Thursday, January 26, 2006

Bukan milik saya lagi...

Sudah agak lama ga berpikir...
Sejak meninggalkan kampus, sepertinya otak ini tidak terbiasa lagi berlari. Ya Allah, maafkan hambaMu yang bodoh ini...

Tapi memang, fenomena umum yang aktual selalu menarik perhatian saya, dalam hubungannya dengan bagaimana itu kemudian terkait dengan kehidupan pribadi saya sendiri, meski bila pada awalnya saya tidak ingin terlibat. Selain itu, ketertarikan saya terhadap fenomena publik juga adalah terhadap bagaimana tingkah polah masyarakat luas menyikapinya atau meresponnya.

Fenomena umum dalam hal ini saya artikan sebagai sebuah momentum atau kejadian yang direspon secara massif oleh banyak orang di masyarakat, sehingga menjadi sebuah isu publik pada tingkat lokal, regional, atau bahkan nasional.

Fenomena formalin, baso tikus, SUTET, dsb. sebenarnya cukup menarik untuk diikuti. Dari sini bisa kita lihat bagaimana masyarakat modern begitu mudah untuk paranoid terhadap sesuatu yang digembar-gemborkan oleh media. Okelah, formalin memang berbahaya. Tapi yang menarik adalah bagaimana kemudian masyarakat menjadi begitu ketakutan dengan zat yang sebenarnya telah lama mereka konsumsi ini, lantas menyangkut-pautkannya dengan segala hal. Kalau asalnya adalah tahu dan ikan asin, kemudian berkembang ke mie basah, lalu ke odol, lalu shampo dan sabun dengan merek2 ternama. Artinya, masyarakat mungkin berpikiran untuk tidak lagi makan tahu, anti makan ikan asin, membuang semua mie basah, tidak sikat gigi lagi, menggunakan abu gosok untuk keramas, dan mencukupkan mandi tanpa menggunakan sabun (kemungkinan yang jelas berlebihan).

Demikian juga dengan fenomena bakso tikus pasca garapan Trans TV, dengan riuh rendah semua masyarakat menentang penggunaan borax dan tikus dalam baso, sampai akhirnya minggu lalu sebagian masyarakat berdemo di depan gedung MPR/DPR soal ini sambil membawa spanduk dan banner yang lucu-lucu bertuliskan “TIKUS : NO !!!, SAPI : YES !!!. Luar biasa, dukungan terhadap sapi pun disuarakan sambil berdemo di depan gedung rakyat, sementara para penjual baso nampaknya bertindak lebih cerdas dengan mendemo Trans TV yang telah membawa stigma buruk plus penurunan omzet harian terhadap SEMUA pedagang baso dan mie ayam (tidak hanya yang menggunakan tikus, wong ga jelas juga mana yang pakai tikus dan mana yang pakai kebo, sapi, kelelawar, kuda, ato daging anak ayam).

Isu mengenai makanan ini secara ajaib ternyata hampir tidak menyentuh keluarga saya. Tentu saja, ada kehati-hatian yang lebih dari ibu saya dalam membeli bahan makanan. Tetapi sampai sekarang ternyata isu ini sama sekali tidak menghentikan kami untuk mengkonsumsi tahu, mulai dari tahu sumedang di kereta sampai semur tahu bikinan ibu. Ikan asin dengan sambal terasi pun masih kami nikmati tanpa ragu. Baso? Agak2 ga enak kalo ninggalin langganan yang lewat depan rumah tiap jam 10 siang pada hari sabtu atau minggu. Dan ya, kami masih mandi dengan sabun dan shampo yang sama, dan sikat gigi dengan odol yang itu-itu juga. Formalin?? Ya sudahlah... mampunya hidup dengan standar begini, apa boleh buat... mau mengganti semua tahu itu dengan daging kambing, mmm... kayanya harus beternak kambing sendiri dulu baru bisa mampu deh...

Isu SUTET jadi lebih absurd lagi. Bisa jadi karena ketidak-tahuan masyarakat awam akan istilah SUTET yang sebenarnya istilah kuno dalam pelistrikan (namun tergolong baru dalam bidang teror terhadap masyarakat), sedikit percikan provokatif entah dari mana dan ditambah penggelontoran bertubi-tubi dari media sudah cukup untuk membuat satu kalangan menjahit mulut mereka dan melakukan aksi mogok makan meminta ganti rugi. Kalau kemudian PLN tidak menghiraukan...saya rasa cukup masuk akal. Perkaranya, SUTET bukanlah barang baru. Benar bahwa itu menimbulkan radiasi, tapi bukan berarti radiasi itu yang menyebabkan semua kengerian yang digelar di media massa.

Baru baca sebuah e-mail di komputer teman saya, saya sepakat bahwa radiasi SUTET tidak lebih berbahaya dari radiasi televisi yang ditongkrongi masyarakat setiap hari, tidak juga lebih berbahaya dari radiasi komputer atau HP yang digunakan setiap hari oleh masyarakat urban. Maksud saya, menonton tipi setiap hari bisa jadi lebih berbahaya dibanding punya rumah di dekat Sutet. Yang bikin tambah bingung, lantas si Sutetnya sendiri mau diapakan? Mau dihilangkan? Silahkan, tapi resiko kehilangan daya listrik satu kecamatan atau satu kabupaten nanti siapa yang mau tanggung? PLN lagi yang didemo toh? Dan yang bikin PLN tambah cenat-cenut adalah tidak semua masyarakat yang mengaku sengsara karena Sutet itu sebenarnya tidak ikut andil (dalam menyebabkan kesengsaraan itu). Sekarang bisa kita tanyakan, mana duluan yang hadir, perumahannya atau sutetnya? Ada perumahan lalu ujug-ujug dibangun sutet dekat situ, atau ada sutet lalu masyarakat bangun rumah di sekitarnya tanpa bertanya dulu boleh ato nggak bikin rumah disitu? Nah?
Mungkin ada anak elektro yang bisa jawab ini? Yang jelas, teori planningnya sih bilang radius beberapa ratus meter dari Sutet memang ga boleh ada perumahan...

Oke, semua isu itu cuma pengantar...

.......

Ya.. ya.. saya tau, pasti pada ingin ngomong gini kan : “SEBANYAK ITU CUMA PENGANTAR ? GAK SERIUS LU WAN !!”

Ya sebenarnya fenomena publik yang ingin saya bahas (karena ternyata fenomena publik yang satu inilah yang kemudian, sayangnya, mempengaruhi diri saya) adalah mengenai... mengenai... (apa hayo???)... mengenai... itu tuh... pembukaan lowongan CPNS !!!

