Tuesday, September 26, 2006

Klarifikasi Penyu


Terkait dengan postingan saya sebelumnya mengenai perjalanan ke Mahakam dan Samarinda, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan dan klarifikasi.

Klarifikasi ini juga terkait janji kepada seorang teman. Teman yang sepertinya begitu kecewa dengan perbuatan saya sehingga saya bersyukur kami hanya bercakap-cakap via Yahoo Messenger. Seandainya waktu itu kami bertatap muka, bukan tidak mungkin ada bogem mentah bersarang di wajah atau perut saya, atau bahkan sebuah sayatan pada leher (terlalu ekstrim nov?)

Perkaranya memang bukan main-main. Klarifikasi ini adalah terhadap pengalaman saya memakan sebutir telur penyu ketika berkunjung ke Samarinda kemarin. Sebuah kenyataan yang sepertinya terlalu menyedihkan untuk diingat-ingat lagi. Maka dengan tulisa ini saya ingin mengklarifikasi dan menegaskan bahwa :


Saya sangat menyesal telah memakan telur penyu. Perbuatan tersebut adalah salah dan tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apapun, kecuali kalau mungkin kondisinya sudah darurat atau menyangkut nyawa manusia (misalnya, anda ditodong pakai pistol dan disuruh makan telur penyu itu, atau ada orang yang sakit parah sampai sekarat dan hanya bisa sembuh kalau makan telur penyu, atau suatu kondisi dimana TIDAK ADA LAGI YANG BISA DIMAKAN (termasuk tanaman liar) yang bisa dimakan kecuali telur penyu – suatu kondisi yang saya rasa sangat jarang terjadi). Dengan demikian, saya juga menghimbau kawan-kawan untuk tidak memakan telur penyu!!!


Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui bersama mengenai per-penyu-an, di dunia secara umum, dan Indonesia pada khususnya

Pertama, penyu sekarang ini adalah binatang langka yang perlu dilindungi/dilestarikan. So, sebenernya gapapa makan telur penyu JIKA DAN HANYA JIKA penyu sudah bukan lagi binatang langka, atau apabila populasinya sudah sedemikian banyaknya sehingga berlebihan dan meresahkan biota laut yang lain (satu kondisi yang, lagi-lagi, saya rasa akan sangat sulit terjadi).


Kedua, penyu tidak bisa bertelur di sembarang tempat. Penyu memerlukan pantai yang sepi/tenang untuk bertelur. Telur yang dikeluarkan memang banyak. Akan tetapi, dari sekian ribu anak penyu di satu lokasi, sebenarnya hanya beberapa puluh yang bisa selamat sampai dewasa. Ini bisa jadi karena gagal menetas, dimakan predator waktu baru keluar pantai mau ke laut, atau dimakan predator di laut. Ini sebabnya, pertambahan populasi penyu sangat lambat.

Ditambah lagi, penyu hanya mau bertelur di pantai tempat kelahirannya. Suatu kondisi yang sangat luar biasa sebenarnya, mengingat mereka berkelana selama puluhan tahun sebelum bertelur, sejauh ribuan kilometer di laut lepas, sebelum akhirnya bisa kembali lagi ke tempat kelahirannya. Dibawah cahaya yang minim sekalipun, dan kemiripan kondisi pantai di seluruh dunia, penyu selalu bisa menemukan pantai kelahirannya itu untuk bertelur lagi. Subhanallah...

Ada beberapa penangkaran penyu di Indonesia.

Beberapa tempat yang saya ketahui adalah di Pantai Ujung Genteng (sukabumi), pulau Derawan di Kaltim, dan kawasan Cipatujah di pantai selatan Jawa. Selain 3 ini, sebenarnya ada banyak, tapi 3 inilah yang dulu sempat nyaris saya kunjungi, tapi karena satu dan lain hal, GAGAL (kesasar masuk hutan belantara di ujung genteng, jadi gagal ngeliat penangkaran penyu).

Penangkaran di Cipatujah merupakan kawasan penangkaran yang dinilai paling sukses di Indonesia. Meski begitu, dunia internasional menganggap bahwa kawasan Cipatujah ini masih sangat jauh dari kondusif sebagai tempat penangkaran penyu. Perlu diketahui bahwa Cipatujah telah porak poranda ketika tsunami menyerang Jogja dan sekitarnya beberapa waktu lalu. Satu kondisi yang menambah sulit kehidupan penyu di Indonesia. (seluruh informasi di paragraf ini didapat dari perbincangan dengan Nova)


Ketiga, dari film Finding Nemo yang diproduksi oleh Disney-Pixar, ada sebuah dialog antara bapaknya Nemo (Marlin) dengan seekor penyu laut (Mr. Crush), yang kira-kira begini :

Bapaknya Nemo : “How old are you anyway?”

Penyu Laut : “150 dude, and still young....”

Dari perbincangan itu, sebenarnya kita bisa merasa miris karena sebuah species yang bisa hidup sampai lebih dari 150 tahun dalam kenyataannya bisa terancam kepunahan. Manusia memang rakus. (dua paragraf ini pun, didapat dari Nova =D )

Sekian klarifikasi dari saya....

Semoga ini bisa membuka mata kita semua soal dunia per-penyu-an dunia...



NB (Nambah) :

Ketika di kampus dulu, kalau bicara soal beginian, pasti ada yang berargumen kalau kondisi kehidupan di Indonesia belum cukup kondusif untuk kita bicara mengenai hak-hak perikebinatangan, karena perikemanusiaan saja masih sering terlupakan di negeri ini. Setelah itu, tentu akan ada argumen mengenai betapa perburuan penyu dan penjualan telur penyu telah menghidupi banyak orang yang tidak dapat pekerjaan formal di Indonesia.

Akan tetapi, selayaknyalah kita berlaku adil terhadap semua makhluk, tidak terhadap manusia saja. Karena Allah SWT menugaskan kita untuk menjadi pemimpin di bumi, bukan hanya bagi sesama ummat manusia saja, tapi bagi semua makhluk. Maka kita juga harus adil terhadap penyu.

Perkara banyaknya pengangguran di Indonesia adalah karena kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja formal di Indonesia, dan kegagalan masyarakat Indonesia dalam membangun budaya kemandirian atau wirausaha. Tidak adil kalau segala akibatnya lantas kita lemparkan pada makhluk hidup lain, termasuk merugikan penyu! Ini berarti kita sudah tidak berlaku adil.

Inilah mengapa, kita perlu menjaga kelestarian sumber daya alam (termasuk hutan, minyak bumi, hewan, dsb), karena bila tidak, maka suatu saat nanti, tidak akan ada yang tersisa lagi untuk kita dari alam. Dan saat itu terjadi, manusia pun akan punah dengan sendirinya.

Demikian, terima kasih.


Keterangan :
gambar diambil dari :
- http://pplhbali.or.id
- http://kompas.co.id
- http://kehati.or.id
- http://grandcaymancruisexcursions.com
- http://harunyahya.com
- http://allposters.com

Friday, September 22, 2006

Sebelum Ramadhan...

Assalamu'alaikum wr wb...

Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan,
Kepada semua yang pernah mengunjungi blog ini, pernah membaca, pernah meninggalkan comment, pernah meninggalkan jejak di shoutbox, dan lain-lain....
Atas semua kesalahan, baik kata-kata, perbuatan, maupun lintasan niat yang mungkin menyakitkan atau kurang berkenan di hati....

saya mohon maaf lahir batin yaaaaa =)

Semoga Ramadhan kali ini dapat menjadi momentum perbaikan diri bagi kita semua.

NB : Kalo ada yang ngerasa masih diutangin sama saya, mohon maaf ya, mungkin saya lupa, tolong diingetin :p
Ato, kalo ngga, ya tolong diikhlaskan sajaa =P

Thursday, September 21, 2006

Jangan Minum Air Mahakam !!! (Cerita kedua dari 2 tulisan tentang Mahakam - habis)

Samarinda sebenarnya kota yang cukup indah. Membuat betah.

Sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur, Kota ini tidak memiliki bandar udara, dan bandar udara terdekat ada di Balikpapan, sekitar 2 jam dari Samarinda. Inilah sebabnya, meskipun Samarinda merupakan ibukota Provinsi, perkembangan Balikpapan sebagai kota perdagangan dan industri berjalan lebih cepat. Dalam banyak hal, Balikpapan memang lebih maju dibanding Samarinda.

Perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda bisa ditempuh dalam waktu 1,5 – 3 jam, tergantung kecepatan mobil dan kenekatan supir. Yang jelas, perjalanan itu bisa dinominasikan sebagai salah satu tantangan dalam fear factor. Supir-supir taxi dari Balikpapan – samarinda dan sebaliknya terbilang nekat. Secara teori, jalan kelas 3 yang hanya terbagi dalam 2 jalur (2 lajur berlawanan) semacam ini normalnya ditempuh dengan kecepatan maksimal 60 km/jam. Akan tetapi, taxi yang saya naiki kecepatannya konstan di kisaran 80-110 km/jam. Jalan berliku-liku melintasi hutan dan Bukit Soeharto (yang beberapa tahun lalu sempat terbakar hebat), dengan garis tengah jalan yang seringnya tak terputus (tanda tidak boleh saling menyalip), tidak membuat para supir gentar. Pada perjalanan seperti ini, saya sarankan anda tidur dan pasrah pada Sang Maha Kuasa.

Untunglah, perjalanan seperti ini sudah tak asing lagi bagi saya. Saya rasa perjalanan dari Sukabumi ke kawasan Ujung Genteng masih lebih memacu adrenalin. Begitu juga, perjalanan di papua dulu kurang lebih sama. Akan tetapi, bagi yang belum terbiasa, kantung untuk muntah adalah persiapan yang bisa jadi sangat penting.

Sepanjang jalan, terlihat asap hitam mengepul di kejauhan. Asap dari hutan atau ladang yang terbakar. Kebakaran hutan bagi banyak orang dianggap sebagai sebuah musibah atau kecelakaan. Akan tetapi, sebenarnya kebakaran hutan seringkali merupakan kejadian yang disengaja. Secara tradisional, ini adalah cara yang secara turun-temurun dipraktekkan oleh masyarakat Dayak dalam bercocok tanam. Membakar ladang adalah cara jitu untuk mengembalikan kesuburan tanah, agar setelah beberapa lama dapat digunakan kembali. Dalam periode menunggu kembalinya kesuburan tanah itu, mereka akan berpindah dan membuka lahan baru (dengan cara membakar juga, supaya cepat).

Di masa lalu, metode pembakaran hutan dan ladang berpindah ini merupakan cara tradisional yang telah menjaga kelestarian alam Kalimantan. Bagi saya, ini merupakan salah satu kearifan lokal. Karena, diakui atau tidak, masyarakat tradisional, beserta adatnya, seringkali lebih menghormati alam dibanding manusia ”modern”.

Akan tetapi, memang, metode ini bisa jadi tidak lagi bijak untuk digunakan mengingat banyaknya penduduk Kalimantan saat ini. Lahan sudah mulai terbatas. Meski begitu, saya tetap berpendapat bahwa ilegal logging yang dilakukan secara massif oleh perusahaan-perusahaan bermodal besar merupakan penyebab utama gundulnya hutan-hutan Indonesia. Bukan pembakaran hutan maupun penebangan liar yang dilakukan oleh penduduk setempat !! Mengapa? Karena penebangan maupun pembakaran oleh masyarakat setempat dilakukan dengan tetap memperhitungkan kelestarian alam. Adat istiadat mereka mengikat dan mewajibkan hal itu. Tetapi tidak demikian halnya dengan para pemodal besar. Uang adalah dewa mereka! Sayangnya, masyarakat kecil tetap menjadi kambing hitam yang paling efektif, karena ketidakberdayaannya.

----

Setelah melintasi jembatan Mahakam, anda sudah memasuki kawasan pusat kota Samarinda. Jembatan ini sudah tua, dan penampakannya memang jauh dari kemegahan jembatan Ampera yang melintasi Sungai Musi di Palembang. Meski begitu, nilai pentingnya tetap sama. Jembatan Mahakam ini merupakan jembatan besar pertama yang melintasi Sungai Mahakam. Panjangnya beberapa ratus meter. Kabarnya, jembatan yang melintasi Sungai Mahakam di Tenggarong (Kabupaten Kutai Kertanegara) panjangnya hampir mencapai 1 km, memperlihatkan besarnya sungai ini.

