Tuesday, September 13, 2005

Perlukah Menggugat sang "Guru Bangsa"? (Untuk Nurcholis Madjid, episode 1)

Tulisan ini dibuat bukan untuk mendiskreditkan seseorang yang dalam hal ilmu tidak bisa dibandingkan dengan saya. Kaliber beliau dengan saya bagai langit dan bumi dalam hal ilmu (tentu, beliau langitnya).
Bukan juga untuk mencela seseorang yang sudah tidak bisa lagi mempertahankan/membela dirinya dari tulisan ini, berhubung beliau memang sudah almarhum...
Tapi sekiranya menjadi catatan penting untuk diri saya sendiri, untuk belajar memfilter atau memilah-milah apa-apa yang patut dipelajari dari seseorang/sesuatu. Karena terkadang sebuah pembelajaran tidak hanya didapat dari suatu kebaikan. Ia terkadang justru lebih banyak didapat dari suatu keburukan, atau sebutlah kekurangan.

Kematian Nurcholis Madjid (Cak Nur) memang menyisakan persepsi-persepsi yang membingungkan mengenai dirinya (seperti juga dalam sepanjang hidupnya, Cak Nur tampaknya memang selalu bermaksud untuk menghadirkan kebingungan). Kebingungan yang saya maksud adalah perkara sikap hidup, ideologi, maupun patronase apa yang sesungguhnya diusung oleh Cak Nur. Predikat beliau sebagai seorang "Guru Bangsa" (yang mana saya tidak tau siapa yang memberikan predikat itu pada beliau) nampaknya memang mengharuskan kita untuk benar-benar mengerti persoalan ini. Karena tentu, kita harus memahami apa yang beliau ajarkan sebagai "guru" itu.

Beberapa hari yang lalu, tulisan seseorang dengan nama M. Abdullah dipostingkan ke mail-list "Curah Ide" yang saya ikuti secara pasif. Yang mempostingkan bukan si penulisnya sendiri.
Judul tulisannya cukup provokatif, "Menggugat sang Cendekiawan". Dan isinya pun memang provokatif ternyata. Meskipun begitu, dari tulisan-tulisannya, ada beberapa poin yang tanpa terbantahkan (oleh saya) harus saya setujui. Persetujuan itu berhubung karena memang setelah kemunculan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang diusung oleh kader-kader Paramadina (yang berarti juga kadernya Cak Nur), kecurigaan sekaligus mungkin kekecewaan terhadap sosok Cak Nur juga menyeruak di pikiran saya.

Setelah membaca posting itu, satu hal yang membuat saya agak2 lebih kecewa adalah karena ternyata, kecurigaan dan gugatan terhadap Cak Nur itu berarti bukan hanya milik saya. Dengan kata lain, sosok Cak Nur mungkin memang pantas untuk dipertanyakan.

Saya mungkin akan menghindar untuk terlalu provokatif dalam menilai sosok sekaliber beliau, karena walau bagaimanapun, kecurigaan ini adalah secara subyektif berasal dari pemikiran saya (yang ternyata jg dipikirkan oleh banyak orang lain), tanpa pernah mengklarifikasinya terhadap pihak yang bersangkutan, dan juga tentu saya tidak mengetahui dasar pemikiran Cak Nur yang sebenarnya.

Sebagai sosok yang secara luas dianggap mengusung Islam, patronase politik Cak Nur adalah hal pertama yang menimbulkan kecurigaan bagi saya. Slogan "Islam Yes, Partai Islam No" mungkin bisa dianggap sebagai puncak gunung es dari sikap politik beliau. Slogan ini,oleh beliau dan orang-orang yang mendukung beliau (dan secara luas juga mungkin oleh hampir semua politikus dan negarawan) dikatakan lahir karena pada waktu itu, Islam telah dijadikan sebuah komoditas politik, sebuah barang dagangan untuk mendulang suara. Maka slogan itu, katanya, hadir untuk menyelamatkan Islam dari penyalahgunaan dalam politik. Benar? ya... mungkin juga benar, dan mungkin juga masuk akal. Tapi yang tidak masuk akal bagi saya adalah, jadi sebenarnya maunya Cak Nur itu seperti apa? Apakah sebatas agar Islam tidak menjadi komoditas politik? apakah berhenti sampai di situ?