Awalnya sih, saya asyik saja mengamati bagaimana para pemuda-pemudi harapan bangsa Indonesia berduyun-duyun berkompetisi menjadi pegawai negeri yang nampaknya begitu diminati itu. Alasannya? Banyak lah... ada yang ingin “mapan”, ada yang bingung (panik) karena semua teman-temannya ikut seleksi sementara dia nyantai-nyantai aja, ada yang ga tau ada apa tapi ikut aja ama keramaian, ada yang ingin korupsi karena putus asa ga bisa cepat kaya, ada yang ingin enak dapat gaji tiap bulan dan kerja nyantai tapi naik golongan tiap 4 taun (ini mitos yang salah dan menyesatkan sodara-sodara!), dan tentunya, ada juga yang dengan idealisme tinggi ingin memperbaiki kondisi bangsa dari dalam struktur. Terserah deh, alasan dan konsekuensinya ditanggung masing-masing individu, dunia dan akhirat.

Tapi yang menarik disini adalah memperhatikan bagaimana kecenderungan orang-orang dalam mempersiapkan masa depan mereka.

Dibalik semua kerusuhan dalam pendaftaran dan seleksi CPNS itu, sebenarnya kita bisa menyaksikan bagaimana binar-binar penuh harapan dari umat manusia dalam mempersiapkan masa depan mereka. Tentunya, semua itu dilakukan demi masa depan bukan? Entah, itu sesuai dengan cita-cita mereka atau tidak, tapi yang jelas, status PNS dianggap mewakili gambaran masa depan yang... mmm.... apa ya... kaya nggak, tapi miskin juga nggak. Untuk mereka yang bermotifkan ekonomi, gambaran masa depan seperti itu nampaknya cukup menarik. Sementara untuk mereka yang bermotifkan lebih jauh, seperti bidang keilmuan, politik, kekuasaan dan lain-lain, status PNS juga nampaknya dianggap cukup ideal untuk meraih mimpi mereka.

Persoalannya sekarang adalah, ketidak-terlibatan saya dalam fenomena publik yang satu ini ternyata mendapat gugatan dari orang-orang yang terdekat dengan saya.

Sepertinya adalah aneh untuk tidak memiliki impian yang sama dengan banyak orang lain yang sepertinya indah...

Oke, mimpi menjadi PNS yang secara ekonomi mapan kemudian mampu berbakti bagi nusa dan bangsa secara struktural dan memperbaiki sistem birokrasi di Indonesia dari dalam adalah mimpi yang mulia...
Tapi bukan berarti mimpi saya menjadi seorang pengusaha bubur kacang hijau pun layak dicerca kan? Bukan berarti mimpi saya itu adalah sesuatu yang tidak boleh dijalankan bukan?

Hmmm... jadi curhat gini ya???
Oke, kita ubah cara penulisannya...

Bagi saya, masa depan seseorang adalah milik orang itu bersama Allah yang menganugerahkannya. Dengan kata lain, pilihan mengenai bagaimana seseorang merencanakan masa depannya terletak pada dirinya sendiri. Tentu, arahan atau nasihat dari berbagai pihak perlu didengar dan dihormati. Akan tetapi intervensi berlebihan dan pengarahan yang memaksakan untuk saya sangatlah memberatkan...

Untuk orang-orang yang terdekat dengan saya... keputusan untuk TIDAK menjadi PNS ternyata adalah sebuah kebodohan. Dan ternyata saya harus rela disebut bodoh setiap hari untuk bisa konsisten dengan mimpi saya. Biarlah, toh saya pun belum bisa menjanjikan apa-apa dari impian berdagang bubur kacang ijo itu...

Tentu saja, hati ini penuh perdebatan setiap kali pilihan hidup saya dipertanyakan...
Pertanyaan-pertanyaan seperti : ”kamu pengen miskin ya?” atau ”kenapa sih nggak kayak orang lain? Orang lain itu jutaan lo yang pengen jadi pegawai negeri” selalu membuat kuping saya gatal. Dan biasanya saya memilih diam, karena saya tau, pertanyaan seperti itu tidak mengharapkan jawaban, dan jawaban apapun yang diberikan akan selalu ditertawakan, atau bahkan menimbulkan kemarahan karena dianggap melawan. Maka diam mungkin menjadi pilihan yang paling rasional.

Tentu saya memiliki jawaban2 dari pertanyaan2 itu. Tapi saya tau, jawaban2 yang keluar dari mulut saya, kepada siapapun itu, selalu berpotensi untuk menjadi provokasi. Jawaban untuk pertanyaan ”ingin miskin” misalnya, bisa jadi adalah sebuah pertanyaan balasan seperti : ”pegawai negeri mana sih yang kaya tanpa korupsi ?” atau ”setelah kaya, lalu mau apa?” atau ”sebutkan 200 orang terkaya di Indonesia, dan sebutkan satu saja dari mereka yang statusnya pegawai!”. Dan memang, pertanyaan seperti ini kemudian biasanya dijawab lagi dengan pernyataan ”gaji PNS memang kecil, tapi kan lain-lainnya banyak...”. Nah, ini dia... apa seluruh hidup dan pendidikan yang saya peroleh sampai saat ini hanya untuk menggiring saya menjadi sebuah koruptor? HINA!!

Pertanyaan ”mengapa tidak seperti orang lain” tentu juga bisa dijawab dengan ”kenapa harus menjadi seperti orang lain”, tapi ini tentu menjadi tanda pembantahan yang luar biasa.

Meski begitu, saya harus mengakui, kemapanan ekonomi dalam status PNS adalah sesuatu yang layak dikejar. Adalah wajar apabila seseorang mengharapkan kemapanan ini agar dapat memberi kepastian untuk menafkahi keluarganya. Menafkahi keluarga pun adalah sebuah jihad, dan karenanya harapan ini pun tentu saya hormati sungguh-sungguh. Demikian juga, impian untuk mengabdi pada negara atau bermain dalam politik dan membereskan strutur birokrasi yang korup di Indonesia dari dalam juga adalah sebuah perjuangan yang mulia, dan karenanya, mimpi-mimpi semacam ini pun saya hormati sungguh-sungguh. Ini adalah sebuah pilihan jalan perjuangan, dan saya lebih memilih untuk berjuang dari luar. Insya Allah, suatu saat saya pun akan masuk, kalau saya sudah cukup kuat. Tunggulah saya teman-teman...

Tapi memang, satu hal yang bisa saya ambil dari sini adalah... ternyata... masa depan bukanlah milik saya semata. Masa depan saya ternyata adalah milik orang tua saya, milik teman-teman saya, milik orang-orang yang merasa menjadi atasan saya, milik tetangga saya, milik... milik...

Pesimisme dan pandangan-pandangan yang meragukan saya begitu menghujam seperti badai setiap hari...

Ternyata... begitu sulit untuk mewujudkan mimpi yang sederhana...

Ternyata... memang bukan milik saya lagi...

.........

TIDAK!! Mimpi itu terlalu indah untuk dilepaskan... Dan saya hanya ingin mati saat saya sedang menjalaninya... Tentu ada jalan yang akan ditunjukkan olehNya.

Ya Allah... kuatkanlah hambaMu yang lemah ini... dan jagalah niatan hamba untuk bisa berjuang untukMu... dan seandainya hamba boleh memilih, tolong matikan hamba saat diri ini masih sedang berjuang...

Thursday, January 19, 2006

Kanal-kanal Kegelisahan... (Catatan Ringan Kemahasiswaan)

Kanal-kanal kegelisahan...
Adalah sebuah ungkapan yang ketika saya masih menggeluti dinamika kemahasiswaan di kampus tercinta terlontar dari seorang sahabat, Anas Hanafiah, dalam sebuah sambutan penerimaan didepan mahasiswa baru 2005.
Sontak kami yang mendengar mesem-mesem sendiri, tentu sambil saling berkata... "naon siiiiih???!!! bisa aja ni anak..."

Ooo, yaa, apabila kita mencoba menyelami pribadi orang-orang yang berkecimpung dalam sebuah... sebutlah... "pergerakan", entah pergerakan apa saja itu (ataupun yang sebenarnya hanya mencoba "bergerak-gerak" sendiri), kebanyakan diantara mereka sebenarnya cukup berpotensi menjadi pujangga tingkat tinggi, atau kalau dalam bahasa marketing mungkin bisa dibilang, menciptakan sebuah brand. Maksudnya, istilah-istilah yang kalau sampai di telinga orang akan menimbulkan suatu perasaan yang kira-kira berbunyi... "cieeeehhhh....", "uhuuuuy....", "beuh, naon deui yeuh??", "ihiy, kamana atuh kanal?", atau "mmmh, gelisah kieu pujangga teh...", atau sekedar... "aduh maaak... bahasanya... ngga kukuuuuwww...". Kira2 gitu deh. Tapi yang jelas mudah diingat.

Istilah-istilah puitis yang kadang nirlogis sebenarnya tidak hanya itu. Sahabat lain yang juga gemar membuat istilah-istilah serupa misalnya Adi Onggo yang perbendaharaan istilahnya cukup banyak, seperti... "kejutan-kejutan spiritual", atau "kearifan puncak", atau "solusi cerdas", atau "cuplikan-cuplikan dinamika", atau apalah, yang sebaiknya tidak ditanyakan maknanya apa (kecuali sudah siap untuk mendengar penjelasan filosofisnya).

Tapi tentu disini saya tidak ingin berbicara mengenai perbendaharaan istilah. Saya lebih tertarik pada bagaimana relevansi istilah itu dengan realitas yang ada.

Istilah Kanal-kanal Kegelisahan (KKG) saya anggap cukup menarik karena memang apabila konteksnya ditempatkan pada sebuah fenomena pergerakan (yang sebenarnya memang dalam konteks itulah istilah ini pertama kali terlontar), ternyata sejalan dengan perenungan saya mengenai bagaimana simpul-simpul kemarahan seringkali menjadi landasan suatu kelompok/individu untuk bergerak.

Dalam pengamatan saya, secara umum dalam kehidupan ini, ada 3 jenis emosi yang menjadi energi aktivasi seseorang/kelompok untuk bergerak. Tiga emosi itu adalah cinta, takut, dan marah (kemarahan). Apabila tidak ketiganya, maka satu saja dari emosi itu sudah cukup untuk membuat jiwa satu individu meronta. Mungkin inilah 3 jenis emosi yang paling mempengaruhi kehidupan manusia.

Cinta adalah emosi yang paling banyak diomongkan, semata karena ia dianggap paling indah diantara ketiganya (dan manusia mencintai keindahan), sementara ketakutan dan kemarahan adalah dua emosi yang lebih sering berada dibalik penyangkalan.

Memang betul... cinta membuat seorang ibu mampu berjalan puluhan kilo dari atas gunung untuk menjual sayur di pasar demi anaknya, mampu membuat seorang ayah berangkat jam 4 pagi berdiri di kereta dari sukabumi, lalu disambung berdiri di kereta ke jakarta untuk tiba di tempat kerja pukul setengah 10 setiap hari bulak-balik demi keluarganya, mampu membuat seorang hamba melepaskan kenikmatan tidur di malam hari sampai subuh untuk bersujud karena kecintaannya terhadap Sang Khalik... Dan lain-lain, mulai dari cinta hakiki yang agung terhadap Sang Pencipta, sampai cinta picisan anak muda yang dibuai kelenaan mereka akan kepuasan semu (yang sering saya sebut keinginan bercinta yang utopis terhadap sesama makhluk). Tak pelak, inilah emosi yang tak lekang waktu dan menghiasi energi aktivasi manusia dengan keindahan, sehingga mengatakan “atas nama cinta” menjadi sebuah kebanggaan pribadi.

Sementara ketakutan adalah sebuah emosi yang lebih sering disangkal atau tidak dikehendaki, tetapi sebenarnya ada. Memang ketakutan ini lebih banyak bersembunyi dibalik motif-motif lain yang oleh seseorang secara sadar diizinkan untuk terpublish pada publik. Fenomena selalu penuhnya “career days”, putus asanya banyak orang untuk mendapat kerja (atau menjadi pegawai), atau maraknya korupsi misalnya, tentu lebih sering dibungkus oleh motivasi “mengaplikasikan ilmu”, atau “mencari kemapanan”, atau “demi masa depan”, atau “demi keluarga”, atau “cari uang yang haram aja susah, apalagi yang halal”. Tentu motivasi-motivasi ini memang ada dalam diri seseorang, dan dianggap lebih “safe” untuk dipublish ketimbang “ketakutan akan ketidak-mapanan”, “takut untuk memulai usaha sendiri”, “takut miskin”, “takut ga punya uang untuk bayar kontrakan”, dsb. yang sebenarnya mungkin tersembunyi di relung-relung pemikirannya. Menikah misalnya, tentu adalah jawaban implementasi cinta terhadap pasangan dan niatan untuk menggenapkan separuh agama, selain MUNGKIN menjawab ketakutan untuk hidup dalam kesendirian sampai meninggal (tapi tentu alasan ini tidak akan anda tuliskan dalam kartu undangan pernikahan anda bukan?).

Maka dalam beragama pun mungkin kita bisa bertanya sendiri, motivasi mana yang lebih kuat? Kecintaan terhadap Allah? Kecintaan terhadap surga? Atau ketakutan terhadap neraka? Tentu jawaban yang safe adalah keseimbangan diantara ketiganya. Tapi jawaban yang “tidak safe” hanya akan mampu kita jawab dalam perenungan (paling) pribadi kita masing-masing. Harap diperhatikan, pertanyaannya bukan motivasi apa yang kita miliki atau tidak miliki, tapi motivasi mana yang lebih dominan. Dan saat kita menemukan jawabannya, maka mungkin faktor dominan itulah yang sebenarnya menjadi niatan utama kita dalam menemukan Allah. Saya rasa pencarian atas yang satu ini adalah sebuah fitrah, dan jawabannya tidak berhak untuk dihakimi oleh siapapun, kecuali tentu oleh Sang Khalik, karena semua spektrum yang berpotensi untuk menjadi jawabannya pun mungkin adalah sebuah fitrah.

Contoh lain, ketakutan akan ketidakmapanan, menjadi motivasi banyak orang dalam aspek ekonomi. Slogan ”anti-kemapanan” biasanya menjadi slogan yang cukup dibanggakan, tetapi juga secara pribadi ditakuti. Perbincangan bersama seorang kawan, Bayu Syerli, larut malam tadi, diantaranya membahas bagaimana seorang Soros ternyata memiliki sebuah filosofi yang kira-kira serupa dengan anti kemapanan. Untuk Soros, ketidak-mapanan justru adalah faktor utama yang dapat mendorong seseorang untuk maju. Dengan kata lain kemudian kami katakan bahwa ketakutan akan masa depan yang tidak menentu itulah yang mampu mendorong seseorang untuk terus berusaha menghasilkan yang terbaik bagi dirinya. Mari kita lihat satu motivasi ekonomi yang menjadi incaran banyak orang... mmm... uang? Singkatnya mungkin... kekayaan. Sekarang mari kita lihat, sebutkan 50, eh, 100 deh, orang terkaya di dunia, dan 100 orang terkaya di Indonesia. Dari 200 orang itu, sebutkan satu orang aja yang profesinya sebagai ”pegawai” atau ”pencari kemapanan”. Jawabnya? Orang2 yang terkaya justru adalah orang-orang yang tidak mengejar kemapanan, tetapi jsutru orang-orang yang berani menghadapi ketakutan mereka akan ketidakmapanan. Ini satu penyederhanaan yang sebenarnya terlalu sederhana, tetapi mungkin bisa menjadi gambaran kasar...

Bahaya kemapanan bukanlah pada kecilnya kemungkinan untuk berkembang, melainkan kecenderungan ke arah kematian keinginan untuk terus berpikir, keinginan untuk berinovasi. Inilah bahaya utama kemapanan. Tapi sebenarnya, apakah kemapanan itu sebenarnya? Apakah berarti uang banyak, mobil ada, pekerjaan tetap dsb? Ya, ini mungkin bisa disebut sebagai kemapanan. Tapi bukan intinya. Inti kemapanan sebenarnya adalah kenyamanan, dan semua orang tahu, adalah sangat sulit untuk meninggalkan kenyamanan. Dan terkadang, kenyamanan itu terjadi karena terbiasa. Maksud saya begini, seorang mahasiswa misalnya, yang sudah begitu nyaman hidup di kampus, merasakan zona aman kampus, akan berat untuk meninggalkan kampus, karena akan berat untuk meninggalkan kemapanan itu dan menghadapi tantangan di luar kampus yang kondisinya jauh berbeda. Saya sendiri misalnya, rutinitas setiap pagi naik kereta, di depan komputer di kantor mengetik pekerjaan orderan, pulang naik kereta, sampai di rumah malam... setiap hari... maka inipun adalah sebuah kemapanan, suatu kondisi yang tidak memaksa saya untuk berpikir, melainkan kondisi yang mencukupkan saya untuk bangun pagi dan menjalankan aktivitas secara rutin tanpa perlu berinovasi. Inilah inti kemapanan sebenarnya... (Saya harus segera keluar dari sini!)

Contoh lain, saya cukup tersentak ketika mengetahui seorang kenalan saya, seorang alumni ITB yang terbilang sukses, duduk di jajaran komisaris dengan pengaruh cukup kuat di SCM (perusahaan yang memiliki SCTV), kabarnya keluar dari SCM. Ditinggalkannya segala uang dan pengaruh itu dengan satu alasan yang sangat sederhana... ”sudah terlalu mapan di situ”... Sebuah fenomena yang menunjukkan komitmen seseorang untuk terus maju, terus berkembang.

Adapun mengenai kemarahan... meskipun prolognya tadi panjang, sebenarnya emosi inilah yang tadinya ingin saya utamakan dalam tulisan ini (sekali lagi, saya mungkin telah gagal untuk mengikuti kaidah membuat sebuah tulisan yang efektif).

Dalam salah satu rapat malam di Kabinet KM ITB sebelum usainya pemilu 2004, Bayu Syerli pernah membawa sebuah buku yang menceritakan tentang sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia. Sayang sekali saya tidak ingat siapa pengarangnya, tetapi adalah judul bukunya yang waktu itu menarik perhatian saya... “Pemuda-pemuda Pemberang”.

Dalam buku itu, diceritakan bahwa pergerakan mahasiswa biasanya lahir dari kemarahan, sebuah keberangan atas realitas yang terjadi di depan mereka. Dan dengan sendirinya, maka pemuda-pemuda yang menjadi penggerak utama perubahan itu adalah pemuda-pemuda pemarah. Sangat manusiawi.

Di Indonesia, nampaknya siklus habisnya kesabaran untuk menahan amarah itu adalah 10 tahun. Bisa kita analisis lonjakan-lonjakan pergerakan kemahasiswaan di Indonesia yang ternyata berpola siklik, kira-kira satu kali siklus berlangsung kurang lebih 10 tahun. Setelah tahun 1945, tahun 1955-1959 (masa demokrasi liberal sampai dekrit 1959) adalah periode penuh gejolak, dilanjutkan dengan 1965-1966 dengan trituranya, lalu 1974 dengan Malari, lalu tahun 80-an akhir dengan kasus-kasus persengketaan tanah di Jawa Barat sampai kasus tanjung Priok, lalu Reformasi 1998, bisa dibilang adalah puncak-puncak siklus, pecahnya kemarahan. Maka bisa kita prediksi bahwa puncak siklik berikutnya mungkin akan terjadi tahun 2008 sebelum pemilu, atau 2009 sewaktu pemilu. Mungkin lho ini... Tapi saya sedang tidak ingin membahas politik sekarang...

Darah muda memang adalah darah yang penuh gejolak. Meski Rasulullah menganjurkan kita untuk tidak marah dan bersabar, akan tetapi diakui juga bahwa kemarahan adalah sebuah fitrah yang wajar. Semua orang bisa marah. Yang menjadi soal adalah bagaimana sebenarnya marah yang tepat, dalam pengertian waktunya tepat, diarahkan secara tepat, dan cara penyikapannya tepat. Ini yang sulit. Dalam konteks kemahasiswaan, kemarahan ini diejawantahkan dalam bentuk sebuah “pergerakan”, sebuah letupan-letupan emosi yang terstruktur untuk merubah kondisi yang dianggap tidak ideal (yang menyebabkan kemarahan itu).

Maka apabila ada saat dimana gerakan mahasiswa seperti kehilangan tajinya, kehilangan ruhnya, kehilangan semangat dan aura militansinya, maka mungkin bisa kita bilang bahwa realitas yang tersaji dihadapan kelompok mahasiswa itu sedang tidak cukup untuk membuat mereka marah. Atau, mereka telah begitu mapan (terbiasa) dengan kondisi itu, sehingga mereka tidak lagi marah, atau secara sederhana, mereka secara individu telah kehilangan simpul-simpul kemarahan mereka, atau memang belum menemukannya.

Sebuah gerakan, pada dasarnya adalah manifestasi dari pelampiasan cinta, ketakutan, dan kemarahan dari individu-individu didalamnya. Maka saat individu-individu itu tidak marah, gerakan pun padam. Dan untuk membangkitkannya lagi, maka mereka harus mencari simpul-simpul kemarahan mereka (membuat diri mereka sendiri marah, atau dibuat marah oleh kondisi).

Pergumulan saya sendiri dalam dunia kemahasiswaan sebenarnya tidak lain karena kejengahan terhadap realitas sosial dan politik. Tapi sejujurnya, itu belum cukup untuk membuat saya marah. Simpul kemarahan saya justru adalah pada kenyataan bahwa saya belum berbuat apa-apa (untuk ini, sampai sekarang pun saya masih marah). Selain itu, memang ada juga kemarahan-kemarahan spiritual yang lebih bersifat personal sehingga akan sulit saya ungkapkan disini.

Dalam bidang planologi pun, perselingkuhan saya dengan bidang perencanaan partisipatif dan community development juga diawali dengan kemarahan. Saya sebut “perselingkuhan” karena sebenarnya perencanaan partisipatif pada awalnya di Indonesia dianggap cukup tabu, mengingat model ini sangat berpotensi untuk menafikkan teori2 perencanaan konvensional yang dibakukan di bangku-bangku kuliah. Teori-teori tadi ternyata harus bersifat fleksibel saat dibenturkan dengan realitas di masyarakat. Simpul kemarahan saya waktu itu adalah ketika pada tahun pertama kuliah saya menginap 2 malam di sebuah kotak tanpa jendela, hanya satu pintu, bertingkat dua, dengan ukuran keseluruhan kira-kira 4*3*3 meter persegi, yang ternyata menjadi rumah bagi 4 keluarga. Seiring berjalannya waktu, ternyata saya menemukan kondisi-kondisi yang lebih parah dari itu. Itu adalah simpul kemarahan saya pada kondisi perencanaan di Indonesia. Syukurlah, angin perubahan berkata lain. Perencanaan partisipatif kemudian menjadi kuliah pilihan ketika saya tingkat 3, dan menjadi kuliah wajib ketika saya tingkat 4, seiring dengan perubahan kurikulum di dept. planologi ketika itu, sehingga saya tidak perlu lagi menyebut interest saya di bidang itu sebagai sebuah perselingkuhan.

Dan apabila saya boleh menilik kondisi gerakan kemahasiswaan pasca reformasi 1998, terutama dalam 3 tahun belakangan... secara umum saya ingin mengatakan bahwa... pemuda-pemuda sekarang tidak semarah dulu... maka kita bisa bersiap-siap untuk kecewa apabila kita menaruh harapan berlebihan terhadap gerakan kemahasiswaan, apabila kondisinya tetap seperti ini. Terjebak dalam kemapanan menjadi sebuah bahaya yang mulai menunjukkan tajinya. Kemapanan untuk disebut sebagai anak emas masyarakat, kemapanan untuk dianggap sebagai kaum intelektual, kemapanan untuk terbiasa mengemban harapan dan di sisi lain terbiasa untuk gagal menjawab harapan itu, kemapanan untuk menjalani siklus hidup sekolah-kuliah-kerja-kawin-mati, kemapanan untuk berdiam diri di kampus dan menyibukkan diri dengan kajian-kajian filosofis karena sadar (takut) bahwa semua itu bisa jadi tidak berarti saat mereka berada di luar kampus, kemapanan untuk terjebak dalam kebesaran masa lalu, dan kemapanan untuk... diam.

Kita harus marah! Pergerakan adalah sebuah kanal, yang tidak akan berarti kalau kita tidak gelisah.

Tuesday, January 17, 2006

Kuingin slalu dekat disampingmu... (Cerita-cerita dari kereta, episode 5)

Stasiun Manggarai, jam setengah 6 sore…

Seperti biasa… penumpang mulai gundah gulana gelisah menunggu kereta….

Bulan September 2005… sebuah ketidakbiasaan yang menyenangkan, sore ini ada 2 kereta balik dari Manggarai pada waktu bersamaan. Kereta balik pertama dari bogor yang masuk di jalur 5 adalah kereta balik yang rutin ada setiap hari, dan dijadwalkan berangkat dari Manggarai jam 6. Saya tidak naik kereta balik itu karena ingin cepat berangkat. Jadi saya menunggu KRL dari kota yang walaupun jauh lebih padat, tapi lebih cepat berangkatnya...

Tapi ternyata ada kereta balik satu lagi dari dipo (bengkel kereta) yang masuk di jalur 6. Kereta balik yang ini kosong melompong, sehingga langsung diserbu penumpang yang ga kebagian duduk di kereta balik pertama. Semua orang lantas bertanya-tanya, kereta mana yang berangkat duluan?? Petugas stasiun tidak memberi pengumuman, sepertinya dia juga bingung.

Otak saya langsung menganalisis... Kereta jalur 5 jadwal berangkat biasanya jam 6. Artinya, ga ada lagi kereta yang bakal ngelewatin jalur itu sampai jam 6. Jadi mestinya, kereta balik itu emang berangkat jam 6. Nah, jalur 6 itu jalurnya KRL ekonomi dari kota dan KRL ekspres. 5 menit lagi, mestinya ada KRL ekonomi dari kota. Jadi harusnya, dalam 5 menit kedepan, kereta di jalur 6 harus udah bersih! Maka saya naik kereta di Jalur 6

Dan benar... tanpa tedeng aling2, tanpa pengumuman lebih dulu... kereta di jalur 6 bergerak dengan diiringi tawa-tawa sinis dan teriakan bernada mengejek dari penumpang yang bergelantungan di pintu ke penumpang kereta di jalur 5. Tentu disertai juga dengan keluh kesah dari penumpang kereta di jalur 5...



Selepas Tebet, ternyata tidak terlalu penuh... yang berdiri cuma satu baris setengah. Lorong yang tersisa cukup untuk lewat tukang tahu, minuman ringan, dan pengamen kereta.

Sayup-sayup terdengar alunan musik lembut tapi beat-nya cukup menghentak seakan tak mau kehilangan aura lagunya yang ceria... ”Surat Cinta” milik Vina Panduwinata... dimainkan dengan aransemen jazz lembut instrumentalis. Terdengar melodinya dimainkan dengan sebuah biola. Meskipun grup pengamen itu masih di gerbong sebelah, tapi alunan musiknya sudah cukup untuk membuat orang2 di sekitar saya bersenandung kecil mengikuti melodi...

Saat ini memang cukup banyak grup pengamen yang beralat musik lengkap, baik bikinan sendiri maupun alat bekas yang masih cukup layak pakai. Biasanya terdiri dari perkusi minimalis buatan sendiri, lengkap dengan tambur dan simbalnya, satu bas betot, satu atau dua gitar, dan satu keyboard. Ini formasi standar grup2 pengamen orkes yang jumlahnya mulai menyaingi para pengamen tuna netra yang berkaraoke atau beralatkan gitar, dan pengamen ”apa adanya” yang lebih mengandalkan rasa kesal penumpang sehingga memberi supaya mereka cepat pergi dibanding suara mereka atau musik untuk menghibur.

Grup pengamen dari gerbong sebelah, dengan sedikit perjuangan, akhirnya tiba di gerbong saya, dan berhenti tepat di belakang saya. Para personilnya nampak sudah cukup berumur... berusia matang. Nampaknya melodi yang biasa dibawakan dengan vokal oleh mereka digantikan dengan biola, menjadikan musik yang murni instrumentalis... satu karakter yang cukup jarang di kalangan pengamen kereta.


Perkusi mulai menabuh.. bas betot mulai bermain, dan kocokan gitar diluar standar mulai mengalun. Sebuah intro yang tidak biasa, membuat semua orang sulit untuk menerka lagu apa yang dibawakan oleh grup ini. Sebuah jazz ringan dengan aransemen yang baru saya dengar. Tetapi ketika biola mulai digesek, melodi mulai mengalun dan misteri perlahan mulai terkuak. Lagu ini... terasa sangat akrab di telinga... seperti lagu yang sudah pernah didengar oleh semua orang tetapi tersimpan dalam memorinya masing2.

Sesaat saya memperhatikan orang-orang disekitar saya...

Mereka yang tadinya tidur, atau pura2 tidur mulai terbangun memperhatikan orkes didepan mereka. Kaki mereka mulai mengetuk-ngetuk lantai mengikuti irama. Orang-orang mulai tersenyum, sebagian sambil memperhatikan orkes, dan sebagian sambil memejamkan mata. Tapi semua orang jelas mengikuti irama, entah dengan bergoyang ringan, atau mengetuk-ngetuk batangan besi tempat mereka berpegangan, atau mengetuk lantai tempat berpijak... Semua seperti... terhipnotis... dalam kenyamanan.

Penat... lelah... panas bercampur keringat... adalah beban sehari-hari yang dengan tabah dijalani orang-orang kereta. Tapi kali ini, semua tersiram ketentraman dari alunan musik yang diperdengarkan oleh orkes tersebut...

Alunan biola mulai diikuti gumaman orang-orang yang mulai mengenali lagu yang dibawakan.

Nanananaaa... nana.. dam dam dam dam... dadadam... Andai saya bisa menyanyikannya melodi itu dalam untaian kata ini, akan saya lakukan.


Sepasang suami istri yang sebelumnya duduk tiba-tiba berdiri, tersenyum, lalu berdansa ringan di sebelah saya tanpa sungkan, dengan diiringi pandangan mata dan senyum ikhlas tanda mengerti dari orang-orang disekitar kami. Beberapa pasang suami istri lain kemudian melakukan hal serupa. Berdansa dalam ruang yang terbatas, tapi mereka terlihat menikmatinya...

Mata mereka terpejam, kemudian sebagian besar dari kami pun memejamkan mata. Sesaat kami melupakan bahwa kami sedang berada dalam gerbong panas kereta ekonomi. Imajinasi kami membawa kami pada lantai dansa di klub-klub papan atas jakarta pada tahun 80-an dan awal 90-an, ketika lagu ini sedang jaya-jayanya. Lampu-lampu kereta seakan menjadi lampu klub yang lembut, dinding-dinding gerbong seakan berganti menjadi dinding-dinding yang dihiasi lukisan-lukisan indah, orkes pengamen nampak seperti kelompok orkestra ternama dengan pakaian kebesaran mereka, dan baju-baju lusuh para penumpang nampak seperti setelan jas dan pakaian perlente yang rapih bersih, dan para penonton duduk dibelakang meja-meja bundar sambil mengobrol dengan ditemani secangkir kopi manis, mengamati pasangan-pasangan yang turun di lantai dansa.

Sejenak, kami lupakan segala penat dan kekejaman kereta... mencoba kembali menjadi manusia.


Ya...inilah kereta, tempat dimana kemanusiaan kerap dipertanyakan, tapi terkadang muncul dengan segenap kebesarannya yang mengagumkan... Tempat yang menyimpan banyak tawa dan tangis, kemarahan dan kesabaran, kesombongan dan kerendahan hati. Tempat yang begitu melegenda dan telah menciptakan dunianya sendiri, terlepas dari dunia dan realitas sosial yang berkecamuk diluarnya. Inilah tempat dimana orang bisa melupakan intrik politik dan olah kata pejabat negara yang tidak kunjung membuat bangsa ini lebih bermartabat, sebuah tempat dimana orang bisa mencampakkan semua artikel atau semua omong kosong mengenai kemiskinan, melupakan semua orang yang mengaku peduli terhadap orang miskin agar bisa tetap kaya, sebuah tempat dimana orang-orangnya belajar untuk memutuskan kapan harus melembutkan hati, dan kapan harus mengeraskannya.

