Wednesday, February 07, 2007

Daripada Sakit Gigi, Lebih Baik Sakit... Hati ini... (episode 2)

Holaaaa!!!!!

Bagi anda yang sudah membaca pengalaman saya seputar gigi geligi, tentu menanti-nantikan sekuelnya ini bukan? (aaah, sifat narsistik saya belum berkurang nampaknya).

Jadi, setelah kurang lebih 18 tahun tidak pernah ke dokter gigi, akhirnya gigi saya mulai rewel. Sebenarnya sudah berbulan-bulan rasa sakit ini muncul, khususnya apabila mengunyah dengan gigi kiri bagian bawah. Akan tetapi, tentu saja, saya abaikan.

Sampai akhirnya, rasa sakit itu mulai menjadi-jadi. Berbuntut pada bengkaknya kelenjar tiroid saya karena terlalu sering menahan nyeri. Kakak saya, tentu saja, adalah seorang motivator ulung dalam mendorong orang untuk ke dokter gigi. Motivasi diberikan dengan menakut-nakuti saya bahwa kalau saya tidak segera memeriksakan gigi ke dokter gigi, maka ada resiko gigi saya semakin parah, lalu bolongnya mencapai saraf, lalu bisa radang, lalu harus dioperasi, lalu begini lalu begitu lalu begini dan begitu, intinya: MENYERAMKAN.

Maka pada suatu hari sabtu yang mendung disertai hujan gerimis, saya mulai mencari info dimana dokter gigi di Bogor yang bagus.

Info yang cukup banyak saya dapatkan. Tapi nahasnya, hampir semuanya tutup. Sangat jarang ada dokter gigi yang buka pada sekitar pukul 12 siang sampai 4 sore, pada hari sabtu. Meski begitu, ada satu klinik di Bogor yang baru dibuka di Bogor, yang buka pada hari sabtu, dan ada dokter giginya. Inisialnya : BMC (halah, kalo kaya gini sih tetep aja ketauan ya?)

Maka, pergilah saya bersama kakak saya ke dokter gigi itu. Misinya satu, menservis gigi, apapun yang diperlukan.

Saya agak jiper (ciut, red.) ketika melihat penampakan klinik ini. Mengapa? Karena terlihat bersih, baru, dan bonafide (do you know what bonafide means?). lantas kenapa jiper? Karena bonafide berarti satu... MAHAL.

Tapi toh saya dengan gagah berani tetap masuk juga ke klinik itu, menyelesaikan administrasi, dan mengambil sikap duduk manis sambil menunggu bu dokter gigi. Akhirnya tiba giliran saya. Saya cukup canggung berada di dalam ruangan dokter gigi, berhubung tidak ada satupun alat-alat kedokteran yang saya kenal di ruangan itu. Termasuk kursi dokter gigi yang mirip dengan kursi santai di pinggir pantai itu. Meski begitu, hanya satu hal yang ada dalam pikiran saya: “Tetap tenang, jangan keliatan baru pertama ke dokter gigi, dan (pura-pura) bersikap profesional!”

Setelah duduk, disuruh kumur-kumur.

Ha?Kumur-kumur? Aaah, ada gelas berisi air di sebelah kiri. Tentu kumur pake air ini..

Kumur-kumur selesai. Saya bingung harus dibuang kemana. Aaah, ada wadah alumunium berbentuk seperti mangkuk yang terpasang di sebelah kiri kursi ini... tentu dibuang kesini. Air sisa kumur saya buang ke tempat itu. Tidak ada protes dari dokter dan asistennya. Berarti memang benar kesini. Sikap saya masih cukup profesional. Perjuangan selanjutnya adalah tetap bersikap tenang, berlagak tidak takut, dan jangan gentar melihat (atau mendengar) alat-alat yang digunakan untuk mengorek-ngorek gigi saya. Gigi mulai diperiksa, dan ternyata tiga gigi menimbulkan rasa ngilu ketika diketuk.

Hasil analisis : gigi saya bolong 3 buah, yaitu geraham depan di bagian kiri bawah, geraham belakang pojok di bagian kiri bawah, dan leher gigi seri di bagian kanan atas. Sip! Kanan-kiri oke! (dibaca: baik di sebelah kanan maupun kiri ada gigi yang sakit, dan itu sebabnya saya merasa ngilu ketika makan dengan menggunakan sisi manapun dari mulut saya).

Keputusan dibuat. Gigi saya perlu ditambal sementara sebelum diberi tambalan permanen. Saya memilih untuk menambal yang dua di sebelah kiri bawah terlebih dahulu, dan membiarkan yang kanan. Alasannya sederhana. Dengan tambalan sementara, gigi itu tidak bisa digunakan (secara bebas) untuk makan. Maka, kalau semua gigi saya ditambal sekaligus, artinya saya tidak bisa menggunakan baik sisi kanan maupun kiri dari mulut saya untuk makan. Apakah lantas saya harus makan dengan cara diemut?

Selesai...

Saya melangkah keluar dengan tegap. Tapi langkah tegap itu berubah menjadi lemah lesu tak bertenaga setelah saya keluar dari ruangan kasir. 180 ribu rupiah untuk tambal sementara 2 gigi, biaya administrasi, dan pembuatan kartu (yang menurut saya tidak penting). Mengingat saya harus beberapa kali lagi kembali ke tempat ini, jumlah 180 ribu membuat cukup lemas, khususnya ketika keadaan keuangan sedang morat-marit.

Setelah itu, pada pertemuan kedua, gigi geraham bawah bagian kiri depan itu diberi tambalan permanen. 230 Ribu melayang... Saya mulai berpikir untuk ganti dokter, karena saya mulai mendapat info mengenai dokter-dokter lain yang lebih murah.

Lalu... bencana itu datang...

Pada suatu hari ketika sedang makan malam, entah karena saya menggigit terlalu semangat (inilah mengapa anda tidak boleh terlalu bernafsu ketika makan, seenak apapun makanan itu) atau sebab lain, saya merasakan ada satu bagian yang terlepas dari gigi saya yang baru diberi tambalan permanen itu. Saya merasakan lubang yang cukup besar ditinggalkan oleh komponen yang terlepas itu. Untungnya, komponen tadi tidak tertelan. Saya keluarkan, dan setelah dilihat-lihat, saya mengambil kesimpulan bahwa tambalan permanen saya telah terlepas.

Hal pertama yang membuat saya sedih adalah bayangan bahwa saya harus mengeluarkan 230 ribu lagi untuk menambal ulang. Baru setelah itu, makanan yang saya santap jadi tidak terasa enak lagi, dan minuman yang saya minum hanya memiliki satu rasa: NGILU. Dua menit kemudian, saya selesai mengucapkan sumpah serapah dalam 7 bahasa, yang semuanya ditujukan pada gigi saya.... dan sumpah serapah dalam 2 bahasa untuk dokter gigi saya.

Hari berikutnya, kekecewaan saya sedikit terobati karena keluarga dan teman-teman saya menginformasikan bahwa kalau tambalan terlepas, SEHARUSNYA diganti secara GRATIS oleh dokter gigi bersangkutan sebagai bentuk garansi. Maka saya putuskan untuk menelpon dokter gigi saya dan memberitahukan apa yang terjadi.

Di telpon, dokter gigi saya bereaksi dengan: “Beneran pak awan? Mungkin itu yang gigi belakang yang baru ditambal sementara? Masa iya tambalannya sudah terlepas secepat itu? Anda makan apa sih?”

Aaaaaaah.... resistensi? Menolak memberi garansi rupanya? Ckckckck....

Maka saya putuskan untuk tidak menyinggung-nyinggung soal uang, dan cukup sebatas keluhan rasa ngilu di gigi saya (yang memang sangat nyata adanya).

Janji ditetapkan, saya diminta datang Rabu malam untuk melihat kondisi sebenarnya. Akan tetapi, pada hari minggu malam, ada sebuah kejadian yang sebelumnya tidak saya sangka-sangka.

Waktu itu, saya baru saja selesai sikat gigi di malam hari. Ini buat saya adalah sebuah kemajuan, karena sebelumnya saya memang hanya sikat gigi sekali dalam sehari (pagi hari). Baru setelah ada masalah dengan gigi inilah saya menuruti nasihat kakak saya untuk sikat gigi 2 kali sehari.

Selesai sikat gigi, tentu saya kumur-kumur. Setelah itu, ketika saya melangkah keluar kamar mandi, tiba-tiba saya merasakan sakit yang LUAR BIASA pada gigi yang saya kira tambalannya terlepas itu. Tak kuasa menahan sakit, saya jongkok, berdiri, jongkok lagi, berdiri lagi, dan kemudian kembali masuk ke kamar mandi. Saya meludah, dan yang keluar adalah cairan berwarna merah. DARAH? Tidak percaya dengan apa yang terjadi, saya mengambil air untuk berkumur. Air buangan setelah berkumur itu ternyata berwarna merah pekat. Memang benar darah. Saya merasakan gusi saya berdenyut dengan KERAS, dan merasakan darah mulai menggenangi lidah saya. Sambil menahan sakit, saya beberapa kali berkumur lagi sampai air buangannya agak berwarna jernih, meskipun tidak sepenuhnya jernih. Setelah itu, saya jongkok di kamar mandi, menahan sakit sampai mata berkaca-kaca. Selanjutnya, saya menghabiskan 2 jam di kamar saya dengan berguling-guling di tempat tidur untuk menahan sakit karena gusi tidak berhenti berdenyut. Ini bukan ngilu. Ini SAKIT. Setelah kelelahan, saya baru dapat tertidur. Untunglah, pendarahan berhenti pada esok paginya.

Akhirnya saya memutuskan untuk memajukan jadwal ke dokter gigi. Saya kembali ke dokter gigi pada hari selasa siang (dengan izin tidak masuk kerja tentunya. HOREE!!). Setelah tiba giliran saya, saya menghabiskan waktu lima menit untuk menceritakan semua kisah tadi pada sang dokter. Baru kemudian saya diperiksa. Tentu, dalam hati saya tetap tenang karena saya masih berpikiran bahwa kali ini penggantian tambalan SEHARUSNYA gratis.

Setelah memeriksa, sang dokter tersenyum... senyum yang membuat saya curiga.

“Oooooh, ini sih bukan lepas tambalannya pak awan... ini tambalannya masih ada kok.” (saya kurang suka dipanggil dengan sebutan “pak” sebenarnya, tapi nampaknya tampang saya memang mendukung).

Saya mulai ciut...

“Lantas, gigi saya kenapa dok?”

“Ini, gigi yang kemarin ditambal permanen itu, ternyata giginya PECAH sampai ke gusi.”

APA?!?! Saya tidak terlalu percaya apa yang saya dengar. Saya belum mau percaya. Alasan kenapa saya tidak mau percaya adalah.... karena kalau bukan tambalannya yang rusak, artinya saya harus membayar lagi.... (mengeluh dalam hati)

“Giginya atau tambalannya dok?”

“GIGINYA PAK! Ini tambalannya masih ada kok. Ini gigi pecahnya sampai ke gusi. Makanya kemarin berdarah. Mungkin waktu sikat gigi, ini gusinya terkoyak.”

“Ooooo... gitu ya dok?” (menyerah)

“Iya”

“Jadi gimana dong dok?”

“Ini harus dirawat dulu pak. Mungkin harus 4-5 kali balik kesini baru bisa dibenerin giginya...”

lemas.... 4-5 kali balik... 4-5 kali bayar lagi.... mengeluh lagi...

“Tapi... mmmm... dok.... saya sekarang ga bawa uang banyak lho.”

“mmm... yaudah deh, gini aja. Ini tambalan yang permanen kemaren saya bongkar lagi, terus dikasih tambalan sementara. Gigi yang belakang juga saya tambal sementara lagi, soalnya ini udah mau lepas. Gigi yang belakang ga usah bayar deh. Pak awan bayar buat yang gigi bagian depan ini aja... gimana?”

“yaudadeh... gimana baiknya aja” (ya habis harus bagaimana lagi coba?)

Perawatan dilakukan.

Hasilnya, 220 ribu melayang lagi untuk bongkar tambalan permanen, perawatan, dan membeli antibiotik serta obat penahan nyeri (diminum kalau sakit katanya). Yah, setidaknya gigi yang belakang tidak perlu bayar.

Bagaimana kelanjutannya?

Apakah gigi saya bisa dibetulkan?

Nantikan episode berikutnya... =D (haiyah, masih bersambung juga ternyata...)

4 comments:

Anonymous said...

ini kisah nya sama banget sama gue kak, tp di pmi lebih mahal lagi -___- mahasiswa pula ahhhh bangkrut krut krut

MONICA DWI NINGRUM said...

Ini sama sama gue. Kalo dicabut boleh ga ya?

Dulwadul Inc. said...

wah..sama ini sih. hasil analisis saya..tmbalan sementara itu mengandung zat yg keras..dan itu yang bikin gigi kita agak lunak..jadi gampang pecah. Pada masa perawatan ky gini emang bagusnya makan yg lunak2 dulu...bubur..nasi tim..dan teman2nya

Dulwadul Inc. said...

wah..sama ini sih. hasil analisis saya..tmbalan sementara itu mengandung zat yg keras..dan itu yang bikin gigi kita agak lunak..jadi gampang pecah. Pada masa perawatan ky gini emang bagusnya makan yg lunak2 dulu...bubur..nasi tim..dan teman2nya