Tuesday, September 27, 2005

Kalau ada yang bilang bangsa kita bangsa pemalas, saya jitak !!! (cerita-cerita dari kereta, episode 2)

Kembali dengan serial cerita dari kereta…

Teng... Ketika jam sudah menunjukkan jam setengah 6 pagi, maka dimulailah perjalanan panjang per-KRL-an Jakarta Bogor... Dan dimulailah perjalanan panjang anak-anak bangsa mencari rizki pada hari itu...

Kadang-kadang saya suka bertanya-tanya, berapa sih jumlah commuter Bogor-Jakarta yang menggunakan moda KRL ini... Perkaranya, kalau yang menggunakan bus juga dihitung, sepertinya sy ga sanggup. Lalu, apakah menghitung yang menggunakan KRL saja itu saya sanggup? Tentu saja... tidak juga... Yang jelas, mulai kereta jam setengah 6 sampai kereta jam setengah 8 pagi, kepadatannya kira-kira sama, yaitu berkisar 10 orang per meter persegi... pada rata-ratanya (mungkin agak berlebihan, tapi kalau melihat luas bidang tubuh yang menempel dengan tubuh orang lain, sepertinya masih cukup rasional). Jumlah itu bisa kurang bisa lebih tergantung hari dan jam. Pada hari Senin, kepadatan mungkin bisa meningkat sampai 15 orang per meter persegi, pada kereta di semua jam. Luar Biasa, arus orang yang cukup fenomenal. Mungkin hanya kalah dengan KRL di India (sepertinya memang benar, karena dari foto yang saya dapat, kepadatan KRL Jakarta-Bogor sepertinya ecek-ecek dibanding India). Tapi tetap saja, kepadatan seperti itu lebih dari cukup untuk membuat badan berkeringat.

Hari Selasa, kepadatan kereta pagi mulai berkurang, dan kepadatan puncak biasanya terjadi pada kereta jam 6.30 atau jam 7. Begitu juga dengan hari Rabu. Hari Kamis dan Jum’at, sepertinya semua orang mulain ingin berangkat siang, dan kepadatan puncak akan terjadi pada kereta jam 7 atau jam 7.30. Biasanya, kepadatan puncak pada hari-hari Rabu/kamis juga terjadi pada Kereta Tanah Abang yang berangkat jam 7.20. Walaupun memang kadang-kadang ada fenomena yang aneh pada hari Jum’at, dimana tidak ada kepadatan puncak. Semuanya mungkin malah dibawah rata-rata. Ya, sekitar 8 orang per meter persegi lah.

Memang, sejak beberapa tahun terakhir ini, kereta jurusan Tanah Abang kembali diaktifkan. Untuk waktu pagi, biasanya kereta tanah abang ini hanya tersedia satu rangkaian, yang berangkat jam 7.20. Bedanya dengan jurusan Jakarta Kota, dari Manggarai kereta tanah abang akan ke stasiun Sudirman lalu Tanah Abang, ke arah barat, sementara kereta Kota ke timur, ke stasiun Cikini dan seterusnya ke Kota.

Jangan salah sangka, tingkat kepadatan seperti itu tidak dimulai sejak dari stasiun Bogor. Biasanya penumpang Bogor hanya mampu memenuhi semua tempat duduk plus orang berdiri satu baris. Yaaa, kalau hari Senin atau jam-jam kepadatan puncak bisa lah mungkin 2 baris yang berdirinya. Dan orang-orang akan bermasukan di stasiun-stasiun berikutnya...

Stasiun Cilebut...
Orang-orang mulai bermasukan, tapi tidak terlalu banyak. Biasanya orang-orang yang duduk pun masih pada asyik ngobrol. Yang berdiri sebagian ada yang membaca korang. Semua masih santai.

Bojonggede...
Orang-orang yang duduk mulai bersiap tidur. Sebagian bahkan sudah tidur. Yang tidak tidur kemudian ada juga yang pura-pura tidur, terutama kaum pria. Bukan apa-apa, masalahnya di Bojonggede inilah stasiun yang menjadi parameter sebanyak apa keringat kita pagi ini. Yap, mungkin stasiun inilah yang paling banyak menyumbang saham penumpang KRL pagi. Nah, kalo misalnya ada kaum pria yang duduk, terus didepannya ada perempuan ato ibu2 tiba2 masuk dan berdiri, maka langkah paling bijak adalah... TIDUR !! Lebih bijak lagi kalo tidurnya dimulai selepas Cilebut (biar ga keliatan banget kalo pura2). Dengan begitu, anda bisa tetap duduk tanpa merasa pegal dan tanpa merasa bersalah karena melihat ibu2 bertampang kesal karena ga dapet duduk.

Citayam....
Kira-kira sama dengan Cilebut, dalam hal jumlah penumpang yang masuk.
Dulu, waktu saya SMP kelas 1, eh, apa waktu SD ya?? Anyway, dulu, waktu berdesakan di kereta dari stasiun Bojonggede-Citayam bersama bibi saya, saya suka ditunjukkan sebuah danau besar di kejauhan yang terlihat dari jendela di sebuah titik antara Bojonggede-Citayam. Semua penumpang sepertinya sudah tau akan danau nan indah ini (ya... ga indah-indah amat sih, tapi lumayan lah buat refreshing), dan semuanya mencoba-coba melongok ke jendela-jendela di sisi barat kereta. Tapi sejak beberapa tahun terakhir, sepertinya danau itu sudah tidak terlihat lagi. Dan sekarang pun memang saya sudah tidak pernah melihatnya lagi. Ada 2 kemungkinan. Pertama, di depan danau itu sudah dibangun gedung-gedung atau rumah sehingga tidak terlihat lagi dari jendela kereta. Kedua, danaunya sendiri yang sudah hilang, berganti menjadi gedung/rumah... Kemungkinan yang mana yang terjadi?

Depok Lama
Tidak ada yang terlalu istimewa disini. O iya, karena ini adalah stasiun pertama dengan peron sejajar dengan pintu kereta, frekuensi penumpang yang duduk di atap kereta mulai meningkat secara signifikan. Buat penumpang yang duduk di dalam, lebih bijak kalau anda tidak bersandar, apalagi menyandarkan kepala dekat jendela. Masalahnya, jendela itu dijadikan tumpuan kaki orang-orang yang memanjat kereta untuk duduk di atas.
Apakah di atas orang-orang tidak perlu bayar karcis? Yang jelas, ga akan ada yang mau meriksain karcis di atas. Paling-paling juga di beberapa stasiun mereka akan disuruh turun. Tapi ternyata, mereka diatas bayar juga, entah 500 atau 200 perak, tergantung siapa preman yang sedang ”bertugas” di atap kereta itu. Jadi, ternyata ada juga preman yang narikin duit di atap kereta. Biasanya preman2 ini jumlahnya 1 atau 2 (tapi temennya banyak, pada duduk di atas juga). Jangan coba-coba ga bayar, apalagi kalo orang baru ato belum akrab sama premannya. Sekali waktu, pernah ada orang baru yang duduk di atas, ditarik 500 dia nolak, mau berantem, eeeh, si preman dan temen-temennya langsung ngelemparin orang itu dari kereta. Alhamdulillah tidak mati, tapi yang jelas banyak tulang yang patah-patah... (demi 500 perak doang?? Hidup memang keras...)
Berarti, satu-satunya kenikmatan duduk di atas adalah kena angin (ga kepanasan). Mungkin juga demi gengsi... Ya... gengsi. Terutama untuk anak2 sekolah dan pemuda-pemuda tanggung. Bisa naik di atap sepertinya memang menjadi satu justifikasi bahwa seseorang itu layak disebut sebagai seorang ”laki-laki sejati”. Resikonya paling Cuma satu, kalo lagi apes, ya menjadi laki-laki yang mati... konyol...

Depok Baru
”Waspadai tangan-tangan jahil, copet dan jambret selalu mengintai di dekat pintu.” Ucapan ini menjadi trademark stasiun depok baru. Sang petugas stasiun ini sepertinya orangnya sama, pagi dan sore, dan ucapannya selalu begitu. Okelah, tentu ada variasi2nya, tapi kata2 kuncinya selalu sama (”waspada”, ”tangan2 jahil”, ”copet dan jambret”). Tapi lumayan lah, minimal kita jadi punya parameter yang jelas. Kalau sudah mendengar kata2 ini, minimal kita tau kalo kita sudah mencapai depok baru, kira2 seperempat perjalanan sampai ke kota.
Kadang statement ini jadi bahan candaan penumpang kereta juga. Mendekati stasiun depok baru, biasanya orang-orang sudah mulai celetak-celetuk... ”awas copet”, ”copet2, awas tangan jahil...” dsb. Tapi terbukti, sepertinya sang petugas stasiun itu juga kadang dirindukan oleh para penumpang kereta. Pernah beberapa kali waktu, stasiun depok baru sepi dari statement ini, dan orang-orang mulai bertanya-tanya... ”petugasnya baru ya??”, atau ”loh, mana si tangan jahil?” atau ”petugasnya/si tangan jahil lagi sakit ya??” Ini bisa jadi sebuah bukti, kalau kehadiran ”si tangan jahil” memang dirindukan...
O iya, soal kepadatan puncak yang saya tuliskan di atas... nah, disinilah terjadinya. Dari Bogor sampai Depok Baru, arus penumpang yang turun memang jaul lebih rendah dibanding penumpang yang turun, dan dari Depok Baru biasanya arus penumpang yang turun mulai sebanding atau bahkan melebihi arus naik, meskipun sampai Pasar Minggu, pengaruhnya tidak terlalu signifikan (tetap keringetan, red.)

Stasiun Pondok Cina
Stasiun pertama yang menemukan titik keseimbangan antara arus penumpang masuk dan arus penumpang keluar. Biasanya didominasi mahasiswa UI yang kost di deket Pondok Cina.
Universitas Indonesia...
Stasiun UI, tempat mahasiswa2 kedua terbaik di Indonesia (setelah ITB, hehe, dasar anak ITB arogan!!) turun dari kereta lalu masuk hutan dalam kampusnya. Disini, biasanya turun berbagai jenis mahasiswa, mulai dari mahasiswa laki2 berkaca mata dengan tampang ”cupu”, mahasiswa laki2 begajulan, mahasiswi berbaju adek bercelana ketat, mahasiswi berbaju ”standar”, mahasiswi bertampang ”cupu” (juga), mahasiswi setengah akhwat (pakai jilbab tapi baju tetap ketat, jilbabnya ga nutupin dada pula), dan para ”ATT” (akhwat tingkat tinggi). Loh, kok banyakan mahasiswinya? Bukan... mungkin jumlahnya seimbang... tapi jelas, saya lebih merhatiin mahasiswinya =P
Para pria yang duduk di atap biasanya mulai bersiul2 menggoda, bahkan berteriak-teriak layaknya babun di ragunan, ketika melihat mahasiswi UI yang memang...layak digoda... kebanyakan sih yang serba ketat. Tapi biasanya semua langsung terdiam ketika seorang ATT lewat... Aura yang luar biasa (mampu mendiamkan babun tanpa perlu bersuara sedikitpun).
Paling kasihan kalau ada mahasiswa yang, mungkin, ada ujian atau kuis... sempat2nya, membaca sambil berdesak-desakan. Kadang-kadang bukunya jadi ketetesan keringat. Demi cita-cita... berjuanglah dik...

Stasiun Universitas Pancasila, Lenteng Agung, Tanjung Barat
Standar... bingung apa yang mau diceritakan di stasiun-stasiun ini... yang jelas, transaksi arus keluar-masuk tidak terlalu signifikan.

Stasiun Pasar Minggu
Alhamdulillah... kita sudah sampai Pasar Minggu... artinya, buat saya, 15 menit lagi sampai Manggarai (kalau lancar).
Di sinilah arus besar-besaran penumpang yang turun terjadi... sekali lagi... alhamdulillah... oksigen... oksigen... Minimal, keringat tidak lagi mengucur sederas sebelumnya dan bisa bernafas agak lega, berdiri agak tidak berdempet.
Satu-satunya kedongkolan di Pasar Minggu adalah... Biasanya di stasiun ini KRL harus menunggu sekitar 5-10 menit (kadang lebih juga), untuk menunggu disusul oleh kereta-kereta ekspres (biasanya sekitar 2-4 kereta). Sekarang saya tau kenapa kereta-kereta ekspres sering dilempari batu oleh ”orang-orang yang tidak bertanggung jawab”. Bayangkan, kita berada dalam sebuah kaleng panas, berdesakan (berhimpitan) dengan banyak orang, tidak ada angin (karena keretanya tidak jalan, dan badan sudah terlanjur basah oleh keringat... sudah begitu kita masih tidak diprioritaskan untuk jalan (pliss pak... kami butuh angin...). Sementara kereta ekspres (okelah, mereka bayar lebih mahal), selalu dapet prioritas pertama. Penumpangnya kan duduk!! Pakai AC pula!!
Pertama2 sih masih bisa sabar... tapi diatas 7 menit kemudian biasanya bukan Cuma badan yang panas... Hati ini mulai mendidih. Para penumpang mulai memukul-mukul dinding kereta (meskipun mereka tau itu ga akan banyak membantu, tapi setidaknya bisa memuaskan syahwat untuk marah...). Cara lain, mulai berteriak-teriak ga jelas (meskipun mereka tau, si masinis tidak akan mendengarnya... kalaupun terdengar, bukan dia yang berkuasa untuk menentukan kapan kereta boleh jalan lagi). Kalau sudah begitu, ketika si kereta ekspres itu akhirnya lewat... memang rasanya ingin nimpuk dengan batu...
Mungkin hipotesis bahwa peristiwa penimpukan kereta selama ini salah satunya disebabkan oleh kesenjangan ekonomi bisa jadi benar... untuk beberapa kasus. Lantas kenapa KRL ekonomi juga kadang2 dilemparin (sampe sering kena matanya masinis)? Nah... biasanya... yang nimpukin KRL ekonomi itu murni orang ”iseng” ato anak2 yang ga tau apa2 tentang ”kesenjangan ekonomi” (plus ga bisa ngebedain antara KRL ekonomi dan Argo Bromo) tapi meneladani orang2 dewasa yang suka melempari kereta juga (yang karena kesenjangan ekonomi tadi...).

Stasiun Pasar Minggu Baru dan Stasiun Duren Kalibata
Tidak ada yang terlalu menarik... standar2 aja... tapi yang jelas udah bisa bernafas agak lega...

Stasiun Cawang dan Tebet
Didahului oleh sebuah terowongan pendek... tapi lumayan terasa gelapnya, kita memasuki stasiun Cawang, kemudian lanjut ke Tebet. Nah, arus turun disini juga alhamdulillah lumayan besar. Biasanya didominasi para pekerja perbankan dan konsultan (mulai dari pasar minggu sampe Tebet ini kebanyakan emang para karyawan konsultan2). Maka cukup wajar kalau arus penumpang disini didominasi oleh orang2 berbaju rapi dan wanitanya... eeeuuu... gimana ngomongnya ya... pokonya pekerja bank dan konsultan lah... lumayan cantik2 dan lucu2 =P

Manggarai
Inilah salah satu stasiun besar di Jakarta. Langsirannya sangat ramai, dan jalur relnya mencapai 7 jalur. Disinilah titik temu arus kereta Jakarta-Bogor dan Jakarta-Bekasi (termasuk yang ke Bandung). Untuk arus dari jakarta, manggarai juga menjadi titik temu arus kereta dari arah Gambir-Kota dan arah Tanah Abang. Jadi, memang stasiun yang cukup sibuk (dan kalo ada masalah di jalur-jalur itu, penumpukan kereta pasti terjadi di Manggarai).
Karena saya biasanya turun di Manggarai, bisa diceritakan juga bahwa daerah Manggarai merupakan salah satu daerah ”rawan” di Jakarta... bisa juga disebut ”bronxki” (meminjam nama kawasan Bronx di New York yang terkenal dengan gangsta paradise-nya).
Meskipun begitu... para pedagang disini cukup ramah2. Yang agak mengganggu mungkin para tukang ojeg dan penarik bajaj di depan stasiun, yang kadang-kadang sangat (terlalu) agresif dalam menawarkan jasanya... taktik paling kotor adalah : memanggil sembarang nama. Misalnya, akan ada banyak yang berteriak2...”Joko!” atau ”War!!”,”Wan!!”,”Bud!!”,”Sita!!”,Tanti!!” ato apapun... kalau ada yang menengok, langsung deh dia tawarkan jasanya dengan lebih agresif lagi (berhubung sudah kontak mata). Jadi, triknya kalau melintasi depan Manggarai adalah... menunduk dan tidak menoleh untuk suara apapun yang terkesan memanggil anda!!!
Biasanya di stasiun ini juga terjadi pemberian nasihat untuk orang-orang yang duduk di atap KRL. Dimulai dari yang paling halus, ”Hei, itu yang di atas turun hei!!”. Kadang juga agak kasar, ”Woy, yang di atas... Turun !! Mau mati lu??!!”. Kadang juga bersifat ancaman, ”Dengan ini diinformasikan bahwa sampai penumpang yang di atap turun, maka kereta akan berhenti di Manggarai...” Nah, model ancaman ini yang biasanya efektif, karena orang2 yang duduk di atap biasanya malah dimarahi oleh penumpang lain (yang di bawah) yang sudah mulai kepanasan ingin segera jalan.
Dari sini, ada percabangan, yang ke barat itu ke arah Tanah Abang, yang ke utara itu ke arah Cikini-Gondangdia-Gambir-Juanda-dst sampai stasiun Kota.

Stasiun Cikini-Gondangdia
Yang ke kota aja ya... berhubung saya jarang ke Tanah Abang. Disini arus turun juga cukup besar, sama juga didominasi pekerja konsultan dan sektor jasa.

Gambir
”Misi bang... orang miskin mau lewat... misi (permisi) bang...” Berhubung KRL ekonomi sejak satu dekade terakhir ini (mungkin lebih) dianggap ”tidak pantas” untuk berhenti di Gambir... maka mungkin sindiran sarkastik dari beberapa penumpang tadi cukup relevan... Pernah juga sih, kejadian, masih ada orang yang duduk di atap (karena ga disuruh turun waktu di Manggarai) menyiapkan potongan kertas2 kecil banyaaaaak sekali, kemudian dihamburkan ketika melintasi Gambir. Cukup indah juga sih, mirip ujan salju (maksa!)... tapi kasian yang ngebersihin...

Stasiun Juanda-Mangga Besar-Sawah Besar-Jayakarta
Ga ada yang istimewa... yang jelas udara semakin panas, bukan karena padat, tapi karena sudah semakin ke utara yang notabene daerah panas...

Stasiun Jakarta Kota
Akhir perjalanan... Ayo turun2... kalo ada yang tidur tolong dibangunin, supaya ga kebawa balik ke Bogor.


Yap... begitulah perjalanan kereta pagi dari Bogor ke Jakarta... penuh perjuangan.
Dalam salah satu perjalanan, saya pernah berbincang dengan seorang ibu dan seorang bapak... yah, perbincangan yang tidak terencana, terjadi lebih karena kami berdempetan dengan cukup parah, sehingga perbincangan dimulai dengan ucapan si ibu pada si bapak... ”aduh! Ati-ati dong pak! Kaki saya jangan diinjek. Geser dikit pak!! Kegencet nih...” Balasan dari si bapak agak bisa ditebak, ”yah, bu, maap, ga sengaja, ini juga saya kegencet... kalo bisa sih sy juga ga mau gencet ibu...”. Sementara saya hanya senyum-senyum karena tanpa mereka sadari, keduanya menggencet saya secara bersamaan.
Perbincangan berlanjut ke topik ”Keikhlasan dalam berjuang”. Redaksionalnya kira2...
”yah... namanya juga naek kereta bu... ya begini...”,
”iya ya pak... duh...”,
”sabar aja bu... lagian... ngapain juga ya kita kaya gini tiap pagi???”,
”tau tuh pak, apa sih yang dicari??”,
”iya ya, apa sih yang dicari sampe kegencet-gencet gini?? Duit doang paling... Kalo udah gini sih saya inget anak saya bu, kemaren tawuran, udah gitu saya nasehatin malah bilang saya kolot. Kurang ajar bener... mana terus malah minta dibeliin motor... duh...”
”Wah, kalo anaknya gitu sih, banting aja pak!! Ga tau apa orang tuanya banting tulang buat ngidupin die, terus malah kurang ajar lagi.... Kalo anak saya kaya gitu, kagak saya kasih makan dah”
”iya ya bu, padahal kita begini2 buat dia juga...”

Begitulah kira2 perbincangan antara dua orang penumpang kereta, yang tidak saling kenal, tapi menjadi akrab karena merasa satu nasib... Begitulah adanya para penumpang kereta, semua bersaudara, sama2 berjuang.Nah, lalu siapa yang bilang bangsa kita bangsa pemalas??? Liat sini!! Liat perjuangan bapak2 dan ibu2 ini untuk anak2 mereka!! Jihad mereka lebih berkeringat dan lebih menuntut pengorbanan dibanding kebanyakan pekerja di Jakarta. Tapi pendapatan mereka??

Apakah mereka begitu karena mereka mau? Tidak... mereka terpaksa... dan dipaksa (karena pemerintah menganggap bahwa kondisi kereta seperti itu sudah cukup ”layak” untuk mereka). Padahal merekalah yang memutar uang di Jakarta...
Tidak... mereka tidak malas. Mungkin juga, mereka sudah ”mapan”, dan kereta hanyalah bagian dari rutinitas dalam kemapanan mereka. Tetapi, ucapan bahwa bangsa kita bangsa pemalas sungguh tidak fair untuk ditujukan pada mereka yang tidak kaya tetapi bekerja dengan keras. Banyak orang bilang bahwa orang2 itu miskin karena mereka malas. Maka saya katakan, TIDAK!! Mereka miskin karena orang2 yang sudah lebih dulu kaya membuat sistem untuk terus menjerat mereka dalam kemiskinan. Keadaan bahwa mereka bekerja lebih keras tetapi mendapat lebih sedikit tidak lain dari menunjukkan bahwa ketimpangan dan kesenjangan ekonomi di Republik ini sudah sedemikian memprihatinkannya...

Siapakah yang akan mendengar mereka.... saudara-saudaraku...

Saudaraku... sampai jumpa di akhirat nanti... semoga kita bertemu kembali dalam senyuman...dan kalian akan berjalan dengan membawa pahala dari jihad kalian...

Tuesday, September 13, 2005

Perlukah Menggugat sang "Guru Bangsa"? (Untuk Nurcholis Madjid, episode 1)

Tulisan ini dibuat bukan untuk mendiskreditkan seseorang yang dalam hal ilmu tidak bisa dibandingkan dengan saya. Kaliber beliau dengan saya bagai langit dan bumi dalam hal ilmu (tentu, beliau langitnya).
Bukan juga untuk mencela seseorang yang sudah tidak bisa lagi mempertahankan/membela dirinya dari tulisan ini, berhubung beliau memang sudah almarhum...
Tapi sekiranya menjadi catatan penting untuk diri saya sendiri, untuk belajar memfilter atau memilah-milah apa-apa yang patut dipelajari dari seseorang/sesuatu. Karena terkadang sebuah pembelajaran tidak hanya didapat dari suatu kebaikan. Ia terkadang justru lebih banyak didapat dari suatu keburukan, atau sebutlah kekurangan.

Kematian Nurcholis Madjid (Cak Nur) memang menyisakan persepsi-persepsi yang membingungkan mengenai dirinya (seperti juga dalam sepanjang hidupnya, Cak Nur tampaknya memang selalu bermaksud untuk menghadirkan kebingungan). Kebingungan yang saya maksud adalah perkara sikap hidup, ideologi, maupun patronase apa yang sesungguhnya diusung oleh Cak Nur. Predikat beliau sebagai seorang "Guru Bangsa" (yang mana saya tidak tau siapa yang memberikan predikat itu pada beliau) nampaknya memang mengharuskan kita untuk benar-benar mengerti persoalan ini. Karena tentu, kita harus memahami apa yang beliau ajarkan sebagai "guru" itu.

Beberapa hari yang lalu, tulisan seseorang dengan nama M. Abdullah dipostingkan ke mail-list "Curah Ide" yang saya ikuti secara pasif. Yang mempostingkan bukan si penulisnya sendiri.
Judul tulisannya cukup provokatif, "Menggugat sang Cendekiawan". Dan isinya pun memang provokatif ternyata. Meskipun begitu, dari tulisan-tulisannya, ada beberapa poin yang tanpa terbantahkan (oleh saya) harus saya setujui. Persetujuan itu berhubung karena memang setelah kemunculan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang diusung oleh kader-kader Paramadina (yang berarti juga kadernya Cak Nur), kecurigaan sekaligus mungkin kekecewaan terhadap sosok Cak Nur juga menyeruak di pikiran saya.

Setelah membaca posting itu, satu hal yang membuat saya agak2 lebih kecewa adalah karena ternyata, kecurigaan dan gugatan terhadap Cak Nur itu berarti bukan hanya milik saya. Dengan kata lain, sosok Cak Nur mungkin memang pantas untuk dipertanyakan.

Saya mungkin akan menghindar untuk terlalu provokatif dalam menilai sosok sekaliber beliau, karena walau bagaimanapun, kecurigaan ini adalah secara subyektif berasal dari pemikiran saya (yang ternyata jg dipikirkan oleh banyak orang lain), tanpa pernah mengklarifikasinya terhadap pihak yang bersangkutan, dan juga tentu saya tidak mengetahui dasar pemikiran Cak Nur yang sebenarnya.

Sebagai sosok yang secara luas dianggap mengusung Islam, patronase politik Cak Nur adalah hal pertama yang menimbulkan kecurigaan bagi saya. Slogan "Islam Yes, Partai Islam No" mungkin bisa dianggap sebagai puncak gunung es dari sikap politik beliau. Slogan ini,oleh beliau dan orang-orang yang mendukung beliau (dan secara luas juga mungkin oleh hampir semua politikus dan negarawan) dikatakan lahir karena pada waktu itu, Islam telah dijadikan sebuah komoditas politik, sebuah barang dagangan untuk mendulang suara. Maka slogan itu, katanya, hadir untuk menyelamatkan Islam dari penyalahgunaan dalam politik. Benar? ya... mungkin juga benar, dan mungkin juga masuk akal. Tapi yang tidak masuk akal bagi saya adalah, jadi sebenarnya maunya Cak Nur itu seperti apa? Apakah sebatas agar Islam tidak menjadi komoditas politik? apakah berhenti sampai di situ?

Mungkin Cak Nur lupa bahwa, terlepas dari apakah memang benar partai-partai politik yang mengaku mengusung Islam itu hanya menggunakan Islam sebagai komoditas politik atau tidak, perbedaan (mungkin salah satu yang utama) antara Islam dengan agama-agama lain adalah adanya tuntutan untuk menjalankannya secara kaffah, di SELURUH sendi-sendi kehidupan. Mengapa perbedaan utama? Karena Islam adalah satu-satunya agama yang memang hadir tidak hanya dengan aturan-aturan dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga dalam konteks hubungan antar manusia secara detil (atau setidaknya lebih detil dibanding agama lain). Apabila dasar syariat Islam itu adalah Al-Qur'an dan Sunnah, maka dari keduanya dapat diperoleh sistem-sistem yang tidak akan kita temui di agama lain. Sistem pemerintahan, politik, ekonomi, dan sebagainya, adalah sistem-sistem yang semestinya dapat mengatur kehidupan antar manusia di dunia.

Perbincangan saya dengan Mr. Jerry, seorang berkebangsaan Kanada yang begitu tertarik terhadap kebudayaan Asia dan Islam, di Wamena (Papua), pernah mengungkapkan perbedaan itu. Mr. Jerry menantang saya untuk melakukan apa yang sudah dia lakukan, untuk bertanya pada orang Kristen yang paling saleh sekalipun, atau orang Hindu, bagaimana agama mereka mengatur cara mereka berdagang, berpolitik, atau mengatur ekonomi. Kekecewaan Mr.Jerry terhadap agamanya sendiri dimulai ketika dia mempertanyakan hal itu tetapi merasa bahwa memang tidak ada jawabannya.

Itulah sebabnya muncul sebuah slogan di peradaban Eropa, untuk "memberikan pada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhanmu, dan memberikan pada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar". Peradaban barat memang dibangun atas dasar ini, yang kemudian menjadi cikal bakal dari apa yang kita sebut (dan Cak Nur sebut) sebagai sekulerisme, yaitu bahwa urusan duniawi tidak ada sangkut pautnya dengan urusan akhirat.

Dalam hal inilah, Cak Nur mungkin agak-agak terjerumus. Beliau mungkin lupa, bahwa meskipun saat itu Islam dijadikan sebuah komoditas politik, sebagai seorang yang hanif, beliau harus membangun sebuah pola pikir yang mau menegakkan Islam secara kaffah itu dalam diri ummat. Ketika beliau hanya berhenti pada slogan "Islam Yes, Partai Islam No", beliau tidak saja telah menghilangkan nilai-nilai Islam dalam percaturan perpolitikan dan ketata-negaraan, tetapi secara lebih jauh juga telah menanam saham pemikiran pada ummat bahwa nilai-nilai Islam itu memang tidak perlu berkaitan dengan pola kehidupan mereka sehari-hari. Atau dengan kata lain, mengajak ummat untuk tidak mempedulikan tuntutan implementasi Islam secara kaffah. Dan sampai kematiannya, patronase politik Cak Nur nampaknya memang terhenti pada slogan tersebut... Entah karena tidak sempat, atau memang tidak ada niatan untuk menanamkan syariat Islam dalam pola pikir ummat.

Padahal, ada sebuah kontradiksi sekaligus ironi dalam pernyataan Cak Nur ini. Sebagai sosok yang seharusnya mengusung sebuah agama yang mengikat ummatnya secara kaffah, gebrakan Cak Nur itu terhitung baru, bahkan bagi agama-agama yang memang beraliran sekuler. Maksud saya, sepakat dengan M.Abdullah, belum pernah ada seorang cendekiawan Kristen yang berteriak "Kristen Yes, Partai Kristen No", ato cendekiawan Hindu yang berteriak "Hindu Yes, Partai Hindu No". Kalau agama-agama yang sekuler saja tidak mengeluarkan slogan itu, kok justru malah Cak Nur yang meneriakkan itu dalam konteks agama yang jelas-jelas memiliki semua perangkat untuk tidak menjadi sekuler...
Apakah saat itu, Cak Nur juga dipengaruhi oleh trauma terhadap DI/TII? atau secara lebih luas, apakah slogan itu diterima masyarakat karena masyarakat juga masih trauma terhadap DI/TII?

Pikiran Cak Nur sepertinya hanya berorientasi jangka pendek sekali, yaitu untuk menyikapi fenomena Islam sebagai komoditas dengan slogan tersebut, tapi usaha-usaha jangka panjang untuk mengusung peradaban Islam sama sekali tidak terlihat...

Sebagai bagian pertama, mungkin itu dulu...

Saturday, September 10, 2005

Anak-anak penghirup lem

Rasio dan emosi adalah dua barang aneh yang bercampur dalam diri kita.
Mereka, terkadang saling bertengkar, terkadang saling mendukung, tapi tak pelak, keduanya selalu mempengaruhi langkah kita dalam hidup. Kalaupun ada salah satunya yang mati atau "rusak" karena tidak pernah dipakai, maka sebenarnya itu hanya masalah keinginan, kemampuan, dan adakah penyebab luar biasa yang membuat hal itu terjadi. Karena pada dasarnya, kedua barang itu secara otomatis telah ditanam didalam diri kita saat penciptaan.

Dan fenomena apakah yang tidak kita sikapi dengan kedua barang itu?
oke, kalo masalah kadar atau perbandingan, kita ga perlu komentar. Karena itu urusan masing-masing si empunya barang.

Tapi...
bolehlah sekedar bertanya, untuk satu kasus...
diluar kedua barang tadi, rasio dan emosi, tentu ada banyak barang lain yang dimiliki manusia. salah satu yang ingin saya bahas disini adalah... konsistensi. bukan hanya konsistensi dalam bekerja atau memproduksi sesuatu, tapi juga konsistensi dalam menindaklanjuti hasil "peperangan" atau pilihan diantara rasio dan emosi tadi. Dengan kata lain, konsistensi untuk menapaki pilihan jalan hidup, paradigma, ideologi, atau apapun yang dipilihnya, baik secara umum atau luas yang mencakup seluruh pandangan seseorang akan kehidupan, maupun secara khusus atau kasuistis, yang mencakup pandangan seseorang akan suatu topik dalam hidup tersebut.

Loh? apa hubungannya dengan judul posting ini?
ya karena memang ini bukan posting tentang rasio dan emosi. Sebenarnya ini posting tentang anak-anak jalanan...

Ya, walau bagaimanapun, saya, dan saya kira banyak orang sekarang ini yang memperhatikan fenomena anak jalanan akan merasa bingung, disamping risih.
Bagaimana keputusan anda, saat dihadapan anda ada seorang anak ingusan berbaju lusuh menyanyi-nyanyi tidak jelas kemudian menjulurkan tangannya? Akan anda beri uang, atau tidak? Yakinkah anda dengan sikap dan keputusan anda?

Sejak sekitar 2,5 tahun yang lalu, saya memutuskan untuk berhenti memberi mereka uang. Walaupun kadang-kadang tidak konsisten juga. Kalau apabila emosi sedang menang perang melawan rasio, maka keluar juga uang saya dan mendarat di tangan anak itu.

Peristiwa 2,5 tahun lalu yang menyebabkan keputusan itu adalah pertemuan dengan Yayasan Bocah Garis, sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan yang diasuh oleh Bunda Niken. Sebuah rumah singgah yang benar-benar "berbeda", karena alih-alih menawarkan penampungan dan tempat tidur semata, Garis lebih menawarkan cinta kasih, perasaan sebagai sebuah keluarga besar... satu konsep yang waktu itu menarik saya.
Tapi toh tidak terlalu menarik untuk si anak-anak jalanan itu sendiri. Buktinya, sebagian dari mereka yang sudah pernah singgah di Garis masih tetap memilih kembali ke jalan, baik secara permanen maupun tidak.

Mengapa? Okelah, salah satu sebabnya itu ya tidak cukupnya kapasitas Garis untuk menampung mereka semua. Tapi sebab lain adalah, bagaimana tidak, karena mereka sudah terbiasa menerima "uang gampang" di jalan. Sementara Garis tidak menawarkan uang semacam itu.

Jangan terlalu lugu dalam menilai bahwa anak2 jalanan itu adalah anak2 yang yatim piatu, ga punya rumah, dibuang oleh keluarganya dsb-dsb. Sebagian (besar) dari mereka yang saya tahu, justru masih punya keluarga. Dan kurang lebih, mereka setiap hari "ngukur jalan" itu ya karena keluarga mereka juga. Mereka memang diberi misi oleh orang tuanya untuk mencari uang. Kalaupun tidak, misi mereka adalah untuk menghidupi diri mereka sendiri karena orang tua mereka juga sudah tidak sanggup memberi mereka makan.

Pernah suatu ketika, Bunda bercerita, bahwa seorang anak di Garis pada waktu tahun baru imlek pernah "dijemput" kedua orang tuanya. Sambil marah-marah membawa senjata tajam, mereka meminta kembali anak mereka, walaupun hanya untuk sehari saja. Untuk apa? untuk disuruh mengemis di klenteng-klenteng. Si anak yang sudah betah di Garis dan sudah jarang pulang ke rumahnya sendiri kontan tidak mau. Tapi orang tua si anak ternyata membawa adik si anak tadi. Sang adik, seorang anak perempuan, menangis di depan kakaknya, "kakak tega kalo ade yang disuruh ngemis??" katanya sambil terisak...

Si anak akhirnya menuruti kedua orang tuanya, dan kembali ke Garis seminggu kemudian...

Begitulah, maka saya ingin berhenti memberi uang gampang itu pada anak2 jalanan, salah satunya agar mereka tidak lagi pergi ke jalan, dan rumah-rumah singgah yang sudah mulai menjamur saat ini bisa menjalankan misi mereka dengan optimal. Karena disadari atau tidak, tangan-tangan kitalah yang mengizinkan anak-anak itu hidup di jalan. Sepertinya, pemikiran ini juga sudah mulai banyak berkembang, karena belum lama ini saya menerima beberapa e-mail dari beberapa milis yang saya ikuti yang mengatakan hal yang sama. Baguslah kalau pemahaman ini sudah tersebar. Nah, pemikiran inilah yang menjadi dasar argumen dan senjata bagi rasio dalam peperangannya dengan emosi setiap saat seorang anak jalanan menjulurkan tangannya di depan kita.

Lalu senjatanya emosi apa? Dulu sih memang sering terpikir bahwa, okelah mungkin sebagian dari uang itu dipakai untuk bayar jatah preman, beli lem aibon buat dihisap, dikasih ke orang tua, beli rokok dll. dan sebagiannya lagi untuk beli makan. Maka logikanya, kalau kita mau mereka makan lebih banyak atau lebih bergizi, ya kita beri uangnya yang banyak. Tapi toh, sebanyak apapun kita memberi, tidak akan merubah status sosial mereka, atau bahkan gizi mereka, karena lebih banyak uang berarti lebih banyak rokok, atau lebih parah, lebih banyak uang berarti ada cukup uang untuk minuman keras.
Dan memang, pada hari-hari atau momen-momen tertentu, misalnya sebutlah bulan ramadhan atau hari-hari besar keagamaan, emosi seperti memiliki justifikasi dan amunisi tambahan untuk dapat memenangkan peperangan melawan rasio.

Yang lucu adalah... Semestinya orang konsisten dengan apa yang mereka pilih kan? Karena setiap pilihan ada konsekuensinya (gila, doktrin OS banget....).

Nah, jadi, semestinya, kalau orang banyak yang memilih untuk memberi "uang gampang", hasilnya mungkin tidak akan terlihat (karena biasanya uangnya langsung habis). Tapi kalau sekarang ini kecenderungan pemikiran "berhenti memberikan uang gampang" itu sudah menyebar, maka semestinya arus uang yang mengalir ke rumah2 singgah atau kelompok2 sosial lain yang mengurus anak jalanan itu bertambah kan? Atau minimal tambah lancar. Kenyataannya? tidak juga tuh (yang saya perhatikan di Bocah Garis dan rekan2 lain di Bandung).

Jadi, kemungkinannya adalah...
Arus uang itu bertambah lancar tapi tidak terdeteksi, atau...
Orang2 bingung nyalurin uang kemana buat ngebantu anak jalanan, atau...
Pada dasarnya orang memang tidak tergerak untuk menyikapi fenomena anak jalanan, mungkin dulu kalaupun memberi uang gampang adalah murni karena rasa iba tapi sekarang punya pembenaran untuk tidak memberi, meskipun pada akhirnya ke rumah2 singgah pun dia tidak memberi...

Inilah yang saya maksudkan ketika mempermasalahkan konsistensi. Pemikiran "berhenti memberi uang gampang" itu dengan kemajuan rumah2 singgah dan lembaga2 sosial lain belum terlihat korelasi langsungnya. Artinya, kita yang menyetujui pemikiran itu belum konsisten untuk melaksanakan konsekuensinya. Dan akhirnya... fenomena anak jalanan ya masih... gini-gini aja.

Hmmm... saya ngoceh apa sih??

Sudahlah...
Sekedar berbagi. Kalau mungkin ada yang penasaran bagaimana kehidupan anak jalanan, maka saran saya adalah... jangan melihat mereka di waktu siang. Lihatlah kehidupan mereka di malam hari. Disitulah sebenarnya terletak realitas yang nyata, tak terhindarkan, sekaligus menyesakkan dari kehidupan mereka.

Jakarta dan bogor sekitar 10 tahun yang lalu telah dikejutkan oleh budaya "ngelem" yang tiba-tiba terungkap ke permukaan, meskipun sebenarnya budaya itu sudah berumur setua usia fenomena anak jalanan itu sendiri.
Bandung seolah terlepas dari budaya ini. Sebenarnya tidak terlepas, mungkin lebih tepatnya adalah kurang terlihat. Anak-anak Jakarta dan Bogor seperti tidak kenal waktu dan tempat untuk ngelem. Anak-anak Bandung lebih "sopan". Mereka biasanya ngelem diatas jam 10 malam.

Kalau sekali-sekali melewati terminal Cicaheum Bandung diatas jam 10, sekali-sekali perhatikan saja anak2 kurus, kecil maupun besar yang tangannya dimasukkan kedalam bajunya dari bawah. Sepertinya tangan itu memegang sesuatu yang disembunyikan dibalik baju yang menutupi dadanya. Lihatlah, kadang-kadang ia akan menghisap barang dibalik bajunya itu. Sambil berdiri, biasanya si anak akan bergoyang sesaat, mengangkat kepalanya dengan tatapan kosong, lalu kembali menghisap. Setelah itu, tergantung, kalau dia masih cukup sadar, dia akan melanjutkan "aktivitas"nya, entah itu menjadi calo penumpang, preman, atau sekedar merokok, sambil tetap menghisap. Kalau kesadarannya sudah melemah, biasanya dia akan berjongkok sambil tidak berhenti menghisap, atau bahkan berbaring meringkuk sambil menghisap, tetap dengan posisi tangan didalam baju didepan dada.

Para penghisap lem...
Berhubung itu lebih murah dari ineks maupun shabu-shabu yang menjadi barang mewah untuk mereka. Itu punya anak2 orang kaya...

Friday, September 09, 2005

Dari Ibnu Khaldun, Peradaban Islam, sampai Kebangkitan Islam

Dulu, pada waktu yang saya sendiri lupa kapan, Tepo alias Otep Kurnia dengan saya pernah jalan bareng dari kampus ke Simpang Dago. Untuk mengusir sepi, kami berniat ngobrol. Kami sepakat, topiknya ga boleh berat-berat. Iyalah, buat ngusir sepi sambil jalan doang aja pake yang berat-berat! Dan akhirnya kami sepakat untuk ngobrol tentang... Peradaban ! (Dhian Coek !! yang kaya gini ama dia dianggap ringan!)

Obrol punya obrol, singkat kata, kami tiba-tiba jadi ngomongin Ibnu Khaldun, seorang budayawan dan ilmuwan Muslim yang pemikiran-pemikirannya cukup dominan pada masanya (waktu Islam sedang jaya-jayanya), dan kurang lebih, mungkin masih relevan sampai sekarang. Pemikiran-pemikirannya dalam hal sosiologi sebenarnya, sedikit banyak, mendasari berdirinya ilmu sosiologi modern seperti yang sekarang ini kita kenal. Saya masih ingat, beberapa buku referensi Sosiologi SMA ada yang mencantumkan nama Ibnu Khaldun sebagai salah seorang "bapak sosiologi". Tentu, predikat ini ga terdapat di SEMUA buku sosiologi, terutama yang sudah terlanjur didominasi dengan nama-nama "barat".

Terkait dengan peradaban, Otep menceritakan tentang sebuah buku, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai naskah, karangan Ibnu Khaldun, yang judulnya Muqodimah. Okelah, ga semua isi naskah itu berbicara tentang peradaban. Tapi ada satu teori, atau analisis, yang disusunnya mengenai peradaban. Ibnu Khaldun (IK) ga ngomongin peradaban dari sisi historis, ato time-line, ato perkiraan-perkiraan menakutkan tentang benturan antar peradaban seperti Huttington. IK secara gamblang justru membahas benang merah kemunculan dan kematian peradaban-peradaban, dari segi ciri-ciri dan humanismenya, dalam pengertian, dia banyak membahas tentang faktor manusia yang mempengaruhi peradaban itu.

Secara eksplisit, IK menceritakan (kata Otep loh) bahwa orang-orang yang kemudian memimpin peradaban itu adalah orang-orang (kaum) yang telah melalui tempaan, hidup yang KERAS, makan daging (eksplisit : makan daging), dan melalui berbagai "ujian" dalam kehidupannya. Dan peradaban biasanya mengalami kemunduran, biasanya, saat orang-orangnya mulai hidup nyaman, tenang, menyibukkan diri dengan musik dan makan/minum, dan yang paling penting, ga punya musuh.
Wah, lucu juga analisisnya dia. Meskipun mungkin analisis semacam ini udah sering kita denger, ato mungkin kita pikirkan, tapi pada masa itu (waktu IK masih idup maksudnya), analisis semacam ini bisa dibilang... langka (kalo ga mau dibilang "ngapain juga mikirin ginian...")

Selepas obrolan dengan Otep, dengan ditemani segelas kopi dan sebatang Dji Sam Soe (gila, promosi!) dalam dinginnya malam, ternyata obrolan itu belom lepas dari pikiran saya.

Karena kalau dipikir-pikir, bener juga ya...

Oke, mari kita lihat, peradaban mana yang mau kita ambil jadi contoh?
Mongol? Mongol adalah sebuah bangsa pengembara. Mereka hidup di lahan yang tandus, dan harus berjuang keras hanya untuk sekedar mencari makan untuk koloni-koloninya. Tapi karena kultur pengembara itu, mereka jadi terkenal dengan pasukan berkudanya yang kuat. Bisa kita anggap, bahwa hari-hari (abad-abad sih sebenernya) bangsa mongol mengarungi kehidupan dengan cara begini adalah tempaan seperti yang dimaksud oleh IK. Dan mereka sukses menghancurkan kekaisaran China waktu itu, juga sesuai dengan analisis IK, selain karena mongol telah melalui ujiannya, juga karena peradaban cina sedang berada di puncak. perdagangan maju, negara besar, musuh ga ada yang sepadan. Akibatnya, kekaisaran cina waktu itu dipenuhi oleh korupsi dan rakyat yang tidak terbiasa untuk hidup keras. Dua-duanya klop. Maka terjadilah kemunculan peradaban Mongol dan turunnya peradaban Cina.
Lalu dalam perkembangannya, masa-masa dibawah penjajahan Mongol adalah masa-masa ujian dan penempaan bagi Cina. Mongol yang sudah menyebar sampai eropa mulai mencapai puncak peradabannya. Dan setelah di puncak, satu-satunya jalan adalah turun, bukan? Ya, dan pergeseran peradaban pun terjadi lagi, dengan arah terbalik.

Romawi? Kekaisaran roma dimulai dengan darah dan peperangan. Inilah masa penempaan untuk Roma. bahkan, dalam mitosnya, konon nenek moyang/asal-usul Bangsa Roma adalah dua orang anak (Romus dan Romulus) yang yatim piatu dan harus menyusu pada seekor serigala. Jadi sejak lahirnya pun, setiap anak bangsa roma sudah dicekoki pemikiran bahwa hidup adalah perjuangan. Dan romawi hancur setelah mereka sudah di puncak dan tidak ada lagi yang bisa mengalahkan mereka. Mereka bahkan mengalahkan Mesir (yang sudah lebih dulu berada di puncak sampai2 tidak punya lagi bala tentara yang kuat). Korupsi merajalela, dan peradaban roma dipenuhi ketimpangan ekonomi, musik, sastra, dan minuman keras. Kekaisaran romawi kemudian dibagi 2, di konstantinopel dan di Roma, yang ternyata sama saja bobroknya, dan tidak bisa bertahan ketika peradaban Islam mulai merangsek maju.

Amerika? Bangsa Amerika yang saat ini menjadi negara adidaya itu sebenarnya tidak mengenal istilah "pribumi". Karena memang, pada dasarnya mereka adalah pilgrims dari eropa. Tempaan untuk mereka sudah dimulai sejak pertemuan mereka dengan bangsa2 Indian di Amerika Tengah dan Utara. Bahkan setelah negara Amerika berdiri pun, mereka dilanda perang saudara utara-selatan dan peperangan-peperangan tak berkesudahan dengan Perancis, Inggris, dsb2... BElum lagi, kalau pernah nonton film Gangs of New York, bagaimana peperangan antar kelas ekonomi dan antar kelompok urban telah menjadi keseharian orang2 Amerika abad 16-18. Bangsa mereka dibangun dengan darah, dan itu satu tempaan untuk mereka.

Jepang? setelah dibom atom oleh Amerika, kita tau sama tau bagaimana jadinya Jepang sekarang. Tapi lebih dari itu, kita juga bisa melihat bagaimana kerasnya hidup, budaya/adat dan tradisi orang2 jepang, yang seakan2 memang mempersiapkan mereka untuk menjadi salah satu penguasa peradaban.

Secara eksplisit, dapat kita lihat bahwa sejarah memang selalu menceritakan terlebih dahulu perjuangan, pergulatan, dan pengorbanan sebuah bangsa sebelum bangsa itu maju dan menjadi salah satu pemimpin perubahan peradaban.

Lalu bagaimana dengan peradaban Islam? Sepertinya akan menjadi kurang afdol bila kita membicarakan peradaban Islam tanpa sekaligus menganalisis peradaban Eropa (dan "barat" secara keseluruhan) yang timbul tenggelamnya lebih banyak saling berkaitan.

Mengapa Islam bisa begitu menguasai peradaban selama 7 abad?
kaum muslim awal dan Rasulullah pun mengalami tempaan dan ujian dalam konteksnya sendiri. Sepertinya memang ada sebuah prakondisi yang ditetapkan Allah bagi suatu kaum sebelum kaum/bangsa itu bisa maju dalam peradaban. Dan peradaban Islam pun demikian. Peristiwa pengusiran Rasulullah dan umat muslim pertama dari mekkah sehingga mereka hidup di gurun selama 8 tahun... bukankah itu sebuah tempaan? lalu peperangan yang terjadi pada masa2 awal kekhalifahan, itu pun menjadi sebuah tempaan bagi peradaban Islam.

Oke, dari segi waktu, memang agak2 "tidak adil" misalnya apabila kita membandingkan tempaan umat Muslim awal dengan... sebulah bangsa viking, yang harus ditempa alam yang dingin dan keberanian mengarungi lautan dengan peperangan2 mengerikan selama berabad-abad sebelum menjadi kaum yang unggul dalam masa mereka. Disinilah teori relativitas Einstein dalam konteks waktu menjadi relevan. Karena kita tidak tahu perbedaan antara "lama" dengan "sebentar". Tapi yang jelas, Allah sepertinya tidak berkehendak untuk memberikan satu privelege pada umat Islam untuk tidak memenuhi prakondisi itu.

Lalu bagaimana dengan kemunduran peradaban Islam?

Kemunduran peradaban Mongol dan Romawi sudah disinggung sedikit di atas. Selain karena faktor kehidupan urban masyarakatnya, sedikit banyak kemunduran 2 peradaban tersebut juga disebabkan oleh hilangnya figur pemimpin ideal di mata peradaban tersebut (Jengis Khan di Mongol dan Julius Caesar di Romawi). Tetapi selain itu, kemunduran sebuah peradaban juga biasanya ditandai oleh menyeruak naiknya peradaban yang baru.

Demikian juga dengan peradaban Islam.
Selama 700 tahun, peradaban Islam begitu dominan di dunia kala itu. Bangsa-bangsa eropa yang memasuki negeri-negeri muslim seperti Baghdad atau Turki atau Cordoba dan Barcelona di Spanyol tidak berbeda layaknya orang udik yang melihat Jakarta untuk pertama kalinya. Perkembangan ilmu pengetahuan, baik yang bersifat eksak maupun sosial begitu pesatnya. Sebagai contoh, tidakkah nama2 Al-jabar atau Al-khemi berbau2 Arab yang notabene merupakan bangsa yang mendominasi kaum Muslim awal? Al Jabar memang adalah seorang jenderal perang yang menemukan bilangan 0 yang kemudian menjadi dasar berkembangnya disiplin ilmu Aljabar dan matematika secara umum.
Perkembangan dan kekuatan Islam saat itu memang tidak tertandingi.

Akan tetapi, setelah periode 700 tahun itu, negeri2 Islam memang mencapai titik puncaknya, dan sebenarnya (apabila kita masih merujuk pada analisis IK), inilah awal dari kemunduran suatu peradaban. Dan memang benar, pola hidup urban, dikuranginya bala tentara, berkurangnya semangat jihad karena memang musuhnya sudah tidak ada, menjadi pola hidup yang dominan di negeri-negeri Islam.

Pada saat yang sama, pada abad 6/7-15 itu, dataran dan peradaban bangsa2 eropa sedang berada pada era yang (oleh orang2 eropa) disebut sebagai "zaman kegelapan" (dark ages). Ilmu-ilmu mistik berkembang pesat, ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat mandek karena dianggap bertentangan dengan agama, kehidupan beragama yang kacau balau, disorientasi visi, dan peperangan-peperangan di kalangan kerajaan2 eropa mewarnai era ini di Eropa. Kehidupan menjadi tidak manusiawi di Eropa, dan banyak masyarakat Eropa yang menemukan pencerahan dan "pelarian" di negeri-negeri muslim.

Masa kegelapan inilah, yang nampaknya menjadi masa penempaan yang digariskan Allah pada bangsa-bangsa Eropa. Ini sebenarnya sudah menjadi prakondisi bahwa bangsa Eropa, pada waktunya, akan memimpin peradaban.

Dan benarlah, masyarakat dan bangsa Eropa yang sepertinya sudah muak dan jenuh dengan kehidupan mereka mulai membuat revolusi2 mental dan pemikiran yang radikal. Pencurian ilmu-ilmu pengetahuan dari peradaban Islam dan perombakan revolusioner kehidupan beragama menjadi awal dari era yang kemudian mereka sebut Renaissance/Aufklarung (masa pencerahan). Masa ini juga ditandai dengan kemunculan agama Kristen Protestannya Marthen Luther di Jerman sebagai bentuk revolusi terhadap kehidupan beragama katholik ortodoks Roma yang dinilai sudah ternoda dan terlalu mengekang perubahan.

Dua peradaban yang kondisinya bertolak belakang ini (Islam dan Eropa) kemudian "berbenturan" dalam peperangan-peperangan, baik perang pemikiran maupun perang secara fisik. Semangat Eropa untuk menyebarkan agama Katholik dan Kristen melalui misi-misi misionaris berbenturan dengan akidah Islam di negeri-negeri muslim. Sedikit banyak, faktor adanya "musuh bersama" ini juga yang menjadi salah satu perekat bangsa-bangsa Eropa. Rasulullah Muhammad SAW yang oleh bangsa Eropa namanya diplesetkan menjadi "Mahound" (tukang sihir) atau "the great pretender"(terkait dengan sebuah ramalan dalam Alkitab mengenai kedatangan seorang "anti-kristus" yang akan memutarbalikkan ajaran2 Yesus dengan muslihat2 yang rasional), menjadi sebuah ikon yang mempersatukan Eropa. Ini kemudian menjadi sebab berkobarnya Perang Salib. Dalam Perang Salib inilah sebenarnya dapat kita lihat wujud nyata dari benturan antar peradabannya Huttington.

Dalam Perang Salib I, kekuatan Eropa ternyata belum mampu menggoyahkan dominasi negara-negara Muslim, tetapi itu sudah cukup untuk mengobarkan semangat lebih banyak lagi orang Eropa untuk berperang.
Kondisi peradaban Islam sendiri, karena memang sudah terlena dengan kemajuan peradaban dan tidak adanya musuh yang dapat menandingi mereka, menjadi lemah dan rentan terhadap godaan-godaan pemikiran. Kelemahan akidah dan semangat ukhuwah inilah yang kemudian memberi jalan bagi kemenangan Eropa pada Perang Salib II. Peperangan brutal dan aliran darah menandai benturan yang kedua ini.

Contoh nyatanya mungkin dapat kita lihat pada Cordoba (Spanyol) dan Turki.

Kita tahu betapa melekatnya citra alat musik Gitar dengan negeri Spanyol. Konon, Gitar sebenarnya baru muncul di Spanyol pada sekitar abad 13-15. Alat musik inilah yang konon membuat pemuda-pemuda Muslim terlena dengan musik dan kehidupan duniawi. Mereka mulai menciptakan tarian-tarian dengan diiringi wanita dan gitar, dan larut dalam hedonisme sehingga meninggalkan sholat dan latihan fisik untuk mempersiapkan diri menghadapi jihad Perang Salib. Inilah yang kemudian membuat Cordoba takluk setelah selama 400 tahun menjadi salah satu negara Muslim terbesar di Eropa. Begitu juga dengan Turki yang dibuat mati secara pemikiran/semangat, sehingga arus sekulerisme begitu mudah masuk, yang dimulai oleh Mustapha Kemal Pasha (Kemal Attatuurk/Kemal sang Pembangun) dengan revolusinya yang sebenarnya tidak lebih dari penyusupan nilai-nilai sekuler kedalam akidah umat muslim Turki.

Penaklukan Cordoba menandai berakhirnya dominasi peradaban Muslim di Eropa, dan praktis, peradaban Muslim yang kala itu tidak mampu ditembus oleh Eropa hanya tersisa di jazirah Arab. Itupun, terus dikacaukan dengan perang-perang pemikiran sampai saat ini.

Memang banyak yang mengkambinghitamkan Eropa dalam kemunduran peradaban Islam. Akan tetapi, satu hal yang harus diperhatikan oleh umat muslim sebenarnya adalah bahwa kemajuan Eropa itu sebenarnya tidak akan bisa terjadi kalau prakondisi2nya tidak terpenuhi. Dan salah satu prakondisi itu adalah kemunduran/kelemahan dari peradaban yang akan digantikan. Dalam konteks ini berarti, saham terbesar dari kejatuhan peradaban Islam tidak terletak pada kemajuan Eropa, tapi justru pada melemahnya akidah dan semangat jihad di peradaban Islam sendiri, atau notabene, umat muslim yang mengusung peradaban itu.

Terakhir, satu analisis lagi adalah dari konteks waktu. Bisa kita lihat bahwa "umur" sebuah peradaban biasanya tidak jauh dari selang waktu 5-7 abad, yang dimulai dari peradaban Mesir lebih kurang 300 tahun sebelum masehi. Begitupun umur kejayaan peradaban Islam yang berusia kurang lebih 7 abad.

Artinya, kalau kita melihat bahwa umur kejayaan peradaban Eropa yang saat ini sudah mencapai 7 abad, seharusnya Eropa saat ini sedang berada di titik jenuh, titik puncak. Adapun saat ini, satu-satunya peradaban yang bisa kita anggap mampu menyaingi Eropa adalah Islam. Masa 7 abad itu juga seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi masa penempaan bagi Umat Islam. Artinya, seharusnya saat ini, peradaban Islam sedang bergerak untuk kembali muncul sebagai pemimpin dunia.

Bangsa2 barat (termasuk AS dan Eropa) sepertinya menyadari betul analisis dari IK ini. Inilah sebabnya perang peradaban yang sedang terjadi saat ini adalah berupa perang pemikiran/ideologi. Tujuannya tidak lain, adalah untuk membuat umat Islam lupa, bahwa mereka sedang dijajah. Dengan demikian, umat Islam tidak akan tergerak untuk bangkit.

Apabila ummat Islam tidak secepatnya menyadari hal ini...

Sebenarnya, dewasa ini, pemikiran Ibnu Khaldun sepertinya telah mengilhami sebuah konsep yang kemudian akan berperan besar dalam teori-teori konspirasi. Konsep itu adalah konsep "manajemen konflik". Loh? kok manajemen konflik? Mungkin akan saya bahas dalam posting lain yang secara spesifik akan bercerita tentang... Amerika Serikat.

Terakhir...
Hal lain yang membuat saya penasaran dengan pemikiran Ibnu Khaldun adalah...
Masih ingat, judul naskah yang saya dan Otep bicarakan sebelum saya memikirkan hal ini adalah "Muqodimah". Dalam bahasa Indonesia, kata itu kira-kira berarti "Pembukaan". Artinya, naskah itu sebenarnya hanya merupakan pengantar, pembuka dari sesuatu yang tentunya lebih besar.

Naskah Muqodimah sendiri, konon dalam versi bahasa Inggrisnya, diterbitkan sebanyak 3 jilid, dengan masing-masing jilid lumayan tebal.

Bayangkan ilmu yang terkandung dari apa yang diantarkan oleh Muqodimah itu...