Rasio dan emosi adalah dua barang aneh yang bercampur dalam diri kita.
Mereka, terkadang saling bertengkar, terkadang saling mendukung, tapi tak pelak, keduanya selalu mempengaruhi langkah kita dalam hidup. Kalaupun ada salah satunya yang mati atau "rusak" karena tidak pernah dipakai, maka sebenarnya itu hanya masalah keinginan, kemampuan, dan adakah penyebab luar biasa yang membuat hal itu terjadi. Karena pada dasarnya, kedua barang itu secara otomatis telah ditanam didalam diri kita saat penciptaan.
Dan fenomena apakah yang tidak kita sikapi dengan kedua barang itu?
oke, kalo masalah kadar atau perbandingan, kita ga perlu komentar. Karena itu urusan masing-masing si empunya barang.
Tapi...
bolehlah sekedar bertanya, untuk satu kasus...
diluar kedua barang tadi, rasio dan emosi, tentu ada banyak barang lain yang dimiliki manusia. salah satu yang ingin saya bahas disini adalah... konsistensi. bukan hanya konsistensi dalam bekerja atau memproduksi sesuatu, tapi juga konsistensi dalam menindaklanjuti hasil "peperangan" atau pilihan diantara rasio dan emosi tadi. Dengan kata lain, konsistensi untuk menapaki pilihan jalan hidup, paradigma, ideologi, atau apapun yang dipilihnya, baik secara umum atau luas yang mencakup seluruh pandangan seseorang akan kehidupan, maupun secara khusus atau kasuistis, yang mencakup pandangan seseorang akan suatu topik dalam hidup tersebut.
Loh? apa hubungannya dengan judul posting ini?
ya karena memang ini bukan posting tentang rasio dan emosi. Sebenarnya ini posting tentang anak-anak jalanan...
Ya, walau bagaimanapun, saya, dan saya kira banyak orang sekarang ini yang memperhatikan fenomena anak jalanan akan merasa bingung, disamping risih.
Bagaimana keputusan anda, saat dihadapan anda ada seorang anak ingusan berbaju lusuh menyanyi-nyanyi tidak jelas kemudian menjulurkan tangannya? Akan anda beri uang, atau tidak? Yakinkah anda dengan sikap dan keputusan anda?
Sejak sekitar 2,5 tahun yang lalu, saya memutuskan untuk berhenti memberi mereka uang. Walaupun kadang-kadang tidak konsisten juga. Kalau apabila emosi sedang menang perang melawan rasio, maka keluar juga uang saya dan mendarat di tangan anak itu.
Peristiwa 2,5 tahun lalu yang menyebabkan keputusan itu adalah pertemuan dengan Yayasan Bocah Garis, sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan yang diasuh oleh Bunda Niken. Sebuah rumah singgah yang benar-benar "berbeda", karena alih-alih menawarkan penampungan dan tempat tidur semata, Garis lebih menawarkan cinta kasih, perasaan sebagai sebuah keluarga besar... satu konsep yang waktu itu menarik saya.
Tapi toh tidak terlalu menarik untuk si anak-anak jalanan itu sendiri. Buktinya, sebagian dari mereka yang sudah pernah singgah di Garis masih tetap memilih kembali ke jalan, baik secara permanen maupun tidak.
Mengapa? Okelah, salah satu sebabnya itu ya tidak cukupnya kapasitas Garis untuk menampung mereka semua. Tapi sebab lain adalah, bagaimana tidak, karena mereka sudah terbiasa menerima "uang gampang" di jalan. Sementara Garis tidak menawarkan uang semacam itu.
Jangan terlalu lugu dalam menilai bahwa anak2 jalanan itu adalah anak2 yang yatim piatu, ga punya rumah, dibuang oleh keluarganya dsb-dsb. Sebagian (besar) dari mereka yang saya tahu, justru masih punya keluarga. Dan kurang lebih, mereka setiap hari "ngukur jalan" itu ya karena keluarga mereka juga. Mereka memang diberi misi oleh orang tuanya untuk mencari uang. Kalaupun tidak, misi mereka adalah untuk menghidupi diri mereka sendiri karena orang tua mereka juga sudah tidak sanggup memberi mereka makan.
Pernah suatu ketika, Bunda bercerita, bahwa seorang anak di Garis pada waktu tahun baru imlek pernah "dijemput" kedua orang tuanya. Sambil marah-marah membawa senjata tajam, mereka meminta kembali anak mereka, walaupun hanya untuk sehari saja. Untuk apa? untuk disuruh mengemis di klenteng-klenteng. Si anak yang sudah betah di Garis dan sudah jarang pulang ke rumahnya sendiri kontan tidak mau. Tapi orang tua si anak ternyata membawa adik si anak tadi. Sang adik, seorang anak perempuan, menangis di depan kakaknya, "kakak tega kalo ade yang disuruh ngemis??" katanya sambil terisak...
Si anak akhirnya menuruti kedua orang tuanya, dan kembali ke Garis seminggu kemudian...
Begitulah, maka saya ingin berhenti memberi uang gampang itu pada anak2 jalanan, salah satunya agar mereka tidak lagi pergi ke jalan, dan rumah-rumah singgah yang sudah mulai menjamur saat ini bisa menjalankan misi mereka dengan optimal. Karena disadari atau tidak, tangan-tangan kitalah yang mengizinkan anak-anak itu hidup di jalan. Sepertinya, pemikiran ini juga sudah mulai banyak berkembang, karena belum lama ini saya menerima beberapa e-mail dari beberapa milis yang saya ikuti yang mengatakan hal yang sama. Baguslah kalau pemahaman ini sudah tersebar. Nah, pemikiran inilah yang menjadi dasar argumen dan senjata bagi rasio dalam peperangannya dengan emosi setiap saat seorang anak jalanan menjulurkan tangannya di depan kita.