Anda kemudian akan disambut oleh kemegahan Islamic Centre Samarinda. Seorang staff Bappeda Sulsel berkata, inilah Monasnya Samarinda, merujuk pada kubah mesjid besarnya yang berwarna keemasan. Mesjid Islamic Centre yang memiliki 4 menara ini memang sangat besar dan megah, walau tentu saja tidak sebesar Mesjid At-Tin di Surabaya. Meski begitu, memang cukup membuat mata terpana. Sayang sekali, pembangunannya masih belum rampung.

Iklim Samarinda pada dasarnya panas, beriklim tropis. Akan tetapi, hujan terus-menerus mengguyur kota pada hari kedua dan ketiga saya di kota ini, menjadikan udara cukup enak dinikmati.

Berjalan-jalan di Samarinda, saya rasa anda akan terkejut melihat banyaknya apotek di kota ini. Ya, apotek dan dokter. Di sepanjang jalan di sekitar kompleks perkantoran pemerintah saja, ada lebih dari 10 apotek yang saya lihat. Demikian juga di ruas-ruas jalan lain. Banyak juga yang bahkan berseberangan atau bersebelahan! Entah mengapa bisnis apotek ini sepertinya tumbuh subur. Apakah masyarakat sini sering sakit? Semoga tidak demikian.

Fenomena lain, adalah dijual bebasnya minuman-minuman beralkohol yang murah meriah seperti ”Topi Miring” di pinggir-pinggir jalan. Termasuk di depan hotel yang saya tempati, tepat di sebelah kompleks Bappeda Kaltim. Dengan merogoh kocek tak lebih dari 5 ribu sampai 10 ribu, anda sudah bisa mabuk. Tapi tentu, mengingat produk Topi Miring yang kualitasnya juga miring (bahkan tiarap), jangan heran kalau tenggorokan anda akan cepat terasa panas, atau sendi-sendi anda seperti mau lepas.

Seorang kawan saya begitu penasaran untuk mencoba telur penyu yang banyak dijual di tepi Sungai Mahakam. Saya juga belum pernah merasakannya, maka saya pun berhasrat mencoba. Menyusuri tepian sungai, akhirnya kami menemukan kawasan para penjual telur penyu itu. Telur-telur ini didatangkan dari Bontang dan Pulau Derawan. Penyu-penyu memang tidak bertelur di sembarang tempat. Mereka membutuhkan ketenangan, dan karenanya biasa memilih pantai-pantai yang sepi serta cukup hangat. Kabarnya, di Bontang sendiri tidak ada yang menjual telur penyu, karena habis diborong para penjual di Samarinda ini.

Lucu. Warnanya putih dan lebih kecil dibanding telur ayam. Dan cair! Kulitnya terlihat lunak dan isinya cair. Kami meminta yang sudah dimasak matang. Cangkangnya bisa dibuka dengan mudah, tetapi putih telurnya masih cair, kental dan lengket, berwarna bening. Melihatnya, saya merasa mual, karena berarti cara memakan putih telur ini adalah dengan meminumnya. Tetapi, kuning telurnya sepertinya mengeras seperti layaknya telur ayam yang sudah direbus.

Ternyata, cukup enak! Ya, terutama kuning telurnya. Memang gurih. Akan tetapi, rasa itu tak berlangsung lama. Putih telur yang lengket itu menimbulkan aroma amis setelah dimakan, dan membuat seluruh rongga mulut terasa amis juga. Meski begitu, saya tertarik untuk mencoba lagi. Baru setelah saya menanyakan harganya, saya merasa mual. 5000 rupiah per butir!!

Memang cukup banyak makanan enak di Samarinda. Beberapa makanan yang saya sarankan untuk anda coba diantaranya adalah Soto Banjar, Ikan Patin Bakar, dan Udang Galah Bakar. Intinya, perkara makanan, anda tidak akan kecewa di sini. Sebagai oleh-oleh, biasanya para pelancong memilih amplang. Rasanya gurih, biasanya terbuat dari daging ikan belida. Bagi saya, amplang ini tidak terlalu unik, karena mirip dengan penganan kuku macan yang cukup banyak dijual di pulau jawa. Meski begitu, harus diakui, amplang memang lebih enak dibanding kuku macan.

----

Berkeliling di Samarinda tidak terlalu sulit, meskipun mungkin anda baru pertama kali ke kota ini dan tidak memiliki kendaraan pribadi (seperti saya contohnya). Angkutan Kota siap mengantar anda kemana saja.