Kereta ini memang tak lepas dari berbagai legenda mengenai kemiskinan dan perjuangan. Legenda mengenai tukang2 sayur dari sukabumi yang naik kereta nambo dari sukabumi jam 4 pagi lalu disambung dengan kereta ini untuk berjualan di jakarta, legenda mengenai copet-copet dan orang-orang yang mati saat berusaha mengejar copet, legenda mengenai seorang bapak yang membagi-bagikan aqua dan seorang pedagang jeruk yang membagi-bagikan jeruknya pada saat berbuka puasa di suatu hari pada bulan Ramadhan, legenda para pedagang, legenda anak-anak gerbong, legenda para pengemis, legenda para pengamen, dan legenda mengenai seorang bapak tua yang membopong mayat anak perempuannya didalam kereta sore yang padat dari Manggarai untuk dibawa ke Bogor karena tidak ada uang untuk dimakamkan di jakarta, dan tidak ada uang untuk membawa mayat itu ke bogor, kecuali dengan kereta, tanpa membeli karcis... Dan bahkan semua itu hanya sebuah keseharian yang rutin bagi orang-orang kereta...


Sekejap lamunan saya berlalu, dan saya kembali menemukan diri saya tengah berada di dalam gerbong dengan iringan musik yang membuat semua orang seolah melupakan segala legenda, dan larut dalam mimpi yang indah.

Ketika lagu itu mencapai reffrainnya, tanpa sadar semua orang bersenandung bersamaan... “apapun yang terjadi... kuingin slalu dekat disampingmu...”

Semua saling berpandangan, lalu gelak tawa terlepas seketika... Semua orang sadar bahwa mereka telah terhipnotis, dan membiarkan diri mereka menikmatinya. Lagu lawas dari Vina Panduwinata. Mungkin akan lebih lengkap apabila sang artis sendiri hadir untuk menyanyikannya, meskipun dengan aransemen seperti ini, saya rasa suara Iga Mawarni akan lebih pas untuk memperkuat aksen jazz-nya.

Selang beberapa lama mimpi itu berjalan, orkes tadi mengakhiri konsernya dengan diiringi tepuk tangan dari kami. Pasangan-pasangan yang tadi berdansa kemudian mengambil posisi semula dengan aura keceriaan yang kini terpampang di wajah mereka, menggantikan kepenatan. Orkes instrumentalis itu kemudian memainkan lagu lain... sebuah lagu country, “Country Road”, yang masih membius beberapa orang untuk mengikuti irama dan sesekali terdengar menyanyikan liriknya.

Setelah selesai, orang-orang mulai memberikan uang tanpa mereka perlu meminta paksa. 1000, 500, 2000, dan yang tidak memberi, tidak mengapa. Sang orkes tetap tersenyum. Ada 2 tipe pengamen di kereta. Yang pertama adalah yang memang hanya menginginkan uang, sehingga ia tidak peduli dengan musik yang dimainkannya, atau kadang2 malah memang terkesan disengaja untuk membuat orang kesal sehingga terpaksa memberi agar si pengamen cepat pergi. Siasat lain adalah agar orang memberi dengan landasan iba... Sementara tipe kedua adalah mereka yang selalu tersenyum diberi atau tidak diberi, dan tidak membangunkan orang yang sedang tidur untuk menagih uang setelah mereka mengamen. Tipe kedua ini biasanya memainkan musik dengan sangat baik, dan sepertinya memang berkomitmen dalam profesi mereka. Sepertinya misi utama mereka memang untuk menghadirkan hiburan bagi para penumpang. Orkes ini adalah pengamen tipe kedua. Uniknya, ketika beberapa orang kemudian menanyakan apakah mereka bisa diundang untuk mengisi acara2 walimahan atau sebagainya, mereka kemudian memberi kartu nama pada orang-orang sampai kartu nama mereka habis (karena yang meminta cukup banyak).


Tanpa terasa, kereta memasuki Depok Baru, kemudian bergegas menuju Bogor.

Orkes tadi telah pergi ke gerbong sebelah, melanjutkan misi mereka, mengganti kepenatan para penumpang dengan aura kenyamanan dan kebahagiaan.

Suatu hari di bulan September... senandung lagu tadi masih terus saya gumamkan selepas saya turun dari kereta malam itu... kuingin slalu dekat disampingmu...

Monday, January 09, 2006

Kenapa Kau Putuskan Talinya?? (Dalam Kenangan, 23 Juni 1999)

Sebuah Pencarian Akan Makna ...

...
22 Juni 1999
...

Sudah hari Kamis...
sudah 2 minggu ini tidak masuk sekolah... teman-teman menanyakan saya tidak ya??

Ah, tidak...
"teman"??
siapa teman??
siapa juga yang mau berteman dengan orang yang tinggal kelas??

....
Sudah sore... ayah, ibu, kalian pergi lama sekali. Sudah dua hari nih, sepi sendiri di rumah... Dan seperti biasa, ga ada sekalipun telepon itu berdering untuk saya...

Tapi lebih baik kalian jangan pulang hari ini... sesuai rencana, kalian pulang besok pagi saja...

Ayah... ibu.... maafkan anakmu ini...
saya belum bisa yakin juga, kali ini, saya bisa berhasil atau tidak...
Memenuhi harapan kalian... harapan yang ternyata teramat berat...

Ayah... ibu... Kemarin saya bertemu Oom Andi, di depan IPB.
Dia menanyakan kabar kalian... dia juga bertanya apa saya sudah siap untuk UMPTN...
"Kedokteran UI Oom!" saya bilang begitu... Saya tidak mau kalian malu... Tentu maksud ayah menyuruhku berbohong ke seluruh dunia adalah supaya kalian tidak malu bukan??
Saya tidak bisa membohongi teman-teman sekelas, guru-guru, anak-anak di sekolah. Tentu tidak, karena tiap hari mereka bersama saya, dan tahu kondisi saya...
Tapi mereka tidak tahu yang sebenarnya...

Ayah... Ibu... maafkan karena tahun lalu saya gagal memenuhi harapan kalian...
Tidak bu, tidak yah, saya tidak ingin jadi dokter...
tapi... tentu kalian tidak mau malu kan?? Benar, dokter adalah profesi yang baik untuk dibanggakan...
Masalahnya...
Tahun ini...
Sepertinya saya akan gagal lagi untuk masuk IPA... Sementara tidak mungkin saya bisa kuliah di kedokteran kalo masuk IPS...
Saya takut saya gagal lagi bu...
Apakah tahun ini saya harus berbohong lagi?? Pada dunia?? Pada tetangga?? Pada Oom Andi?? Pada keluarga kita??
Kenapa kita tidak boleh jujur bu?? Kenapa saya harus bohong yah???
Saya tidak kuat lagi...

...
Sudah malam...
Ibu...Ayah... saya takut... saya tidak mau masuk sekolah lagi... saya takut Bu Retno akan menyampaikan kabar buruk itu... dan mengecewakan kalian lagi...

...
Jam 7... Makanan ini terasa hambar bu... Rasanya penuh kebohongan... bumbunya hanya garam kemunafikan... ditambah sesendok teh kesepian... Saya kesepian bu...

Saya ingin mati...

Ya... mati...
tentu itu menyenangkan...
mati adalah jalan terbaik...

Saya tak perlu lagi menghadapi kemarahan kalian...
Saya tak perlu lagi melihat kekecewaan di mata kalian...
Saya tak perlu lagi menjauhi teman-teman...
Saya tak perlu lagi berbohong...
Saya... ingin... mati...

Tapi bunuh diri dilarang Tuhan...
Tapi Tuhan juga suruh saya untuk tidak mengecewakan kalian...
Saya gagal memenuhi perintah Tuhan...
Mungkin memang saya pantas mati ya???

....
Jam9

(telepon berdering)

Untuk sayakah??

"Halo??"
"Halo... Bisa bicara dengan Ganda??"
(untuk saya !!!)
"mmm... dari siapa ya?"
"Dari Awan"
(Awan! teman saya... aduh... ada apa ya?? apa dia mau menyampaikan pesan dari Bu Retno?? Dalam dua minggu kemarin, tentu pengumuman sudah keluar... Pasti si Awan yang disuruh mengabari karena saya tidak pernah masuk sekolah... Hanya dia yang cukup dekat dengan saya...)
"eh, maap... mmmm... Gandanya tidak ada..."
"... Tidak ada ya??? Maaf, mmm, ini saya bicara dengan siapa??"
"eeuu, dengan saudaranya... Ada pesan??"
"TIDAK ADA! terima kasih"
(nuuut...nuuut... telepon ditutup dengan keras...)

Maaf wan... saya tau, kamu pasti marah...
Kamu kenal betul suara saya... Kamu pasti tau kalau itu saya...
hhh... sejak dulu kamu memang pemarah wan... Tentu tadi kamu marah karena menganggap saya tidak mau bicara denganmu...
Saya malu wan... saya malu kalau nanti kamu tanyakan kenapa saya tidak masuk... saya malu kalau nanti kamu sampaikan kabar buruk itu...

Maafkan saya wan... kamu teman saya...
Tapi saya tidak pernah bisa cerita ke kamu... Kamu sibuk... Kamu juga punya banyak teman lain...
Bukan berarti saya tidak pernah mencoba... Waktu itu, sepertinya kamu tidak berminat untuk mendengar curhatan saya...

Maafkan wan... Saya ingin mati... tentu kamu akan bilang kalau saya bodoh wan... tapi kamu tidak rasakan yang saya rasakan... ya... mungkin saya memang bodoh...tapi ini jalan terbaik wan...

...
Jam 2 pagi... tanggal 23 Juni...
Tali ini sepertinya cukup kuat untuk leher saya... Ada 2 tali... tentu satu saja cukup..
Mmmm... Gudang Garam Filter...ayah suka merokok garpit. Kata si Awan, Dji Sam Soe lebih enak...
Saya belum pernah merokok seumur hidup saya... Tentu ini saat terbaik untuk mencoba... sebelum mati... Hahaha, orang bisa bilang bahwa rokok itu memang bisa menyebabkan kematian! Hahahaha...

Kitab Suci...
Tuhan... mungkin ini terakhir kali aku membaca kitabMu... Besok aku sudah mati...

...
Setengah 3... Selamat tinggal dunia...
Aku tinggal melompat dari kap mesin mobil ini, dan tali ini akan menjerat leherku sampai mati... semoga cepat selesai...

....
(Gubrak...)
Aaah, aarrrgh... sakit sekali....
SIALAN! Kenapa tali ini putus??? Tuhan, Kaukah yang putuskan talinya??? Aku ingin mati!!
Tidak, Kau memberiku 2 tali! Aku masih bisa mati!

Selamat tinggal... dunia... tali kedua ini lebih kuat...

....

23 Juni 2001

....

Hey Bodoh! Ganda yang bodoh!!
Ini gua! Awan!
Iya, ini gua!
Dan sekali lagi, gua berdiri di depan pusara lu!

Kuburan lu cukup bagus, tapi orang tua lu salah tulis tanggal waktu lu mati. gua inget karena sehari setelah lu mati 2 taun lalu, gua ke pesta si Rina yang ulang taun... 23 Juni... Pesta si Rina 24 Juni...

Dasar tolol!
Nyawa lu cabut sendiri...
Waktu itu, sehari sebelumnya, Bu Retno bilang nilai lu pas, cukup buat masuk IPA! Lu bisa ke kedokteran!
Waktu itu gua nelpon lu buat bilang itu ke elu... Dan ngasi tau, tim bola kita mau latihan hari minggu... Lu Kapten tim! Dasar bodoh!
Ngapain lu mati???!!

Gua masuk ITB Gan! Gua lulus UMPTN...
Gua udah setaun di Bandung...

Lu temen paling bodoh yang pernah gua punya...
Gua yakin, sebelom lu mati, lu pasti nganggep gua temen paling buruk.
Maapin gua Gan, gua ga pernah dengerin lu kalo lu cerita...
Maapin gua Gan, waktu itu gua marah, karena gua yakin, yang ngangkat telpon waktu itu, adalah elu sendiri! dan lu bilang, lu ga ada... Setan!
Mestinya gua ga marah... mestinya gua nitipin pesen, walaupun itu ke diri lu sendiri... Mestinya gua nyampein kabar gembira itu... Mestinya lu ga mati!

Sialan lu Gan!
Gua orang terahir yang ngomong ama elu!
Orang tua lu nanya gua, tentang pesen-pesen terahir lu...
Gua ga tau... lu ga pesen apa2 ke gua...
Dan maap, gua maki-maki orang tua lu didepan Pak Paul, gua kesel sama mereka...

Sebenarnya, sore itu rencananya anak-anak sekelas mau nyatronin rumah lu, buat ngasi tau kabar itu... Itu karena gua marah-marah waktu paginya, nyeritain insiden telpon terakhir kita...
Sialan, akhirnya emang kami ke rumah lu, tapi buat ngelayat...

Dibawah mayat lu, polisi nemuin garpit 2 batang, kitab suci, sama tali yang putus...
Kata mereka, lu pasti nyoba gantung diri, terus talinya putus, terus lu nyoba lagi... Iya kan?
Brengsek lu! Bodoh!!

Sialan lu!
Lu mati ninggalin perasaan bersalah di diri gua...

Nih, gua ngerokok didepan nisan lu!
Begini caranya ngerokok!

Gua pergi dulu Gan, besok gua mau ke Bandung...
Taun depan, gua kesini lagi
cukup sampe 5 taun!
Gua harus ngelupain elu!