Tuesday, August 09, 2005

Fasyani Lazuardi

Yah… apa mau dikata…
Agak lucu sepertinya. Ingin cepat-cepat nikah dan punya anak (5 cukuplah =P ) belum kesampaian... eeeh, tiba-tiba saya dan Fani sudah punya anak. Atau anggaplah begitu.

Cerita sebenarnya dimulai jauh sebelum cerita pendek ini bermula (bingung kan bahasanya?)

Agak dipersingkat, pokoknya saya dan Fani kenal dengan Bunda Niken, seorang aktivis pengurus anak jalanan dan mengelola sebuah rumah singgah untuk anak jalanan dengan nama Yayasan Bocah Garis (Gelanggang Kreativitas). Bocah Garis, karena satu dan lain hal bubar dan namanya diganti menjadi Yayasan Air, dengan personil yang sebenarnya itu-itu juga.

Konsistensi, niat dan keikhlasan Bunda Niken sebenarnya cukup mengagumkan. Meskipun Bunda sekarang ini sudah tidak lagi aktif seperti dulu di rumah singgah, karena konon beliau sudah memiliki ”pekerjaan tetap” yang menuntutnya lebih banyak berada di tempat kerjanya yang baru, semangatnya untuk tetap berkiprah di kalangan jalanan masih terlihat.

Alkisah, pada suatu hari masuk sebuah SMS di ponsel dalam saku celana saya. Isinya, walaupun tidak tereksplisitkan dengan jelas, menyiratkan satu ketergesaan, kecemasan, dan sekaligus ekspektasi yang agak mengkhawatirkan.

Seorang ibu-ibu pengemis di jembatan penyeberangan di depan Bandung Indah Plaza beberapa hari sebelumnya meninggal. Ia jatuh ketika menuruni tangga jembatan penyeberangan. Naasnya, waktu itu ia sedang hamil tua. Anak-anak jalanan yang kebetulan waktu itu berada di dekat TKP kemudian membawa wanita pengemis itu ke RS Boromeus, berhubung RS itulah yang terdekat, dan menghubungi Bunda Niken untuk meminta bantuan, terutama finansial. Wajarlah, seorang wanita pengemis yang diantar anak-anak jalanan. Rumah sakit mana yang tidak sangsi?

Wanita pengemis itu meninggal dalam perawatan, sementara bayinya yang masih dalam kandungan ternyata masih hidup. Maka dilakukanlah operasi caesar untuk mengeluarkan si bayi, dan selanjutnya ditempatkan dalam inkubator.

Uang Bunda Niken habis, seluruh calon pendonor yang potensial telah dihubungi, namun biaya rumah sakit masih kurang 300 ribu rupiah. Keluarga si bayi menginginkan bayi itu secepatnya meninggalkan RS, berhubung semakin lama dititipkan di situ maka biayanya akan semakin besar.

Maka Bunda Niken menghubungi saya dan Fani, untuk kesekian kalinya, dan mengutarakan masalah ini.

”Duh, bagaimana pula urusannya nih?” pikir saya waktu itu. Kebetulan, saat itu saya memang sedang berada dalam fase tipis kantong, berhubung uang sisa proyek di Papua dan Garut harus saya hemat untuk persiapan hidup sebelum saya dapat proyek lagi. Fani pun sama, walaupun waktu itu baru mendapat gaji pertama, tapi tetap, kami sudah harus mulai menabung untuk rencana-rencana pribadi kami.

Akhirnya, ”ya sudahlah, apalah arti 300 ribu... mending cepat diberikan lalu lupakan...” pikir saya dalam hati. entah, dalam sepersekian detik itu, emosi saya sedang memenangkan peperangan yang biasanya dimenangi oleh rasio. Kebetulan Fani pun berpikiran sama. Maka patunganlah kami, masing-masing 150 ribu, dan memberikannya ke Bunda.

Dua minggu setelah kami berikan uang itu, Bunda kembali mengirim SMS. Isinya, alhamdulillah, bayinya sehat, dan sekarang sudah di tangan keluarganya di desa. Dan karena waktu di RS itu belum diberi nama, keluarga si bayi setuju kalau si bayi diberi nama ”Fasyani Lazuardi”. Kata Bunda, itu dari nama Fani – Awan...

Huh, nama Fani-nya sih jelas terlihat...
Tapi nama Awan-nya mana???

Bah, emang ”Lazuardi” artinya ”awan” ya???

Iya sih, katanya, tapi tetap saja... =P
Betapa inginnya saya melihat wajah bayi itu...

Ah, sudahlah...

1 comment:

Lazuardi said...

Waw..nama kita sama!
wah, silakan cek blog kami ya di http://lazuardibirru.org