Lalu senjatanya emosi apa? Dulu sih memang sering terpikir bahwa, okelah mungkin sebagian dari uang itu dipakai untuk bayar jatah preman, beli lem aibon buat dihisap, dikasih ke orang tua, beli rokok dll. dan sebagiannya lagi untuk beli makan. Maka logikanya, kalau kita mau mereka makan lebih banyak atau lebih bergizi, ya kita beri uangnya yang banyak. Tapi toh, sebanyak apapun kita memberi, tidak akan merubah status sosial mereka, atau bahkan gizi mereka, karena lebih banyak uang berarti lebih banyak rokok, atau lebih parah, lebih banyak uang berarti ada cukup uang untuk minuman keras.
Dan memang, pada hari-hari atau momen-momen tertentu, misalnya sebutlah bulan ramadhan atau hari-hari besar keagamaan, emosi seperti memiliki justifikasi dan amunisi tambahan untuk dapat memenangkan peperangan melawan rasio.
Yang lucu adalah... Semestinya orang konsisten dengan apa yang mereka pilih kan? Karena setiap pilihan ada konsekuensinya (gila, doktrin OS banget....).
Nah, jadi, semestinya, kalau orang banyak yang memilih untuk memberi "uang gampang", hasilnya mungkin tidak akan terlihat (karena biasanya uangnya langsung habis). Tapi kalau sekarang ini kecenderungan pemikiran "berhenti memberikan uang gampang" itu sudah menyebar, maka semestinya arus uang yang mengalir ke rumah2 singgah atau kelompok2 sosial lain yang mengurus anak jalanan itu bertambah kan? Atau minimal tambah lancar. Kenyataannya? tidak juga tuh (yang saya perhatikan di Bocah Garis dan rekan2 lain di Bandung).
Jadi, kemungkinannya adalah...
Arus uang itu bertambah lancar tapi tidak terdeteksi, atau...
Orang2 bingung nyalurin uang kemana buat ngebantu anak jalanan, atau...
Pada dasarnya orang memang tidak tergerak untuk menyikapi fenomena anak jalanan, mungkin dulu kalaupun memberi uang gampang adalah murni karena rasa iba tapi sekarang punya pembenaran untuk tidak memberi, meskipun pada akhirnya ke rumah2 singgah pun dia tidak memberi...
Inilah yang saya maksudkan ketika mempermasalahkan konsistensi. Pemikiran "berhenti memberi uang gampang" itu dengan kemajuan rumah2 singgah dan lembaga2 sosial lain belum terlihat korelasi langsungnya. Artinya, kita yang menyetujui pemikiran itu belum konsisten untuk melaksanakan konsekuensinya. Dan akhirnya... fenomena anak jalanan ya masih... gini-gini aja.
Hmmm... saya ngoceh apa sih??
Sudahlah...
Sekedar berbagi. Kalau mungkin ada yang penasaran bagaimana kehidupan anak jalanan, maka saran saya adalah... jangan melihat mereka di waktu siang. Lihatlah kehidupan mereka di malam hari. Disitulah sebenarnya terletak realitas yang nyata, tak terhindarkan, sekaligus menyesakkan dari kehidupan mereka.
Jakarta dan bogor sekitar 10 tahun yang lalu telah dikejutkan oleh budaya "ngelem" yang tiba-tiba terungkap ke permukaan, meskipun sebenarnya budaya itu sudah berumur setua usia fenomena anak jalanan itu sendiri.
Bandung seolah terlepas dari budaya ini. Sebenarnya tidak terlepas, mungkin lebih tepatnya adalah kurang terlihat. Anak-anak Jakarta dan Bogor seperti tidak kenal waktu dan tempat untuk ngelem. Anak-anak Bandung lebih "sopan". Mereka biasanya ngelem diatas jam 10 malam.
Kalau sekali-sekali melewati terminal Cicaheum Bandung diatas jam 10, sekali-sekali perhatikan saja anak2 kurus, kecil maupun besar yang tangannya dimasukkan kedalam bajunya dari bawah. Sepertinya tangan itu memegang sesuatu yang disembunyikan dibalik baju yang menutupi dadanya. Lihatlah, kadang-kadang ia akan menghisap barang dibalik bajunya itu. Sambil berdiri, biasanya si anak akan bergoyang sesaat, mengangkat kepalanya dengan tatapan kosong, lalu kembali menghisap. Setelah itu, tergantung, kalau dia masih cukup sadar, dia akan melanjutkan "aktivitas"nya, entah itu menjadi calo penumpang, preman, atau sekedar merokok, sambil tetap menghisap. Kalau kesadarannya sudah melemah, biasanya dia akan berjongkok sambil tidak berhenti menghisap, atau bahkan berbaring meringkuk sambil menghisap, tetap dengan posisi tangan didalam baju didepan dada.
Para penghisap lem...
Berhubung itu lebih murah dari ineks maupun shabu-shabu yang menjadi barang mewah untuk mereka. Itu punya anak2 orang kaya...
No comments:
Post a Comment