- Ha? Kemana saja? -

Ya! Kemana saja!

Sistem angkutan kota di sini cukup unik. Angkot bisa dibilang lebih mirip taxi. Anda tinggal bilang tujuan anda kemana, dan si angkot akan mengantar anda sampai tempat tujuan, selama itu tidak terlalu jauh menyimpang dari trayeknya. Meski begitu, setelah beberapa kali naik angkot di Samarinda, saya rasa angkot-angkot ini memang tidak ada trayek resminya. Memang cukup memudahkan, tetapi kadang menyita waktu juga perjalanan dengan angkot ini, karena tidak jarang anda harus rela berputar-putar dulu karena angkot tidak hanya mengantar anda, tapi juga penumpang lain. Dan penumpang-penumpang lain itu tidak selamanya memiliki tujuan di pinggir jalan-jalan besar. Terkadang anda terpaksa berkeliling jalan-jalan tikus dan daerah terpencil juga, mengikuti kehendak para penumpang lain itu.

Dan kalau bicara soal ongkos angkot, bisa jadi akan lebih mengesalkan lagi, mengingat sepertinya juga tidak ada tarif resmi. Minimal 2000 rupiah sampai entah berapa, sesuai standar kelayakan dari si supir. Jadi, kalau si supir meminta misalnya sampai 5000 rupiah per orang, ya jangan heran. Ikhlaskan saja...

Dan kalau bicara soal masyarakatnya, bisa dibilang penduduk setempat di kota ini cukup ramah, terbuka terhadap siapa saja. Selain itu, sepertinya proporsi penduduk pendatang di kawasan Balikpapan-Samarinda ini cukup besar, terutama dari Jawa. Maka fenomena berdirinya tenda-tenda nasi pecel atau soto lamongan di pinggir-pinggir jalan menjadi fenomena yang cukup umum. Yah, tapi saran saya, kalau anda berasal dari Pulau Jawa, untuk apa makan soto lamongan di sini? Iya toh?

-----

Selama saya berada di Samarinda, terhitung ada 3 orang yang memperingatkan saya untuk tidak meminum air Mahakam. Mengapa? Karena biasanya, kalau sudah minum air Mahakam, anda akan kembali lagi.

Saya rasa saya terkena kutukan itu. Bagaimana tidak, air PDAM di Samarinda bersumber dari sungai ini. Tentunya saya sudah meminumnya.

Dan benar saja, dalam hati ini sudah terselip kerinduan untuk kembali ke sana. Menikmati konturnya yang berbukit-bukit turun naik, mendengarkan tetes-tetes hujan membasahi tanah yang kering, dan tentu saja, menikmati semilir angin dibawah kerlipan bintang, di tepian Sungai Mahakam yang tenang.

Sunday, September 17, 2006

Di Tepi Sungai Mahakam (tulisan pertama dari 2 tulisan mengenai Mahakam)

Air.

Ketertarikan manusia akan benda yang satu ini nampaknya tak pernah surut. Sejak awal mula terbangunnya peradaban-peradaban besar, air dan sumber air selalu menjadi bagian penting didalamnya. Sebutlah peradaban Mesir dengan Sungai Nil-nya, peradaban Cina dengan Sungai Kuning-nya, atau peradaban Babilon di delta Sungai Eufrat dan Tigris. Betapa sungai-sungai besar telah menjadi andalan manusia dalam membangun kehidupannya.

Manusia selalu kagum akan ketenangannya, kesederhanaannya, dan bagaimana ia begitu bermanfaat dalam kehidupan. Benarlah kiranya apabila dikatakan bahwa kehidupan selalu bermula dari adanya air. Bahkan pencarian akan jejak-jejak kehidupan di Mars salah satunya dilakukan dengan melakukan pencarian akan jejak-jejak keberadaan air (atau zat semacamnya) di masa-masa yang telah lampau. Meski demikian, pada waktu yang bersamaan, manusia juga takut akan kekuatannya. Dalam kilasan-kilasan sejarah, manusia telah belajar lebih dari cukup untuk mengetahui bahwa didalam ketenangannya, air memiliki kemampuan untuk menghanyutkan, dan menghancurkan. Kekuatan yang terkadang diluar khayalan normal. Tapi toh, itu tidak menyurutkan manusia untuk menikmati air, dikala ia sedang bersahabat.