Mungkin Cak Nur lupa bahwa, terlepas dari apakah memang benar partai-partai politik yang mengaku mengusung Islam itu hanya menggunakan Islam sebagai komoditas politik atau tidak, perbedaan (mungkin salah satu yang utama) antara Islam dengan agama-agama lain adalah adanya tuntutan untuk menjalankannya secara kaffah, di SELURUH sendi-sendi kehidupan. Mengapa perbedaan utama? Karena Islam adalah satu-satunya agama yang memang hadir tidak hanya dengan aturan-aturan dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga dalam konteks hubungan antar manusia secara detil (atau setidaknya lebih detil dibanding agama lain). Apabila dasar syariat Islam itu adalah Al-Qur'an dan Sunnah, maka dari keduanya dapat diperoleh sistem-sistem yang tidak akan kita temui di agama lain. Sistem pemerintahan, politik, ekonomi, dan sebagainya, adalah sistem-sistem yang semestinya dapat mengatur kehidupan antar manusia di dunia.

Perbincangan saya dengan Mr. Jerry, seorang berkebangsaan Kanada yang begitu tertarik terhadap kebudayaan Asia dan Islam, di Wamena (Papua), pernah mengungkapkan perbedaan itu. Mr. Jerry menantang saya untuk melakukan apa yang sudah dia lakukan, untuk bertanya pada orang Kristen yang paling saleh sekalipun, atau orang Hindu, bagaimana agama mereka mengatur cara mereka berdagang, berpolitik, atau mengatur ekonomi. Kekecewaan Mr.Jerry terhadap agamanya sendiri dimulai ketika dia mempertanyakan hal itu tetapi merasa bahwa memang tidak ada jawabannya.

Itulah sebabnya muncul sebuah slogan di peradaban Eropa, untuk "memberikan pada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhanmu, dan memberikan pada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar". Peradaban barat memang dibangun atas dasar ini, yang kemudian menjadi cikal bakal dari apa yang kita sebut (dan Cak Nur sebut) sebagai sekulerisme, yaitu bahwa urusan duniawi tidak ada sangkut pautnya dengan urusan akhirat.

Dalam hal inilah, Cak Nur mungkin agak-agak terjerumus. Beliau mungkin lupa, bahwa meskipun saat itu Islam dijadikan sebuah komoditas politik, sebagai seorang yang hanif, beliau harus membangun sebuah pola pikir yang mau menegakkan Islam secara kaffah itu dalam diri ummat. Ketika beliau hanya berhenti pada slogan "Islam Yes, Partai Islam No", beliau tidak saja telah menghilangkan nilai-nilai Islam dalam percaturan perpolitikan dan ketata-negaraan, tetapi secara lebih jauh juga telah menanam saham pemikiran pada ummat bahwa nilai-nilai Islam itu memang tidak perlu berkaitan dengan pola kehidupan mereka sehari-hari. Atau dengan kata lain, mengajak ummat untuk tidak mempedulikan tuntutan implementasi Islam secara kaffah. Dan sampai kematiannya, patronase politik Cak Nur nampaknya memang terhenti pada slogan tersebut... Entah karena tidak sempat, atau memang tidak ada niatan untuk menanamkan syariat Islam dalam pola pikir ummat.

Padahal, ada sebuah kontradiksi sekaligus ironi dalam pernyataan Cak Nur ini. Sebagai sosok yang seharusnya mengusung sebuah agama yang mengikat ummatnya secara kaffah, gebrakan Cak Nur itu terhitung baru, bahkan bagi agama-agama yang memang beraliran sekuler. Maksud saya, sepakat dengan M.Abdullah, belum pernah ada seorang cendekiawan Kristen yang berteriak "Kristen Yes, Partai Kristen No", ato cendekiawan Hindu yang berteriak "Hindu Yes, Partai Hindu No". Kalau agama-agama yang sekuler saja tidak mengeluarkan slogan itu, kok justru malah Cak Nur yang meneriakkan itu dalam konteks agama yang jelas-jelas memiliki semua perangkat untuk tidak menjadi sekuler...
Apakah saat itu, Cak Nur juga dipengaruhi oleh trauma terhadap DI/TII? atau secara lebih luas, apakah slogan itu diterima masyarakat karena masyarakat juga masih trauma terhadap DI/TII?

Pikiran Cak Nur sepertinya hanya berorientasi jangka pendek sekali, yaitu untuk menyikapi fenomena Islam sebagai komoditas dengan slogan tersebut, tapi usaha-usaha jangka panjang untuk mengusung peradaban Islam sama sekali tidak terlihat...

Sebagai bagian pertama, mungkin itu dulu...

No comments: