasiswa biasanya lahir dari kemarahan, sebuah keberangan atas realitas yang terjadi di depan mereka. Dan dengan sendirinya, maka pemuda-pemuda yang menjadi penggerak utama perubahan itu adalah pemuda-pemuda pemarah. Sangat manusiawi.
Di Indonesia, nampaknya siklus habisnya kesabaran untuk menahan amarah itu adalah 10 tahun. Bisa kita analisis lonjakan-lonjakan pergerakan kemahasiswaan di Indonesia yang ternyata berpola siklik, kira-kira satu kali siklus berlangsung kurang lebih 10 tahun. Setelah tahun 1945, tahun 1955-1959 (masa demokrasi liberal sampai dekrit 1959) adalah periode penuh gejolak, dilanjutkan dengan 1965-1966 dengan trituranya, lalu 1974 dengan Malari, lalu tahun 80-an akhir dengan kasus-kasus persengketaan tanah di Jawa Barat sampai kasus tanjung Priok, lalu Reformasi 1998, bisa dibilang adalah puncak-puncak siklus, pecahnya kemarahan. Maka bisa kita prediksi bahwa puncak siklik berikutnya mungkin akan terjadi tahun 2008 sebelum pemilu, atau 2009 sewaktu pemilu. Mungkin lho ini... Tapi saya sedang tidak ingin membahas politik sekarang...
Darah muda memang adalah darah yang penuh gejolak. Meski Rasulullah menganjurkan kita untuk tidak marah dan bersabar, akan tetapi diakui juga bahwa kemarahan adalah sebuah fitrah yang wajar. Semua orang bisa marah. Yang menjadi soal adalah bagaimana sebenarnya marah yang tepat, dalam pengertian waktunya tepat, diarahkan secara tepat, dan cara penyikapannya tepat. Ini yang sulit. Dalam konteks kemahasiswaan, kemarahan ini diejawantahkan dalam bentuk sebuah “pergerakan”, sebuah letupan-letupan emosi yang terstruktur untuk merubah kondisi yang dianggap tidak ideal (yang menyebabkan kemarahan itu).
Maka apabila ada saat dimana gerakan mahasiswa seperti kehilangan tajinya, kehilangan ruhnya, kehilangan semangat dan aura militansinya, maka mungkin bisa kita bilang bahwa realitas yang tersaji dihadapan kelompok mahasiswa itu sedang tidak cukup untuk membuat mereka marah. Atau, mereka telah begitu mapan (terbiasa) dengan kondisi itu, sehingga mereka tidak lagi marah, atau secara sederhana, mereka secara individu telah kehilangan simpul-simpul kemarahan mereka, atau memang belum menemukannya.
Sebuah gerakan, pada dasarnya adalah manifestasi dari pelampiasan cinta, ketakutan, dan kemarahan dari individu-individu didalamnya. Maka saat individu-individu itu tidak marah, gerakan pun padam. Dan untuk membangkitkannya lagi, maka mereka harus mencari simpul-simpul kemarahan mereka (membuat diri mereka sendiri marah, atau dibuat marah oleh kondisi).
Pergumulan saya sendiri dalam dunia kemahasiswaan sebenarnya tidak lain karena kejengahan terhadap realitas sosial dan politik. Tapi sejujurnya, itu belum cukup untuk membuat saya marah. Simpul kemarahan saya justru adalah pada kenyataan bahwa saya belum berbuat apa-apa (untuk ini, sampai sekarang pun saya masih marah). Selain itu, memang ada juga kemarahan-kemarahan spiritual yang lebih bersifat personal sehingga akan sulit saya ungkapkan disini.
Dalam bidang planologi pun, perselingkuhan saya dengan bidang perencanaan partisipatif dan community development juga diawali dengan kemarahan. Saya sebut “perselingkuhan” karena sebenarnya perencanaan partisipatif pada awalnya di Indonesia dianggap cukup tabu, mengingat model ini sangat berpotensi untuk menafikkan teori2 perencanaan konvensional yang dibakukan di bangku-bangku kuliah. Teori-teori tadi ternyata harus bersifat fleksibel saat dibenturkan dengan realitas di masyarakat. Simpul kemarahan saya waktu itu adalah ketika pada tahun pertama kuliah saya menginap 2 malam di sebuah kotak tanpa jendela, hanya satu pintu, bertingkat dua, dengan ukuran keseluruhan kira-kira 4*3*3 meter persegi, yang ternyata menjadi rumah bagi 4 keluarga. Seiring berjalannya waktu, ternyata saya menemukan kondisi-kondisi yang lebih parah dari itu. Itu adalah simpul kemarahan saya pada kondisi perencanaan di Indonesia. Syukurlah, angin perubahan berkata lain. Perencanaan partisipatif kemudian menjadi kuliah pilihan ketika saya tingkat 3, dan menjadi kuliah wajib ketika saya tingkat 4, seiring dengan perubahan kurikulum di dept. planologi ketika itu, sehingga saya tidak perlu lagi menyebut interest saya di bidang itu sebagai sebuah perselingkuhan.
Dan apabila saya boleh menilik kondisi gerakan kemahasiswaan pasca reformasi 1998, terutama dalam 3 tahun belakangan... secara umum saya ingin mengatakan bahwa... pemuda-pemuda sekarang tidak semarah dulu... maka kita bisa bersiap-siap untuk kecewa apabila kita menaruh harapan berlebihan terhadap gerakan kemahasiswaan, apabila kondisinya tetap seperti ini. Terjebak dalam kemapanan menjadi sebuah bahaya yang mulai menunjukkan tajinya. Kemapanan untuk disebut sebagai anak emas masyarakat, kemapanan untuk dianggap sebagai kaum intelektual, kemapanan untuk terbiasa mengemban harapan dan di sisi lain terbiasa untuk gagal menjawab harapan itu, kemapanan untuk menjalani siklus hidup sekolah-kuliah-kerja-kawin-mati, kemapanan untuk berdiam diri di kampus dan menyibukkan diri dengan kajian-kajian filosofis karena sadar (takut) bahwa semua itu bisa jadi tidak berarti saat mereka berada di luar kampus, kemapanan untuk terjebak dalam kebesaran masa lalu, dan kemapanan untuk... diam.
Kita harus marah! Pergerakan adalah sebuah kanal, yang tidak akan berarti kalau kita tidak gelisah.
No comments:
Post a Comment