Dan di tepian Sungai Mahakam ini, saya duduk menatap bintang-bintang yang bertebaran bagai manik-manik berlatar langit hitam. Ketenangan sungai mahakam begitu mempesona. Ketenangan yang di masa lalu telah membangun peradaban kerajaan Kutai, dan di masa sekarang menjadi urat nadi pengangkutan barang maupun manusia di Pulau Kalimantan bagian timur ini.

Seandainya saya mengetahui sedikit mengenai ilmu falak, tentu tebaran bintang di malam yang cerah ini akan jauh lebih berarti. Meski begitu, dengan memandang kosong pun, hati setiap manusia tentu akan merasa kecil mengakui karya agung Sang Pencipta yang tengah tersaji ini.

Angin berhembus dengan enggan, tetapi terkadang kencang, membawa bau amis dari air sungai yang seolah tanpa riak. Jagung bakar yang masih mengepul menebarkan aroma pedas di sekitar hidung saya, dan memaksa air liur keluar membasahi lidah di rongga mulut. Menikmati jagung bakar rasa pedas, ditemani segelas kopi susu panas, tepian sungai mahakam di malam hari menyediakan momen yang tepat untuk melupakan penat.

Kapal-kapal tongkang dan kapal peti kemas besar simpang siur berjalan lambat, seolah takut mengganggu ketenangan mahakam. Kapal-kapal kecil bermotor satu maupun yang digerakkan oleh dayung sesekali melintas. Kapal-kapal itu, beberapa diantaranya tak berlampu, dan di kejauhan hanya terlihat saat ia menutupi gemerlap lampu kota di seberang sungai, seperti bayangan.

Pada malam hari, gemerlap lampu di seberang sungai menjadi satu panorama tersendiri. Lampu kota terkadang mendapat pujian yang berlebihan. Padahal, lampu-lampu ini hanya terlihat indah karena disekelilingnya ada kegelapan. Semestinyalah, kegelapan malam pun mendapat kadar pujian yang sama.

------

Oke…
Apa sudah cukup nuansa puitiknya??

Bisa kita mulai kembali pada bahasa sehari-hari?
Saya harap begitu, karena saya sudah mulai kehabisan ide untuk menulis untaian kata-kata seperti tadi (halah, ”untaian kata-kata”...)

Kejadian yang SEBENARNYA di tepian Sungai Mahakam tadi mungkin tidak sepuitis itu. Romansa yang saya ceritakan tadi mungkin hanya berlangsung beberapa menit saja. Sisanya?

Sisanya adalah, saya dan 2 orang kawan saya sibuk menolak pengemis dan peminta-minta yang ternyata cukup banyak juga di sini. Cukup risih juga, mengingat saya memegang jagung bakar di tangan kanan, dan terpaksa memberi isyarat penolakan pada para peminta-minta itu dengan tangan kiri.

Seorang wanita yang cukup gemuk, berpakaian bersih, adalah seorang diantaranya. Metoda yang dia pergunakan cukup efektif. Tanpa kata-kata sedikitpun! Dia hanya melenguh! Ya, melenguh seperti sapi. ”eeeuuuh.... mmmmhhh.... eeeeeuuuhhh... mmmmhhh...” begitu seterusnya, sambil mengulurkan tangannya, meminta uang. Bisu? Mungkin. Hanya saja, saya sempat memperhatikan dia bercakap-cakap dengan temannya sebelum meminta-minta.

”maaf bu...” kata saya sopan.
”eeeeuuuh....mmmmhhh....mmmmh.... aaahhhh...” kata sang pengemis.
”maaf bu, ga ada uang kecil nih...” kata kawan saya, sopan juga
”eeeuuuh...mmmmh.....hhhhhhh.....aaaahhh.....mmmmhhh....” kata sang pengemis.
”........” saya dan kawan-kawan saya, mulai bete.
Dan kejadian itu berlangsung selama sekitar 5 menit! Luar biasa, betapa ia seperti tidak mengerti (atau pura-pura tidak mengerti) bahasa Indonesia.

Akhirnya saya menyerah. Saya merogoh kantung cukup dalam, menyortir lembaran-lembaran di dompet saya, dan menyerahkan selembar uang 5 ribu, pecahan terkecil yang saya miliki saat itu.

Sang pengemis pergi, lalu mendatangi sepasang muda-mudi yang sedang memadu kasih (cihuuuuyyy....), dan menjalankan modus operandi yang sama. ”eeeuuuh.... mmmmhhh...aaahhh.... hhhhh....” dst. Kejadian yang sama berulang. Tapi, pasangan ini menyerah lebih cepat daripada kami.

Tak lama berselang, seorang anak bersepeda mendatangi kami, mengulurkan tangan, lalu berkata memelas... ”oooom, minta uang ooom”. DENGAN SEPEDA!!! Untunglah, anak ini mengerti bahasa Indonesia, dan uang saya yang tinggal 10 ribu selembar bisa selamat. Setelah ditolak, si anak mengayuh sepedanya, lalu kembali bermain bersama teman-temannya. Fiuh... untung tidak ada pengemis yang pakai sepeda motor. Kalau ada, AWAS!

Friday, September 01, 2006

Sampah-Sampah Peradaban

Gemericing uang receh dalam kantong-kantong lusuh membelah malam. Entah apakah ada carikan-carikan uang kertas diantaranya. Tapi yang jelas, tangannya sekedar ingin meyakinkan jiwa bahwa dia punya, walau tak seberapa.

Perut.

Apakah hanya itu yang mendorong manusia-manusia modern masa kini dalam melangkah? Kalaupun ada yang lain, tidakkah itu cuma obsesi untuk menguasai?

Menguasai apa yang secara hakikat mungkin nanti tidak akan lagi berarti. Tapi toh tetap dicari.

Getaran-getaran mesin berpacu memutar tiga roda, menerobos jalan-jalan kecil menuju stasiun kereta. Didalamnya dua manusia saling bertutur tanpa berpandang mata. Kepulan asap rokok menjadi teman, teman yang menyatukan dua jiwa yang saling asing, tapi sekaligus ingin saling mendekat. Basa-basi memang apa yang diucapkan, tapi getaran suara tak akan mampu menyembunyikan nilai kedalaman sebuah cerita. Cerita tentang kehidupan.

”Manusia... selamanya tentang manusia. Bukan tentang kebahagiaannya, Nak. Bukan tentang tawanya. Tapi tentang kesulitannya, kekuatannya, ketabahannya dalam mengatasi rintangan...” (*)


Selamanya tentang manusia tak akan pernah habis...

Maka berbagi rokok hanyalah sebuah jalan untuk berbagi cerita, meresapi kedalaman samudra jiwa satu sama lain. Tentang istri, tentang anak, tentang kawan-kawan yang terlupa, tentang saudara, tentang harta, tentang dunia.

Rasa malunya seolah menghujam telinga ini. Lebih-lebih, membuat ciut jiwa juga. Bagaimana seorang anak manusia, yang ditempa oleh hitamnya asap knalpot, terik mentari dan asamnya hujan Jakarta, merasa malu saat menerima uang yang bukan hasil keringatnya.

”Saya bukan pengemis”, katanya. ”Malu saya terima uang, walau dari saudara. Lebih baik menghindar. Tapi kalau kaya gini, saya ga malu. Setidaknya saya masih bisa bekerja”, lanjutnya.

Maka lantas siapa yang lebih miskin?

Seorang penarik bajaj, atau mereka yang sok kuasa dengan uang yang bukan hak mereka?

Tidak lagi pertanyaan itu patut dicari jawabannya.

Karena kalaupun ditemukan, mungkin tak lebih sebagai sebuah tikaman terhadap hati sendiri.

Kesulitan-kesulitan hidup yang terasa saat ini, mau tak mau, lantas diiringi dengan penyesalan akan masa-masa yang telah lalu. Mengapa dulu tidak begitu, sehingga hari ini jadi begini, tidak seperti kawan-kawan, yang sudah bermegah dengan jabatan. Senyum kecut lalu menyungging sendiri, seperti jendela otomatis di pintu mobil yang akan turun naik setiap tombol ditekan.

Semuanya kemudian bermuara pada keikhlasan yang seolah dipaksakan. Seperti tempat pelarian terakhir, ”memang sudah nasib” atau ”sudah jalan hidupnya begini” menjadi simbol kesadaran akan takdir. Tapi selalu terlintas pikiran, apakah ini sebuah pengakuan akan kekalahan?

Lantas pembicaraan mengalir pada perkara modal.

Tentu, sebagaimana air semua sungai mengalir ke laut... segala hal yang terkait dengan keduniawian hidup manusia saat ini memang mengarah ke modal. (*)

Begitupun kawan yang satu ini...

Menarik bajaj demi kepentingan sang pemilik modal, supaya sesuatu yang bernama investasi itu tidak sampai merugi. Kalaulah ada sedikit yang tersisa dari kekejaman sistem setoran, nyatanya itulah yang dicukup-cukupkan untuk makan. Sekedar membuat dapur mengebul, dan menyuburkan pemilik modal yang semakin gembul.

Lalu seolah bercermin...

Bukankah diri ini sendiri juga bekerja demi modal?

Tak disangka tak dinyana... semua curahan kasih sayang orang tua, semua perjuangan menggali ilmu-ilmu semesta, semua peluh yang tertumpah untuk sekolah, semua air mata yang mengalir atas nama kompetisi... ternyata hanya untuk membuat modal lancar mengalir. Modal yang bukan juga miliknya sendiri. Milik tangan-tangan tak dikenal yang tahupun tidak adanya dimana.

Perkaranya...

Manusia sering tidak sadar, kalau sebenarnya dia hanya sebuah sekrup dalam mesin besar yang bekerja demi modal.

Aset!

Tak lebih dari itu nilai manusia!

Aset untuk memutar modal, diperas tenaga dan pikirannya agar modal tetap hidup dan disembah-disembah, dialihkan pandangannya agar tak melihat apapun selain demi kepentingan modal...tidak juga untuk melihat Tuhan.

Setelah habis seperti sapi perahan... manusia tinggal ampas! Teronggok dalam renta, menunggu Tuhan yang dicari-carinya. Modal tak lagi meliriknya, karena yang namanya ampas tak lagi ada gunanya. Sekedar ucapan terima kasih perlu diberikan pada sang ampas. Bukan apa-apa. Sekedar supaya orang-orang muda tertarik pada sang modal. Sekedar supaya kembali berputar.

Di depan kami, seorang tukang sapu... seorang ibu-ibu... bekerja dalam sunyi tanpa ada seorangpun yang mau tau.

Sama... demi modal juga...

Jalanan kota harus tetap bersih... supaya penduduk mau tetap membayar pajak... supaya pemilik modal mau melirik kota ini, menganggapnya layak, untuk diberi suntikan modal.

Pernahkah tuan memikirkan...

Bagaimana hidup mereka?

Pernahkah tuan memikirkan...

Berapa harga keringat mereka?

Stasiun Manggarai berdiri tegak di tengah keramaian.

Persahabatan akan dilanjutkan lain hari. Kali ini cukup sampai disini.

Uang enam ribu dengan cepat melayang, dari tangan yang satu ke kantong yang lain. Senyum tersungging pada saya dan dia, dalam hiasan asap dua batang rokok dari bungkus yang sama. Belum habis. Tapi, seperti apapun di dunia, suatu saat akan. Habis.

Berpisah di hadapan puluhan pasang mata yang sebenarnya tak peduli.

Merenungkan bincang pendek yang seolah menjelaskan segala.

Asap rokok yang mengepul kemudian larut bersama jelaga dalam asap ibukota. Yang tadinya ada, lebur menjadi seolah tak pernah ada. Yang terlihat hanyalah udara.

Begitupun manusia, sebagian besarnya.

Akan hilang ditelan rakusnya waktu.

Karena masing-masing manusia,

Hanyalah satu titik kecil di belantika semesta. Satu partikel cahaya di tengah guyuran cahaya mentari. Satu sel air di tengah deburan ombak samudra.

Betapa luar biasanya,

Sejuta impian dalam pikiran satu insan, begitu tak terlihat di tengah hiruk pikuk gemerlap keriuhan jakarta. Belum lagi Indonesia. Belum lagi Asia, dunia, bima sakti, semesta raya.

Lantas siapakah kita?

Akankah kita nanti ditanam di dalam bumi, dalam guratan nama yang tetap abadi?

Ataukah kita hanya akan dimuntahkan zaman, sebagai sampah-sampah peradaban?





NB :
(*) Baris-baris yang berdekatan dengan tanda ini terinspirasi, atau mengutip seingatnya, dari Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa